REPRESENTASI FEMINISME PADA LIRIK LAGU DANGDUT …

14
1 REPRESENTASI FEMINISME PADA LIRIK LAGU DANGDUT KOPLO JAWA: ANALISIS WACANA KRITIS VAN DIJK (Feminism on Javanese Koplo Dangdut Songs: A Critical Discourse Analysis of van Dijk) oleh/by Herlianto A. Universitas Gadjah Mada Jalan Nusantara I, Bulaksumur, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281 Telepon Penulis (082335543053) Pos-el: ([email protected]) *) Diterima: 8 Oktober 2020, Disetujui: 9 Maret 2021 ABSTRAK Penelitian ini menginvestigasi representasi feminisme pada lagu dangdut koplo Jawa. Tidak banyak yang mengkaji lagu dangdut koplo Jawa dari perspektif feminisme. Padahal, secara historis, Jawa memiliki agen-agen pergerakan untuk feminisme yang secara faktual seharusnya mempengaruhi kesusastraan dan kesenian Jawa. Ada lima lagu dalam bentuk transkrip sebagai data yang diperoleh dengan mentranskripsi lagu dangdut koplo Jawa dari YouTube. Data lalu dianalisis dengan menggunakan analisis wacana kritis van Dijk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lagu-lagu dangdut koplo Jawa merepresentasikan kesetaraan perempuan terhadap laki- laki. Peran perempuan diungkapkan tidak lagi sebagai second sex, yang sepenuhnya sebagai ibu rumah tangga, tetapi mereka memiliki kesempatan untuk memilih masa depan secara independen. Sementara itu, feminisme dinyatakan secara langsung dan tidak langsung di dalam lagu dengan menggunakan bahasa kiasan dalam bentuk metafora. Kata kunci: feminisme, dangdut koplo Jawa, representasi, analisis wacana ABSTRACT This research investigated the representation of feminism in Javanese koplo dangdut song. These songs have got little attention in terms of feminism representation. Meanwhile, historically, Javanese society has factual agents of movement for feminism who should be influencing to the Javanese arts and literature. There are five transcriptions of the songs as the data which collected by transcripting the songs from YouTube. The collected data were then analysed by applying van Dijk frame work of critical discourse analysis. The results show that most of the songs present gender equality between men and women. The role of women is not only presented as the second sex or as mainly a house wife, but they have opportunities to choose their own future life independently. This condition is suggested by using indirect language or using metaphoric expressions. Keyword: feminism, Javanese koplo dangdut, representation, discourse analysis

Transcript of REPRESENTASI FEMINISME PADA LIRIK LAGU DANGDUT …

Page 1: REPRESENTASI FEMINISME PADA LIRIK LAGU DANGDUT …

1

REPRESENTASI FEMINISME PADA LIRIK LAGU DANGDUT

KOPLO JAWA: ANALISIS WACANA KRITIS VAN DIJK

(Feminism on Javanese Koplo Dangdut Songs: A Critical Discourse Analysis of van Dijk)

oleh/by

Herlianto A. Universitas Gadjah Mada

Jalan Nusantara I, Bulaksumur, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281

Telepon Penulis (082335543053)

Pos-el: ([email protected])

*) Diterima: 8 Oktober 2020, Disetujui: 9 Maret 2021

ABSTRAK

Penelitian ini menginvestigasi representasi feminisme pada lagu dangdut koplo Jawa. Tidak

banyak yang mengkaji lagu dangdut koplo Jawa dari perspektif feminisme. Padahal, secara

historis, Jawa memiliki agen-agen pergerakan untuk feminisme yang secara faktual seharusnya

mempengaruhi kesusastraan dan kesenian Jawa. Ada lima lagu dalam bentuk transkrip sebagai

data yang diperoleh dengan mentranskripsi lagu dangdut koplo Jawa dari YouTube. Data lalu

dianalisis dengan menggunakan analisis wacana kritis van Dijk. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa lagu-lagu dangdut koplo Jawa merepresentasikan kesetaraan perempuan terhadap laki-

laki. Peran perempuan diungkapkan tidak lagi sebagai second sex, yang sepenuhnya sebagai ibu

rumah tangga, tetapi mereka memiliki kesempatan untuk memilih masa depan secara

independen. Sementara itu, feminisme dinyatakan secara langsung dan tidak langsung di dalam

lagu dengan menggunakan bahasa kiasan dalam bentuk metafora.

Kata kunci: feminisme, dangdut koplo Jawa, representasi, analisis wacana

ABSTRACT

This research investigated the representation of feminism in Javanese koplo dangdut song.

These songs have got little attention in terms of feminism representation. Meanwhile,

historically, Javanese society has factual agents of movement for feminism who should be

influencing to the Javanese arts and literature. There are five transcriptions of the songs as the

data which collected by transcripting the songs from YouTube. The collected data were then

analysed by applying van Dijk frame work of critical discourse analysis. The results show that

most of the songs present gender equality between men and women. The role of women is not

only presented as the second sex or as mainly a house wife, but they have opportunities to

choose their own future life independently. This condition is suggested by using indirect

language or using metaphoric expressions.

Keyword: feminism, Javanese koplo dangdut, representation, discourse analysis

Page 2: REPRESENTASI FEMINISME PADA LIRIK LAGU DANGDUT …

Representasi Feminisme pada Lirik Lagu … (Herlianto A.)

2

PENDAHULUAN

Lagu dangdut koplo Jawa dapat

merepresentasikan feminisme, hanya

saja kajian ini tidak mendapat banyak

perhatian saat berbicara representasi

feminisme pada lagu dangdut. Padahal,

kebudayaan Jawa dalam sejarahnya

memiliki tokoh terkemuka dalam

memperjuangkan kesetaraan perempuan,

katakanlah R.A. Kartini, begitu juga

dalam kesusastraannya. Organisasi

pergerakan kesetaraan perempuan juga

tumbuh subur di lingkungan Jawa.

Idealnya, peristiwa historis ini memadat

dalam kesusastraan dan kesenian Jawa

termasuk dalam lagu dangdut koplo

(Amelia, 2014: 4).

Belakangan ini wacana feminisme

terus menggelinding ke berbagai sektor

media ekspresi. Dunia sastra menjadi

salah satu medan yang terus dieksploitasi

untuk sarana ekspresi gagasan ini, baik

melalui film, puisi, cerpen, novel, dan

lagu itu sendiri. Pada dasarnya lagu,

yang selanjutnya menjadi medan kajian

di artikel ini, berposisi netral di arena

pertukaran wacana. Artinya, sebagai

media, lagu dapat digunakan untuk

sarana ekspresi kepentingan apapun.

Corak lirik lagu dari masa ke masa

mengalami perkembangan dan

perubahan seiring berubahnya

kepentingan manusia. Oleh karena itu,

selain iramanya, lirik suatu lagu juga

menjadi hal yang penting untuk

diperhatikan saat dikaitkan dengan

situasi sosial tertentu.

Beberapa peneliti sudah mencoba

membuktikan bahwa lagu dapat

digunakan untuk sarana

merepresentasikan gagasan tertentu,

termasuk feminisme. Keleta-Mae,

(2017), membuktikan bahwa dalam

tradisi Barat, ada beberapa karya

Beyonce bermuatan feminisme, salah

satunya yang sangat terkenal adalah

―Flawless”. Lagu ini, menurutnya,

menekankan potensi dan kekuatan

seorang perempuan, bahwa perempuan

dengan cintanya memiliki kekuatan yang

tak terbatas, karena itu perempuan

berhak berkiprah di ruang publik.

Penelitian lain dilakukan Kankainen

(2008: 25) pada lagu-lagu The Beatles.

Dia menyatakan bahwa ada representasi

pemberdayaan (empowerment)

perempuan pada lirik lagu-lagu The

Beatles, misalnya pada lagu ―Lucy in

The Sky with Diamonds‖, ―Let It Be,

Dear Prudence‖. Lagu-lagu ini

menyiratkan agar perempuan dipandang

sama atau setara dengan laki-laki secara

sosial, ekonomi, dan budaya.

Dalam lagu-lagu Indonesia juga ada

beberapa peneliti yang mencoba

menganalisis lirik-lirik lagu tertentu

walaupun hasilnya menunjukkan hal

yang berbeda dengan dua penelitian di

Barat. Sebelumnya Ambarsiwi (2012)

meneliti representasi perempuan pada

lirik lagu Mulan Jameela. Temuannya

menunjukkan bahwa ada motif patriarki

dalam lagu-lagu pop Mulan Jameela, di

antaranya pada lagu ―Mahluk Tuhan

Paling Seksi‖, ―Wonderwomen‖, dan

―Lagu Sedih‖. Ketiganya menunjukkan

ada objektivikasi seksual pada

perempuan bahwa perempuan harus

bertahan atas superioritas laki-laki

meskipun mendapat kekerasan fisik dan

psikis.

Lestari (2013: 74) juga melakukan

penelitian representasi perempuan pada

lagu-lagu pop Indonesia. Jika Ambarsiwi

hanya meneliti lagu Mulan Jameela,

Lestari mencoba mengambil sampel

yang lebih luas ke lagu-lagu pop yang

dibawakan oleh beberapa penyanyi

berbeda. Ada 20 judul lagu dari

penyanyi pop yang berbeda yang

dianalisis. Hasilnya adalah perempuan

Page 3: REPRESENTASI FEMINISME PADA LIRIK LAGU DANGDUT …

Jalabahasa Vol. 17, No. 1, Mei 2021, hlm. 1—14

3

direpresentasikan sebagai manusia yang

lemah dan menjadi korban superioritas

laki-laki.

Selain itu, upaya menunjukkan

representasi kurang positif secara

feminis tentang perempuan juga

dilakukan pada lagu bergenre dangdut.

Amelia (2014), menemukan bahwa

perempuan digambarkan sebagai sosok

yang kurang bermoral atau kurang baik.

Temuan ini didapat setelah meneliti lima

lagu dangdut: ―Jamu Gendhong,

―Simpanan‖, ―Darling‖, ―Coblos Aku‖,

dan ―Digoyang Akang‖. Hal yang sama

ditunjukkan oleh Ash-shidiqy (2016:

140). Dia menyatakan bahwa ada enam

citra perempuan dalam lagu-lagu

dangdut yang menunjukkan lemahnya

perempuan, yaitu: istri yang menderita,

gadis lugu, penyanyi dangdut, wanita

idaman lain,wanita karir dan perempuan

materialistik.

Keempat penelitian lagu-lagu

Indonesia ini berbeda dengan dua

penelitian lagu barat sebelumnya. Bila

sebelumnya menunjukkan lagu-lagu

bermuatan feminisme, sementara yang

empat ini sebaliknya, malah lebih

menunjukkan gagasan patriarki pada

lirik bergenre pop dan dangdut. Oleh

karena itu, keempat peneliti sepakat

bahwa beberapa lagu-lagu pop dan

dangdut Indonesia masih menunjukkan

citra perempuan yang kurang setara.

Apa yang telah ditunjukkan oleh

keempat peneliti ini tentu sudah

memberi sumbangsih tersendiri bagi

wacana perempuan dalam dunia sastra.

Namun, sepertinya ada yang luput dari

pandangan mereka khususnya pada lagu-

lagu dangdut koplo berbahasa Jawa yang

belakangan ini semakin digandrungi oleh

kalangan remaja. Keempat peneliti

dalam sampelnya tak ada yang

mengambil lagu-lagu berbahasa Jawa

baik yang genre pop maupun yang

dangdut (koplo).

Beberapa lagu dangdut koplo Jawa

justru menghadirkan sesuatu yang boleh

dibilang berantitesis dengan apa yang

telah dikemukakan oleh empat peneliti

tersebut. Lagu-lagu ini, alih-alih

menguatkan patriarki, justru

menggelorakan semangat feminisme

(kesetaraan perempuan) sebagaimana

yang ditunjukkan pada lagu-lagu Barat

yang diteliti dua peneliti sebelumnya.

Lewat lirik-lirik yang bernuansa

metaforis, khas susastra daerah nusantara

(Jawa), gagasan-gagasan kesetaraan

perempuan itu disiratkan. Dalam lagu itu

perempuan digambarkan bukan lagi

sosok yang selalu kalah dengan laki-laki

dan begitu cengeng. Di dalam lagu

tersebut perempuan berhasil membuat

perhitungan dengan laki-laki yang

sewenang-wenang. Alasan kekurangan

itulah yang membuat penelitian ini

dilakukan dan diharapkan dapat

menunjukkan bahwa keinginan kaum

perempuan Indonesia untuk setara secara

sosial dengan laki-laki memang betul-

betul ada. Dengan begitu, dapat

mengimbangi keempat penelitian

sebelumnya itu.

Penelitian ini bersandar pada

rumusan masalah, yaitu bagaimanakah

gagasan feminisme direpresentasikan

oleh lirik lagu-lagu dangdut koplo

berbahasa Jawa?

Kemudian, secara teoretik

penelitian ini berangkat dari konsep

feminisme yang umum diperbincangkan

bahwa feminisme diasosiasikan dengan

upaya sosial untuk menyetarakan peran-

peran perempuan dalam lingkungan

sosial. Gagasan utamanya adalah

kesetaraan gender dan kritis terhadap

berbagai ketidak-adilan yang menimpa

perempuan akibat konstruksi sosial

tertentu, misalnya budaya patriarki.

Page 4: REPRESENTASI FEMINISME PADA LIRIK LAGU DANGDUT …

Representasi Feminisme pada Lirik Lagu … (Herlianto A.)

4

Feminis memosisikan perempuan dan

laki-laki setara secara potensial bukan

secara fisikal. Keduanya memiliki akses

dan tanggung jawab yang sama dalam

kehidupan publik maupun keluarga, tak

ada yang lebih rendah.

Secara historis, gagasan feminis

sudah memiliki benihnya sejak 1792 saat

Mary Wollstonecraft menulis A

Vindication of The Right of Woman.

Buku ini mengungkap hubungan

perempuan dengan budaya dominan,

dengan kekuasaan, dan identitas. Dalam

hal ini maskulinitas begitu membatasi

perempuan untuk memanifestasikan

dirinya dalam kehidupan sehari-hari.

Wollstonecraft menyatakan bahwa

―penindasan pada perempuan bersifat

budaya (dibangun dan dijalani dalam

pelbagai praktik dan teks budaya), sosial

(diafirmasi lewat institusi-institusi sosial,

terutama pernikahan), dan politik

(ditegakkan lewat perundang-

undangan)‖ (Thornham, 2010: 7 & 23).

Karya itu lalu disambut oleh Women

and Economic karya Charlotte Perkins

Gilman tahun 1898. Karya ini

mengkritisi wacana publik yang

meminggirkan perempuan. Saat itu

perempuan ditindas secara kultural dan

ideologis utamanya di ruang-ruang yang

bersifat sosio-ekonomis sebagai ibu

pengurus rumah tangga. Hal ini

mempertajam anggapan bahwa institusi

keluarga sebagai unit ekonomi yang

melanggengkan pembungkaman atas

perempuan yang kemudian disebut

sexuo-economic (Gilman, 1898: 6--7).

Titik terang feminisme awal

berikutnya dicapai melalui terbitnya

karya Virginia Woolf yaitu A Room of

One’s Own (1929) dan Three Guineas

(1938). Dua karya ini membahas peran

perempuan yang sangat terbatas

khususnya pada hal-hal yang bersifat

kreatif, misalnya dalam produksi

kesusastraan, isu-isu kesadaran dan

identitas. Pada masa itu dalam deskripsi

Woolf, ―perempuan berada di luar semua

struktur simbolik yang membangun

identitas: di luar bangsa, di luar kelas,

dan di luar sejarah.‖ Pengeluaran dari

struktur simbolik ini berakibat pada

dienyahkannya posisi perempuan dalam

laku sosial, seolah perempuan adalah

mahluk asing di masyarakat (Thorham,

2010: 8).

Walters (2005: 6–7) juga mencatat

bahwa feminisme memiliki akar religius

yang diawali pada abad ke- 11 oleh

seorang perempuan bernama Hildegard

of Bingen. Dia menulis pada seorang

romo bernama Bernard of Clairvaux

bahwa dirinya adalah perempuan yang

buta huruf dan karenanya butuh untuk

belajar. Dia juga menulis tentang kasih

sayang Tuhan terhadap perempuan. Dari

akar ini kemudian berkembang menjadi

beragam arus utama pemikiran

feminisme. Pemetaan arus utama

feminisme dinarasikan dengan baik oleh

Tong (2010).

Menurut Tong, ada delapan arus

utama feminisme, yaitu feminisme

liberal, feminisme radikal, feminisme

Marxis-sosialis, feminisme psikoanalisis

dan gender, feminisme eksistensialis,

feminisme posmodern, feminisme

multikultural, dan ekofeminisme.

Masing-masing arus ini memiliki

pandangan masing-masing, tetapi yang

berhubungan dengan penelitian ini

adalah feminisme posmodern karena

berkaitan langsung dengan budaya

populer.

Adapun dangdut koplo dipahami

sebagai salah satu genre musik di

Indonesia yang berkembang sejak tahun

1990 dan memuncak pada tahun 2003.

Secara historis, dangdut koplo berasal

dari Jawa Timur yang dibentuk dengan

cara memodifikasi irama dan ketukan

Page 5: REPRESENTASI FEMINISME PADA LIRIK LAGU DANGDUT …

Jalabahasa Vol. 17, No. 1, Mei 2021, hlm. 1—14

5

kendang menjadi lebih cepat, energik,

dan dinamis. Dengan corak ini, genre

lagu apa saja misalnya pop, melayu, dan

jazz dapat dijadikan atau dinyanyikan

menjadi dangdut koplo (Setiaji, 2017:

28). Ciri lain dari dangdut koplo adalah

cenderung menggunakan bahasa daerah

termasuk bahasa Jawa. Sementara itu,

lirik-lirik lagu dangdut koplo cenderung

bernuansa seksual (Raditya, 2018: 10;

Susanti, 2019: 2)

Dangdut koplo biasanya

dinyanyikan melalui panggung-

panggung orkes Melayu (OM), misalnya

yang cukup terkenal O.M. Monata, O.M.

Sera, O.M. Palapa. Jumlah orkes Melayu

sangat banyak jumlahnya, bahkan untuk

wilayah Kabupaten Jombang saja ada

240 group pada tahun 2017 (Raditya &

Simatupang, 2018: 439). Pengaruh

dangdut koplo terbilang penting di level

nasional. Bahkan, telah melahirkan artis-

artis koplo terkenal seperti Inul

Daratista, Via Vallen, Nella Kharisma,

Tasya Rosmala, Deni Caknan, dan Sodiq

Monata.

Namun, dangdut koplo tidak

berkembang dengan mulus, sempat

mengalami pelarangan. Pada tahun 2003,

lahir perseteruan antara Inul Daratista

ratu ―goyang ngebor‖ dengan Rhoma

Irama si Raja Dangdut. Rhoma Irama

dan kolega mempersoalkan dangdut

koplo yang menghadirkan goyangan

tertentu. Tahun 2016 giliran KPI juga

melakukan pelarangan terhadap

pertunjukan dangdut koplo. Tetapi

berbagai pelarangan ini justru membuat

dangdut koplo semakin tenar (Raditya,

2018: 14). Munculnya penilaian negatif

terhadap lagu dangdut koplo tidak bisa

digeneralisasi pada semua lagu karena

ada beberapa lagu dangdut koplo yang

justru sangat positif dalam arti gerakan

feminisme seperti yang ditemukan dalam

penelitian ini.

Penelitian ini menggunakan metode

kualitatif dengan melibatkan peneliti

secara aktif dalam mengumpulkan data,

memilah dan menafsirkannya. Sumber

data berasal dari lagu-lagu dangdut

koplo Jawa yang ada di YouTube.

Peneliti memilih lima lagu sebagai data

dengan beberapa ketentuan atau kriteria:

1) tahun populernya minimal tahun

2010. Hal ini untuk melihat

perkembangan terbaru lirik-lirik lagu

dangdut Jawa koplo; 2) lagu itu

dipopulerkan penyanyi perempuan

meskipun diciptakan oleh laki-laki. Hal

ini untuk memastikan agensi dari lagu

tersebut, karena asosiasi pemilik gagasan

atas suatu lagu adalah berdasar pada

siapa yang memopulerkan; 3) memiliki

lirik-lirik yang bermuatan feminisme.

Dari kriteria ini, ada lima lagu yang

dijadikan data, yaitu: ―Wedhus‖, ―Pikir

Keri‖, ―Sing Biso‖, ―Lilakno Aku‖, dan

―Ilang Roso‖. Lagu-lagu ini dipilih

karena sesuai dengan kriteria yang telah

dibuat dan merepresentasikan

feminisme. Tabel 1

Daftar Lagu

Judul Dipopuler

-kan

Pencipta Tahun

―Wedhus

Wiwik

Sagita

Hidayati

dan

Iswan

Samudra

2014

―Pikir

Keri‖

Via Vallen Andi

Mbendol

2017

―Lilakno

Aku‖

Nella

Kharisma

Andi

Mbendol

2017

―Sing

Biso‖

Vita Alvia Angga

Samudra

2017

―Ilang

Roso‖

Via Vallen Om

Wawes

2017

Analisis data dilakukan dengan

mengalisis lirik lagu-lagu dangdut Jawa

koplo dan menginterpretasikannya

dengan pendekatan teori van Dijk.

Page 6: REPRESENTASI FEMINISME PADA LIRIK LAGU DANGDUT …

Representasi Feminisme pada Lirik Lagu … (Herlianto A.)

6

Menurut van Dijk, suatu teks selalu

mengandung atau merepresentasikan

ideologi (pandangan) tertentu yang

berada dibalik teks, artinya teks selalu

terikat pada konteks. Untuk mengetahui

muatan ideologi ini analisis wacana

harus mengaitkan tiga hal yaitu teks,

kognisi sosial, dan konteks (Eriyanto,

2001: 225).

Teks adalah unsur bahasa itu sendiri

dalam hal ini adalah lima lirik lagu

dangdut koplo berbahasa Jawa. Lirik

sebagai teks dijabarkan dalam tiga

variabel berikut. 1) Struktur makro

menyangkut topik atau tema dari

masing-masing lagu. 2) Superstruktur

berkaitan dengan bagaimana lirik lagu

itu diorganisasi atau hubungan antara

lirik pembuka dan reffnya. Dalam hal ini

ada tiga kemungkinan, yaitu:

a) hubungan antara reff dan lirik

pembuka bersifat solutif artinya lirik

pembuka menceritakan masalah yang

dihadapi perempuan dan reff adalah

pilihan solusinya

b) lirik pembuka sebagai langkah

solutif dan reff menjelaskan

problemnya

c) lirik pembukan dan reff secara

langsung merepresentasikan

semangat pembebasan perempuan

atau feminisme;

3) Struktur mikro lirik yaitu menyangkut

bentuk kalimat, apakah kalimat yang

merepresentasikan feminisme

menggunakan kalimat lugas (eksplisit)

atau tidak lugas (implisit), lalu

menyangkut koherensi yaitu adanya

penghubung sebab akibat, serta

kemungkinan penggunaan metafora

mengingat tradisi Jawa cukup kental

dengan penggunaan metafora, hal ini

karena karakter orang Jawa yang lebih

suka tidak langsung dalam menyatakan

sesuatu.

Adapun kognisi sosial adalah proses

sejarah yang menjembatani antarkonteks

(di luar bahasa) dengan teks (Dijk, 2009:

29). Kognisi sosial adalah situasi sosial

berupa kesadaran mental masyarakat,

memori kolektif, atau cara pandang

masyarakat terhadap feminisme di

lingkungan Jawa. Pandangan ini yang

kemudian dipraktikkan dalam aktivitas

sehari-hari dan mempengaruhi produksi

lirik lagu. Dalam hal ini, akan diurai

secara ringkas sejarah feminisme di Jawa

sebagai kesadaran kolektif, dan gerakan-

gerakan feminisme yang pernah ada.

Sejarah feminisme beserta gerakannya

membentuk kesadaran kolektif

masyarakat tentang semangat feminisme.

Adapun konteks itu sendiri

berhubungan dengan situasi atau

lingkungan, atau berupa fenomena dan

peristiwa tertentu yang melingkupi atau

mendahului suatu teks (Dijk, 2008: 4).

Dalam hal ini, konteks diurai dari teks

yang mendahului teks lain yang

merepresentasikan feminisme sehingga

kalimat feminisme yang terdapat dalam

lagu dapat dijustifikasi sebagai deskripsi

kesetaraan perempuan karena didukung

oleh kalimat-kalimat lain.

Penyajian pembahasan akan dimulai

dari menjelaskan kesadaran kolektif

masyarakat Jawa, yaitu sejarah

feminisme di Jawa, kemudian dilanjut

dengan membahas lirik sebagai teks dan

berikut kaitan dengan konteksnya.

Konteks

Konteks

Kognisi Sosial

Teks

Page 7: REPRESENTASI FEMINISME PADA LIRIK LAGU DANGDUT …

Jalabahasa Vol. 17, No. 1, Mei 2021, hlm. 1—14

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Mengacu pada pemetaan van Dijk dalam

analisis wacana kritisnya antara teks,

kognisi sosial, dan konteks, maka

pembahasan ini juga dipetakan

berdasarkan cara analisis tersebut.

Feminisme yang dituangkan dalam

bentuk teks pada lirik lagu dangdut

bukanlah peristiwa kebetulan melainkan

pengejawantahan dari kognisi atau

kesadaran sosial masyarakat Jawa yang

telah terbentuk selama puluhan tahun.

Pembentukan Kognisi Sosial

Feminisme Jawa

Kesadaran feminis masyarakat Jawa

terbentuk melalui gerakan-gerakan

perlawanan perempuan atas patriarki di

Jawa. Gerakan ini dimulai sejak era R.A.

Kartini 1879–1904 di Jepara. Dia

memelopori pendidikan untuk kaum

perempuan di saat penjajah dan budaya

patriarki tak memberi ruang perempuan

untuk belajar. Kartini yang terlahir dari

kaum nigrat memilih jalan yang berbeda

ketimbang perempuan Jawa umumnya.

Dia berani menentang tradisi patriarki

termasuk poligami, dan memberikan

pedidikan pada perempuan-perempuan

kelas bawah meski secara sembunyi-

sembunyi (Asmarani, 2017: 11)

Berikutnya lahir organisasi

Nasional Boedi Oetomo (1908) yang

memiliki organisasi sayap perempuan

yaitu Poetri Mahardika. Organisasi ini

memberikan ruang pada perempuan

untuk turut andil dalam berorganisasi

dan urusan publik. Dilanjut oleh

organisasi keagamaan Muhammadiyah

1917 di Yogyakarta yang juga memiliki

organisasi sayap perempuan Aisyiah.

Berikutnya tahun 1928 lahir Persatuan

Perempuan Indonesia (PPI) yang

menuntut haknya dalam pendidikan dan

menyuarakan reformasi perkawinan.

Pada masa pendudukan Jepang 1942

juga didirikan organisasi perempuan

bernama Fujinkai yang diikuti oleh para

istri kaum pegawai, salah satu misinya

adalah memberantas buta huruf di

kalangan perempuan (Djoeffan, 2001:

286).

Kemudian, pada pasca kemerdekaan

lahir Gerwani (Gerakan Wanita

Indonesia) tahun 1950. Organisasi ini

merupakan sayap partai PKI dengan visi

dan misi memberikan hak-hak yang

setara kepada perempuan dalam

pendidikan dan ruang publik. Banyak

segi yang disasar oleh organisasi ini,

mengingat perempuan yang menyebar di

beberapa bidang diperlakukan dengan

tidak setara. Misalnya, bidang pertanian,

pabrik, perkebunan, koperasi dan badan-

badan lainnya. Sayang organisasi ini

diterpa isu tidak sedap sehingga hilang

bersama dilarangnya PKI. Pada 1955

juga muncul organisasi Islam nasionalis

yang lebih banyak dikelola oleh partai

politik di antaranya, Balai Balai

Perempuan, Surau Perempuan, dan

Perwari (persatuan wanita republik

Indonesia) (Djoeffan, 2001: 288).

Pada era orde baru dan reformasi,

gerakan kesetaraan gender berkembang

pesat di tanah Jawa. Ditambah gagasan-

gagasan feminisme Barat yang juga

memperjuangkan kesetaraan gender

masuk ke lembaga-lembaga Jawa

sehingga perjuangan kesetaraan

perempuan dibuat pada lembaga formal

maupun nonformal. Lembaga formal

misalnya Dharma Wanita dan PKK.

Sementara itu, untuk lembaga nonformal

dikoordinasi oleh organisasi-organisasi

sosial semacam Nahdlatul Ulama yang

mengayomi organisasi Muslimat dan

Muhammadiyah yang terus

mengembangkan Aisyiah. Di luar itu,

juga berkembang LSM-LSM yang

Page 8: REPRESENTASI FEMINISME PADA LIRIK LAGU DANGDUT …

Representasi Feminisme pada Lirik Lagu … (Herlianto A.)

8

memperjuangkan kesetaraan gender.

Organisasi-organisasi mahasiswa

memiliki sayap gerakan perempuan,

seperti Kohati di HMI (Himpunan

Mahasiswa Islam) dan Kopri di PMII

(Pergerakan Mahasiswa Islam

Indonesia).

Dari sisi kesusastraan Jawa,

feminisme juga sudah sudah dikenal.

Ada beberapa karya-karya sastra Jawa

bermuatan semangat feminisme

sebagaimana diteliti oleh Widati (2009).

Ada beberapa karya-karya yang dinilai

memiliki visi feminisme di antaranya

Serat Rangsang Tuban ditulis Ki

Padmasoesastra, Katresnan karya M.

Soeratno, Ni Wungkuk Ing Bendha karya

Jasa Widagda, Larasati Modern oleh M.

Koesrin, Udan Luh karya Sri Rahayu

Prihatmi. Beberapa karya menyuaran

kesetaraan perempuan melalui peran

para tokoh yang ada di dalam karya

sastra tersebut.

Melihat peristiwa sejarah

perjuangan kesetaraan perempuan dan

kesusastraan Jawa yang turut

menyuarakan kesetaraan perempuan,

maka jelas bahwa kesadaran sosial

(social cognitive) masyarakat Jawa

adalah kesadaran yang bermuatan

feminis. Karena itu, karya-karya sastra

lainnya, dalam hal ini berupa lagu-lagu

dangdut koplo Jawa diproduksi dalam

kesadaran yang feminis tersebut.

Feminisme pada Lirik (Teks) Lagu

Dangdut Jawa

Kesadaran kolektif feminisme yang

dibentuk secara historis melalui realitas

sosial masyarakat sebagaimana

dijelaskan sebelumnya, mendorong

lahirnya karya-karya lagu dangdut koplo

Jawa yang juga bermuatan feminisme,

sebagaimana terdapat pada lima lagu

yang menjadi sampel dalam penelitian

ini. Lagu ―Wedhus‖ mengambil tema

utama (struktur makro) tentang pilihan

seorang perempuan dalam menjalin

hubungan dengan laki-laki. Dalam

tradisi kerajaan Jawa dikenal budaya

patriarki. Dalam budaya patriarki satu-

satunya pilihan perempuan adalah

menjadi istri atau lebih tidak beruntung

menjadi istri kedua (poligami).

Berbeda dengan tradisi tersebut,

lagu berjudul ―Wedhus‖ menolak

patriarki dengan mengajukan pilihan

hidup bagi perempuan. Dengan memberi

rasionalisasi atas pilihan perempuan,

lagu ini menyetarakan perempuan

dengan laki-laki. Dalam menjalin

hubungan tidak harus menikah bisa saja

hanya pacaran (gendakan) saja. Pilihan

yang sebetulnya tak mungkin dilakukan

dalam suatu masyarakat patriarki.

Namun, lagu ini menyuarakannya

sebagaimana diungkap dalam lirik

pembukanya.

mending tuku sate timbang tuku

Wedhuse

mending gendakan timbang dadi

bojone

‗lebih baik beli sate ketimbang beli

kambingnya‘

‗lebih baik pacaran ketimbang jadi

istrinya‘

Menjalin pacaran tanpa menikah

sebagai pilihan bebas disebabkan

peliknya budaya patriarki itu sendiri.

Dalam patriarki perempuan selalu

menjadi sosok yang terpinggirkan, sosok

yang harus terus-menerus mengalah,

termasuk mengalah untuk diduakan

kesetiaannya karena sang suami memilih

poligami. Dalam sistem sosial patriarki,

menurut de Beauvoir, perempuan

diposisikan sebagai second sex.

Pernikahan atau relasi percintaan lainnya

Page 9: REPRESENTASI FEMINISME PADA LIRIK LAGU DANGDUT …

Jalabahasa Vol. 17, No. 1, Mei 2021, hlm. 1—14

9

seringkali tidak setara dalam

memperlakukan perempuan.

Belum lagi perempuan dihadapkan

pada sosok pria (suami) yang malas

bekerja dan mengambil enaknya. Atas

nama kepala keluarga, suami menjadi

pengatur utama segala keputusan.

Budaya inilah yang memungkinkan laki-

laki bertindak seenaknya. Meskipun,

dalam tradisi Jawa sendiri mengakui

akan tanggung jawab suami dalam

memberi nafkah keluarga. Akan tetapi,

patriarki disalahartikan dan memberi

ruang laki-laki untuk bersikap

sewenang-wenang dalam keluarga. Oleh

karena itulah, berpacaran menjadi

alternatif lain, perempuan lebih merdeka,

lebih mudah bagi perempuan untuk

mendapatkan uang dari laki-laki melalui

pacaran daripada menikah. Laki-laki

memiliki pengorbanan lebih tinggi pada

saat masih berpacaran daripada saat

sudah menjadi suami. Dengan pilihan

berpacaran ini perempuan tak perlu lagi

repot mengurus suami. Ini dinyatakan

pada lirik berikut.

mangan sate ora mikir burine

ngingu Wedhus dadak mikir sukete

timbang dibojo ora metu duite

mending tak gawe gendakan wae

‗makan sate tidak memikirkan

belakangnya‘

‗merawat kambing perlu memikirkan

rumputnya‘

‗daripada diperistri tidak keluar

uangnya‘

‗lebih baik dibuat pacaran saja‘

Dengan gaya penuh metaforis, lagu

ini memetaforakan laki-laki sebagai

kambing (Wedhus). Bahwa pilihan

berpacaran sama dengan makan sate.

Sate adalah jenis makanan yang salah

satunya berbahan daging kambing,

ditusuk, dan dibakar. Membuat sate

membutuhkan proses yang cukup

panjang, mulai dari memelihara

kambing, memotong, baru dapat daging.

Kemudian masih perlu dibakar,

dibuatkan bumbu, baru siap disajikan.

Akan tetapi, makan sate saja sangat

menguntungkan, tidak membutuhkan

proses yang melelahkan. Setelah makan

sate tidak ada kewajiban yang lain.

Berbeda jika memelihara kambing, perlu

merawatnya, harus memberi minum dan

makan, sungguh merepotkan. Di sisi

lain, kambing tidak bisa melakukan apa-

apa, hanya diam dan mengembik di

kandang, menunggu diberi makan dan

minum. Begitulah kehidupan patriarki

dimetaforakan oleh lagu Wedhus.

Menikah akan membawa perempuan

pada kondisi seperti memelihara

kambing.

Sementara itu, secara struktur mikro

lagu ini menggunakan kalimat tidak

langsung sebagaimana dikutip pada lirik

sebelumnya. Lagu ini menyatakan

kebebasan memilih bagi perempuan,

yang berarti perempuan berhak

menentukan hidupnya sendiri dalam

relasi keluarga. Perempuan menjadi

setara dengan laki-laki dalam

memutuskan yang terbaik bagi masa

depannya tanpa ketakutan atas ancaman

patriarki seperti dijustifikasi ―tidak

laku‖. Menempatkan perempuan dalam

kebebasan adalah visi feminisme itu

sendiri.

Lebih jauh eksplisitas feminisme itu

ditunjukkan melalui penggunaan

metafora Wedhus. Wedhus menjadi

simbol patriarki dalam lagu ini, ia

melambangkan laki-laki yang bertindak

anti kesetaraan gender. Adapun relasi

bagian teks (superstruktur teks) antara

lirik pembuka dan reff secara langsung

menggambarkan solusi atas patriarki,

dan bukan relasi sebab akibat. Reff dan

lirik pembuka sama-sama

Page 10: REPRESENTASI FEMINISME PADA LIRIK LAGU DANGDUT …

Representasi Feminisme pada Lirik Lagu … (Herlianto A.)

10

menggambarkan semangat feminisme.

Ini menunjukkan bahwa lagu ini

diorganisasi sedemikian rupa untuk

merepresentasikan feminisme.

Kesetaraan perempuan juga tampak

pada lagu yang berjudul ―Pikir Keri‖.

Lagu ini mengilustrasikan perempuan

yang memberikan pilihan kepada laki-

laki apakah mau menikah atau tidak.

Dalam tradisi Jawa menikah adalah

suatu penghargaan bagi perempuan,

tidak dinikahi sama dengan tidak

dihargai. Dalam budaya patriarki, laki-

laki selalu menjadi pihak penentu apakah

menikah atau tidak. Jika pernikahan

tidak dilakukan oleh laki-laki maka

perempuan mendapat cibiran, yaitu

perempuan tidak laku, atau perempuan

yang tidak membawa berkah. Namun,

lagu ini menunjukkan bahwa tidak

dinikahi oleh laki-laki bukankah suatu

petaka bagi perempuan. Tidak

seharusnya perempuan meratapi

nasibnya karena gagal dinikahi,

perempuan masih tetap bisa bahagia.

Lagu ini menyatakan begini:

yen gelem tak jak rabi

yen ra gelem tak jagongi

sing ra penting pikir keri

‗kalau mau kuajak nikah‘

‗kalau tidak mau kutemani‘

‗yang tidak penting dipikir belakangan‘

Lirik ini seolah memberikan

penegasan agar laki-laki tidak mengelak

dan mempermainkan perempuan.

Sungguh suatu upaya pembebasan bagi

perempuan yang biasanya menunggu

atas segala keputusan pada laki-laki,

tetapi lagu ini menyatakan bahwa

perempuan juga lebih santai dan tidak

ambil pusing. ―Jagongi‖ berarti diikuti

maunya apa saja. Laki-laki tak bisa lagi

membuat-buat alasan yang mengada-ada

untuk menunda pernikahan seperti

belum punya pekerjaan, belum punya

uang, dan sebagainya karena itu semua

merupakan hal-hal yang harusnya

dipikirkan belakangan. Gagasan ini

menandakan bahwa perempuan

disetarakan dengan laki-laki dalam hal

pernikahan.

iki hati du parkiran maju mundur ra

karuan

iki hati du layangan tarik ulur

sembarangan

nanging tresno iki udu es teh plastikan

sing mbok cantelke lalu engkau

tinggalkan

‗hati ini bukan parkiran maju mundur

tak karuan‘

‗hati ini bukan layangan ditarik ulur

sembarangan‘

‗namun kasih sayang ini bukan es teh

plastikan‘

‗yang bisa dicantolkan lalu engkau

tinggalkan‘

Superstruktur lirik lagu ini

menjelaskan relasi sebab akibat antara

lirik pembuka dengan reff. Reff yang

menceritakan perempuan dipermainkan

oleh laki-laki sebagaimana ditunjukkan

pada petikan kedua lagu ―Pikir Keri‖.

Narasi ini menjadi konteks bagi lirik

pembuka gagasan feminisme

direpresentasikan. Dalam hal ini

dinyatakan bahwa hati perempuan

bukanlah parkiran tempat mobil maju

mundur, bahwa laki-laki dalam pilihan

menikah seringkali tidak pasti, plin-plan.

Perempuan juga bukan layangan yang

bisa ditarik ulur, bukan es teh plastik

yang bisa dicantolkan di manapun.

Menunggu janji laki-laki untuk menikahi

seperti menunggu mendung yang tidak

kunjung turun hujan. Oleh karena itu,

dalam ketidakpastian ini, segalanya

harus ditegaskan oleh perempuan itu

sendiri.

Page 11: REPRESENTASI FEMINISME PADA LIRIK LAGU DANGDUT …

Jalabahasa Vol. 17, No. 1, Mei 2021, hlm. 1—14

11

Dalam menyampaikan gagasan

feminisme, lagu ini menggunakan

kalimat langsung dan tidak langsung.

Kalimat langsung melalui menegaskan

secara eksplisit maksud yang ingin

disampaikan yaitu kepastian menikah.

Sementara itu, kalimat yang tidak

langsung ditunjukkan dengan

penggunaan metafora seperti jagongi,

parkiran, layang-layang, dan es teh

plastikan. Penggunaan metafora ini

menjadi ciri bagaimana tradisi Jawa

menyampakan gagasan tertentu yang

cenderung tidak langsung.

Lagu ―Lilakno Aku‖ menceritakan

perempuan yang tidak mau diduakan.

Dia memilih ditinggalkan daripada harus

menanggung derita dipoligami oleh laki-

laki. Salah satu budaya patriarki yang

dilawan oleh feminisme adalah

kebiasaan poligami dengan berbagai

alasan. Perlawanan ini sebagaimana

ditunjukkan sejak era R.A. Kartini.

Kesetiaan tak bisa digadaikan dengan

apapun, mendua adalah salah satu

pengabaian terhadap kesetiaan dan

sekaligus menjadikan perempuan

sebagai orang kedua atau pelengkap

dalam kehidupan keluarga. Secara

langsung lagu ini menyatakan:

lilakno Aku, ikhlasno aku

yen pancen iki wes ora perlu

menjadikanku orang kedua

hatiku sungguh tidak rela

‗lepaskan aku, ikhlaskan aku‘

‗kalau memang ini sudah tidak perlu‘

‗menjadikan aku orang kedua‘

‗hatiku sungguh tidak rela‘

Kalimat-kalimat dalam lagu ini

menyatakan secara langsung maksud

penolakannya terhadap praktik poligami.

Tidak ada metafora yang digunakan.

Sementara relasi lirik pembuka dengan

reff bersifat sebab akibat. Lirik pembuka

yang menyatakan semangat feminisme

sebagai akibat dari sebab-sebab yang

dinyatakan pada reff. Lirik lagu pada reff

menjelaskan laki-laki yang tidak

memiliki kepastian bagi perempuan dan

memilih perempuan lain.

Konsep perempuan yang tidak mau

diduakan juga ditemukan pada lagu

―Sing Biso‖. Lagu ini mengisahkan

perempuan yang disakiti oleh laki-laki

berulang-ulang. Sekali dua kali disakiti

masih diberi maaf. Namun, si perempuan

pada akhirnya harus memberanikan diri

mengambil keputusan sendiri untuk

merdeka. Dia memilih untuk

meninggalkan hubungan yang menyiksa

tersebut. Dalam lagu ini, perempuan

digambarkan tidak mau larut dalam

penderitaan yang terus-menerus.

Penentuan pilihan dinyatakan secara

terang pada lirik berikut:

sing kuat maning isun wis warang

ulah riko wis kebangetan

kudu kelendi isun kentekan alak

kepaksa riko isun tinggal

‗tidak kuat lagi aku sudah tidak tahan‘

‗ulahmu sudah keterlaluan‘

‗harus bagaimana aku kehabisan akal‘

‗terpaksa aku kamu tinggal‘

Sebagaimana lagu ―Lilakno Aku‖,

pernyataan dalam ―Sing Biso‖ juga

dinyatakan secara langsung, tak ada

metafora. Adapun organisasi

suprastrukturnya berelasi sebab akibat.

Lirik pembuka menceritakan persoalan-

persoalan yang dialami perempuan, yaitu

disakiti berulang kali sehingga memilih

untuk meninggalkan laki-laki tersebut.

Hal itu dilakukan sebagai bentuk

kebebasan dan kesetaraan.

Semangat feminisme berikutnya

dinyatakan dalam lagu ―Ilang Roso‖.

Lagu ini menceritakan perempuan yang

mencintai laki-laki dengan tulus dan

Page 12: REPRESENTASI FEMINISME PADA LIRIK LAGU DANGDUT …

Representasi Feminisme pada Lirik Lagu … (Herlianto A.)

12

menjaga cintanya dengan penuh

kesetiaan. Dia yakin janji laki-laki dapat

dipercaya dan tak akan menyakiti.

Namun, ternyata janji hanya tinggal

janji, si laki-laki tetap mengkhianati.

Akhirnya, perempuan dikisahkan

memilih meninggalkan lelaki. Pilihan itu

tepat karena dia merasa terbebas dari

masa lalunya yang tergantung pada laki-

laki. Perempuan tidak hanya

membutuhkan janji karena hanya

menyakitkan hati. Spirit untuk hidup

setara ini dinyatakan dengan lirik

berikut:

ra butuh welasmu, ra butuh tangismu

aku isa gawe kowe luweh lara

rontok ati iki nibani batinku

ilang rasa ninggalke catu neng atiku

lara ati iki kelingan janjimu

rasaku wes lali, rasaku wes mati

‗tidak butuh kasihanmu, tidak butuh

tangismu‘

‗aku bisa membuatmu lebih sakit‘

‗rontok hati ini menjatuhkan batinku‘

‗hilang rasa meninggalkan bekas di

hatiku‘

‗sakit hati ini teringat janjimu‘

‗rasaku sudah lupa, rasaku sudah mati‘

Lagu ini menggunakan kalimat

langsung dalam menyatakan gagasan

feminisme dan tanpa metafora. Apa yang

dinyatakan dalam lagu ini adalah upaya

memberikan ruang kepada perempuan

untuk memilih dan menentukan sendiri

hidup yang akan dijalani. Relasi kasih

sayang tidak seharusnya membuat

perempuan terdeskrisminasikan sehingga

seolah-olah perempuan tak punya

kekuatan untuk melawan dan mandiri

dalam memilih. Perempuan sungguh bisa

merdeka.

Kelima lagu di atas semuanya

merepresentasikan ideologi feminisme

yang secara historis sudah menjadi

kesadaran sosial dalam masyarakat Jawa.

Temuan ini cukup berbeda dengan

beberapa penelitian sebelumnya pada

lagu-lagu Indonesia baik yang bergenre

pop maupun dangdut. Penelitian lagu

dangdut seperti yang dilakukan Amelia

(2014) dan Asy-shidiqy (2016) justru

mendapatkan representasi patriarki

dalam beberapa lagu yang ditelitinya.

Perbedaan ini dapat dijelaskan karena

kedua peneliti ini dalam pengambilan

sampelnya tidak melibatkan dangdut

koplo Jawa sehingga representasi

datanya tidak mencakup semua lagu

dangdut di Indonesia. Ketiadaan sampel

dangdut berbahasa Jawa inilah

dimungkinkan adanya data sampel yang

terlewatkan. Begitu juga dengan

Ambarsiwi (2012) dan Lestari (2013)

yang menemukan patriarki dalam lagu-

lagu pop. Untuk perbedaan ini sangat

jelas, subjek penelitian dalam artikel ini

dan subjek penelitian yang dilakukan

oleh Ambarsiwi dan Lestari berbeda

genre sehingga sangat dimungkinkan

generalisasi tidak mencakup semua lagu-

lagu dangdut koplo. Padahal, kalau

dilihat dari fakta historis yang

membentuk kesadaran sosial masyarakat

Jawa tidak salah jika beberapa lagu

dangdut Jawa merepresentasikan

feminisme. Karena teks pastilah

terbentuk dari kondisi sosial

penciptanya, sebagaimana dinyatakan

dalam analisis wacana van Dijk.

Ditambah lagi, dalam dua penelitian

yang dilakukan di Barat oleh Keleta-

Mae (2017) dan Kainen (2018) yang

menemukan representasi feminisme pada

lagu-lagu Beyonce dan The Beatles.

Artinya, memungkinkan sekali lagu-lagu

itu menjadi media untuk

merepresentasikan feminisme, termasuk

lagu-lagu dangdut koplo Jawa.

Page 13: REPRESENTASI FEMINISME PADA LIRIK LAGU DANGDUT …

Jalabahasa Vol. 17, No. 1, Mei 2021, hlm. 1—14

13

SIMPULAN

Artikel ini telah menunjukkan bahwa

lima lagu dangdut koplo Jawa

merepresentasikan feminisme.

Representasi tersebut tidak terlepas dari

konteks historis masyarakat Jawa bahwa

sedari awal ada kecenderungan untuk

menempatkan perempuan setara dengan

laki-laki. Hal ini telah dilakukan oleh

Kartini dan beberapa gerakan-gerakan

pejuang perempuan lainnya dalam

sejarah Jawa. Fakta inilah yang

kemudian memadat dalam kesadaran

sosial orang-orang Jawa sehingga lagu-

lagu dangdut koplo Jawa yang

diproduksi juga secara kontekstual

dipengaruhi peristiwa historis tersebut.

Penelitian ini hanya meneliti lagu-

lagu dangdut Jawa koplo modern, tahun

2014-2017. Subjek penelitiannya belum

menyasar pada lagu-lagu lawas Jawa

seperti campur sari. Ini merupakan

problem penelitian lebih jauh yang bisa

dilakukan untuk membuka lebih jauh

feminisme dalam kesusastraan Jawa.

DAFTAR PUSTAKA

Ambarsiwi, Inne Wahyu. 2012.

―Representasi Ideologi Patriarki

Dalam Lirik Lagu Mulan

Jameela‖. Skripsi. Jogjakarta:

UIN Sunan Kalijaga.

Amelia, Laras Shinta. 2014.

―Representasi Perempuan Dalam

Lirik Lagu Dangdut‖. Skripsi.

Malang: Universitas Brawijaya

Malang.

Ash-shidiqy, Hasby. 2016. ―Citra

Perempuan Dalam Lagu-Lagu

Dangdut: Analisa Feminisme

Dalam Budaya Populer‖. Jurnal

al-Tsaqafa Volume 13, No 1,

Tahun 2016, halaman 135–441.

UIN Sunan Gunung Djati.

Asmarani, Ratna. 2017. ―Perempuan

Dalam Perspektif Kebudayaan‖.

Jurnal Sabda. Vol. 12 No. 1,

Tahun 2017, halaman 7—16.

Djoeffan, Sri Hidayati. 2001. ―Gerakan

Feminisme Indonesia: Tantangan

Dan Strategi Mendatang‖. Jurnal

Mimbar. Vol. 3, No. XVII,

Tahun 2001, halaman 284–300.

Eriyanto. (2001). Analisis Wacana:

Pengantar Analisis Teks Media.

Yogyakarta: LKiS.

Gilman, Charlotte Perkins. 1898. Women

and Economic: A Study of The

Economics Relation Between

Men and Women as a Factor in

Social Evolution California:

University of California Press.

Kankainen, Pauliina. 2008. ―She‘s Not a

Girl Who Misses Much‖- The

Representation of Woman in The

Beatles‘ Song Lyrics‖. Thesis.

Universiry of Tampere: Pro

Gradu.

Lestari, Nunung. 2013. ―Representasi

Wanita Dalam Lirik Lagu Pop

Indonesia‖. Skripsi. Universitas

Muhammadiyah Malang.

Keleta-Mae, Naila. (2017). Beyonce

Feminist. Atlantis. 38.

Raditya, Michael H.B. & Simatupang,

Lono Lastoro. 2018. ―Negosiasi

Kultural dan Musikal Dangdut

Koplo pada Orkes Melayu Sonata

di Jombang‖. Panggung. Vol. 28,

No. 4. Tahun 2018, halaman

433—451.

Raditya, Michael H.B. 2018. ―Dangdut

Koplo: Memahani Perkembangan

Hingga Pelarangan‖. Jurnal Studi

Budaya Nusantara. Vol. 1, No.

1,Tahun 2018, halaman 10–23.

Setiaji, Denis. 2017. ―Tinjauan

Karakteristik Dangdut Koplo

Sebagai Perkembangan Genre

Musik Dangdut‖. Handep. Vol.

Page 14: REPRESENTASI FEMINISME PADA LIRIK LAGU DANGDUT …

Representasi Feminisme pada Lirik Lagu … (Herlianto A.)

14

1, No. 1, Tahun 2017, halaman

19–33.

Susanti, Fitria Dwi. 2019.

―Perkembangan Musik Dangdut

Koplo Jawa Timur Tahun 2013-

2017‖. AVATARA, e-Journal

Pendidikan Sejarah. Vol. 7, No.

3, Tahun 2019, halaman 1—8.

Thornham, Sue. 2010. Teori Feminisme

dan Cultural Studies.

Yogyakarta: Jalasutra.

Tong, Rosemarie Putnam. 2010.

Feminist Thought: Pengantar

Paling Komprehensif Kepada

Arus Utama Pemikiran Feminis.

Yogyakarta: Jalasutra.

Walters, Margaret. 2005. Feminism:

Very Short Introduction. Oxford

University Press.

Widati, Sri. 2009. Feminisme Dalam

Sastra Jawa Sebuah Gambaran

Dinamika Sosial. Jurnal

ATAVISME. Vol. 12 No. 1.

Tahun 2009, halaman 83—96.

Woolf, Virginia. 1929. A Room of One’s

Own. London: The Hogarth

Press.

Woolf, Virginia. 1939. Three Guineas.

Tanpa Kota: Project Gutenberg.