BAB I PENDAHULUAN - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/14528/48/Bab 1.pdfPENDAHULUAN A....

40
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Masalah Kehidupan masyarakat yang heterogen, baik dalam agama maupun paham keagamaan, gesekan antar pemeluk agama atau penganut paham keagamaan, dengan berbagai dimensi kepentingan sosial-kemasyarakatan, tatanan ekonomi, struktur kekuasaan dan ideologi sosial-politik yang cenderung hegemonik, seringkali menjadi persoalan yang cukup kompleks dan problematis. 1 Bahkan pada perkembangannya, fenomena agama yang memiliki tingkat heterogenitas dan pluralitas yang tinggi, amat potensial memunculkan konflik. 2 Sejarah menyebutkan, lahirnya konflik ini selain dipicu oleh perbedaan keyakinan dan keragaman pemahaman terhadap doktrin-normatif (kitab suci khususunya), 3 juga dipicu oleh posisi agama yang dikaitkan dengan kepentingan ekonomi dan politik para pemeluknya, sehingga tidak saja melahirkan konflik intern di dalam suatu kelompok keagamaan, 4 bahkan memunculkan konflik lintas agama 5 Konflik antar pemeluk agama atau paham keagamaan bisa terjadi, ketika kelompok yang satu, merasa tidak nyaman berada atau berdampingan dengan 1 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1998), 337. 2 Syafa'atun Elmirzana, “Pluralisme, Konflik dan Dialog (Analisa dan Refleksi)”, Esensia, 2. (Januari, 2001), 41. 3 Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1997), 6. Lihat juga dalam Komarudin Hidayat “Agama-agama Besar Dunia: Masalah Perkembangan dan Interelasi” dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (editor), Passing Over Melintasi Batas Agama (Jakarta: Gramedia, 1999),. 209. 4 Syafa'atun Elmirzana, “Pluralisme, 41. 5 Asghar Ali Engineer, “On Religious and Intercultural Dialogue,” dalam http./www.global.net.com. lihat pula Hasan Hanafi, Islam in The Modern World: Tradition, Revolution and Culture Vol.II (Kairo: Dar Keba Bookshop, 2000), 557-559.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/14528/48/Bab 1.pdfPENDAHULUAN A....

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

  

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latarbelakang Masalah

Kehidupan masyarakat yang heterogen, baik dalam agama maupun paham

keagamaan, gesekan antar pemeluk agama atau penganut paham keagamaan,

dengan berbagai dimensi kepentingan sosial-kemasyarakatan, tatanan ekonomi,

struktur kekuasaan dan ideologi sosial-politik yang cenderung hegemonik,

seringkali menjadi persoalan yang cukup kompleks dan problematis.1 Bahkan

pada perkembangannya, fenomena agama yang memiliki tingkat heterogenitas

dan pluralitas yang tinggi, amat potensial memunculkan konflik.2

Sejarah menyebutkan, lahirnya konflik ini selain dipicu oleh perbedaan

keyakinan dan keragaman pemahaman terhadap doktrin-normatif (kitab suci

khususunya),3 juga dipicu oleh posisi agama yang dikaitkan dengan kepentingan

ekonomi dan politik para pemeluknya, sehingga tidak saja melahirkan konflik

intern di dalam suatu kelompok keagamaan,4 bahkan memunculkan konflik lintas

agama5

Konflik antar pemeluk agama atau paham keagamaan bisa terjadi, ketika

kelompok yang satu, merasa tidak nyaman berada atau berdampingan dengan

                                                            1 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1998), 337. 2 Syafa'atun Elmirzana, “Pluralisme, Konflik dan Dialog (Analisa dan Refleksi)”, Esensia, 2. (Januari, 2001), 41. 3 Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1997), 6. Lihat juga dalam Komarudin Hidayat “Agama-agama Besar Dunia: Masalah Perkembangan dan Interelasi” dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (editor), Passing Over Melintasi Batas Agama (Jakarta: Gramedia, 1999),. 209. 4 Syafa'atun Elmirzana, “Pluralisme, 41. 5 Asghar Ali Engineer, “On Religious and Intercultural Dialogue,” dalam http./www.global.net.com. lihat pula Hasan Hanafi, Islam in The Modern World: Tradition, Revolution and Culture Vol.II (Kairo: Dar Keba Bookshop, 2000), 557-559.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

 

 

 

kelompok keyakinan atau kepercayaan yang berbeda. Konflik-konflik tersebut,

walaupun dipicu oleh berbagai kepentingan praktis, namun sumber yang

sesungguhnya tidak lepas dari hegemoni nilai dan klaim kebenaran sepihak dari

masing-masing kelompok.6

Agama, walaupun secara normatif, selalu mengajarkan perdamaian dan

kerukunan, namun dalam fakta sosial dapat dengan mudah dilihat, isu agama atau

paham keagamaan seringkali diikutkan dan bahkan mejadi salah satu pemicu dari

berbagai aksi kekerasan dan kerusuhan. Agama yang telah mengambil tempat

dalam pelataran budaya, walaupun bagi setiap pemeluknya diyakini sebagai

wahyu atau petunjuk Tuhan, namun dalam praktik keberagamaan akan senantiasa

terkait dengan budaya pemeluknya. Agama dalam konteks budaya, selalu

memunculkan wajah ganda, pada satu sisi bisa berfungsi sebagai kekuatan

integratif, namun pada sisi yang lain dapat pula menjadi kekuatan disintegratif.

Agama, bisa menjadi kekuatan dalam menciptakan ikatan dan kohesi kelompok

masyarakat, dan pada saat yang sama menjadi sumber pemisahan dari kelompok

lain.7

Konflik sosial, dengan mengatasnamakan atau membawa masalah agama,

dapat disaksikan dari berbagai tindak kekerasan yang terjadi di Indonesia pada

akhir abad ke 20 dan awal abad ke 21. Antara lain, kerusuhan di Situbondo pada

tahun 1996, pada tahun yang sama terjadi kerusuhan serupa di Tasikmalaya,

kemudian disusul tahun 1997 terjadi konflik serupa di Rengasdengklok, tahun

1998 pecah insiden Ketapang yang berlanjut pada tragedi Ketapang. Pada tahun

                                                            6 Andre Ata Ujan dkk, Multikulturalisme Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan, (Jakarta : PT. Indeks, 2011), 110. 7 Syahrin Harahap, Teologi Kerukunan (Jakarta: Prenada, 2011), 3.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

 

 

 

yang sama pecah insiden Ambon, kemudian berlanjut pada pertikaian antar agama

di Halmahera dan Poso, dan pada tahun 2000 terjadi pengeboman terhadap

rumah-rumah ibadah di Medan.8

Pada awal abad ke 21 ini, sejumlah kejadian tindak kekerasan yang terkait

dengan paham keagamaan muncul di berbagai daerah, seperti penyerangan FPI

terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

(AKKBB) di Tugu Monas Jakarta pada 1 Juni 2008, pada saat AKKBB

memperjuangkan hak keberadaan Ahmadiyah yang dipaksa untuk segera

dibubarkan, karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam9. Kemudian

penyerangan sekelompok umat Islam terhadap jama’ah Ahmadiyah di Banten

pada 6 Pebruari 2011, yang dipicu oleh penilaian sebagian umat Islam bahwa

aliran Ahmadiyah adalah aliran sesat.

Pada tanggal 15 Pebruari 2011, terjadi penyerangan terhadap Pondok

Pesantren al-Ma’hadu al-Islamiyah yang dikelola Yayasan Pondok Pesantren

Islam (YAPI), Desa Kerep Kecamatan Beji Kabupaten Pasuruan, yang diduga

terkait dengan konflik sunni-syi’ah (Harian Bangsa, 16 Pebruari 2011). Pada

penghujung tahun 2011; yaitu tanggal 29 Desember 2011, terjadi pembakaran

Pondok Pesantren di Dusun Nagkrenang Desa Karang Gayam Kecamatan Karang

Penang Kabupaten Sampang, yang diduga terkait dengan perbedaan aliran antara

kakak-beradik Kyai Rois dan Kyai Tajul Arifin, Kyai Rois mengikuti aliran Sunni

dan Kyai Tajul Arifin mengikuti aliran Syi’ah (Metrotvnews.com). Kemudian

                                                            8 Ibid, 85. 9 Moh. Yamin, Vivi Auliya, Meretas Pendidikan Toleransi, Plurasisme dan Multikulturalisme Keniscayaan Peradaban,( Malang : Madani Media, 2011), 2.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

 

 

 

pada tahun 2013, terjadi kembali penyerangan terhadap kelompok Ahamadiyah di

Banten.

Gambaran Islam Indonesia sebagai Islam toleran, akhirnya menjadi

terpatahkan akibat kebangkitan gerakan-gerakan keagamaan yang bercorak

fundamentalis. Radikalisasi doktrin Islam yang disertai dengan aksi-aksi

kekerasan, sasarannya bukan hanya ditujukan kepada kelompok-kelompok agama

yang berbeda, melainkan juga ditujukan kepada berbagai kelompok Muslim

sendiri yang berbeda, khususnya terhadap Jamaah Ahmadiyah, Shi’ah, Salafi, dan

Jaringan Islam Liberal (JIL)10

Hasil survei Lembaga Studi Center of Strategic and International Studies

(CSIS) pada tahun 2012, tentang toleransi agama di Indoonesia, menunjukkan

bahwa toleransi beragama orang Indonesia tergolong rendah. Kalaupun

masyarakat beragama siap hidup berdampingan dalam kehidupan sosial, namun

ketika terkait dengan pembangunan tempat ibadah, ada kecenderungan kelompok

mayoritas tidak menyetujui. Dari 2.213 responden di 23 propinsi Indonesia, 59,5

% responden tidak keberatan bertetangga dengan orang yang beda agama,

sedangkan 33,7 % memilih menolak tetangga yang beda agama. Kemudian terkait

dengan pembangunan tempat ibadah, 68,2 % responden memilih menolak

pembangunan tempat ibadah dari agama lain, hanya 22,1 % lainnya mengaku

tidak keberatan.11

                                                            10 M. Dawam Raharjo, Fanatisme dan Toleransi, dalam Irwan Masduki, Berislam Secara Toleran Teologi Kerukunan Umat Beragama, (Bandung : Mizan, 2011), xvi-xvii 11 http://www.thejakartapost.com/news/2012/06/06/ri-becomes-more-intoleransi-html, (14 Juni 2013)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

 

 

 

Dalam penelitian Lucia Ratih Kusumadewi pada tahun 1999 di tiga

Perguruan Tinggi di Jakarta (UI, IAIN Syarif Hidayatullah, dan STF Driyarkara),

tentang sikap dan toleransi beragama di kalangan mahasiswa, menunjukkan hasil

bahwa sikap pluralisme di kalangan mahasiswa lebih dominan (55,8 %), sikap

toleransi dikategorikan tinggi (61,7 %). Dalam sikap toleransi, dengan indikator

keinginan supaya orang lain memiliki sikap yang sama mencapai 74 %,

menyikapi perpindahan agama mencapai 75 %, dan menyikapi kawin beda agama

mencapai sikap toleransi yang sangat tinggi 85 %. Hal ini menunjukkan bahwa

potensi toleransi di kalangan Mahasiswa sangat tinggi.12

Kemudian hasil survei yang dilakukan oleh PPIM Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah pada tahun 2004, bersama Freedom Institute dan

Jaringan Islam Liberal, tentang orientasi sosial politik Islam, menunjukkan

bahwa: 18 % dari 1200 responden setuju dengan kegiatan yang dilakukan oleh

Front Pembela Islam (FPI), seperti merazia tempat judi, dan kegiatan maksiat atau

hiburan malam di Bulan Ramadlan, 15% responden mendukung kegiatan Majelis

Mujahidain Indonesia (MMI), 5% mendukung kegiatan Hizbut Tahrir Indonesia

(HTI) dalam memperjuangkan diterapkannya syariat Islam, 13% setuju dengan

Jamaah Islamiyah (JI) dalam melakukan tindakan kekerasan terhadap Amerika

Serikat dan sekutu-sekutunya, yang dianggap menindas umat Islam di berbagai

belahan dunia, 16% responden mendukung aksi pengeboman sebagai bentuk

pembelaan terhadap Islam.13 Kalaupun persentase sikap intoleransi dari hasil

                                                            12 Lucia Ratih Kusumadewei, Sikap dan Toleransi Beragama di Kalangan Mahasiswa; Studi di Tiga Perguruan Tinggi di Jakarta, Skripsi, (Jakarta : FISIP-UI, 1999), 65-78. 13 Saeful Mujani, Umat Islam Indonesia Dukung Radikalisme, (Jakarta : Harian Tempo, 12 November 2004)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

 

 

 

survei tersebut rendah, namun hasil tersebut menunjukkan bahwa disintegrasi

umat beragama dalam pluralitas agama dan paham keagamaan, berpotensi untuk

tumbuh di Indonesia.

Penelitian survei yang dilaksanakan oleh Tim LIPI (Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia), pada tahun 2006 di tiga daerah (Bogor, Surakarta dan

Cianjur) dengan tema Budaya Kewargaan Komunitas Islam di Daerah Rawan

Konflik, ditemukan hasil bahwa sebagian kalangan Muslim Indonesia masih

memiliki persoalan dalam konsolidasi demokrasi. Kesediaan Muslim Indonesia

untuk hidup sejajar dengan pemeluk agama lain masih rendah, misalnya dalam

praktik memberi ucapan selamat, kepada pemeluk agama lain yang sedang

merayakan hari besar keagamaannya, hanya 15,6% yang mendukung. Responden

yang membolehkan ucapan salam (Assalamu’alaikum) kepada nonmuslim hanya

8%. Untuk praktik silaturrahim dengan nonmuslim di hari besar keagamaan

mereka yang menyetujui 38,9%, sedang praktik silaturrahim dengan nonmuslim

di luar hari besar keagamaan mereka mencapai 59,9%. Terhadap gagasan,

sebaiknya umat Islam hanya berteman dekat dengan orang yang sama-sama

memeluk agama Islam saja, memperoleh dukungan 40,4%.14 Dari hasil penelitian

LIPI ini menggambarkan bahwa sikap pluralis komunitas Muslim di Indonesia

masih bermasalah.

Penelitian Lembaga Swadaya Masyarakat SETARA Institute, pada tahun

2008 dengan jumlah responden sebanyak 800 orang dari generasi muda yang

berumur 17-22 tahun, dengan latar belakang agama yang heterogen, hasil survei

                                                            14 Muhammad Hisyam Ed. Budaya Kewargaan Komunitas Islam di Daerah Rawan Konflik, (Jakarta : LIPI, 2006)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

 

 

 

menunjukkan : 87,1% responden, menyatakan bahwa perbedaan agama tidak

menjadi halangan dalam berteman, 67,4% responden menerima fakta perpindahan

agama.15

Pada dasarnya, pluralitas bangsa Indonesia yang ditandai dengan

keberagaman etnis, suku, bahasa, dan agama, merupakan social capital (modal

sosial) yang sangat berharga. Pluralitas bangsa ini apabila dimanfaatkan dengan

baik, akan memberi keuntungan besar bagi kejayaan bangsa, tapi apabila

pluralitas bangsa ini tidak dikelola secara benar, kondisi ini rentan terjadi konflik.

Tindak kekerasan dalam konflik sosial yang sering terjadi antar kelompok

masyarakat, bahkan kelompok keagamaan, merupakan bagian dari akibat

pluralitas yang tidak dikelola secara benar.16

Cornelis Lay, memetakan kekerasan atas nama agama menjadi beberapa

varian, yaitu :

Pertama, kekerasan yang berlangsung dalam ranah agama yang sama. Dari sudut aktor yang terlibat, terdapat variasi-variasi, antara lain:(a) kekerasan yang melibatkan Ormas dalam komunitas agama yang sama.(b) kekerasan yang melibatkan negara yang bertindak atas nama agama resmi dalam merepresi ”aliran sesat” dalam satu agama. (c) kekerasan yang melibatkan komunitas dari agama yang sama. (d) kekerasan yang melibatkan institusi pemegang otoritas agama atas warga dari komunitas agama yang sama. Kedua, kekerasan yang melibatkan agama yang berbeda. Dari sudut aktor, terdapat variasi pola pula. (a) kekerasan yang melibatkan Ormas satu agama atas komunitas dari agama lain. (b) kekerasan yang melibatkan Ormas dari komunitas agama yang berbeda. Khusus yang satu ini, lebih menampakkan diri dalam raut kekerasan verbal atau simbolik. (c) kekerasan atas kelompok agama yang melibatkan negara melalui pengaturan tertentu.

                                                            15 Tim Penyusun, Toleransi dalam Pasungan : Pandangan Generasi Muda terhadap Masalah Kebangsaan, Pluralitas dan Kepemimpinan Nasional, (Jakarta : SETARA Institute, 2008) 16 Ali Maksum, Pluralisme dan Multikulturalisme Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam Indonesia, (Malang : Aditya Media Publishing, 2011), 14.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

 

 

 

Ketiga, kekerasan satu kelompok agama atas kelompok lain yang melakukan aktivitas yang dinilai tidak sesuai dengan ajaran agama. Variasi pola juga ditemukan di sini antara lain berupa: (a) kekerasan dilakukan oleh Ormas agama atas aktivitas-aktivitas yang dianggap sebagai simbol kemaksiatan, dan sejenisnya. (b) kekerasan atas nama agama oleh kelompok masyarakat yang ditujukan pada aktivitas-aktivitas yang didakwa sebagai simbol kemaksiatan, dan sejenisnya.17

Konstalasi kekerasan atas nama agama yang semakin meningkat di bumi

Nusantara, memunculkan kegelisahan akademik tentang efektivitas pendidikan

agama dalam melakukan transformasi nilai-nilai manusiawi kepada peserta didik,

khususnya dalam pengembangan nilai toleransi yang menjadi bagian dari ajaran

agama, dan telah diwariskan para pemimpin Islam terdahulu, dalam membangun

relasi agama-agama. Dalam konteks Indonesia, diakui atau tidak, keberhasilan

Walisongo dan para penerusnya, dalam menyebarkan dan mengembangkan Islam

secara damai di bumi Indonesia, merupakan cerminan dari sinergitas Islam

dengan budaya lokal Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika.

Masih sering menjadi perdebatan dalam dunia pendidikan, tentang

keharusan pendidikan untuk menjadikan peserta didik mampu beradaptasi dengan

makna nilai yang telah didapat, atau hanya mengajarkan tentang nilai tanpa tindak

lanjut. Karena pendidikan yang mengarahkan peserta didik mampu beradaptasi

dengan makna nilai, dipandang sebagai tindakan indoktrinasi yang dapat

membelenggu daya kritis peserta didik terhadap makna nilai.

Pada sisi yang lain, muncul pertanyaan tentang keberhasilan dunia

pendidikan, apabila mampu menjadikan peserta didik berfikir secara kritis

mengenai nilai-nilai, tapi secara bersamaan peserta didik bersikap dan berprilaku                                                             17 Cornelis Lay, Kekerasan Atas Nama Agama, Perspektif Politik, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Politik Volume 13, Nomor 1, Juli 2009 (1-19) ISSN 1410-4946

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

 

 

 

yang bertentangan dengan nilai-nilai moral. Begitu pula dalam hal nilai-nilai apa

saja yang menjadi tanggung-jawab pendidikan dalam melakukan transformasi

nilai pada peserta didik, karena pilihan nilai dunia pendidikan, bisa jadi

bertentangan dengan pilihan nilai keluarga dan masyarakatnya.

Ketersediaan ruang dan waktu yang terbatas dalam proses pendidikan di

sekolah, sering pula menjadi argumentasi guru dalam melepas tanggungjawab

pendidikan karakter moral peserta didik. Pendidikan karakter moral, dipandag

sebagai taggungjawab keluarga dan komunitas agama melalui institusi-institusi

keagamaan.

Menyikapi perdebatan tersebut, ada dua hal yang harus menjadi komitmen

pendidikan. Pertama, nilai-nilai yang ditransformasikan adalah nilai-nilai yang

memiliki tujuan dan manfaat secara universal, dapat diterima oleh masyarakat

plural. Kedua, nilai-nilai universal tidak hanya diekspos dalam proses

pembelajaran, melainkan dilakukan upaya membimbing peserta didik untuk

mengerti, meresapi, dan bertindak berdasar nilai-nilai yang ditransformasikan.18

Kegelisahan atas fenomena tindak kekerasan yang diatasnamakan atau

dipicu masalah perbedaan keyakinan atau paham keagamaan, tertuju atau

diarahkan pada efektifitas pendidikan agama, karena didasarkan pada beberapa

hal, antara lain : Pertama, pada dasarnya transformasi nilai perdamaian dapat

dilakukan melalui pendidikan, lebih-lebih pendidikan agama, yang sejatinya

memiliki muatan kurikulum nilai toleransi dan perdamaian, karena kedua nilai

tersebut diajarkan dalam setiap agama. Hal ini dapat terjadi, apabila iklim

                                                            18 Thomas Lickona, Educating for Character, HowOur Schools Can Teach Respect and Responsibility, (New York : Bantam Books, 1991), 37-38

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

10 

 

 

 

pendidikan memungkinkan peserta didik dapat mengekspresikan potensinya

secara bebas, kreatif dan mandiri melalui interaksi sosial yang inklusif.19 Peserta

didik dalam iklim pendidikan tersebut, bisa menggunakan kapasitas kreatifnya,

untuk melarikan diri dari perangkap kekerasan, ketidakadilan, bahkan peperangan.

Kedua, Pendidikan Islam, sebagai instrumen dalam pendewasaan manusia

melalui pembumian ajaran Islam yang rahmatan li al-‘Alamin, ikut memiliki

tanggung jawab, dalam melakukan transformasi nilai kesadaran multikultural,

sehingga output pendidikan Islam mampu hidup berdampingan dengan damai

dalam pluralitas masyarakat. Namun demikian, dari penelitian Abdullah Aly di

Pondok Pesantren Modern Islam Assalam Surakarta, ditemukan data yang

menunjukkan adanya nilai-nilai multikultural dan sekaligus nilai-nilai anti-

multikultural dalam penyusunan kurikulum. Abdullah Aly, menemukan fakta

kontra produktif terhadap pengembangan multikulturalisme di Pesantren Assalam,

yaitu pada Adab al Ukhuwwah al Islamiyyah. Pada kurikulum pesantren tersebut,

dengan jelas dinyatakan bahwa persaudaraan yang dimaksudkan adalah terbatas

persaudaraan sesama umat Islam, untuk kalangan non-Islam tidak diperlukan

persaudaraan, melainkan hanya dibutuhkan persatuan dan kasih sayang.20 Dengan

demikian, pengembangan nilai toleransi dalam temuan Abdullah Aly masih

terbatasi oleh sekat agama.

Ketiga, apabila mencermati fenomena yang terjadi dalam pendidikan

Islam, baik di madrasah maupun di pesantren, dapat diasumsikan bahwa

                                                            19 M. Nurul Ikhsan Saleh, Peace Education Kajian Sejarah, Konsep, dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2012), 49 20 Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren, Telaah Terhadap Kurikulum Pondok Pesantren Modern Islam Assalam Surakarta, (Yogjakarta : Pustaka Pelajar, 2011), 340..

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

11 

 

 

 

pengembangan nilai toleransi tampak masih ambigu. Secara konsepstual, nilai

toleransi sebagai bagian dalam prinsip pengembangan masyarakat Islam,

terumuskan dalam materi ajar, namun dalam penerapannya, seringkali terbelenggu

oleh klaim kebenaran eksklusif doktrin paham keagamaan yang diikutinya. Ada

hegemoni nilai, dalam sikap keberagamaan yang berpengaruh terhadap proses

pendidikan, sehingga menjadi tirani dalam pengembangan kesadaran toleransi.

Keempat, pendidikan pesantren walaupun dalam pemetaan pesantren,

belum ditemukan suatu pengelompokan atau identifikasi pesantren berdasar

paham keagamaan yang dianutnya, namun dengan mudah disaksikan bahwa

pendidikan pesantren, dibangun di atas pondasi paham keagamaan tertentu. Kalau

pada perkembangan awal, pesantren dengan paham keagamaan tertentu selalu

mengedepankan sikap moderat, sehingga dinilai sebagai lembaga pendidikan

Islam yang berwatak lentur, mudah beradaptasi dan bahkan dengan mudah

mengakomodir budaya lokal, pada saat ini muncul beberapa pesantren yang

berwatak sebaliknya, radikal, intoleran, bahkan diduga terkait dengan beberapa

aksi kekerasan.

Perbedaan paham keagamaan, yang dikembangkan di masing-masing

pesantren, apabila tidak diikuti pengembangan sikap keberagamaan yang inklusif,

transformasi kesadaran multikultural yang meniscayakan pluralitas, dan

pengembangan sikap toleransi yang komprehensif, kondisi tersebut

memungkinkan pada masa mendatang, terjadi benturan bukan antara dunia Islam

dan dunia Barat seperti dalam tesis Huntington, melainkan akan terjadi benturan

yang semakin dahsyat dalam dunia Islam sendiri.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

12 

 

 

 

Pendidikan Islam, apabila mengalami kegagalan dalam menumbuhkan

kesadaran pluralisme dan multikulturalisme pada peserta didik, maka outputnya

tidak akan dapat mengembangkan nilai toleransi dan perdamaian dalam pluralitas

agama dan paham keagamaan. Hal tersebut bisa terjadi, apabila : Pertama,

pendidikan Islam lebih menekankan pada proses transfer ilmu agama, ketimbang

proses transformasi nilai-nilai keagamaan dan moral pada anak didik; Kedua,

pendidikan Islam hanya sekedar dijadikan sebagai pelengkap, dari keseluruhan

pendidikan yang berorientasi pada pengembangan IPTEK. Ketiga, penenanaman

nilai-nilai moral, seperti azas persamaan dalam hidup, rasa cinta, kasih sayang,

persaudaraan, saling menolong, cinta damai dan toleransi, kurang mendapat porsi

dalam pendidikan Islam; Keempat, kurang ada perhatian untuk mempelajari

agama-agama lain dan pluralitas paham keagamaan dalam Islam,21

Bertolak dari kegelisahan tersebut, maka dipandang penting dilakukan

penelitian tentang pendidikan toleransi di pesantren, karena pesantren sebagai

pioner lembaga pendidikan Islam di Indonesia, sejak awal pertumbuhannya,

dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam yang lentur dan moderat.

Penelitian pendidikan toleransi di pesantren, diarahkan pada dua pesantren

di Jawa Timur, yaitu : Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, dan Pondok

Pesantren Nurul Jadid Paiton, karena dua pesantren tersebut, diasumsikan dapat

memenuhi kebutuhan data penelitian. Hal ini, karena pada naskah resmi dua

pesantren tersebut (nilai dasar santri PP. Tebuireng dan Visi PP. Nurul Jadid)

dengan tegas mencantumkan nilai toleransi.

                                                            21 Sumartana dkk. Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), 239-240.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

13 

 

 

 

Penelitian dengan judul “Desain PendidikanToleransi Di Pesantren (Studi

Tindakan Sosial Terhadap Pluralitas Agama Dan Paham Keagamaan, Di

Pesantren Tebuireng Jombang dan Nurul Jadid Paiton Jawa Timur)”, memiliki

relevansi dengan ajaran Islam yang terkandung dalam firman Allah Swt antara

lain : pada surat 60 : 7-8, surat 49 : 11, dan 13, surat 2 : 62, surat 10 : 99 dan

surat 6 : 108.

B. Identifikasi Dan Batasan Masalah

Dari paparan fenomena sosial yang terkait dengan pluralitas agama dan

paham keagamaan, apabila dikaitkan dengan pendidikan Islam khususnya

pendidikan pesantren, maka banyak masalah yang muncul dan perlu mendapat

perhatian untuk dilakukan pendalaman, sehingga bisa menjadi input managemen

baik dalam pengembangan pendidikan Islam secara umum, maupun dalam

pengembangan pendidikan pesantren.

Di antara masalah yang ada dalam pluralitas agama dan paham keagamaan

kaitannya dengan pendidikan Islam adalah :

1. Sikap intoleran dan tindak kekerasan yang diatasnamakan atau dipicu oleh

perbedaan keyakinan (agama) atau paham keagamaan, dalam konteks pendidikan,

terkait dengan pemahaman tenaga pendidik terhadap fakta pluralitas agama dan

paham keagamaan, baik yang bersumber dari pembacaannya terhadap teks-teks

agama, maupun dalam pembacaannya terhadap keniscayaan relasi sosial dalam

kehidupan yang heterogen. Paradigma dalam membaca agama dan fakta

pluralitasnya, akan mempengaruhi pendefinisian terhadap fakta pluralitas agama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

14 

 

 

 

dan paham keagamaan yang dibacanya, dan akan berpengaruh pula pada tindakan

sosialnya dalam menyikapi fakta pluralitas tersebut.

2. Fakta tindak kekerasan dalam konflik sosial yang diatasnamakan atau dipicu

oleh perbedaan keyakinan (agama) atau paham keagamaan, apabila tidak

diimbangi dengan pendidikan keagamaan yang inklusif, dengan memposisikan

pluralitas sebagai keniscayaan, bahkan menjadi sunnatullah dalam ciptaan Nya,

akan menjadi sumber pembelajaran yang distruktif dalam proses pendidikan

dengan tujuan memanusiawikan manusia.

3. Kebijakan pendidikan dalam mengelola input pendidikan, baik kurikulum,

tenaga pendidik, maupun peserta didik yang tidak berbasis inklusivisme,

pluralisme dan multikulturalisme, akan memberikan pengaruh terhadap output

pendidikan dalam menyikapi dan mengambil tindakan terhadap fakta pluralitas

agama dan paham keagamaan yang ada di lingkungannya.

4. Toleransi sebagai nilai manusiawi yang diajarkan dalam Islam dan agama-

agama lainnya, apabila tidak ditransformasikan dengan benar dalam proses

pendidikan agama, maka tindak kekerasan yang diatasnamakan atau dipicu karena

perbedaan keyakinan dan paham keagamaan dalam kehidupan pural, menjadi

bagian dari kegagalan pendidikan agama dalam membangun peradaban manusia

yang damai dan harmoni.

5. Khazanah intelektual muslim yang terkodifikasi dalam kitab kuning, sebagai

hasil kajian terhadap al-Qur’an dan Sunnah, yang memiliki potensi multitafsir dan

mengahasilkan produk pemikiran yang beragam, sejatinya merupakan kekayaan

pendidikan Islam, khususnya pesantren, dalam mengembangkan nilai toleransi,

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

15 

 

 

 

karena sungguhpun berbeda tidak ada dari khazanah keislaman tersebut, yang

saling menyalahkan antara yang satu dengan lainnya. Namun demikian, apabila

dalam penyerapan terhadap isi kitab kuning hanya terbatas pada produk

pemikirannya, tanpa menyerap nilai saling menghargai dalam perbedaan

pemikiran, apalagi terhegemoni oleh satu produk pemikiran dan menafikan yang

lain, maka yang akan lahir dari pendidikan Islam, sikap eksklusif dalam agama

maupun paham keagamaan, yang dapat memicu tindakan intoleran dalam

pluralitas agama dan paham keagamaan.

6. Pesantren dalam fungsi sosialnya, memiliki tanggungjawab dalam

menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan, seperti: kemiskinan, ketidakadilan

dan lainnya. Apabila dalam pelaksanaan tangungjawab sosial terhadap masalah-

masalah kemanusiaan di sekitarnya, membatasi diri hanya terhadap kelompok

yang seagama atau yang memiliki paham keagamaan yang sama dengan

pesantren, maka pengembangan nilai toleransi dalam pendidikan pesantren akan

mengalami hambatan. Karena dalam pendidikan nilai, tidak terletak pada ranah

kognitif, tapi lebih pada ranah afektifnya.

Dari berbagai masalah tersebut atau masalah lain yang belum

teridentifikasi, penelitian ini dibatasi pada focus masalah pendidikan toleransi di

pesantren, sebagai cerminan respon atau tindakan sosial pendidikan pesantren

terhadap pluralitas agama dan paham keagamaan dalam Islam. Dalam penelitian

ini, penndidikan toleransi dikaitkan dengan pandangan dan tindakan sosial

pimpinan dan tenaga pendidik pesantren dalam menyikapi fakta pluralitas agama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

16 

 

 

 

dan paham keagamaan dalam Islam, karena pendidikan toleransi, adalah tindak

lanjut dari tindakan sosial yang dipengaruhi definisi atau pandangan sosialnya.

C. Rumusan Masalah

Bertolak dari latarbelakang, identifikasi dan pembatasan masalah, maka

ditetapkan beberapa masalah pokok penelitian dalam rumusan masalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana pandangan pimpinan dan tenaga pendidik Pondok Pesantren

Tebuireng Jombang dan Nurul Jadid Paiton, terhadap fakta sosial pluralitas

agama dan paham keagamaan dalam Islam ?

2. Bagaimana bentuk tindakan sosial pimpinan dan tenaga pendidik Pondok

Pesantren Tebuireng Jombang dan Nurul Jadid Paiton, terhadap fakta sosial

pluralitas agama dan paham keagamaan dalam Islam ?

3. Bagaimana desain pendidikan toleransi di Pondok Pesantren Tebuireng

Jombang dan Nurul Jadid Paiton ?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian dengan fokus pendidikan toleransi di pesantren ini, bertujuan:

1. Untuk mendeskripsikan cara pandang pimpinan dan tenaga pendidik Pondok

Pesantren Tebuireng Jombang dan Nurul Jadid Paiton dalam memahami fakta

sosial pluralitas agama dan paham keagamaan dalam Islam.

2. Untuk mendeskripsikan bentuk tindakan sosial pimpinan dan tenaga pendidik

Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dan Nurul Jadid Paiton dalam menyikapi

fakta sosial pluralitas agama dan paham keagamaan dalam Islam.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

17 

 

 

 

3. Untuk mendeskripsikan desain pendidikan toleransi di Pondok Pesantren

Tebuireng Jombang dan Nurul Jadid Paiton.

E. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian tentang pendidikan toleransi di pesantren, sebagai

cerminan tindakan sosial pimpinan dan tenaga pendidik pesantren terhadap

pluralitas agama dan paham keagamaan, akan menjadi konstribusi teoritis dalam

pengembangan teori pendidikan multikultural yang secara konsepeional berbasis

pluralisme dan multikulturalisme, dengan mengapresiasi keragaman peserta didik,

melalui penerapan prinsip demokratis, kesetaraan, keadilan, dan menghargai

keragaman (toleransi).22

Disamping itu, hasil penelitian ini diharapkan pula dapat memberikan nilai

guna dalam pengembangan teori pendidikan Islam yang lebih berorientasi pada

makroskopik menuju pada terciptanya pendidikan Islam yang berparadigma

integratif, dengan membangun interkoneksitas antara makroskopik ekstrem (Islam

normativitas) dengan mikroskopik ekstrem (Islam historisitas). Dan secara khusus,

diharapkan dapat memberikan konstirubusi terhadap bangunan teori pendidikan

karakter berbasis pesantren.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini akan menjadi sumbangan berarti :

a. Dalam mengembangkan penyelenggaraan pendidikan Islam yang inklusif dan

berbasis pluralis-multikulturalis. Kegagalan dunia pendidikan dalam melahirkan

insan terdidik berwawasan iklusif-pluralis-multikulturalis, yang cinta damai dan                                                             22 Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural, 103-118

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

18 

 

 

 

mau menerima serta menghargai perbedaan dengan toleransi, salah satu faktornya

adalah titik tekan pendidikan lebih pada proses transfer of knowledge, kurang

menyentuh transformation of values. Bahkan ada kecenderungan pendidikan

hanya dijadikan sebagai alat indoktrinasi berbagai kepentingan, termasuk

indoktrinasi paham keagamaan tertentu, sehingga pendidikan Islam menjadi

pendidikan eksklusif yang dapat berpotensi dalam melahirkan konflik, baik dalam

intern maupun ekstern umat beragama.

b. Dapat menjadi input managemen, bagi pengambil kebijakan di bidang

pendidikan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang inklusif dan

berbasis pluralis-multikulturalis, sehingga pendidikan di Indonesia dapat

diharapkan bisa melahirkan kader pembangunan yang inklusif, pluralis dan

multikulturalis, dapat menjadi problem solver di tengah kehidupan bangsa

Indonesia yang heterogen. Pengalaman pendidikan pesantren dalam menciptakan

budaya damai melalui pengembangan sikap toleransi dan sikap moderat dalam

merespon permasalahan, merupakan asset pendidikan nasional yang sangat

berharga bagi pengembangan budaya damai melalui jalur pendidikan.

c. Menambah khazanah keilmuan dalam bidang pendidikan Islam, yang dapat

dijadikan sebagai bahan pertimbangan atau rujukan bagi peneliti lanjut dalam

bidang atau fokus yang sama.

F. Kerangka Teoritik

Penelitian yang mengambil fokus pendidikan toleransi di Pesantren,

sebagai cerminan respon atau tindakan sosial pendidikan pesantren terhadap

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

19 

 

 

 

pluralitas agama dan paham keagamaan dalam Islam, peneliti menggunakan

kerangka teoritik pilihan rasional Coleman, sebagai pisau analisis.

Teori pilihan rasional (rational choice), merupakan teori yang

memusatkan perhatian pada aktor. Aktor dalam tindakannya, selalu terkait dengan

tujuan yang ingin dicapainya, dan masing-masing aktor memiliki pilihan tindakan

yang berbeda sesuai dengan kapasitasnya, baik dalam mengelola sumber daya

yang telah dimiliki maupun dalam mengakses sumber daya yang lain.23 Kapasitas

sumber daya menjadi salah satu sumber pertimbangan dalam menentukan pilihan

tindakan aktor, keberadaan aktor dengan sumber daya terbatas tidak akan

mengambil resiko melakukan tindakan untuk tujuan yang sangat tinggi. Di

samping faktor sumber daya, faktor lain yang ikut menentukan atas tindakan

individual adalah lembaga sosial.24 Dalam lembaga sosial ada norma yang

mengikat individu dalam melakukan tindakan, sanksi sosial baik yang positif

maupun yang negatif atas tindakan individu dalam lembaga sosial menjadi faktor

dalam mendorong individu untuk melakukan suatu tindakan atau menghindarinya.

Menurut Coleman, sosiologi seharusnya memusatkan perhatian pada

sistem sosial, namun sistem sosial sebagai fenomena makro harus diurai oleh

faktor internalnya sendiri khususnya faktor individual. Ada dua alasan pokok

yang dijadikan landasan Coleman dalam memusatkan perhatian pada fenomena

mikro tindakan individual. Pertama, data dikumpulkan di tingkat individual

kemudian disusun untuk menghasilkan data di tingkat sistem sosial. Kedua,

intervensi individual dilakukan untuk menciptakan perubahan sosial. Teori pilihan

                                                            23 George Ritzer, Douglas J. Goodman, , Modern Sociological Theory, 6th Edition. Alih bahasa, Alimandan, Teori Sosiologi Modern, Edisi ke 6, (Jakarta : Kencana, 2010), 357 24 Ibid, 358

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

20 

 

 

 

rasional Coleman, dikembangkan dari gagasan dasar bahwa tindakan

perseorangan mengarah pada satu tujuan dan tujuan tersebut sekaligus tindakan

untuk mencapai tujuan ditentukan oleh nilai atau pilihan (preferensi).25

Interaksi antara aktor dengan sumber daya, Coleman menjelaskan bahwa

basis minimal untuk sistem tindakan sosial, adalah dua orang aktor yang masing-

masing mengendalikan sumber dayanya yang menarik perhatian pihak lain,

sehingga keduanya terlibat dalam tindakan yang saling membutuhkan. Sebagai

aktor yang memiliki tujuan, masing-masing berusaha memaksimalkan pencapaian

kepentingannya dengan saling bergantung atau sistemik dalam tindakan

bersama.26

Ada tiga fenomena makro yang menarik dari diagnosa Coleman melalui

teori pilihan rasional yang dikembangkannya. Pertama, Perilaku kolektif.

Coleman memberikan perhatian terhadap perilaku kolektif yang cirinya sering

tidak stabil dan kacau. Menurutnya, yang menyebabkan perpindahan dari aktor

rasional ke berfungsinya sistem perilaku kolektif yang liar dan bergolak, adalah

pemindahan sederhana pengendalian atas tindakan seorang aktor ke aktor lain

yang dilakukan secara sepihak, bukan sebagai bagian dari pertukaran. Pemindahan

secara sepihak tersebut, disebabkan adanya upaya memaksimalkan

kepentingannya sendiri dengan mengabaikan kepentingan individu yang lain.27

Kedua, Norma. Coleman memberikan perhatian terhadap norma sebagai

fenomena makro yang muncul dan dipertahankan dalam sekelompok aktor

                                                            25 James. S. Coleman, James. Foundation of Social Theory, (Cambridge : Biknap Press of Harvard University Press, 1990) , 13 26 Ibid, 29. 27 Ibid, 198.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

21 

 

 

 

rasional. Menurutnya, norma diprakarsai dan dipertahankan oleh beberapa orang

yang melihat keuntungan yang dihasilkan dari pengamalan terhadap norma dan

kerugian yang bersumber dari pelanggaran norma. Norma muncul dari tindakan

aktor yang melepaskan sebagian hak untuk mengendalikan tindakan diri sendiri

dan menerima sebagian hak-hak untuk mengendalikan tindakan orang lain. Ia juga

melihat bahwa internalisasi norma memapankan sistem sanksi internal, dimana

aktor memberikan sanksi terhadap dirinya sendiri bila ia melanggar norma.

Seorang aktor atau sekumpulan aktor dalam sistem sosial, berupaya keras

untuk mengendalikan aktor lain dengan mengingatkan pada norma yang

diinternalisasikan ke dalam diri mereka sendiri. Melalui internalisasi norma maka

aktor dapat melakukan pengendalian diri.28

Berpijak pada teori pilihan rasional, Coleman melihat norma dari sudut

tiga unsur utama, yaitu dari mikro ke makro, tindakan bertujuan di tingkat mikro,

dan dari makro ke mikro. Norma merupakan fenomena tingkat makro, yang ada

karena tindakan bertujuan di tingkat mikro, dan begitu norma muncul melalui

sanksi norma dapat mempengaruhi tindakan individu.29

Ketiga, Aktor korporat. Bagi Coleman perubahan sosial terpenting adalah

munculnya aktor korporat sebagai pelengkap aktor pribadi natural. Aktor korporat

seperti halnya aktor individual memiliki ruang pengendalian terhadap sumber

daya dan peristiwa, kepentingan terhadap sumber daya dan peristiwa, dan

                                                            28 Ibid, 292-294.. 29 George Ritzer- Douglas J. Goodman, Modern Sociological Theory, 397

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

22 

 

 

 

mempunyai kemampuan mengambil tindakan untuk mencapai kepentingan

mereka melalui pengendalian tersebut.30

Aktor korporat dan aktor individual masing-masing memiliki tujuan, dan

keduanya dapat mengendalikan sumber daya untuk mencapai tujuannya. Dalam

sistem sosial sering terjadi konflik kepentingan antara aktor individual dengan

kepentingan korporasi, apabila aktor individual bergerak pada basis tujuan

individu masing-masing pada ruang yang tak terkendali oleh aktor kolektif, maka

situasi tersebut dapat menjadi sumber pemberontakan terhadap otoritas korporat.

Kehidupan sosial yang damai akan terwujud, ketika aktor individual tidak

bertindak menurut kepentingan pribadi melainkan bertindak menurut kepentingan

kolektivitas.31 Dalam sistem kehidupan sosial, Coleman membedakan antara

struktur primordial berdasarkan kekerabatan seperti pertetanggaan dan kelompok

keagamaan, dengan struktur yang berdasarkan tujuan seperti organisasi ekonomi

dan pemerintahan. Coleman melihat adanya kemajuan dalam kebebasan aktivitas

yang pernah terikat bersama dalam keluarga, sehingga struktur primordial dapat

terlepas, karena fungsinya banyak diambil alih oleh sederetan aktor korporat yang

bertindak dengan berbasis tujuan kolektif.32

Menurut Friedman dan Hechter, ada dua landasan yang menjadi dasar teori

pilihan rasioanal. Pertama, proses atau kumpulan mekanisme yang

menggabungkan tindakan aktor individual yang terpisah untuk menghasilkan

                                                            30 Ibid, 542. 31 Ibid, 398 32 Ibid, 398-399

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

23 

 

 

 

akibat sosial. Kedua, sikap positif – memandang penting – terhadap informasi

dalam menetukan pilihan rasional.33

G. Penelitian Terdahulu

Penelitian pengembangan nilai toleransi dalam pendidikan pesantren

belum banyak ditemukan, hanya ada beberapa penelitian yang terkait dengan tema

Pluralisme, Toleransi dan Pesantren, antara lain :

1. Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta pada tahun 2002 dengan tema “Islam dan Good

Governance”. Hasil survei menunjukkan bahwa 67% menyatakan kebencian dan

karenanya tidak bersedia hidup berdampingan dengan kelompok sosial-politik dan

keagamaan lain. Dalam konteks politik, masyarakat Indonesia yang membolehkan

orang kristen menjadi Presiden hanya 22%, kemudian dalam konteks kegiatan

keagamaan ada 31% yang memperbolehkan orang Kristen melakukan kebaktian

di daerah sekitar tempat tinggal responden, dan terhadap pembangunan greja

terdapat 40% responden yang bersikap toleran. Sedang dalam dunia pendidikan,

ada 42% yang setuju jika orang kristen menjadi guru di sekolah umum.34

2. Penelitian LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) pada tahun 2006 di

tiga daerah (Bogor, Surakarta dan Cianjur) dengan tema “Budaya Kewargaan

Komunitas Islam di Daerah Rawan Konflik”. Dalam survei tersebut ditemukan

hasil bahwa sebagian kalangan Muslim Indonesia masih memiliki persoalan

dalam konsolidasi demokrasi. Kesediaan Muslim Indonesia untuk hidup sejajar

dengan pemeluk agama lain masih rendah, misalnya dalam praktik memberi

                                                            33 Ibid, 358 34 Saeful Mujani, “Islam dan Good Government”, (“Survie”--,PPIM IAIN Syarif Hidayatullah, Iakarta, 2002)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

24 

 

 

 

ucapan selamat kepada pemeluk agama lain yang sedang merayakan hari besar

keagamaannya, hanya 15,6% yang mendukung. Responden yang membolehkan

ucapan salam (Assalamu’alaikum) kepada nonmuslim hanya 8%. Untuk prakik

silaturrahim dengan nonmuslim di hari besar keagamaan mereka yang menyetujui

38,9%, sedang praktik silaturrahim dengan nonmuslim di luar hari besar

keagamaan mereka mencapai 59,9%. Terhadap gagasan sebaiknya umat Islam

hanya berteman dekat dengan orang yang sama-sama memeluk agam Islam saja,

memperoleh dukungan 40,4%.35

3. Penelitian Abdullah Aly dalam penyusunan disertasi pada UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta yang berjudul Pendidikan Multikultural di Pesantren (Telaah

Kurikulum Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam Surakarta). Hasil

penelitian tersebut telah dipublikasikan dalam bentuk buku dengan judul yang

sama. Dari hasil kajian Abdullah Aly, yang dilakukan dengan teknik pengamatan

(Participant observation), wawancara mendalam (in-dept interview) dan

dokumentasi di Pondok Pesantren Modern Islam (PPMI) Assalam Surakarta,

berhasil diungungkap bahwa pendidikan multikultural di PPMI Assalam sudah

tercermin dalam perencanaan kurikulum, implementasi, dan evaluasi dengan

menggunakan model Kurikulum Berbasis Kompetensi. Hal ini terlihat,

Perencanaan kurikulum di PPMI Assalam melibatkan partisipasi dari berbagai

sumber daya manusia antara lain unsur yayasan, Kyai, kepala sekolah, komite

sekolah, pengguna lulusan, sampai pada para guru secara demokratis, adil dan

terbuka. Implementasi kurikulum di PPMI Assalam mengharuskan setiap materi

                                                            35 Muhammad Hisyam Ed. “Budaya Kewargaan Komunitas Islam di Daerah Rawan Konflik”, (“Survie”-- LIPI, Jakarta, 2006)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

25 

 

 

 

ajar untuk memuat nilai-nilai multikultural, seperti: nilai keragaman, perdamaian,

demokrasi, keadilan. Dengan memahami nilai-nilai tersebut, setiap peserta didik

mampu memahami keberadaan orang lain yang berbeda etnik, budaya, bahasa,

warna kulit, yang akan dipakai juga untuk memahami orang lain beda kelompok

maupun beda agama.36

4. Penelitian Tim Peneliti Dosen IAI Nurul Jadid Paiton pada tahun 2009 dengan

tema “Pendidikan Multikultural (Melacak Akar Pendidikan Multikultural di

Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo)”. Dari penelitian tersebut

ditemukan akar pendidikan multikultural di Pesantren Nurul Jadid, antara lain

dapat dilihat dari Visi Pesantren yaitu Terbentuknya manusia beriman, bertaqwa,

berakhlaq al Karimah, berilmu, berwawasan luas, berpandangan kedepan, cakap,

terampil, mandiri, kreatif, memiliki etos kerja, toleran, bertanggung jawab

kemasyarakatan serta berguna bagi agama, bangsa dan negara. Dapat dilihat pula

dari pembinaan santri yang terarah pada pencapaian Panca Kesadaran Santri yang

terdiri dari Kesadaran beragama, Kesadaran berilmu, Kesadaran Bermasyarakat,

Kesadaran Berbangsa dan Bernegara, dan Kesadaran Berorganisasi. Pondok

Pesantren Nurul Jadid dalam sikap inklusifitasnya ditunjukkan tidak hanya dalam

mengakomodir keberagaman ilmu pengetahuan yang diajarkan, melainkan juga

inklusif dalam menerima kehadiran Guru dan Peserta didik dari luar Islam,

sehingga terciptalah pembiasaan hidup dalam pluralitas agama dalam bingkai

toleransi.37

                                                            36 Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural... 37 Tim Peneliti Dosen,”Pendidikan Multikultural (Melacak Akar Pendidikan Multikultural di Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo”, (“Penelitian Kolektif” -- IAINJ, Probolinggo, 2009)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

26 

 

 

 

5. Penelitian Umi Sumbulah dalam penyusunan disertasinya pada Pascasarjana

IAIN Sunan Ampel Surabaya dengan judul “Islam Radikal dan Pluralisme

Agama; Studi Konstruksi Sosial Aktifis Hizbu al Tahrir (HTI) dan Majelis

Mujahidin (MM) di Malang tentang Agama Kristen dan Yahudi”. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa konstruksi sosial para aktifis HTI dan MM dikalasifikasi

dalam dua katagori, yaitu: teologis dan politis. Secara teologis, Kristen dan

Yahudi di konstruksi sebagai dua agama yang berupaya menghancurkan Islam.

Penolakan aktifis HTI dan MM terhadap gagasan pluralisme agama didasarkan

pada klaim monopoli kebenaran Islam. Bagi kedua aktifis tersebut, kelompok

Islam Liberal yang mengusung gagasan pluralisme agama di Indonesia,

dikonstruksi sebagai kelompok yang pemikirannya menyimpang dari ketentuan

agama. Kemudian secara politis, Kristen dan Yahudi di konstruksi sebagai

kelompok yang berupaya menghancurkan akidah Islam antara lain melalui

penyebaran gagasan pluralisme agama di seluruh dunia.38

6. Penelitian M. Zainuddin dalam penyusunan disertasi pada Pascasarjana IAIN

Sunan Ampel Surabaya, dengan judul “Relasi Islam–Kristen; Kosntruksi Sosial

Elit agama tentang Pluralisme dan Dialog Antar Umat Beragama di Malang”.

Hasil penelitian M Zainuddin menyatakan bahwa, bagi kelompok elit Islam

fundamentalis, pluralisme agama dikonstruksi dalam wajah deontic-diachronicl

non-reduksionis, sedang kelompok elit moderat Islam mengkonstruksi pluralisme

agama dalam wajah normatif (normative-religious pluralism). Disamping atas

pluralisme, dalam penelitian M. Zainuddin juga diungkapkan bahwa, sikap

                                                            38 Umi Sumbulah, “Islam Radikal dan Pluralisme Agama; Studi Konstruksi Sosial Aktifis Hizbu al Tahrir (HTI) dan Majelis Mujahidin (MM) di Malang tentang Agama Kristen dan Yahudi”, (“Disertasi”--PPS IAIN Sunan Ampel, Suarabaya, 2007)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

27 

 

 

 

keberagamaan kelompok Islam Fundamentalis bercorak eksklusif Islam sentris,

dan sikap keberagamaan elit Islam Moderat terbagi dalam dua corak, yaitu:

inklusif-Islam sentris dan inklusif-teosentris. Kemudian, dalam kelompok elit

agama moderat di kalangan umat Kristen sikap keberagamaan mereka bercorak

plural. Dalam hal relasi agama, bagi elit Islam Fundamentalis pola relasinya

bercorak ko-eksistensi, sedang bagi elit agama moderat baik di kalangan Islam

maupun Kristen bercorak pro-eksistensi. Orientasi dialog antar umat beragama

yang dibangun oleh elit agama di Malang baik elit Islam maupun Kristen, pada

umumnya berorientasi kemasyarakatan (dialog in Community atau dialog of life),

kecuali di kalangan elit Islam Fundamentalis yang dialog antar umat beragama

diorientasikan pada teologis-islamisasi.

7. Penelitian M Lutfi Mustofa dalam penyusunan disertasinya di Pascasarjana

IAIN Sunan Ampel Surabaya, dengan judul “Etika Pluralisme dalam Nahdlatul

Ulama: Gagasan dan Praktek Pluralisme Keagamaan warga Nahdliyin di Jawa

Timur”. Penelitian ini memaparkan suatu temuan, bahwa sebagian besar terdapat

kontestasi dalam etika pluralisme keagamaan NU Jawa Timur yang berpotensi

mendukung terhadap usaha penegakan pluralisme keagamaan, maupun sebailknya

dapat mengancam terhadap masa depan pluralisme itu sendiri. Secara partikular,

terdapat gambaran yang bersifat heteroglossia dalam gagasan dan praktik

pluralisme keagamaan. Pertama, NU telah melakukan proses konstruksi gagasan

dan praktek pluralisme keagamaan dalam konteks sejarah dan sosialnya yang

panjang, melalui proses dialektika teologis, ideologis, dan sosio-kultural. Bagi

NU, konsepsi pluralisme keagamaan tidak hanya memiliki akar teologis dan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

28 

 

 

 

ideologis yang diadaptasi dari paham Ahl al-Sunnah wa al Jama’ah, tapi juga pada

fase berikutnya memiliki kaitan erat dengan perkembangan wacana dan gerakan

politik civil society. Ketertlibatan NU dalam mempromosikan dan memelihara

niali-nilai pluralisme keagamaan di Jawa Timur menampakkan gambaran yang

beraneka ragam, mulai dari yang bersifat responsif, kontra produktif, dan pada

elemen terbesarnya bersikap diam (silent majority). Kemudian dampak pskososial

yang timbul dari adanya disparitas etika pluralisme keagamaan dalam NU Jawa

Timur tersebut, sekurang-kurangnya telah memperlihatkan semakin menguatnya

kontestasi antara kelompok konservatif dan progresif dan pada level masyarakat

pro-kontra tersebut telah menimbulkan keprihatinan pada kelompok-kelompok

minoritas dan marjinal akan ancaman melemahnya kekuatan civil society yang

sejak lama telah membangun komitmen demokrasi dan kepedulian NU dalam

melindungi kaum marjinal.39

8. Penelitian Disertasi Ali Maschan Moesa yang berjudul Nasionalisme Kyai:

Konstruksi Sosial Berbasis Agama, dan telah dipublikasikan dalam bentuk buku.

Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa para Kyai, yang merupakan produk

pendidikan pesantren dan selanjutnya banyak berperan sebagai pengelola atau

pengasuh pesantren, sangat memahami pentingnya nasionalisme. Dalam kajian

ini ditemukan, bahwa agama (Islam) yang dipegang erat oleh para Kyai, yang

sering dianggap bertentangan dengan nasionalisme dan bahkan ia sering dianggap

sebagai faktor pengrusak keutuhan sebuah bangsa, justru sebaliknya bisa menjadi

faktor perekat bangsa dan sekaligus dapat menjadi dasar ikatan solidaritas yang

                                                            39 M. Lutfi Mustofa, “Etika Pluralisme dalam Nahdlatul Ulama : Gagasan dan Praktek Pluralisme Keagamaan warga Nahdliyin di Jawa Timur”, (“Disertasi”-- PPS IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2007)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

29 

 

 

 

kuat. Misalnya, pandangan para Kyai tentang nasionalisme yang bercorak

moderat memiliki ciri-ciri pokok sebagai berikut: 1) pemahaman keagamaan

mereka bercorak substantif dan kontekstual; 2) berpendapat bahwa ajaran Islam

bercorak universal, namun juga merespon kearifan lokal; 3) hubungan antara

agama dan negara bersifat simbiotik sebab negara-bangsa terbentuk atas dasar

pluralitas, kesederajatan, dan keadilan.40

9. Penelitian Mujamil Qomar dengan judul NU Liberal: Dari Tradisionalisme

Ahlussunnah ke Universalisme Islam. Walaupun kajian disertasi yang telah

dipublikasikan dalam bentuk buku ini fokusnya adalah NU, akan tetapi pada

dasarnya sulit untuk memisahkan antara NU dan pesantren. Dari hasil penelitian

ini ditunjukkan bahwa NU yang didirikan oleh para ulama pesantren berlatar

belakang salaf, tidak selamanya statis. Sikap Tradisional yang sering dilekatkan

dengan NU tidak berarti bahwa, NU kolot, anti pada orang luar dan tidak mampu

menghadapi perkembangan zaman. Dari hasil penelitian Mujamil Qomar,

dipaparkan bahwa sejak tahun 1980-an dapat disaksikan, di balik aktivitas-

aktivitas NU yang tradisional, ternyata NU juga melakukan tajdid (pembaruan),

baik dalam hal sikap, perilaku, maupun pemikirannya. Penelitian ini juga

menunjukkan, bahwa beberapa perilaku sosial dan pemikiran atau gagasan

beberapa tokoh NU yang semuanya adalah produk pesantren salaf pada

khususnya, sarat dengan pandangan yang mengandung nilai-nilai multikultural.

Mereka adalah Achmad Siddiq, Abdurrahman Wahid, Ali Yafie, Said Agiel

Siradj, Masdar Farid Mas‟udi, Sjechu Hadi Permono, Muhammad Tholchah

                                                            40 Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kyai Konstruksi Sosia lBerbasis Agama, (Yogyakarta : LkiS-IAIN Supel Surabaya, 2007).

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

30 

 

 

 

Hasan, Abdul Muchith Muzadi dan Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh. Tipologi

pemikiran para cendikiawan tersebut adalah antisipatif, eklektik, divergen,

intregralistik, dan responsif.41

10. Penelitian disertasi Shonhadji Sholeh yang telah dipublikasikan berupa buku

dengan judul Arus Baru NU: Perubahan Pemikiran Kaum Muda dari

Tradisionalisme ke Pos-Tradisionalisme. Hasil penelitian ini menunjukkan,

bahwa telah muncul sebuah gerakan pembaruan yang dilakukan anak-anak muda

NU, yang kemudian disebut kaum Nahdiyin Baru. Mereka melakukan pembaruan

wacana tentang isu keagamaan, kemasyarakatan, kebangsaan, dan global. Hal ini

menunjukkan bahwa generasi baru Nahdiyin adalah generasi yang rasional, tidak

konservatif, terbuka bagi pembaruan dan perubahan, dan mereka juga

mengadopsi pemikiran multikultural. Perlu diperhatikan, bahwa anak-anak muda

NU adalah generasi pesantren yang juga berlatar belakang salaf. Kelebihan

mereka adalah menguasai khazanah klasik, dengan ciri penguasaan kitab kuning

sebagai literatur pesantren dan juga kemampuan membaca pemikiran modern

yang dibarengi dengan aksi kajian-kajian ilmiah, penelitian, seminar, dan aksi

sosial. 42

11. Penelitian Miftahuddin, dengan judul “Dinamika Pesantren Salaf, Studi Kasus

Pondok Pesantren Wahid Hasyim Depok Sleman“, dilaksanakan pada tahun 2007.

Hasil penelitian yang dilakukan di Pondok Pesantren Wahid Hasyim Depok

Sleman ini dapat dikemukakan, bahwa dalam dinamika pesantren, dengan

                                                            41 Mujamil Qomar, NU Liberal Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam, (Bandung : Mizan, 2002) 42 Shonhaji Sholeh, Arus Baru NU Perubahan Pemikiran Kaum Muda dari Tradisionalisme ke pos-Tradisionalisme, (Surabaya : JP BOOKS, 2004)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

31 

 

 

 

berbagai faktor yang mempengaruhinya, pesantren yang masih mempertahankan

bentuk ke-salaf-an ternyata mampu mengembangkan transformasi metodologi.

Ciri penguatan metodologi, misalnya: pembelajaran yang berkembang bukan

bersifat qauli (tekstual) lagi, akan tetapi mengarah dengan apa yang disebut

pemikiran manhaji. Hal ini tampak pada pemberlakuan kurikulum yang berbasis

metodologis, yang diwujudkan dalam pemberian dan pengayaan materi, dan salah

satunya adalah materi ushul fiqh. Adapun ciri utama berpikir manhaji, misalnya

dalam menyimpulkan hukum, selalu mengupayakan interpretasi ulang dalam

mengkaji teks-teks fiqih untuk mencari konteksnya yang baru. Demikian pula,

dalam bermazhab, tidak mengambil hasil produk hukum secara utuh dari suatu

madzhab, akan tetapi mengambil seperti apa metode yang digunakan oleh mazhab

tersebut ketika melakukan proses penentuan atau penyimpulan hukum. 43

12. Penelitian Marzuki dkk, dengan judul “Tipologi Perubahan dan Model

Pendidikan Pesantren Salaf”. Dari penelitian yang mengambil lokasi di Pondok

Pesantrem Al Qodir Tanjung Wukirsari Cangkringan Sleman, Dar al Tauhid

Cirebon, Raudlatut Tholibin Rembang dan Pondok Pesantren Tebuireng Jombang,

ditemukan hasil antara lain bahwa Islam yang dibawa dan diterjemahkan kalangan

pesantren Salaf adalah Islam yang ramah, tidak kaku, moderat, mampu

memahami perbedaan sebagai rahmat, dan sarat nilai-nilai multikultural. Ide dan

wawasan Kyai mengenai Islam yang inklusif, moderat, toleran, dan harmoni

membawa pesantren dan para santrinya memperoleh Islam yang ramah dan

                                                            43 Mifathuddin, “Dinamika Pesantren Salaf, Studi Kasus Pondok Pesantren Wahid Hasyim Depok Sleman”, (“Laporan Penelitian”,--UNY, Yogyakarta, 2007)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

32 

 

 

 

rahmatan lil ‘alamin, bukan Islam yang radikal dan kaku terhadap penganut

agama lain dan juga terhadap budaya yang berkembang di sekitar Pesantren.44

Berdasar telaah terhadap hasil penelitian terdahulu, penelitian ini memiliki

beberpa persamaan dan perbedaan sebagai berikut :

1. Dalam hal objek penelitian, ada kesamaan dalam menetapkan toleransi sebagai

fokus masalah. Akan tetapi dalam penelitian terdahulu hanya terbatas pada studi

sikap toleransi antar umat beragama. Sedang dalam penelitian ini, pengembangan

nilai toleransi tidak hanya diakitkan dengan kehidupan pluralitas agama,

melainkan dikaitkan pula dengan intern umat beragama Islam yang diwarnai

pluralitas paham keagmaan.

2. Pada penelitian ini yang membedakan dengan penelitian terdahulu, tidak hanya

menggali sikap toleransi antar umat beragama, tetapi juga mengaaitkan

pengembangan nilai toleransi sebagai tindakan sosial terhadap pluralitas agama

dan paham keagamaan dalam Islam, dengan pandangan atau definisi sosial subjek

penelitian terhadap fakta sosial pluralitas agama dan paham keagamaan dalam

Islam.

3. Dalam hal subjek penelitian, ada beberapa penelitian terdahulu yang

menetapkan Kyai dan Ustad sebagai subjek penelitian seperti juga dalam

penelitian ini, namun konteksnya lebih pada sikap nasionalisme dan inklusifitas

kyai dalam menyikapi perubahan sosial. Sedang dalam penelitian ini, akan

mendalami pandangan kyai dan tenaga pendidik di pesantren terhadap pluralitas

                                                            44 Marzuki Dkk, “Tipologi Perubahan dan Model Pendidikan Multikultural Pesantren Salaf”, (“Laporan Penelitian Strategi Nasional Tahun Anggaran 2010”, UNY, Yogyakarta, 2010)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

33 

 

 

 

agama dan paham keagamaan yang dikaitkan dengan tindakan sosial dalam

menyikapi fakta pluralitas tersebut dalam desain pendidikan pesantrennya.

4. Penelitian yang hampir sama adalah penelitian tentang pendidikan

multikultural di beberapa Pesantren. Namun para peneliti terdahulu lebih

menekankan pada format kurikulum pesantren dalam telaah konsep pendidikan

multikultural, sementara penelitian ini lebih ditekankan pada pendidikan toleransi

yang menjadi bagian dari inti pendidikan multikultural.

Dengan demikian, penelitian ini benar-benar memiliki nilai aktualita yang

diharapkan mampu menjawab problematika akademik dalam pendidikan Islam,

antara inklusifitas dan eksklusifitas pendidikan Islam dalam menyikapi pluralitas

agama dan paham keagamaan.

H. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini, dilakukan dengan jenis penelitian kualitatif,45 sehingga data-

datanya tidak berupa angka-angka yang dikelola dengan menggunakan statistik

untuk menguji hipotesa, melainkan berupa narasi deskriptif yang dianalisa non-

statistik dengan menggunakan logika induktif. Sedang pendekatan yang

digunakan adalah fenomenologi.46 Dengan demikian, dalam penelitian ini tidak

saja menggali data-data objektif dari subjek penelitian, melainkan digali pula

                                                            45 Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang memandang subjek penelitian secara holistik dengan menetapkan peneliti sebagai instrumen, dan melakukan analisa data secara induktif. Lihat : Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2012), 4-11. 46 Pendekatan Fenomenologi adalah pendekatan dalam penelitian yang menitikberatkan pada pengalaman-pengalaman subjektif manusia atau aspek subjektif dari prilaku manusia pada fenomena tertentu. . Dalam pandangan fenomenologis, peneliti berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi-situasi tertentu. Lihat : John W Creswell, Reseach Design, Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches, Third Edition, (California : Sage, tt), 13

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

34 

 

 

 

pengalaman subjektif dari fenomena relasi subjek penelitian dalam pluralitas

agama da paham keagamaan.

2. Kehadiran Peneliti

Peneliti sebagai instrumen dalam penelitian kualitatif, hadir di lokasi

penelitian sebagai observer partisipan. Namun tingkat partisipasi pada masing-

masing lokasi penelitian berbeda. Kehadiran peneliti di Pondok Pesantren Nurul

Jadid Paiton Probolinggo, dilakukan dengan tingkat partisipasi moderat (moderate

participation), karena posisi peneliti pada lokasi penelitian tersebut, adalah

insiders yang turut serta dalam pengembangan pendidikan pesantren. Namun

demikian, dengan meminjam istilah Kim Knott dalam pengelompokan peneliti

keagamaan (studi Islam) perspektif insider-outsider, peneliti sebagai insiders akan

hadir sebagai Participant as Observer47.

Dalam posisinya sebagai Participant as Observer, peneliti akan bertindak

lebih kritis dibanding dengan peneliti yang memposisikan sebagai Complete

                                                            47 Kim Knott dalam kajiannnya terhadap kelompok keagamaan dalam perspektif insider outsider dan participant observer, mempetakan posisi insider dan outsider kedalam empat katagori baik dalam peranannya sebagi participant maupun sebagai observer; yaitu : Complete Participant, Participant as Observer (insider), Complete Observer, Observer as Participant (outsider). Yang dikatagorikan Complete Participant adalah para peneliti keagamaan dari lingkungan agama itu sendiri yang dalam penelitiannya mengabaikan objektifitas dan menghindari sikap dan tindakan kritis terhadap fenomena yang dilihatnya. Sedangkan Participant as Observer adalah peneliti fenomena keagamaan dari lingkungan agama itu sendiri, akan tetapi memposisikan sebagai peneliti yang kritis terhadap fenomena yang dilihatnya, melihat fenomena keagamaan secara objektif. Pada sisi outsider, Kim Knott mendiskripsikan Complete Observer sebagai peneliti fenomena keagamaan dari kalangan luar agama yang diteliti, dalam posisinya sebagai outsider yang mengambil peran complete observer, mereka menjauhkan diri dari berbagai keikutsertaan. Ilmuan yang dikatagorikan dalam kelompok ini, mereka yang melakukan kajian agama dengan menggunakan metode ilmiah dengan teknik pengumpulan data quisenere dan interview, seperti para peneliti dalam bidang sosiologi agama, psikologi agama, dan sejarah agama. Sedang Observer as Participant adalah peneliti fenomena keagamaan dari kalangan luar agama yang diteliti, akan tetapi dalam pelaksanaan penelitian sebagai peneliti melebur dalam pengalaman keagamaan subjek studinya. Dalam konteks inilah peneliti diuji konsistensinya dalam menerapkan pendekatan fenomenologi khususnya dalam penggunaan strategi metode agnotisisme. Lihat Kim Knott, Insider/outsider perspectives, dalam John R Hinnells (Ed) The Routledge Companion of The studi of releigion, (London and New York : Routledge Taylor & Farancis Group, 2005).246-247.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

35 

 

 

 

Participan, sehingga terjadi pergerakan dari ranah emik yang didasarkan konsep

pengalaman dekat, menuju ranah etik yang bersumber dari pengalaman jauh.

Interkoneksitas emik dan etik akan mendekatkan pada objektifitas dan netralitas

peneliti, serta dapat mengarahkan pada upaya mutual konsultatif dalam

membuktikan kebenaran generalisasi pengetahuan sebagai insiders dengan

fenomena sebagai subjek penelitian.

Sementara pada lokasi penelitian yang lain (PP. Tebuireng Jombang),

peneliti akan hadir sebagai observer partisipan dengan tingkat partisipasi pasif

(passive participation). Hal ini, karena penggalian data penelitian akan lebih

difokuskan pada wawancara mendalam dengan informan penelitian.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilakukan di dua Pondok Pesantren di Jawa Timur; yaitu :

1) Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, 2) Pondok Pesantren Nurul Jadid

Paiton. Penetapan dua Pondok Pesantren tersebut atas pertimbangan kebutuhan

data penelitian (Purporsive). Salah satu dasar pertimbangan dalam penetapan

lokasi tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pondok Pesantren Tebuireng Jombang

Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, tidak dapat dipisahkan dengan

tokoh pluralis Indonesia yaitu KH Abdurrahman Wahid, cucu dari pendiri Pondok

Pesantren Tebuireng KH. Hasyim Asy’ari. Pondok Pesantren yang saat ini diasuh

oleh KH, Shalahuddin Wahid, menegaskan bahwa ada lima nilai dasar yang

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

36 

 

 

 

dianut Pesantren Tebuireng, yaitu: ikhlas, jujur, bertanggung jawab, kerja keras,

dan toleransi.48

b. Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo

Dalam rumusan visi Pondok Pesantren Nurul Jadid ditegaskan, bahwa

terbentuknya manusia yang toleran menjadi bagian dari visinya. Di samping itu

Pondok Pesantren Nurul Jadid menetapkan Trilogi dan Panca Kesadaran Santri

yang mengarah pada terbentuknya jiwa santri yang inklusif dan toleran.49

4. Data dan Sumber Data

Sesuai dengan fokus dan rumusan masalah dalam penelitian ini, maka

data-data yang akan dikumpulkan meliputi :

a. Pandangan Pimpinan dan Tenaga Pendidik Pesantren terhadap pluralitas agama

dan paham keagamaan dalam Islam.

b. Bentuk tindakan sosial pimpinan dan tenaga pendidik pesantren terhadap

pluralitas agama dan paham keagamaan dalam Islam.

c. Desain pendidikan pesantren dalam mengembangkan nilai toleransi.

Data-data tersebut merupakan data primer dan tentatif yang dapat

berkembang sesuai dengan dinamika penelitian di lapangan. Sedang data

sekundernya adalah situasi dan kondisi Pesantren sebagai seting alamiah

                                                            48 Website Pesantren Tebuireng Media Transformasi Pesantren, di upload tanggal 26 Juni 2013, didownload 17 Juli 2013 49 Visi Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo adalah terbentuknya manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlaq al karimag, berilmu, berwawasan luas, berpandangan kedepan, cakap, terampil, mandiri, kreatif, memiliki etos kerja, toleransi, bertanggungjawab kemasyarakatan, serta berguna bagi agama, bangsa dan negara. Trilogi Santri : 1) Berkomitmen pada kewajiban Fardlu ‘ain, 2) Berkomitmen dalam meninggalkan dosa-dosa besar, dan 3) Berakhlaq mulya pada Allah dan Makhluq-Nya. Panca Kesadaran Santri : 1) Kesadaran Beragama, 2) Kesadaran Berilmu, 3) Kesadaran Bermasyarakat, 4) Kesadaran Berbangsa dan Bernegara, 5) Kesadaran Berorganisasi. (lihat Panduan Wali Santri Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

37 

 

 

 

penelitian. Data-data primer digali secara mendalam dari sumber data primer yang

terdiri dari para Pimpinan dan Tenaga Pendidik Pesantren dengan jumlah

informan sesuai dengan kebutuhan data penelitian. Sedang data sekunder digali

dari pengamatan langsung selama penelitian.

5. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data, diawali dengan identifikasi informan yang dipandang

dapat memenuhi kebutuhan data penelitian. Kemudian dilakukan penggalian dan

penelusuran data melalui wawancara mendalam dan pengamatan. Selama proses

pengumupulan data, informan terus ditambah sampai kebutuhan data dianggap

cukup.

6. Prosedur Analisa Data

Analisa data, menggunakan prosedur analisa model Miles & Huberman,

yaitu menggunakan analisis interaktif. Data yang diperoleh dari lapangan

direduksi sehingga menemukan tema-tema pokok yang relevan dengan

penelitian, kemudian disajikan dalam bentuk narasi sesuai dengan kategorisasi

data yang selaras dengan permasalahan penelitian. Reduksi data dan penyajian

data adalah dua komponen analisis yang dilakukan secara bersama-sama pada

saat pengumpulan data. Setelah reduksi data telah dibuat display data, maka

langkah berikutnya penarikan kesimpulan atau verifikasi data yang mampu

menjawab permasalahan penelitian.50 Berikut ini bagan komponen analisa data

model interaktif :

                                                            50 Matthe B. Miles, A. Michael Huberman,Qualitative Data Analysis, Tjetjep Rohendi Rohidi (Penerjemah) Analisa Data Kualitatif, Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru, (Jakarta : UI. P ress, 1992), 16-20.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

38 

 

 

 

Komponen-komponen Analisa Data : Model Interaktif

7. Pengecekan Keabsahan Data

Pengecekan keabsahan data, ditentukan melalui empat kreteria yaitu :

(credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability), dan

kepastian (confirmability).

a. Credibility (derajat keterpercayaan)

Pengecekan derajat keterpercayaan (credibility) data, peneliti menggunakan

teknik Triangulasi,51 dengan melakukan pembandingan dan pengecekan derajat

keterpercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui wawancara dengan

data yang diperoleh dari hasil pengamatan atau data dokumenter.

b. Transferability (derajat keteralihan)

Pengecekan derajat keteralihan, peneliti menggunakan teknik uraian rinci

(thick description)52. Data diuraikan sesuai dengan konteksnya, sehingga dapat

dipahami makna yang terkandung dalam data.

                                                            51 Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain, bisa berupa sumber lain, metode lain, penyidik lain dan atau teori lain. (lihat Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, 230) 52 Teknik ini menuntut peneliti untuk melaporkan hasil penelitian dengan uraian yang seteliti dan secermat mungkin yang menggambarkan konteks tempat penelitian diselenggarakan. Ibid, 337-338.

REDUKSI DATA

PENGUMPULAN 

DATA  

DISPLAY DATA

PENARIAKAN 

KESIMPULAN 

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

39 

 

 

 

c. Dependability (derajat kebergantungan)

Pengecekan derajat kebergantungan (dependability), digunakan teknik

penelusuran audit, dimana promotor bertindak sebagai auditor dan peneliti

sebagai auditi, melakukan pemeriksaan terhadap seluruh proses penelitian dan

data temuan penelitian, kemudian dilakukan kesepakatan antara auditor dengan

auditi terhadap langkah penelitian berikutnya.

d. Confirmability (

Dalam pengecekan derajat kepastian (confirmability), digunakan teknik

penelusuran audit kepastian. Dalam hal ini audit akan difokuskan pada

keputusan auditi (peneliti) dalam penelusuran data dan penggunaan

metodologinya.

I. Sistematika Pembahasan

Hasil penelitian didiskripsikan dalam lima bab pembahasan yang saling

terkait :

Bab pertama, Pendahuluan. Pada bab ini berisi latarbelakang masalah,

identivikasi dan pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan

penelitian, kerangka teoretik, penelitian terdahulu, dan metode penelitian.

Bab kedua, Kajian Pustaka. Pada bab ini diuraikan paradigma pluralitas

agama dan paham keagamaan, nilai toleransi dan pendidikan pesantren

Bab ketiga, Latar Penelitian. Pada bab ini disajikan data profil Pondok

Pesantren Tebuireng Jombang dan Nurul Jadid Paiton.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

40 

 

 

 

Bab keempat, Display Data. Pada bab ini dideskripsi data penelitian, dari

hasil wawancara dengan para informan, data pengamatan dan beberapa data

dokumentasi.

Bab kelima, Pembahasan temuan data penelitian. Pada bab ini, disajikan

pembahasan temuan data penelitian.

Bab kelima, Penutup. Pada bab ini disajikan kesimpulan, implikasi

teoritik, keterbatasan penelitian dan saran-saran.