BAB II TINJAUAN PUSTAKA...feminisme, lingkungan hidup, kebebasan sipil sampai pada isu-isu...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA...feminisme, lingkungan hidup, kebebasan sipil sampai pada isu-isu...
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Gerakan Sosial Baru
The Blackwell Companion to Social Movements (van Klinken, 2007:
11) mendefinisikan dengan komprehensif bahwa gerakan sosial sebagai:
“...kolektivitas-kolektivitas yang dengan organisasi dan kontinuitas
tertentu bertindak di luar saluran-saluran institusional atau organisasional
dengan tujuan menggugat atau mempertahankan otoritas, entah yang
didasarkan secara institusional atau kultural dan berlaku dalam kelompok,
organisasi, masyarakat, kebudayaan atau tatanan dunia di mana mereka
merupakan salah satu bagiannya.”
Konseptualisasi ini melibatkan lima hal agar bisa dianggap sebagai
gerakan sosial. Kelima konsep itu adalah tindakan kolektif atau gabungan,
tujuan-tujuan atau klaimklaim yang berorientasi pada perubahan, sesuatu
tindakan kolektif yang bersifat ekstra-institusional atau non-institusional,
organisasi sampai tingkat tertentu (relasi), dan keberlanjutan dalam hal
waktu sampai tingkat tertentu.
Studi tentang gerakan sosial adalah salah satu dari bagian terbesar
dan paling luas dipahami dalam disiplin ilmu sosiologi. Beberapa peneliti
mempelajari bangkitnya organisasi gerakan sosial yang lebih spesifik pada
titik-titik tertentu dalam sejarah, sementara peneliti lain melihat pada tren
dan peristiwa pada tingkat makro dalam upaya untuk menghubungkan
berbagai macam demografis dalam skala besar, transformasi ekonomi dan
politik terhadap munculnya secara regional, nasional, dan bahkan global
dari sebuah gerakan sosial (de Fay, 1999). Keragaman pendekatan yang
digunakan untuk mempelajari berbagai bentuk tindakan kolektif juga sangat
bervariasi. Beberapa peneliti memusatkan perhatian mereka pada media dan
dampaknya terhadap para aktor gerakan sosial, sementara yang lain melihat
dampak dari kemiskinan dan kelas sosial pada munculnya gerakan sosial.
Terdapat lagi sarjana lain, dipelopori oleh ilmuan kontemporer yang
16
mengeksplorasi faktor identitas dan munculnya rangkaian baru dari
kepentingan bersama yang menyatukan masyarakat yang berbeda melintasi
jarak fisik yang besar dan dari berbagai budaya dan sistem politik (de Fay,
1999).
Sebelum menjelasakan lebih lanjut, terlebih dahulu kami
mengemukakan pendekatan yang kami gunakan dalam melihat kerangka
kerja Lidah Tani yaitu pendekatan gerakan sosial baru (GSB) yang telah
banyak dikemukakan oleh para ilmuan kontemporer. Gerakan sosial baru
dipahami berbeda dengan gerakan sosial lama (klasik) yang melibatkan
wacana ideologis yang lebih meneriakkan anti kapitalisme, revolusi kelas
dan perjuangan kelas. Karekteristik GSB sifatnya plural, diantaranya seputar
isu yang berhubungan dengan anti rasisme, anti nuklir, perlucutan senjata,
feminisme, lingkungan hidup, kebebasan sipil sampai pada isu-isu
perdamaian (Singh, 2007: 122).
Dalam subtansi utama itulah, studi ini melihat dengan perspektif
GSB. Asumsinya bahwa dalam kasus yang terjadi di Randublatung,
walaupun ditemukan adanya ketegangan yang sifatnya strukturalis antara
pemerintah dan masyarakat, tetapi ide dasar gerakan berdasarkan isu seputar
Hak Asasi Manusia dan keadilan hukum. Mobilisasi yang dilakukan oleh
organisasi Lidah Tani menciptakan berbagai bentuk perlawanan terhadap
Perum Perhutani adalah alasan mendasar dari penggunaan konsepsi GSB
dalama tulisan ini.
Kembali kepada persoalan teoritis, selanjutnya untuk membedakan
dengan konsep klasik, beberapa ciri dari GSB yang dapat dikenali dalam
beberapa konsep (Singh, 2007: 124-134). Pertama, GSB menaruh konsepsi
ideologis pada asumsi bahwa masyarakat sipil berada pada titik nadir.
Ruang sosialnya mengalami penciutan dikarenakan kontrol negara yang
berlebihan. Selain negara, pasar juga menerobos masuk kedalam seluruh
aspek kehidupan masyarakat.
Kedua, perjuangan seperti anti rasisme, gerakan feminis dan
lingkungan hidup bukanlah persoalan perjuangan kelas. Pengelompokan
17
mereka adalah lintas kelas, sehingga paradigma marxisme menjadi model
yang tidak cocok. Karenanya kebanyakan GSB didefinisikan sebagai
gerakan nonkelas dan nonmaterialistik.
Ketiga, GSB umumnya melibatkan politik akar rumput, aksi-aksi
akar rumput yang kerap memprakarsai gerakan mikro. Mereka melahirkan
secara horizontal asosiasi demokratis terorganisir yang terjalin dalam
federasi longgar pada tingkat nasional maupun dalam tingkat global. GSB
secara umum merespon isu seputar demoralisasi struktur kehidupan sehari-
hari dan memusatkan perhatian pada bentuk-bentuk komunikasi dan
identitas kolektif, dibandingkan membidik domain perekonomian dan
negara. Sehingga diharapkan untuk menata kembali relasi negara,
masyarakat dan pasar untuk menciptakan ruang publik yang berisi
kebebasan individu, kolektivitas dan identitas selalu bisa di diskusikan dan
diawasi.
Keempat, lain halnya dengan teori klasik, struktur GSB didefinisikan
oleh pluralitas cita-cita, tujuan, kehendak, orientasi oleh heterogenitas basis
sosial mereka. Sesuai dengan esensinya, maka GSB umumnya bersifat
global dan tidak tersegmentasi. Wilayah aksi, strategi dan cara mobilisasi
mereka transnasional meyeberangi batas-batas bangsa dan masyarakat.
Aktor-aktor yang beroperasi dalam GSB bukan karena kepentingan kelas
mereka tetapi dengan alasan kemanusiaan. Aktor GSB seperti feminis,
ekolog, dan aktivis perdamaian, memiliki pemahaman diri berupa identitas,
tujuan, dan cara-cara berasosiasi mereka ditinjau secara historis adalah baru.
Secara teoritis mengenai GSB sebagai analisis, maka tulisan ini
meminjam konsep framing. Pendekatan framing dalam gerakan sosial paling
erat terkait dengan karya David Snow, William Gamson dan Todd Gitlin
(McAdam et.al, 2009; de Fay, 1999). Istilah frame dipinjam dari Erving
Goffman yang mengacu pada skema penafsiran bahwa individu mengadopsi
untuk memahami dunia di sekitar mereka dan menempatkan diri di
dalamnya. Menurut Snow, frame memberikan makna pada peristiwa dan
18
“berfungsi untuk mengatur pengalaman dan panduan tindakan (kolektif dan
individual)” (McAdam et.al, 2009: 270-271).
Untuk menarik massa, gerakan sosial harus membangun frame yang
sangat mirip dengan frame dari individu-individu yang sedang berusaha
untuk dimobilisasi. Proses ini disebut “kerangka berpihak” dan tergantung
pada seberapa sukses pemimpin gerakan menjembatani kerangka aksi
gerakan mereka sendiri dengan frame tindakan kolektif dari simpatisan.
Sehingga mereka akan mampu memobilisasi berbagai individu dan
kelompok.
Dalam rangka untuk menjelajahi bagaimana membangun frame
tindakan kolektif, Gamson menganalisa kelas pekerja (de Fay, 1999: 23-24).
Gamson memeriksa tiga frame tindakan kolektif yang berbeda yang ia
sebut, ketidakadilan, lembaga, dan identitas. Sehubungan dengan frame
ketidakadilan, Gamson menemukan bahwa orang yang bekerja tidak
menyederhanakan penerimaan penggambaran frame ketidakadilan, tanpa
terlebih dahulu mereka memproses melalui kerangka interpretif dan
pengalaman mereka. Seperti teori framing lainnya, Gitlin juga memulai
dengan definisi Irving Goffman tentang frame, tapi dia berfokus pada
dampak cara media terhadap frame gerakan sosial, bukannya pembangunan
frame individu. Sementara Gamson menentang gagasan bahwa media
memiliki pengaruh langsung pada individu terhadap frame tindakan
kolektif, Gitlin menyatakan bahwa media massa itu sendiri memainkan
peran penting dalam membentuk persepsi publik, dan gerakan sosial
tertentu. Gitlin menyatakan bahwa media memiliki dampak langsung dan
signifikan terhadap keberhasilan, atau kegagalan gerakan sosial modern (de
Fay, 1999: 24-25).
Framing (pembingkaian) memusatkan perhatian pada peranan usaha
menguasai ide-ide dan identitas-identitas baru dalam membentuk gerakan-
gerakan sosial. Para organisator gerakan melakukan mobilisasi dengan jalan
melukiskan isu-isu untuk para calon peserta gerakan dengan cara
memberikan makna bagi mereka (van Klinken, 2007: 14). Framing menurut
19
Todd Gitlin adalah strategi bagaimana realitas dunia dibentuk dan
disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak
pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak
menonjol dan menarik perhatian khalayak. Proses itu dilakukan dengan
seleksi, pengulangan, penekanan, dan presentasi aspek tertentu dari realitas.
Maka, dalam konsep framing pada dasarnya merujuk pada pemberian
definisi, penjelasan, evaluasi, dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk
menekankan dalam kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang
diwacanakan.
Selain itu, konsep kedua yang dipakai dalam tulisan ini adalah
mekanisme relasi (relational mechanisms) yang diambil dalam teori
contentious politics (McAdam et.al: 2004). Secara umum mekanisme
didefinisikan sebagai sebuah kejadian yang mengubah hubungan-hubungan
di antara elemen-elemen tertentu dan cara-cara serupa. Sebuah contoh
sentral tentang mekanisme relasional adalah brokerage (perantara), dimana
dua unit sosial dibawa memasuki suatu hubungan dengan satu sama lain
oleh unit ketiga (van Klinken, 2007: 17). Mekanisme relasional mengubah
hubungan antara orang-orang, kelompok, dan jaringan interpersonal.
Brokerage menghubungkan dua atau lebih situs sosial, yang sebelumnya
tidak terhubung oleh sebuah unit yang menengahi hubungan mereka dengan
satu sama lain, dan atau tanpa agen lain. Mekanisme berkaitan dengan
kelompok dan individu satu sama lain yang termobilisasi selama periode
politik perdebatan (contentious politics) sebagai kelompok baru yang
disatukan oleh interaksi yang meningkat dan situasi ketidakpastian,
sehingga mereka menemukan kepentingan bersama (McAdam et.al, 2004:
26).
Contentious politics itu sendiri oleh McAdam, Tilly dan Tarrow
didefinisikan sebagai peristiwa yang terjadi secara episodik atau tiba-tiba
daripada sebuah proses reguler. Definisi contentious politics yang dimaksud
berdasarkan pada dua alasan yaitu: pertama, banyak contoh ketegangan
transgresif tumbuh diluar dari kebiasaan yang ada; kedua, perubahan dalam
20
jangka waktu singkat. Sebuah ketegangan politik dan perubahan sosial
sering muncul dari transgresif yang memiliki kecenderungan lebih, dan
sering memproduksi rezim-rezim yang ada.
Strategi Tahapan Konsolidasi dan Framing
2.2 Konsep Aktor Intermediary
Menurut Noeleen Heyzer, terdapat tiga jenis peranan yang dapat
dimainkan oleh berbagai aktor intermediary yakni mendukung dan
LIDAH
TANI
Konsolidasi
Dengan LBH
dan LSM_LSM
local dan
Nasional
PENGUATAN
WACANA
PUBLIK
HERING
FORUM
DISKUSI
FRAMING
21
memberdayakan masyarakat pada tingkat grassroots, yang sangat esensial
dalam rangka menciptakan pembangunan yang berkelanjutan. Kedua,
meningkatkan pengaruh politik secara meluas, melalui jaringan kerja sama,
baik dalam suatu negara ataupun dengan lembaga-lembaga internasional
lainnya. Ketiga, ikut mengambil bagian dalam menentukan arah dan agenda
pembangunan (Afan Gaffar, 2006: 203).
Dalam ranah non-ektoral, biasanya wadah yang digunakan
berbentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang didirikan atas dasar
tujuan tertentu. Kehadiran LSM dalam sebuah masyarakat merupakan
kenyataan yang tidak dapat dinafikan. Hal ini dikarenakan keterbatasan
pemerintah yang tidak dapat memenuhi kebutuhan warga masyarakat, dan
atau keterbatasan masyarakat dalam memenuhi tuntutannya kepada negara.
Hingga yang terjadi biasanya adalah peran itu kemudian diambil alih oleh
kelompok LSM atau aktor aktoraktor intermediary. Disisi lain, fenomena
pembentukan norma dan tatanan sosial yang dilakukan oleh negara,
menciptakan ketegangan dengan masyarakat, sehingga peran-peran dari
aktor intermediary akan sering terlihat.
2.3 Teori Jaringan Aktor
Teori yang mendukung penelitian ini adalah teori jaringan. pada
teori jaringan banyak di bahas tentang hubungan antara satu aktor (individu
atau kelompok) dengan aktor lainnya. Salah satu ciri khas teori jaringan
adalah pemusatan pemikiran pada tingkat makro, artinya aktor atau pelaku
bisa saja individu (Wellman, 1983: 162 dalam Ritzer, 2004: 382), atau
mungkin juga kelompok, perusahaan dan masyarakat. Kaitannya dalam hal
ini teori jaringan membahas tentang hubungan yang terjadi pada tingkat
struktur sosial skala luas sampai tingkat yang lebih mikroskopik. Analisis
jaringan lebih ingin mempelajari keteraturan individu atau kolektivitas
berperilaku ketimbang keteraturan keyakinan tentang bagaimana mereka
seharusnya berperilaku. Karena itu pakar analisis jaringan mencoba
menghindarkan penjelasan normatif dari perilaku sosial. Mereka menolak
22
penjelasan non struktural yang memperlakukan proses sosial sama dengan
penjumlahan ciri pribadi aktor individual dan norma tertanan. Hubungan ini
berlandaskan gagasan bahwa setiap aktor (individual atau kelompok)
memiliki akses berbeda terhadap sumber daya yang menilai (kekayaan,
kekuasaan, informasi). Akibatnya adalah bahwa sistem yag berstruktur
cenderung tersratifikasi, komponen tertentu tergantung pada komponen lain.
Teori jaringan juga memiliki beberapa prinsip logis yang merupakan
tempat bersandarnya pemikiran-pemikiran teori jaringan itu sendiri.
(Wellman, 1983 dalam Ritzer, 2004: 384) yaitu:
1. Ikatan antar aktor biasanya dalah simetris baik dalam kadar
maupun intensitasnya.
2. Ikatan antara individu yang harus dianalisis dalam konteks
struktur jaringan lebih luas.
3. Tersturturnya ikatan sosial menimbulkan berbagai jenis jaringan
non acak.
4. Adanya kelompok jaringan menyebabkan terciptanya hubungan
silang antara kelompok jaringan maupun antara individu.
5. Ada ikatan asimetris antara unsur-unsur didalam sebuah sistem
jaringan dengan akibat bahwa sumber daya yang terbatas akan
terdistribusikan secara tak merata.
6. Distribusi yang tampang dari sumber daya yang terbatas
menimbulkan baik itu kerjasama maupun kompetisi.
Jaringan sosial merupakan suatu jaringan tipe khusus, dimana
“ikatan” yang menghubungkan satu titik ke titik lain dalam jaringan adalah
hubungan sosial. Berpijak pada jenis ikatan ini, maka secara langsung atau
tidak langsung yang menjadi anggota suatu jaringan sosial adalah manusia
(person”). Jaringan sosial tidak hanya beranggotakan pada satu individu,
namun dapat juga berupa sekumpulan orang yang mewakili titik –titik
23
seperti yang dikemukakan sebelumnya, jika tidak harus satu titik mewakili
satu orang, misalnya organisasi, instansi, pemerintah atau negara.
Sementara hubungan sosial atau saling keterhubungan merupakan
interaksi sosial yang berkelanjutan (relatif cukup lama atau permanen) yang
terakhirnya diantara mereka terikat satu sama lain dengan atau oleh
seperangkat harapan yang relatif stabil (Zanden, 1990 dalam Agusyanto,
2007:14).
Hubungan sosial bisa dipandang sebagai sesuatu yang seolah-olah
merupakan sebuah jalur atau saluran yang menghubungkan antara satu
orang(titik) dengan orang-orang lain dimana melalui jalur atau saluran
tersebut bisa dialirkan sesuatu, misalnya barang, jasa, dan informasi.
Hubungan sosial antara dua orang mencerminkan adanya pengharapan peran
dari masing-masing lawan interaksinya. Tingkah laku yang diwujudkan
dalam suatu interaksi sosial itu sistematik, meskipun para pelakunya belum
tentu menyadarinya. Dari terwujudnya hubungan sosial yang baik maka
akan memudahkan jaringan sosial berkembang. Jaringan sosial menjadi
sangat penting di dalam masyarakat karena di dunia ini bisa dikatakan
bahwa tidak ada manusia yang tidak menjadi bagian dari jaringan-jaringan
hubungan sosial dari manusia lainnya. Walaupun begitu manusia tidak
selalu menggunakan semua hubungan sosial yang dimilikinya dalam
mencapai tujuan-tujuannya, tetapi disesuaikan dengan ruang dan waktu atau
konteks sosialnya (Agusyanto, 2007:30). Dari analisis beberapa pakar
jaringan mengatakan bahwa sesungguhnya jaringan sosial memiliki
keteraturan-keteraturan sehingga terbentuknya jaringan bukan secara acak
melainkan secara teratur. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan pada
paragraf diatas, manusia dapat membuat jaringan atau terlibat dalam sebuah
jaringan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi ruang dan waktu. Ada tiga
pembagian tipe keteraturan jaringan sosial menurut Epstein (1992 dalam
Agusyanto, 2007 : 30-31), yaitu:
24
1. Ketentuan Struktural, dimana perilaku orang-orang
teinterpretasikan dalam term tindakan-tindakan yang sesuai dengan posisi-
posisi yang mereka duduki dalam suatu perangkat tatanan posisi-posisi.
2. Keteraturan Katagorikal, dimana perilaku seseorang di dalam
situasi-situasi yang tidak terstruktur bisa terinterpretasi ke dalam term
steriotipe-steriotipe.
3. Keteraturan Personal, dimana perilaku orang-orang, baik di dalam
situasi yang terstruktur maupun tidak, bisa diinterpretasikan ke dalam
pengertian-pengertian ikatan-ikatan personal yang dimiliki seseorang
individu dengan orang-orang lain.
Bicara mengenai jaringan sosial tidak akan habis dalam sekali
pembahasan, karena begitu kompleksnya jaringan yang terbentuk dalam
masyarakat bahkan saling tumpah tidih dan memotong satu sama lain
sehingga Barnes merasa perlu untuk membedakan jaringan untuk
kepentingan penelitiannya, menurut Barnes (1969 dalamAgusyanto, 2007)
jaringan dibedakan atas jaringan total digunakan untuk menyebut jaringan
sosial yang kompleks, dan jaringan partial untuk menyebut jaringan yang
hanya berisi satu jenis hubungan sosial. Lain hal lagi bila jaringan sosial
ditinjau dari tujuan hubungan sosialyang membentuk jaringan-jaringan.
Beberapa pakar antropologi maupun sosiologi dari beberapa literatur
mengatakan, dari sisi ini jaringan sosial dapat di bedakan dalam tiga jenis
yaitu :
1. Jaringan interest (kepentingan), terbentuk dari hubungan-
hubungan sosial yanng bermuatan kepentingan. Hubungan sosial yang
bermakna pada tujuan-tujuan tertentu atau khusus yang ingin dicapai oleh
para pelaku, sehingga
tindakan dan interaksi juga dievaluasi berdasarkan tujuan
rasionalnya tadi. Pertukaran yang terjadi dalam jaringan juga diatur oleh
25
kepentingan –kepentingan pelaku didalamnya. Kecenderungan pelaku untuk
memanifulasi hubungan-hubungan sosial yang dimilikinya demi pencapaian
tujuan sangat besar.
2. Jaringan power, hubungan-hubungan sosial yang membentuk
jaringan bermuatan power. Power disini merupakan suatu kemampuan
seseorang atau unit sosial untuk mempengaruhi perilaku dan pengambil
keputusan orang atu unit sosial lainnya mellalui pengendalian (Adams: 1977
dalam Agusanto, 2007). Konfigurasi-konfigurasi saling keterhubungan antar
pelaku di dalamnya sengaja atau diatur. Ketika pencapaian tujuan yang telah
ditargetka dengan bantuan tindakan kolektif, dan konfigurasi saling
keterhubungan permanen antar pelakunya, maka jaringan power juga telah
terbentuk. Unit-unit sosialnya merupakan bentukan yang direncanakan atau
distrukturkan secara sengaja oleh power. Pusat power pada jaringan
iniselalu mengevaluasi kinerja unit-unit sosialnya dan memola kembali
strukturnya untuk meningkatkan efisiensinya. Setiap anggota yang
terhubung di jaringan ini tidak terjadi secara sukarela dan kesadaran untuk
memenuhi kewajiban masing-masing tanpa mengharap insentif. Sangat
diperlukan adanya penghargaan bahkan ganjaran (reward and punish) yang
terstruktur secara formal guna mendorong timbulnya kerelaan dengan
peraturan-peraturan dan perintah-perintah oleh pusat-pusat power mereka.
3. Jaringan sentiment (emosi), seperti judulnya jaringan ini terbentuk
atas dasar hubungan-hubungan sosial yang bermuatan emosi. Hubungan
sosial itu sendiri sebenarnya menjadi tujuan tindakan sosial misalnya
percintaan, pertemanan atau hubungan kerabat, dan sejenisnya. Struktur
sosial yang terbentuk dari hubungan-hubungan emosi pada umumnya lebih
mantap atau permanen. Mengacu pada kata emosi yang didalamnya juga
mengandung unsur menyukai atau tidak menyukai, sehingga dalam jaringan
ini terdapat saling suka atau tidak suka antar pelaku. Kemudian muncullah
norma-norma dan nilai-nilai akibat dari adanya kewajiban saling kontrol
26
yang relatif kuat diantara para pelaku, lantas dapat menjaga stabilitas dan
menjaga keberlangsungan hubungan-hubungan sosial emosional yang
terdapat dalam jaringan ini. Tipe jaringan ini dengan segala kecenderungan-
kecenderungan hubungan emosional didamnya dapat menghasilkan rasa
solidaritas.
Ketiga tipe jaringan sosial ini dalam kehidupan nyata sering kali
berpotongan. Pertemuan-pertemuan tersebut membangkitkan suatu
ketegangan bagi pelaku yang bersangkuatan karena logika situasional atau
struktur sosial dari masing-masing tipejaringan berbeda atau belum sesuai
satu sama lain. oleh karena itu, sering kali terlihat kontradiksi antara
tindakan-tindakan dengan sikap yang pelaku wujudkan.
Mekanisme Network, Relasi yang
Dibangun oleh Lidah Tani
Lidah Tani
Masyarakat Petani
Randublatung
Aliansi Rakyat Peduli
Keadilan dan Anti
Kekerasan
LSM-LSM di Jateng:
KPA, LBH Semarang
dan ARuPA
Kontras di tingkat
Nasional
27
2.4 Kerangka Pikir Penelitian
Organisasi Lidah Tani
Negara
(kebijakan) Perhutani
(KPH
Randublatung)
Masyarakat
(Petani
Randublatung)
Teori
Jaringan
Teori
Gerakan
Sosial Baru