Bab 5 2006rdw

download Bab 5 2006rdw

of 29

Transcript of Bab 5 2006rdw

  • 8/17/2019 Bab 5 2006rdw

    1/29

  • 8/17/2019 Bab 5 2006rdw

    2/29

    sebagaimana yang diuraikan dalam perumusan masalah di depan. Dari kedua

    sub-sistem dapat diidentifikasi state variable dari suatu keputusan, yakni terdiri

    atas: (1) ketebalan lapisan atas tanah (soil depth atau SD), dan (2) kapasitas

    tampungan waduk. Dengan kata lain, kedua variabel tersebut dijadikan sebagai

    variable cadangan (reserve) sumberdaya dalam problem pola tanam. Hal

    tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa keputusan aktivitas pengelolaan

    lahan yang cenderung menghasilkan erosi akan menyebabkan adanya

    kecenderungan penipisan (deplesi) lapisan atas tanah. Sebagaimana telah

    diuraikan oleh Anderson dan Thampapillai (1990), bahwa dalam kajian

    degradasi lahan dari praktek tataguna lahan di negara berkembang dengan

    mengukur perubahan SD merupakan suatu sumberdaya nonrenewable nampak

    konsisten. Untuk menangkap esensi problem dinamik produksi pertanian dan

    deplesi tanah pada tingkat usaha tani telah dilakukan kajian berpespektif

    ekonomi sumberdaya oleh: Burt (1980), McConnell (1983), Saliba (1985), Sagara

    & Taylor (1987), Barbier (1990) dan Syaukat (1992).

    Penetapan kapasitas tampungan efektif sebagai state variable didasarkan

    pada asumsi bahwa kapasitas waduk merupakan suatu sumberdaya. Hal itu

    karena, dalam mewujudkan fasilitas fisik tersebut diperlukan investasi kombinasi

    antara sumberdaya alam (natural capital ), sumberdaya manusia (human capital ),

    serta sumberdaya buatan manusia (man made capital ).

    Komponen fungsi transisi merupakan kendala dinamis yang dimaksudkan

    untuk menggambarkan besarnya cadangan sumberdaya pada tahap ke (t + 1)

    yang ditentukan oleh besarnya cadangan dan keputusan pada tahap ke-t. Pada

    penelitian ini, fungsi transisi yang menjadi kendala dinamis problem pola tanam

    terdiri atas: (1) ketebalan lapisan tanah dari masing-masing Sub-sub DAS, dan

    (2) kapasitas tampungan Waduk Sengguruh dan Sutami.

  • 8/17/2019 Bab 5 2006rdw

    3/29

      Horizon waktu (time horizon) pemecahan problem dinamik ditetapkan

    dengan sengaja, yakni dari tahun 2003 hingga 2020. Dasar pertimbangan

    penentuan tahun 2003 sebagai awal horizon waktu adalah karena seluruh data

    aspek ekonomi dan sebagian data fisik yang dipergunakan dalam analisis

    dikumpulkan pada saat penelitian dilakukan. Tahun 2020 ditetapkan sebagai

    tahun akhir horizon wktu dari pemecahan problem dinamik karena tahun

    tersebut merupakan dasar evaluasi usulan proyek fisik pembangunan sabo dam.

    Untuk mengendalikan masuknya sedimen ke Waduk Sutami dan Sengguruh

    telah diusulkan pembuatan pembangunan sabo dam sebanyak 17 unit di daerah

    hulu waduk dengan tiga alternatif penanganan yang mempertimbangkan

    kapasitas tampungan dengan estimasi volume tampungan efektif pada tahun

    2020 (Nippon Koei Co, 1998).

    Paket pola tanam dijadikan sebagai variabel keputusan karena paket pola

    tanam yang terdiri dari beberapa komoditas berperan dalam menentukan

    manfaat sosial bersih, tingkat erosi dan sedimentasi waduk.

    Pemecahan problem optimal didasarkan pada fungsi tujuan aditif, yaitu

    penjumlahan dari hasil setiap tahap periode (tahun). Fungsi tujuan yang

    dimaksud dalam kajian ini adalah memaksimalkan nilai sekarang ( present value

    atau  PV ) penerimaan bersih yang berasal dari sub-sistem wilayah hulu waduk

    dan sub-sistem ekologi bendungan-waduk. Penerimaan bersih dari sub-sistem

    wilayah hulu adalah penerimaan bersih dari pengelolaan lahan pertanian

    budidaya intensif; dan penerimaan yang berasal dari sub-sistem ekologi

    bendungan-waduk ialah nilai manfaat dari air baku yang dipergunakan untuk

    listrik, pengairan dan industri.

    Perumusan model pemecahan optimasi dinamik pada sistem DTA Waduk

    Sutami dan Sengguruh didasarkan pada keterkaitan komponen tersebut di atas.

  • 8/17/2019 Bab 5 2006rdw

    4/29

    Gambar 6 menyajikan skema rangkaian keterkaitan antar enam komponen

    optimasi dinamik sebagaimana yang telah diuraikan di atas.

    5.1.2. Fungsi penerimaan lahan 

    Penerimaan dari lahan budidaya intensif didasarkan pada fungsi produksi

    dari masing-masing komoditas yang membentuk paket pola tanam. Rumusan

    umum fungsi produksi dari masing-masing komoditas (persamaan 5.1) disusun

    berdasarkan pada bentuk umum fungsi M-S pada persamaan (4.1c), serta

    bentuk aplikasinya pada persamaan (4.7), dan (4.8). 

    Keputusan Pola tanamLahan budidaya intensif

    (decision variable)

    Usaha tani:

      Penerimaan  Biaya

    Limpasan permukaan(inflow waduk)

     Kapasitastampunganefektif

     Kapasitastampunganmati

    State

    erosi

    Degradasi lahan

    pertanian

    Sedimentasi

    waduk

    Produktivitaslahan

    PendangkalanUmur ekonomisbendungan

    Ketebalanlapisan tanah(soil depth)

    State variable

    Opportunity cost(on-site cost)  Opportunity cost

    (off-site cost)

    Maksimasi PV. Manfaat Sosial Bersih 2003-2020

    (Fungsi tujuan)

    Syarat maksimasi  FOC

    (First Order Condition)

    User cost(Costate)

    Outflow :

     PLTA Pengairan Industri

     Manfaat Biaya penge-

    rukan sedimen

    Return of sta e

    Manfaat bersih

    Return of stage

  • 8/17/2019 Bab 5 2006rdw

    5/29

     

    Keterangan: PV. = Present ValueDecision stage: tahunan dari tahun 2003 sampai dengan 2020

    Gambar 6. Diagram Alur Keterkaitan Antar Komponen Optimasi Dinamikpada Sistem Tangkapan Air (Catchment Area) Suatu Waduk

  • 8/17/2019 Bab 5 2006rdw

    6/29

      (5.1)

    Dimana y adalah produksi per hektar; a, b1  dan R merupakan estimasi statistik

    dari parameter fungsi respon produksi-soil depth; SD ialah ketebalan lapisan

    tanah. Besaran parameter  a dan b ≥ 0; serta 0

  • 8/17/2019 Bab 5 2006rdw

    7/29

    (Persero) dimuat bahwa struktur pembayaran meliputi nilai komponen A hingga

    komponen F.

    Komponen A merupakan pembayaran atas biaya investasi pembangunan

    Unit Pembangkit (UP) yang terdiri dari biaya penyusutan, pembayaran pokok

    pinjaman ditambah bunga. Komponen B adalah pembayaran atas biaya yang

    dikeluarkan untuk mengoperasikan dan pemeliharaan untuk menjamin

    ketersediaan daya listrik yang dihasilkan UP. Komponen C-EP merupakan

    pembayaran atas beban retribusi pemakaian air untuk PLTA dan pemeliharaan

    DAS yang hak pengelolaannya dipegang oleh suatu organisasi usaha.

    Komponen C-Non EP merupakan pembayaran atas beban retribusi pemakaian

    air untuk PLTA yang hak pengelolaannya tidak dipegang oleh suatu organisasi

    usaha.

    Secara teknis kuantitas produksi daya listrik dari setiap turbin ditentukan

    berdasarkan rumus berikut:

    D = g ∗ η ∗ Wo ∗ Hef   (5.3a)

    Dimana D merupakan daya yang dihasilkan suatu turbin dalam kurun waktu satu

    detik (Watt); Wo adalah debit pembangkitan (m3/det); Hef  ialah tinggi jatuh efektif

    (m); g adalah gravitasi (9,8 m2/det); dan η ialah efisiensi turbin dan generator.

    Dalam pendugaan kuantitas daya yang dibangkitkan oleh setiap turbin

    dipergunakan tinggi jatuh efektif (Hef ) dan efisiensi (η) pada tingkat tertentu

    (given). Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa variasi tinggi jatuh

    efektif sangat berperan terhadap kuantitas daya yang dihasilkan pada setiap

    periode selama horizon waktu; sedangkan horizon waktu yang diterapkan pada

    penelitian ini adalah selama 17 tahun (2003 hingga 2020). Tinggi jatuh efektif

    PLTA Sengguruh sebesar selisih antara elevasi tertinggi (292.5 m) dan elevasi

    dasar sungai (264 m); sedangkan pada PLTA Sutami adalah selisih antara rata-

  • 8/17/2019 Bab 5 2006rdw

    8/29

    rata tinggi muka air waduk (MAW) selama musim kemarau tahun 2002 sampai

    dengan musim penghujan tahun 2003 (sebesar 267.305 m) dan menggunakan

    tail race  (TWL) yang diterapkan oleh PERUM Jasa Tirta I sebagaimana telah

    diuraikan pada anak Sub-bab 2.3.1.

    Pola operasi Waduk Sengguruh bersifat harian (lihat pada anak sub-bab 2.3.1), maka pendugaan produksi daya listrikdalam kurun waktu satu hari didasarkan pada perkalian antara daya yang dibangkitkan (persamaan 5.3a) dan waktu

    yang dipakai untuk operasi. Pendugaan rata-rata waktu yang dipakai untuk operasi harian didasarkan pada waktu

    operasi sepuluhharian selama kurun waktu dari bulan Juni 2002 hingga Mei 2003 (Lampiran 6). Adapun rata-rata

    waktu yang dipakai untuk operasi adalah 13.31 jam per hari (jam/hr). Dengan mengaplikasikan persamaan (5.3a)

     pada efisiensi turbin dan generator sebesar 0.9, maka didapatkan produksi daya listrik setiap turbin pada PLTA

    Sengguruh selama satu hari sebesar:

    q1 = (9.80∗ 0.90∗ Wo1 ∗ Hef1 ∗ 13.31) (KWh) (5.3b)

    Pada PLTA Sengguruh terdapat 2 unit turbin serta tinggi jatuh efektif PLTA

    Senguruh adalah 28.50 m, sehingga total produksi daya listrik dari Waduk

    Sengguruh dalam periode satu tahun adalah:

    TE1  = (365 ∗ 2 ∗ 3,345.73 ∗ Wo1) (KWh)

    = 2 ∗ (1.22 ∗ Wo1) (GWh) (5.3c)

    Sementara itu, pola operasi Waduk Sutami bersifat tahunan (lihat pada

    anak sub-bab 2.3.1). Oleh karena itu, pada pendugaan produksi daya listrik

    mempertimbangkan fenomena debit pada waktu beban puncak (Ppeak) maupun

    beban dasar (Poff ). Berdasarkan data produksi beban puncak dan beban dasar

    pada musim kemarau (MK) tahun 2002 dan musim penghujan (MP) tahun 2003

    dapat diperoleh informasi bahwa:

    1. Rata-rata produksi beban puncak (operasi 5 jam/hr) sebesar 84% bila

    dibandingkan dengan beban puncak potensial (105 MW/det).

    2. Rata-rata produksi beban dasar (operasi 19 jam/hr) sebesar 25% beban

    puncak potensial (105 MW /det).

  • 8/17/2019 Bab 5 2006rdw

    9/29

    Persentase tersebut lebih lanjut dipergunakan sebagai dasar perumusan

    pendugaan produksi daya listrik dari PLTA Sutami yang mempertimbangkan

    fenomena debit pada waktu beban puncak maupun beban dasar.

    Berdasarkan persamaan (5.3a) dan η = 0.9, maka didapatkan pendugaan

    total daya dari setiap turbin dalam satu hari sebesar:

    q2 = (9.80 ∗ 0.90 ∗ 5 ∗  0.84 ∗ Wo2 ∗ Hef2) +

    (9.8 ∗ 0.9 ∗ 19 ∗  0.25 ∗ Wo2 ∗ Hef2)

    = (9.80 ∗ 0.90 ∗ 8.95 ∗ Wo2 ∗ Hef2)

    = (78.94 ∗ Wo2 ∗ Hef2) (KWh) (5.3d)

    Pada PLTA Sutami terdapat tiga (3) unit turbin. Rata-rata MAW selama

    musim kemarau tahun 2002 sampai dengan musim penghujan tahun 2003

    sebesar 267.31 m. Dengan menggunakan tail race  (TWL) setinggi 181.90 m,

    maka tinggi jatuh efektif PLTA Sutami sebesar 85.41 m. Dengan demikian

    Produk Nilai Total (Total Value Product atau TVP ) daya listrik Waduk Sutami

    dalam satu tahun sebesar:

    TE2  = 3 ∗365 ∗ (78.94 ∗ Wo2 ∗ 85.41) (KWh)

    = 3 ∗ (2.46 ∗ Wo2 ) (GWh) (5.3e)

    Manfaat air baku yang lain dari waduk adalah nilai untuk pengairan dan

    industri. Oleh karena Iuran Pengelolaan Air Irigasi (IPAIR) yang ditetapkan

    pemerintah Daerah Tingkat II kurang mencerminkan harga air baku untuk irigasi,

    maka penentuan nilai air baku untuk pengairan dikembangkan dari factor income

    method   (FIM) sebagaimana yang diuraikan oleh Chutubtim (2001). Metode

    tersebut dipergunakan untuk mengestimasi dampak proyek sebagai input   dari

    produksi, sehingga nilai air irigasi didekati dengan tambahan penerimaan

  • 8/17/2019 Bab 5 2006rdw

    10/29

    (incremental income earned ). Dengan demikian harga air baku untuk pengairan

    dalam penelitian ini diduga berdasarkan rumus sebagai berikut:

    (5.4)

    Dimana PI adalah harga air air baku untuk pengairan (Rp/m3); Pk  ialah harga

    komoditas padi (ribu Rp/ton); Ytp/Yp merupakan proporsi perbedaan produk-tivitas

    antara pengairan dan tanpa pengairan (ton/ha); dan Ap adalah volume kebutuhan

    air irigasi tanaman padi (m3/ha). Nilai satuan air untuk irigasi tersebut dianggap

    telah mencerminkan manfaat dari investasi sekaligus biaya operasional dan

    pemeliharaan sarana dan prasarana pengairan.

    Proporsi perbedaan produktivitas antara padi dengan pengairan dan tanpa

    pengairan didekati dengan rasio antara produktivitas padi sawah dan padi tegal.

    Hal tersebut dilakukan karena hasil kajian secara spesifik tentang perbedaan

    produktivitas dengan pengairan dan tanpa pengairan relatif sulit didapatkan.

    Manfaat air baku untuk pengairan merupakan hasil kali antara harga air

    persatuan dan kuantitas air waduk yang dipergunakan untuk pengairan. Volume

    air untuk pengairan didekati besarnya sumbangan outflow  Sutami terhadap air

    baku untuk pengairan. Hasil pendugaan sumbangan outflow   Waduk Sutami

    terhadap alokasi air baku untuk pengairan maupun industri secara rinci disajikan

    pada Lampiran 7 (baris kedua).

    Sementara itu, pendugaan manfaat air baku Waduk Sutami untuk industri

    sebesar hasil kali antara harga air industri dan sumbangan outflow   Waduk

    Sutami terhadap alokasi air baku untuk industri. Harga air baku yang didistribusi-

    kan untuk industri didasarkan pada tarif yang merupakan hasil kesepakan antara

    pihak otorita dengan pengguna, yakni sebesar Rp 60/m3 (PERUM Jasa Tirta I,

    2003). Disadari bahwa tingkat tarif tersebut baru mencerminkan komponen biaya

    operasional dan pemeliraharaan sarana dan prasarana, sehingga belum

     p

     ptp

     A

    Y Y Pk PI 

    )/(=

  • 8/17/2019 Bab 5 2006rdw

    11/29

    mempertimbangkan biaya investasi. Namum oleh karena keterbatasan peneliti

    dalam pengumpulan data dan kesulitan perhitungan nilai satuan air untuk

    industri, maka manfaat air untuk penggunaan industri didasarkan pada tarif

    tersebut.

    5.2. Perumusan Kerangka Model Analisis Optimasi Dinamik

    5.2.1. Manfaat sosial bersih pengelolaan lahan

    Manfaat bersih lahan pertanian yang dipertimbangkan dalam fungsi tujuan

    adalah total pendapatan usaha tani dari areal lahan budidaya intensif yang ber-

    ada di seluruh wilayah Sub-sub DAS. Pendapatan usaha tani merupakan selisih

    antara total nilai produksi dan total biaya produksi. Formulasi manfaat bersih

    pengelolaan lahan di DTA pada persamaan (5.5) memperhatikan klasifikasi

    fungsi dan kemiringan lahan, keragaman paket pola tanam dan Sub-sub DAS.

    BL (Xijk(t)) = (5.5)

    Dimana BL adalah besarnya total manfaat bersih yang dapat diperoleh dari

    berbagai paket pola tanam menurut klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan

    sepanjang horizon waktu T (juta Rp/ton); X ijkt  adalah luas areal dari klasifikasi

     jenis lahan i dengan paket pola tanam  j dan Sub-sub DAS k pada tahun t (Ha).

    Sedangkan PC (t) adalah harga masing-masing komoditas yang membentuk

    paket pola tanam ke-j (juta Rp/ton); dan a, b1  ialah koefisien regresi fungsi

    produksi (ton/ha); dan R merupakan estimasi parameter fungsi respon SD 

    terhadap produksi. SD ialah kedalaman lapisan tanah (cm). CFij adalah biaya

    usaha tani per hektar per tahun pada suatu paket pola tanam menurut klasifikasi

    kemiringan lahan (juta Rp/ha).

    5.2.2. Nilai outflow waduk untuk operasi PLTA

    [ ]⎭⎬⎫

    ⎩⎨⎧

    −−+∑∑ ∑= = =

    )(1()((*)( 16

    1

    25

    1

    5

    1

    t CF R bat P t  X  ij SDjk 

    i i C i j k 

    ijk 

  • 8/17/2019 Bab 5 2006rdw

    12/29

      Berdasarkan besarnya total produksi daya listrik PLTA Sengguruh dan

    Sutami dari persamaan (5.3c) dan (5.3e), maka total nilai air baku untuk listrik

    periode tahunan adalah:

    NML (Wol(t)) = PE1 ∗ 2 ∗ {1.22 ∗ Wo1(t)} +

    PE2 ∗ 3 ∗ {2.46 ∗ Wo2  (t)} (5.6)

    Dimana NML ialah nilai manfaat air baku yang digunakan untuk pembangkit

    listrik pada tahun ke-t (juta Rp); PE1 dan PE2 masing-masing merupakan harga

    daya listrik dari unit PLTA Sengguruh dan Sutami (Rp/kWh); Wo l(t) adalah debit

    operasi (outflow ) per detik pada tahun ke-t (m3/det).

    Harga daya listrik setiap unit PLTA tersebut didekati dengan rata-rata dari

    harga bulanan selama tahun 2003 dari setiap entitas pembangkit. Hal itu karena

    data tingkat pembayaran per kWh bervariasi menurut bulan dan entitas

    pembangkit. Perbedaan tersebut dikarenakan kuantitas produksi daya listrik

    selama kurun waktu satu bulan dari setiap turbin berbeda. Sebagaimana telah

    diuraikan di depan bahwa unit PLTA Sengguruh terdapat 2 turbin dan Sutami

    terdapat 3 turbin.

    5.2.3. Nilai air baku untuk pengairan dan industr i

    Pendugaan besarnya nilai air baku untuk pengairan dan industri dalam

    kurun satu hari adalah:

    NMP = PI ∗ Vp 

    = PI ∗ 1/106(Dp ∗ cv1)

    = PI ∗ 1/106(shp ∗ Wo2 ∗ cv1)

    = 0.02484 ∗ PI ∗ Wo2 (5.7a)

    NMI = PM ∗Vm 

    = PM ∗ 1/106(Dm ∗ cv1)

    = PM ∗ 1/106 ∗ (shm ∗ Wo2 ∗ cv1)

  • 8/17/2019 Bab 5 2006rdw

    13/29

      = 0.00177984 ∗ PM ∗ Wo2  (5.7b)

    Dimana NMP dan NPI masing-masing adalah nilai manfaat air baku bulanan

    untuk pengairan dan industri yang berasal dari outflow  Waduk Sutami dalam (juta

    Rp/hr); Vp dan Vm ialah volume air baku untuk pengairan dan industri (juta m3/bl);

    Dp dan Dm adalah debit air baku untuk pengairan dan industri (m3/dt); shp dan shm 

    adalah sumbangan debit outflow   Waduk Sutami terhadap pengairan; Wo2 

    merupakan debit outflow  Waduk Sutami (m3/det). PI dan PM yaitu nilai air baku

    untuk pengairan dan iuran air baku untuk industri (Rp/m3). Besarnya PI

    ditentukan dengan rumus pada persamaan (5. 4); dan besarnya PM didasarkan

    pada tarif air baku untuk industri yang dibayarkan kepada PERUM Jasa Tirta I.

    Besaran cv1 merupakan faktor konversi satuan debit (m3/det) disetarakan dengan

    satuan volume harian sebesar 86 400 m3/det. Konversi dimaksudkan untuk

    menyamakan satuan antara debit (m3/det) dan dalam satuan volume harian

    (m3/det). Angka pembagi 106  dimaksudkan untuk menyetarakan volume air

    dalam juta meter kubik. Koefisien 0.02484 pada persamaan (5.8a) dan

    0.00177984 pada persamaan (5.8b) masing-masing merupakan hasil perkalian

    antara shp  maupun shm (pada Lampiran 7 baris kedua) dengan faktor konversi

    debit cv1. Dari persamaan (5.7a dan 5.7b) dapat dirumuskan manfaat tahunan

    dari air baku untuk pengairan dan industri sebagai berikut:

    NMPt  = 365 ∗ (0.02484 ∗ PI ∗ Wo2)

    = 9.07 ∗ PI ∗ Wo2  (5.8a)

    NMI = 365 ∗ (0.00177984 ∗ PM ∗ Wo2)

    = 0.65 ∗ PM ∗ Wo2  (5.8b)

    Besaran harga air untuk kegiatan pertanian berdasarkan factor income

    method   (FIM) sebagaimana telah dirumuskan pada persamaan (5.4). Hasil

    pendugaan harga air pengairan dapat dilihat pada Lampiran 7 (baris ke-1).

  • 8/17/2019 Bab 5 2006rdw

    14/29

    5.2.4. Struktur biaya sosial

    Biaya pada sub-sistem ekologi bendungan-waduk meliputi investasi fisik

    bendungan per tahun, investasi baru untuk kelestarian bendungan/waduk dan

    biaya pengerukan. Secara eksplisit dalam model perumusan biaya sosial hanya

    mempertimbangkan biaya pengerukan; secara implisit biaya sedimentasi

    dihasilkan dalam model.

    Untuk mempertahankan daya tampung kapasitas Waduk Sengguruh telah

    dilakukan pengerukan terhadap sedimen. Berdasarkan data yang dikumpulkan,

    kegiatan pengerukan pada Waduk Sutami tidak dilakukan. Besarnya biaya

    pengerukan (persamaan 5.9) merupakan perkalian antara volume sedimen yang

    dikeruk dan biaya per unit. Biaya pengerukan sedimen (CK) per satuan

    didasarkan pada perhitungan yang telah dilaksanakan oleh pihak otorita. Dalam

    penentuannya, biaya tersebut terdiri atas komponen: (1) nilai satuan kehilangan

    daya listrik per m3  sedimen dan (2) harga satuan pengerukan. Satuan biaya

    pengerukan yang dimasukan dalam model adalah nilai riil (terdeflasi) hasil

    penentuan tahun 1998.

    BS = (5.9)

    Dimana VSk(t) ialah volume sedimen yang dikeruk dari Waduk Sengguruh pada

    tahun ke-t (juta  m3). Volume optimal sedimen yang dikeruk ditentukan dalam

    model optimasi. Biaya pengerukan dalam satuan Rp/m3. Besarnya biaya

    pengerukan sedimen per unit yang dipertimbangkan dalam model didasarkan

    pada hasil kajian Perum Jasa Tirta I yang telah dilakukan tahun 1998. Hal itu

    karena data tahun terakhir (waktu pelaksanaan penelitian) tidak diperoleh.

    5.2.5. Manfaat bersih tahunan

    Manfaat sosial bersih (MSB) tahunan pada persamaan (5.10) merupakan

    selisih antara manfaat sosial (social benefit ) dan biaya sosial (social cost ).

    )(* 1 t VksCK 

  • 8/17/2019 Bab 5 2006rdw

    15/29

    Manfaat sosial dari sistem DTA pada persamaan (5.10) merupakan penjumlahan

    dari manfaat sosial bersih dari pengelolaan lahan dan nilai outflow   Waduk

    Sengguruh dan Sutami. Kegunaan air baku Waduk Sengguruh yang

    dipertimbangkan hanyalah untuk operasi PLTA, karena pola waduk tersebut

    bersifat harian serta seluruh outflow  masuk ke Waduk Sutami. Adapun manfaat

    air baku Waduk Sutami yang dipertimbangkan dalam fungsi tujuan meliputi

    kegunaan untuk operasi PLTA, pengairan dan untuk industri.

    MSB (Xijk(t), Sik(t), Wol(t), Vkpl(t)) =

    )(* 1 t VksCK 

    { } { }+∗∗∗+∗∗∗ )(46.23)(22.12 2211 t WoPE t WoPE 

    −∗∗+∗∗ )(65.0)(07.9 22 t WoPM t WoPI 

    [ ]   +⎭

    ⎬⎫

    ⎨⎧

    −−+∑ ∑∑= = =

    )(1()((*)( 16

    1

    25

    1

    5

    1

    t CF R bat P t  X  ij SD

    i i c 

    i j k 

    ijk  jk 

     (5.10)

  • 8/17/2019 Bab 5 2006rdw

    16/29

    Dimana:MSB = manfaat sosial bersih (juta Rp/th)Xijk(t) = luas areal lahan komoditas/pola tanam ke-i pd kemiringan ke-j

    Sub-sub DAS ke-k pada tahun t (ha)PC(t)  = harga komoditas pada tahun t (juta Rp/ton)Sik(t)  = ketebalan lapisan olah dari paket pola tanam ke-i pada Sub-sub

    DAS ke-k pada tahun t (cm)CFij(t) = biaya usaha tani per ha dari pola tanam ke-i pd kemiringan ke-j

    pada tahun t (juta Rp/ha)Wo1(t) = debit outflow  Waduk Sengguruh pada tahun t (m

    3/det)Wo2(t) = debit outflow  Waduk Sutami pada tahun t (m

    3/det)PEl  = harga daya listrik (Rp/kWh)PI = nilai air baku untuk pengairan (Rp/m3)PM = harga air baku untuk industri (Rp/m3)CK = biaya pengerukan (Rp/m3)Vks1(t) = volume sedimen yang dikeruk pada tahun t (juta m

    3)a,b1,R = koefisien regresi fungsi produksi masing-masing komoditas yang

    membentuk paket pola tanam ke-j pada klasifikasi fungsi dan

    kemiringan lahan ke-ii = klasifikasi fungsi lahan, 1 = Sawah I, 2 = Sawah II, 3 = Tegal I,4 = TegalI, 5 = Kebun I, 6 = Kebun II, I = kemiringan (0 – 15%),II = kemiringan (>15%)

     j = paket pola tanam,k = Sub-sub DAS, 1 = Bango, 2 = Sumber Brantas, 3 = Amprong,

    4 = Lesti, 5 = Metro,

    l = jenis waduk/PLTA, 1 = Sengguruh, 2 = Sutami,Vkpl(t) = kapasitas waduk ke-l pada tahun t (10

    6m3)

    5.2.6. Fungsi tujuan

    Fungsi tujuan sistem DTA (persamaan 5.11) adalah memaksimalkan PV  

    manfaat bersih tahunan dan PV  nilai air yang tersimpan dalam waduk pada akhir

    horizon waktu. Perumusan fungsi tujuan didasarkan pada bentuk umum model

    discrete-time dengan finite horizon problem pada persamaan (4.12) dan model

    aplikasi pada persamaan (4.14d), (4.17a) dan persmaan 4.20).

    Max. PVMSB ={Xijk(t), Sik(t), Wol(t), Vkpl(t) } 

    = MSBt{Xijk(t), Sik(t), Wol(t), Vsal(t), Vssl(t)} 

    + f(Vsa2(T)) . . . . . . (5.11)

    ∑−

    =

    1

    1

    t  ρ 

    ))((

    ))(),(),(),((1

    1

    T VsaF 

    t Vkpt Wot St  X N 

    l l ik ijk 

     ρ 

     ρ 

    +

    ∑−

    =

    T  ρ 

  • 8/17/2019 Bab 5 2006rdw

    17/29

    Dimana  ρ adalah diskon faktor, X (t) ialah luas areal paket pola-tanam (ha), S(t)

    adalah ketebalan lapisan tanah (cm), W(t) ialah outflow  waduk (m3/detik), Vsal(t)

    adalah volume air yang tersimpan dalam waduk ke-l (juta m3), dan Vssl(t) ialah

    volume sedimen yang tertahan (juta m3); serta t adalah setiap periode keputusan

    (tahun). Adapun F(Vsa2(T)) ialah nilai cadangan air yang tersimpan dalam

    Waduk Sutami pada akhir horizon waktu.  Nilai akhir sumberdaya yang

    dipertimbangkan dalam model adalah nilai akhir yang tersimpan dalam waduk.

    Pada akhir horizon waktu belum mempertimbangkan PV   dari nilai lahan.

    Mengingat data ataupun informasi dari harga jual lahan setelah terjadi erosi atau

    deplesi SD relatif sulit didapatkan. Fungsi tujuan optimasi dinamik yang disusun

    oleh McConnell (1983), Segarra dan Taylor (1987) dan Syaukat et al.  (1992)

    telah mempertimbangkan PV  harga jual lahan pada akhir periode perencanaan.

    Nilai volume air yang masih tersimpan dalam Waduk Sutami pada akhir

    horizon waktu (T) didasarkan pada harga air yang digunakan untuk listrik, irigasi

    dan industri. Nilai stok air dalam waduk pada T dari persamaan (5.12)

    didasarkan pada kuantitas produksi daya listrik per hari pada persamaan (5.3d)

    serta nilai air baku per hari untuk pengairan dan industri pada persamaan (5.7a)

    serta persamaan (5.7b).

    NA(T) = ( )PM shPI shcv 

    T V H 

    cv 

    T V PE  m p

    saef 

    sa ++⎟⎟ ⎠

     ⎞⎜⎜⎝ 

    ⎛ 

    2

    22

    2

    22

    )()(94.78   (5.12)

    ( )PM PI cv 

    T Vsa

    cv 

    T VsaPE  0206.002875.0

    )()(87.7416

    2

    2

    2

    22   ++⎟⎟

     ⎠

     ⎞⎜⎜⎝ 

    ⎛ =  

    Dimana NA(T) ialah nilai stok air pada akhir periode (juta Rp); Vsa2(T) adalah

    volume stok air pada akhir horizon waktu yang ditentukan dalam model (juta m3);

    dan variabel yang lain seperti yang telah dijelaskan pada persamaan 5.7.

  • 8/17/2019 Bab 5 2006rdw

    18/29

    5.2.7. Kendala

    Rumusan kendala yang menyertai fungsi tujuan di atas terdiri atas kendala

    persamaan transisi (motion equation) dan kendala dengan kuantitas tertentu

    (given). Kendala persamaan transisi terkait dengan sumberdaya yang terkuras,

    yaitu kendala yang mencerminkan perubahan stok sumberdaya. Persamaan

    transisi/transformasi terdiri atas: (1) keseimbangan ketebalan lapisan tanah serta

    (2) keseimbangan kapasitas tampungan Waduk Sengguruh dan Waduk Sutami.

    Kendala pada kuantitas tertentu meliputi: (1) kondisi awal ketebalan lapisan

    tanah, (2) kondisi awal kapasitas tampungan, (3) kondisi awal stok air dan

    sedimen, (4) kondisi awal kapasitas tampungan Waduk Sutami yang

    dipertahankan pada setiap periode, (5) batas atas dan bawah debit outflow  

    waduk dan (6) total luas areal berbagai klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan

    pada masing-masing Sub-sub DAS.

    5.2.7.1. Ketebalan lapisan tanah

    Perumusan kendala yang mencerminkann ketebalan lapisan tanah  (SD) dalam

    kajian ini didasarkan pada perumusan yang dipakai oleh Papendick et al. (1985)

    seperti yang telah dirumuskan pada persaman (4.10). Dalam penelitian disertasi

    ini tidak mempertimbangkan ketebalan lapisan bentukan baru (regenerasi)

    karena dalam kurun waktu satu tahun lapisan baru tersebut relatif sangat kecil,

    sehingga dalam kasus khusus lapisan atas yang terbentuk pada tahun ke-t dapat

    dianggap sama dengan nol (Segara dan Taylor, 1987). Dengan demikian

    rumusan persamaan transisi dari SD untuk masing-masing pola tanam ke-i, pada

    Sub-sub DAS ke-k adalah:

    Sijk(t+1) = Sijk(t) – Zijk (t) (5.13a)

    Sijk(0) = Sijko  (5.13b)

  • 8/17/2019 Bab 5 2006rdw

    19/29

    Dimana Sijk(t+1) dan Sijk(t) masing-masing adalah ketebalan lapisan atas tanah

    pada tahun ke-(t +1) dan tahun ke-t, dan Z ijk(t) lapisan atas tanah yang hilang

    pada tahun ke-t dari klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan ke-i dengan paket

    pola tanam ke-j di wilayah sub-sub DAS ke-k (cm); S ijk(0) adalah ketebalan

    lapisan atas tanah pada awal periode. Satuan masing-masing variabel adalah

    cm. Pada persamaan (5.12c) merupakan bentuk konversi Zijk(t) dari tingkat erosi

    pada setiap aktivitas.

    Zijk(t) = (t) (5.13c)

    Dimana eijk  adalah tingkat erosi dari komoditas/pola tanam ke-i dengan

    klasifikasi fungsi dan kemiringan ke-j pada sub-sub DAS ke-k (ton/ha);sedangkan BD*103 merupakan berat jenis tanah (1.50) dikalikan konversi darisatuan massa (ton) menjadi satuan luas (ha).

    5.2.7.2. Kapasitas tampungan Waduk Sengguruh

    Kendala transisi kapasitas tampungan waduk didasarkan pada pendekatan

    konsep arus (flow ) dan stok (reserve) sebagaimana yang disajikan pada

    Lampiran 8. Sementara itu, persamaan keseimbangan kapasitas tampungan

    waduk didasarkan pada mekamisme perilaku masing-masing waduk seperti yang

    terdapat pada Lampiran 9. Waduk Sengguruh merupakan waduk harian, maka

    arus air keluar sama dengan arus air masuk. Kapasitas waduk yang

    dipertahankan adalah pada elevasi 292.50 meter, sehingga aliran air ke luar dari

    waduk diupayakan pada volume tampungan di atas elevasi tersebut. Dalam

    rangka menanggulangi pendangkalan pada Waduk Sengguruh, pihak otorita

    telah melakukan aktivitas pengerukan sedimen. Oleh karena itu, maka pada

    perumusan keseimbangan waduk dimasukan variabel volume sedimen yang

    dikeruk (Vks1). Sebagaimana telah diuraikan pada sub-bab 2.4, bahwa efisiensi

    penangkapan Waduk Sengguruh sebesar 40% dari total volume sedimen yang

    310*BD

    eijk 

  • 8/17/2019 Bab 5 2006rdw

    20/29

    berasal dari wilayah hulu waduk. Berdasarkan berbagai kondisi tersebut dapat

    dirumuskan kendala transisi keseimbangan Waduk Sengguruh sebagai berikut:

    Vkp1(t+1) ≤  Vsa1 (t) + Vma1 (t) – 31.53 ∗ Wo1(t) +

    Vss1(t) + 0.4 ∗ Vms(t) – Vks1(t) (5.14a)

    Vss1(t+1) = Vss1 (t) + 0.4 ∗ Vms(t) – Vks1(t) (5.14b)

    Vsa1(t) = Vkp1(t) – Vss1(t) (5.14c)

    Dimana Vkp1(t+1) adalah kapasitas Waduk Sengguruh (juta m3);  Vsa1(t)

    ialah volume air tersimpan pada tahun ke-t (juta m3); Vma1 (t) adalah volume air

    masuk (inflow ) pada tahun ke-t (juta m3); Wo(t) adalah debit outflow  (m3/detik);

    Vss1(t) ialah volume sedimen tersimpan pada tahun ke-t (juta m3); Vms(t) adalah

    volume sedimen baru yg berasal dari wilayah hulu Waduk Sengguruh pada tahun

    ke-t (juta m3); dan Vks1(t) merupakan volume sedimen yang dikeruk pada tahun

    ke-t dalam satuan juta m3. Angka pengali 31.53 merupakan faktor konversi dari

    volume outflow   tahunan dalam satuan juta m3 menjadi satuan debit (m3/det).

    Total volume inflow   Waduk Sengguruh (Vma1) pada persamaan (5.14d)

    berasal dari debit sungai yang berada di wilayah hulu, yakni yang meliputi Sub-

    sub DAS Bango, Sumber Brantas, Amprong dan Lesti. Hamparan lahan

    (budidaya maupun non-budidaya intensif) mempunyai peran terhadap debit

    sungai. Secara eksplisit volume inflow  Waduk Sengguruh dalam kurun waktu

    satu tahun dipengaruhi oleh luas areal dan debit sungai.

    ⎬⎫

    ⎨⎧

    ∗+∗=   ∑ ∑∑∑∑∑= =====

    4

    1

    4

    1

    2

    1

    4

    1

    25

    1

    6

    11 )()()(

    k k ijk sk 

     j i ijk sk 

     j i ma t Ld t  X d t V    (5.14d)

    Dimana Vma1(t) adalah volume inflow   pada tahun ke-t (juta m3); dsk  adalah

    sumbangan per hektar lahan terhadap volume inflow pada Sub-sub DAS ke-k

    (juta m3/ha); Xijk  ialah luas lahan budidaya intensif (yang ditentukan dalam

    model) klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan ke-i dengan paket pola tanam ke-j

  • 8/17/2019 Bab 5 2006rdw

    21/29

    pada wilayah Sub-sub DAS ke-k pada tahun ke-t (ha); sedangkan Lijk adalah luas

    lahan non-budidaya intensif menurut fungsi ke-i dengan klasifikasi kemiringan ke-

     j dari wilayah Sub-sub DAS ke-k pada tahun ke-t (ha).

    Pendugaan sumbangan per hektar lahan terhadap volume inflow   (dsk)

    didekati dengan hasil perkalian antara total volume inflow satu tahun dan rasio

    luas Sub-sub DAS ke-k terhadap luas wilayah hulu Sengguruh. Berdasarkan

    asumsi bahwa setiap hektar lahan mempunyai tingkat inflow  yang sama, dalam

    pengertian tingkat inflow   tidak berbeda menurut jenis tanaman, fungsi dan

    kemiringan lahan. Total volume inflow merupakan hasil kali antara luas areal

    optimal (Xijk) dan tingkat inflow (dsk). Rata-rata volume inflow   setiap periode

    diasumsikan konstan sepanjang horizon waktu; serta belum mempertimbangkan

    variasi atau perubahan karakteristik hidrologi pada periode yang akan datang.

     Asumsi tersebut merupakan penyederhanaan dari fenomena hidrologi yang

    bervariasi setiap tahun karena perubahan curah hujan dan kerapatan maupun

     jenis vegetasi.

    Besarnya volume sedimen yang berasal dari wilayah hulu Waduk

    Sengguruh (Vms) berasal dari massa sedimen yang dihasilkan dari lahan

    budidaya intensif (VmsP) maupun lahan non-budidaya intensif (VmsN) yang

    tersebar di empat wilayah Sub-sub DAS (Persamaan 5.14e). Wilayah hulu

    Waduk Sengguruh meliputi Sub-sub DAS Bango, Sumber Brantas, Amprong,

    dan Lesti.

    Vms(t) = Vms P(t) + Vms N(t) (5.14e)

    = 1/106 ∗ kp ∗ (1/ kk) ∗ {MmsP(t) + MmsN(t)}

  • 8/17/2019 Bab 5 2006rdw

    22/29

      = 1/106 ∗ kp ∗ (1/ kk) ∗ 

    {( SDRk * Xijk(t) * eijk ) + ( SDRk * Lijk * Eijk)}

    Dimana Vms (t) adalah volume sedimen yang berasal dari bagian hulu Waduk

    Sengguruh pada tahun ke-t (juta m3); kp merupakan koefisien penyesuaian

    massa sedimen antara hasil pengukuran dan perhitungan, yakni sebesar 0.78

    (Lampiran 7 baris ke-5). Besaran kk ialah koefisien konversi sedimen dari massa

    ke volume sedimen atau berat spesifik kering sedimen, yakni sebesar 0.95

    ton/m3  (Priatminto, 1986); SDRk  adalah rasio tranportasi sedimen (Sediment

    Delivery Ratio) dari Sub-sub DAS ke-k; Xijk(t) ialah luas areal menurut paket pola

    tanam pada lahan budidaya intensif (ha); Lijk  adalah luas areal menurut jenis

    lahan nonbudidaya intensif (Ha); eijk dan Eijk merupakan tingkat erosi pada lahan

    budidaya intensif menurut aktivitas paket pola tanam dan tingkat erosi pada

    lahan non-budidaya intensif menurut jenis fungsi lahan pada berbagai kemiringan

    dan Sub-sub DAS (ton/ha). 

    5.2.7.3. Kapasitas tampungan Waduk Sutami

    Perumusan kendala keseimbangan kapasitas tampungan Waduk Sutami

    (persamaan 5.15), mempertimbangkan hubungan seri antara Waduk Sengguruh

    dan Sutami, sehingga outflow  Sengguruh merupakan inflow  dari Waduk Sutami.

    Volume inflow  Waduk Sutami tidak hanya berasal dari Waduk Sengguruh, namun

     juga berasal dari remaining basin Sub-sub DAS Metro. Dengan demikian, volume

    sedimen yang masuk ke Waduk Sutami yang berasal dari pengelolaan lahan

    bagian hulu Waduk Sengguruh dan dari Sub-sub DAS Metro. Pola Waduk

    Sutami bersifat tahunan, sehingga outflow   berkisar pada posisi antara elevasi

    246.00 hingga 272.50 m (Lampiran 9). Beberapa kondisi lain yang menyertasi

    dalam perumusan keseimbangan Waduk Sutami adalah kapasitas: (1)

    ∑∑ ∑= = =

    6

    1

    25

    1

    4

    1i j k ∑∑∑

    = = =

    4

    1

    2

    1

    4

    1i j k 

  • 8/17/2019 Bab 5 2006rdw

    23/29

    tampungan efektif (antara elevasi 246.00 hingga 272.50 m), dan (2) tampungan

    mati (elevasi kurang dari 246.00 m).

    Pada saat kapasitas tampungan mati belum penuh, maka volume stok air

    terdiri atas air yang tertampung pada: (1) antara elevasi 246.00 hingga 272.50

    meter (Vsa2a(t)), dan (2) kapasitas tampungan mati yang belum terisi (Vsa2b(t)).

    Perilaku tersebut didasarkan mekanisme stok air dan sedimen yang terdapat

    pada Lampiran 9.

    Vkp2(t+1) = Vsa2 (t) + 31.53 ∗Wo1 (t) + VmaM (t) – 31.53 ∗ Wo2(t) + Vss2(t) +

    (0.60 ∗ 0.93) ∗ Vms(t) + 0.93 ∗ VmsM(t) (5.15a)

    Vsa2 (t) = Vsa2a(t) + Vsa2b(t) (5.15b)

    Vss2(t+1) = Vss2(t) + (0.60 ∗ 0.93) ∗Vms(t) + 0.93 ∗ VmsM(t) (5.15c)

    Dimana Vkp2(t+1) merupakan kapasitas Waduk Sutami (juta m3); Vsa2(t) adalah

    volume air tersimpan pada tahun ke-t (juta m3); VmaM(t) ialah volume inflow  

    Waduk Sutami dari remaining basin Sub-sub DAS Metro pada tahun ke-t (juta

    m3); Wo1 (t) dan Wo2 (t) masing-masing adalah debit outflow   Waduk Sengguruh

    dan Sutami pada tahun ke-t (m3/det); koefisien 0.60 merupakan efisiensi trap

    efficiency   sedimen yang berasal dari wilayah hulu Waduk Sengguruh; Vms (t)

    dan VmsM (t) ialah volume sedimen baru yg berasal dari wilayah hulu Sengguruh

    dan Sub-sub DAS Metro pada tahu ke-t (juta m3). Sedimen yang masuk

    diasumsikan hanya tertahan pada tampungan mati; yakni dengan efisiensi

    penangkapan sebesar 0.93. Telah diuraikan pada sub-bab 2.4 bahwa sedimen

    terdistribusi pada tampungan mati sebesar 0.07.

    Volume inflow  air dari wilayah Sub-Sub DAS Metro pada persaman (5.15d)

    berasal dari lahan budidaya intensif maupun non- budidaya intensif.

  • 8/17/2019 Bab 5 2006rdw

    24/29

     

    ⎭⎬⎫

    ⎩⎨⎧

    ∗+∗=   ∑∑∑∑====

    2

    155

    4

    15

    25

    15

    6

    1

    )()()( j 

    ij si 

    ij  j 

    si 

    M  t Ld t  X d t Vma   (5.15d)

    Dimana VmaM  (t) ialah volume inflow   dari wilayah Sub-sub DAS Metro pada

    tahun ke-t (juta m3); ds5 adalah sumbangan per hektar lahan terhadap volume

    inflow pada Sub-sub DAS Metro (106m3/ha); Xij5  ialah luas lahan budidaya

    intensif (yang ditentukan dalam model) pada klasifikasi fungsi dan kemiringan

    lahan ke-i dengan paket pola tanam ke-j dari wilayah Sub-sub DAS Metro pada

    tahun ke-t (ha); sedangkan Lij5 adalah luas lahan non-budidaya intensif menurut

    fungsi ke-i dengan klasifikasi kemiringan ke-j dari wilayah Sub-sub DAS Metro

    pada tahun ke-t (ha).

    Persamaan (6.15e) menjelaskan besarnya volume sedimen yang berasal

    dari wilayah Sub-sub DAS Metro yang meliputi massa sedimen yang dihasilkan

    dari lahan budidaya intensif (MMP) dan lahan non-budidaya intensif (MMN).

    VmsM (t) = VmsMP (t) + VmsMN (t) (5.15e)

    = 1/106 ∗ kp ∗ (1/kk) ∗ (MMP + MMN )

    = 1/10

    6

     ∗ kp ∗ (1/kk) ∗ 

    {(   ∑∑==

    25

    1

    6

    1  j i 

    SDR5 ∗ Xij5 ∗ eij5) + (   ∑∑==

    25

    1

    6

    1  j i 

    SDR5 * Lij5 * Eij5)}

    Dimana VmsM (t) adalah volume sedimen baru yang berasal dari Sub-sub DAS

    Metro pada tahun ke-t (juta m3); VmsMP  dan VmsMN  masing-masing adalah

    volume sedimen yang berasal dari lahan budidaya intensif dan non-budidaya

    intensif. Koefisien kp dan kk seperti penjelasan pada persamaan (5.14e).

    Koefisien penyesuaian volume sedimen (kp) pada persaman (5.14e) dan

    (5.14e) dimaksudkan untuk mengoreksi hasil pendugaan volume sedimen

    potensial (perhitungan) yang didasarkan pada tingkat erosi yang dihitung dengan

    metode USLE. Mengingat metode tersebut sebetulnya untuk mendeskripsikan

  • 8/17/2019 Bab 5 2006rdw

    25/29

    kerusakan fisik setempat (skala plot), sehingga kurang tepat bila dipergunakan

    untuk menghitung tingkat erosi skala hamparan (landscape). Besaran koefisien

    kp didasarkan hasil kajian yang dilaksanakan oleh Tim Peneliti Jurusan Teknik

    Pengairan (2003b).

    5.2.7.4. Kendala total luas areal berbagai fungsi lahan

    Kendala total luas areal dari masing-masing Sub-sub DAS terdiri atas: lahan

    sawah, tegal dan kebun menurut klasifikasi kemiringan, yakni kemiringan I

    (≤15%) dan klasifikasi II (>15%). Pada persamaan (5.16) adalah total luas areal

    aktivitas pola tanam optimal pada setiap Sub-sub DAS sama dengan total luas

    lahan yang tersedia pada setiap Sub-sub DAS.

    X1jk(t) ≤  TL1k (t) (5.16a)

    X2jk(t) ≤  TL2k (t) (5.16b)

    X3jk(t) ≤  TL3k (t) (5.16c)

    X4jk(t) ≤  TL4k (t) (5.16d)

    X5jk(t) ≤  TL5k (t) (5.16e)

    X6jk(t) ≤  TL6k (t) (5.16f)

    Dimana Xij(t) adalah luas areal pola tanam optimal menurut klasifikasi fungsi dan

    kemiringan lahan ke-i dengan paket pola tanam ke-j pada tahun ke-t; TL1k(t) dan

    TL2k(t) merupakan luas lahan yang tersedia pada Sub-sub DAS ke-k untuk jenis

    lahan sawah dengan klasifikasi kemiringan I dan II; TL3k(t) dan TL4k(t) adalah

    lahan tegal dengan klasifikasi kemiringan I dan II yang tersedia pada Sub-sub

    ∑=

    4

    1 j 

    ∑=

    8

    5 j 

    ∑=17

    13 j 

    ∑=

    12

    9 j 

    ∑=

    25

    22 j 

    ∑=

    21

    18 j 

  • 8/17/2019 Bab 5 2006rdw

    26/29

    DAS ke-k; TL5k(t) dan TL6k(t) masing-masing adalah total luas lahan kebun yang

    tersedia pada Sub-sub DAS ke-k untuk klasifikasi kemiringan I dan II. 

    5.2.8. Batas awal periode, batas atas dan bawah setiap periode 

    5.2.8.1. Ketebalan lapisan tanah awal

    Kendala ketebalan lapisan diklasifikasikan menurut fungsi dan kemiringan lahan,

    yakni terdiri atas: lahan sawah, tegal serta lahan kebun dengan klasifikasi

    kemiringan I dan II (persamaan 5.17). Ketebalan lapisan tanah pada awal

    periode dari suatu wilayah Sub-sub DPS diasumsikan tidak bervariasi menurut

    klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan. Hal tersebut dikarenakan data sekunder

    ketebalan lapisan tanah yang didapat dalam bentuk angka kisaran.

    Sik(0) = Soik  i = 1,2, …, 6 dan k = 1,2, …, 5 (5.17)

    Dimana Sik (0) ialah ketebalan lapisan tanah pada awal tahun periode dari lahan

    sawah, tegal dan kebun dengan klasifikasi kemiringan lahan I (≤15%) dan II

    (>15%) pada Sub-sub DPS ke-k. Sedangkan Soik adalah konstanta ketebalan

    lapisan tanah.

    5.2.8.2. Kondisi kapasitas tampungan waduk

    Dalam rangka menunjang kelestarian waduk,

    kapasitas waduk diperta-hankan sepanjang horizon waktu. Kapasitas

    waduk merupakan penjumlahan antara volume s tok air dan sedimen dalam

    waduk. Kapasitas waduk yang dipertahankan adalah volume pada kondis i

    tahun pelaksanaan penelitian, yakni tahun 2003. Selama horizon waktu

    (2003 hingga 2020), kapasitas waduk yang dipertahankan setiap tahun

    sebesar:

    Vkp1(t) = 2.64 x 106 m3 

  • 8/17/2019 Bab 5 2006rdw

    27/29

      Vkp2(t) = 236.12 x 106 m3  (5.18)

    Dimana Vkp1(t) dan Vkp2(t) masing-masing adalah kapasitas Waduk Sengguruh

    dan Sutami. Volume kapasitas yang dipertahankan dalam Waduk Sengguruh

    tersebut merupakan penjumlahan antara stok air pada elevasi 292.50 m

    sebanyak 2.32 juta m3 dan stok sedimen sebesar 0.32 juta m3  (Lampiran 9).

    Sedangkan pada Waduk Sutami, merupakan penjumlahan antara stok air pada

    tahun 2003 sebesar 175.61 juta m3 dan sedimen yang telah mengisi tampungan

    mati sebesar 60.51 juta m3.

    5.2.8.3. Kondisi awal periode dari stok air dan sedimen sertabatas atas stok sedimen

    Pada persamaan (5.18a) hingga (5.18e) mendiskripsikan rumusan kendala

    kondisi awal periode horizon stok air dan sedimen dari masing-masing waduk

    yang didasarkan pada Lampiran 9. Sedimen Waduk Sengguruh akan dikeruk

    apabila volume stok sedimen melebihi elevasi 2391.50 m ( 1.36 juta m 3). Khusus

    pada Waduk Sutami, stok air dipilah menjadi dua bagian, yakni air yang

    tersimpan dalam tampungan efektif (Vsa2a) dan yang terdapat pada tampungan

    mati (Vsa2b). Pemilahan tersebut dimaksudkan untuk menangkap perilaku stok

    air pada saat tampungan mati belum terisi penuh oleh sedimen.

    Vsa1(0) = Vsa1(“2003”) = 2.00 x 106 m3  (5.18a)

    Vss1(0) = Vss1(“2003”) = 0.32 x 106 m3  (5.18b)

      Vsa2 (0) = Vsa2 (“2003”) = 175.61 x 106 m3  (5.18c)

    Vsa2b(0) = Vsa2b(“2003”) = 29.49 x 10

    6

     m

    3

      (5.18d)

    Vss2(0) = Vss2(“2003”) = 60.51 x 106 m3  (5.18e)

  • 8/17/2019 Bab 5 2006rdw

    28/29

    Dimana Vsa1(0) dan Vss1(0) ialah volume stok air dan sedimen dalam Waduk

    Sengguruh pada awal time horizon; Vsa2(0) dan Vss2(0) ialah volume stok air

    dan sedimen dalam Waduk Sengguruh pada tahun 2003.

    Berdasarkan rancangan konstruksi, kapasitas tampungan mati Waduk

    Sutami sebesar 90.0 juta m3. Dengan demikian batas atas stok sedimen setiap

    periode dapat diformulasikan sebagai berikut:

    Vss2.UP(t) = 90.00 x 106 m3  (5.18f)

    Vsa2a.FIX(t) = 146.12 x 106  m3 (5.18g)

    Dimana Vss2.UP(t) merupakan batas maksimal stok sedimen setiap periode

    tahun ke-t. Volume tampungan efektif (Vsa2a) yang dipertahankan selamahorizon waktu.

    5.2.8.4. Batas debit operasi PLTA

    Penentuan batas atas debit operasi PLTA Sengguruh maupun Sutamididasarkan pada debit maksimum turbin sebagaimana yang terdapat padabatasan fasilitas operasi dalam Tabel 4. Batas bawah debit operasi PLTASengguruh didasarkan pada inflow   terkecil yang terjadi pada tahun 2003.Dengan demikian batas atas dan bawah dari debit operasi adalah:

    Wo1.UP(t) = 91.50 m3/det (5.19a)

    Wo1.LO(t) = 19.90 m3/det (5.19b)

    Wo2.UP(t) = 51.39 m3/det (5.19c)

    Dimana Wo1.UP(t) dan Wo2.UP(t) merupakan batas atas (maksimum) debitWaduk Sengguruh dan Sutami setiap periode tahun ke-t; Wo1.LO(t) ialah batasbawah debit Waduk Sengguruh setiap periode tahun ke-t. Batas bawah debittidak diaplikasikan pada Waduk Sutami karena sebagaian besar inflow  berasaldari outflow  Waduk Sengguruh.

    5.2.9. Perubahan parameter

    Perubahan parameter dimaksudkan untuk memfasilitasi pencapaian tujuan

    keempat sebagaimana yang telah diuraikan pada sub-bab 1.3. Skenario

    perubahan tingkat harga komoditas dalam model perumusan optimasi dinamik

    dimaksudkan untuk menangkap kondisi riil dinamika perubahan aktivitas pola

    tanam optimal yang dipengaruhi oleh perubahan harga komoditas. Hal tersebut

    didasarkan pada fenomena pengambilan keputusan tingkat mikro (petani)

    sebagaimana yang diungkapkan oleh Barbier (1995), bahwa ketidakmenentuan

  • 8/17/2019 Bab 5 2006rdw

    29/29

    harga output   maupun input   dapat mempengaruhi pilihan petani pada jenis

    tanaman praktek budidaya. Perubahan harga komoditas untuk kepentingan

    skenario dipilih pada sebagian komoditas tertentu. Pertimbangan yang

    menyertai hal tersebut adalah pendapat Burt (1991), bahwa kenaikan yang

    proporsional seluruh harga komoditas dan biaya akan tidak berdampak pada

    alokasi optimal intertemporal dari sumberdaya lahan .

    Skenario atau analisis  post optimal   terhadap perubahan tingkat bunga

    dipergunakan untuk mengakses fenomena pengaruh tingkat bunga terhadap total

    PV  dari manfaat bersih dalam keseluruhan horizon waktu maupun tambahan nilai

    sekarang dari manfaat bersih setiap periode tahun. Hal tersebut didasarkan

    pada pandangan Randall (1981) bahwa hubungan antara perubahan tingkat

    bunga dan perubahan nilai sekarang manfaat bersih akan mempengaruhi

    keputusan pemilihan aktivitas alokasi sumberdaya lintas waktu.

    Pengurangan luas lahan hutan produktif dan menambah hutan penyangga

    dimaksudkan untuk menangkap perilaku kecepatan pendangkalan waduk dari

    dimensi waktu.