PESANTREN AL-HUDA DAN JEJAK SEJARAH DAKWAH ULAMA …

16
827 PESANTREN AL-HUDA DAN JEJAK SEJARAH DAKWAH ULAMA HADRAMAUT DI GORONTALO THE PESANTREN AL-HUDA AND DA’WAH HISTORY TRACES OF THE HADRAMAUT ULEMA IN GORONTALO Erwin Jusuf Thaib Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Sultan Amai Gorontalo [email protected] ABSTRACT The Islamization of Gorontalo occurred in the 16th century (1525 AD) in the era of Sultan Amai. Although this Islamization process took place for a long time, the Islamic development in Gorontalo proceeded slowly. In the field of education, there is no formal Islamic education in Gorontalo. This was only realized with the initiative of the Hadramaut ulemas in Gorontalo with the founding of the Madrasah Al-Fata Al-’Arabiyyah which transformed into the Pondok Pesantren Al-Huda in Gorontalo City. This study aims to determine the role of Hadramaut ulema in the Islamization of Gorontalo. This research uses a qualitative method with a historical approach, data collection techniques such as interviews, and documentation studies. The results showed that the Ulama of Hadramaut played an important role in the development of Islam in Gorontalo, especially in the fields of education and da’wah. In the field of education, they founded Madrasah Al-Fata Al-’Arabiyyah which transformed into Pondok Pesantren Al-Huda which gave birth to many religious teachers who later developed Islamic education in other regions. In the field of da’wah, the alumni have become preachers who foster Islamic societies in the field of religion and other social aspects. Keywords: The Pondok Pesantren, Ulema, Hadramaut, Al-Huda

Transcript of PESANTREN AL-HUDA DAN JEJAK SEJARAH DAKWAH ULAMA …

Page 1: PESANTREN AL-HUDA DAN JEJAK SEJARAH DAKWAH ULAMA …

827

PESANTREN AL-HUDA DAN JEJAK SEJARAH DAKWAH ULAMA HADRAMAUT DI GORONTALO

THE PESANTREN AL-HUDA AND DA’WAH HISTORY TRACES OF THE HADRAMAUT ULEMA IN GORONTALO

Erwin Jusuf ThaibFakultas Ushuluddin dan Dakwah

IAIN Sultan Amai Gorontalo

[email protected]

ABSTRACT The Islamization of Gorontalo occurred in the 16th century (1525 AD) in the era of Sultan Amai. Although this Islamization process took place for a long time, the Islamic development in Gorontalo proceeded slowly. In the field of education, there is no formal Islamic education in Gorontalo. This was only realized with the initiative of the Hadramaut ulemas in Gorontalo with the founding of the Madrasah Al-Fata Al-’Arabiyyah which transformed into the Pondok Pesantren Al-Huda in Gorontalo City.

This study aims to determine the role of Hadramaut ulema in the Islamization of Gorontalo. This research uses a qualitative method with a historical approach, data collection techniques such as interviews, and documentation studies. The results showed that the Ulama of Hadramaut played an important role in the development of Islam in Gorontalo, especially in the fields of education and da’wah. In the field of education, they founded Madrasah Al-Fata Al-’Arabiyyah which transformed into Pondok Pesantren Al-Huda which gave birth to many religious teachers who later developed Islamic education in other regions. In the field of da’wah, the alumni have become preachers who foster Islamic societies in the field of religion and other social aspects.

Keywords: The Pondok Pesantren, Ulema, Hadramaut, Al-Huda

Page 2: PESANTREN AL-HUDA DAN JEJAK SEJARAH DAKWAH ULAMA …

828

Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume 6, Nomor 2, Juli-Desember 2020

ABSTRAK

Islamisasi Gorontalo terjadi pada abad ke-16 (1525 M) di era Sultan Amai. Meskipun Islamisasi ini sudah lama, namun perkembangan Islam di Gorontalo berjalan lamban. Dalam bidang pendidikan, belum terdapat perguruan Islam formal di Gorontalo. Hal ini terwujud dengan inisiatif ulama Hadramaut di Gorontalo melalui Madrasah Al-Fata Al-’Arabiyyah yang bertansformasi menjadi Pondok Pesantren Al-Huda Gorontalo.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran ulama Hadramaut dalam Islamisasi Gorontalo. Melalui metode kualitatif dengan pendekatan historis, teknik pengambilan data berupa wawancara, dan studi dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para ulama Hadramaut berperan penting dalam pengembangan Islam di Gorontalo utamanya dalam bidang pendidikan dan dakwah. Dalam bidang pendidikan, mereka mendirikan Madrasah Al-Fata Al-’Arabiyyah yang bertansformasi menjadi Pondok Pesantren Al-Huda yang melahirkan guru agama yang mengembangkan pendidikan Islam di wilayah lain. Dalam bidang dakwah, alumni madrasah ini telah menjadi juru dakwah membina masyarakat Islam bidang keagamaan dan aspek sosial kemasyarakatan.

Kata Kunci: Pondok Pesantren, Ulama, Hadramaut, Al-Huda

A. Pendahuluan

Pondok Pesantren merupakan suatu komunitas tersendiri, di mana kiai, ustadz, santri dan pengurus pondok pesantren hidup bersama dalam satu kampus, berlandaskan nilai-nilai agama Islam lengkap dengan norma-norma dan kebiasaan-kebiasaannya sendiri, yang secara eksklusif berbeda dengan masyarakat umum yang mengitarinya.1 Pondok Pesantren juga merupakan suatu keluarga yang besar di bawah binaan seorang Kiai atau ulama dibantu oleh ustadz, semua rambu-rambu yang mengatur kegiatan dan batas-batas perbuatan: halal-haram, wajib-sunnah, baik-buruk dan sebagainya itu berangkat dari hukum agama Islam dan semua kegiatan dipandang dan dilaksanakan sebagai bagian dari ibadah keagamaan, dengan kata lain semua kegiatan dan aktivitas kehidupan selalu dipandang dengan hukum agama Islam. 1 Umma Farida, Radikalisme, Moderatisme, dan Liberalisme Pesant-ren : Melacak Pemikiran dan Gerakan Pesantren di Era Globalisasi, Edukasia, Jurnal Pendidikan Islam Volume 10 Nomor 1 2015, h. 152-153

Pada kenyataannya pondok pesantren dengan fungsinya sebagai lembaga pendidikan Islam juga berfungsi sebagai tempat penyiaran agama Islam di mana para santri (santriwati/santriwan) dididik untuk bisa hidup dalam suasana yang bernuansa agamis, maka dari itu pondok pesantren memiliki tingkat integritas yang tinggi dengan masyarakat sekitarnya dan menjadi rujukan moral/perilaku bagi masyarakat umum.2

Masyarakat umum memandang pondok pesantren sebagai komunitas khusus yang ideal terutama dalam bidang kehidupan moral/perilaku, bahkan pondok pesantren dianggap sebagai tempat mencari ilmu dan mengabdi, tetapi pengertian ilmu menurut mereka tampak berbeda dengan pengertian ilmu dalam arti science. Bagi mereka, ilmu dipandang suci dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ajaran agama. Mereka selalu berfikir dalam 2 Abdul Tolib, Pendidikan di Pondok Pesantren Modern, Risalah: Jurnal Pendidikan dan Studi Islam Volume 1 Nomor 1 2015, h.62

Page 3: PESANTREN AL-HUDA DAN JEJAK SEJARAH DAKWAH ULAMA …

829

PESANTREN AL-HUDA DAN JEJAK SEJARAH DAKWAH ULAMA HADRAMAUT DI GORONTALOErwin Jusuf Thaib

kerangka keagamaan, artinya semua peristiwa empiris dipandang dalam struktur relevansinya dengan ajaran agama. Dalam hal ini ilmu pengetahuan telah ikut berperan menunjang perkembangan dan kemajuan dunia.3

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam bidang teknologi komunikasi telah mengakibatkan terjadinya globalisasi dalam berbagai bidang kehidupan umat manusia. Arus informasi tersebar dengan deras ke seluruh penjuru dunia tanpa adanya kekuatan pengendali yang bisa mengatasinya. Arus informasi ini menyebar dan menembus batas-batas teritorial negara, menerabas sekat-sekat budaya dan menyusup ke dalam lingkup kehidupan masyarakat yang paling kecil yaitu keluarga. Beragam informasi yang disebarkan, baik itu yang positif maupun negatif telah mendorong perubahan sosial yang tak terduga, khususnya dalam akselerasi pembangunan yang tampak dewasa ini.

Pembangunan pada hakikatnya adalah suatu proses transformasi masyarakat dari suatu keadaan tertentu yang makin mendekati tatanan masyarakat yang ideal. Dalam proses ini, setidaknya terdapat dua hal yang harus diperhatikan yaitu aspek kelanjutan (continuity) dan perubahan serta dinamika dalam perkembangan kebudayaan.

Perubahan yang terjadi dalam proses pembangunan adalah suatu evolusi yang dipercepat dengan perencanaan. Terhadap perubahan yang dipercepat ini setidaknya terdapat dua hal yakni: Pertama, transformasi dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri yang ditandai dengan perubahan yang bersifat fisikal, pranata sosial dan sistem nilai yang ada. Kedua, proses penduniaan 3 Zulhimma, Dinamika Perkembangan Pondok Pesantren di Indone-sia, Jurnal Darul Ilmi Volume 1 Nomor 2 2013, h.167

(globalisasi) yang semakin massif melalui berbagai media yang menyebabkan banjirnya informasi.4

Globalisasi menawarkan tantangan dan peluang bagi kebudayaan masyarakat dan pranata pendukungnya, termasuk pondok pesantren. Dalam kaitannya dengan masyarakat Islam Indonesia, pesantren telah memainkan peranan yang sangat penting dalam dua bidang yakni bidang pendidikan dan bidang dakwah. Oleh karenanya, peran dan tanggung jawab pesantren sangat berat karena memiliki peranan yang signifikan dan menentukan baik buruknya efek dari globalisasi dimaksud. Sebab dengan nilai-nilai pendidikan dan dakwah yang dianutnya, pondok pesantren dianggap masih relevan dalam posisinya sebagai benteng kepribadian bagi orang Islam menghadapi tantangan globalisasi yang cenderung destruktif bagi pengembangan kepribadian masyarakat secara umum.

Dalam konteks ini, pondok pesantren memiliki tanggung jawab bagi penciptaan suatu komunitas masyarakat yang baik yang disebut masyarakat madani yaitu suatu komunitas masyarakat yang terbuka, sebagai cerminan masyarakat yang berperadaban (madaniyyah), juga ikut berperan menciptakan sosok muslim yang kaffah yang ditandai dengan ciri-ciri seperti: bertakwa kepada Allah SWT dan taat menjalankan syariat Islam, berperilaku sebagai manusia Indonesia yang terpuji, berbudi luhur, berbadan sehat, berpengetahuan luas, berpikiran bebas, dan berguna bagi masyarakat.5

Pada awal perkembangannya dan bahkan hingga awal era 70-an, pesantren pada umumnya 4 Ahmad Sampono, Pembelajaran Pesantren, Suatu Kajian Kompar-atif (Jakarta: Departemen Agama RI; 2002) h, viii. 5 Amal Fathullah Zarkasyi, Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan dan Dakwah, dalam Adi Sasono et.al., Solusi Islam Atas Problematika Umat (Ekonomi, Pendidikan, dan Dakwah), (Jakarta : Gema Insani Press; 1998) h. 127

Page 4: PESANTREN AL-HUDA DAN JEJAK SEJARAH DAKWAH ULAMA …

830

Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume 6, Nomor 2, Juli-Desember 2020

dipahami sebagai lembaga pendidikan agama tradisional yang tumbuh dan berkembang di masyarakat pedesaan melalui suatu proses sosial yang unik.6 Saat itu, dan bahkan hingga kini, selain sebagai lembaga pendidikan, pesantren juga berperan sebagai lembaga sosial yang berpengaruh. Keberadaannya memberikan pengaruh dan warna keagamaan dalam kehidupan masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu pesantren kemudian dijadikan sebagai agen perubahan (agent of change); sebagai lembaga perantara yang diharapkan dapat berperan sebagai dinamisator dan katalisator pemberdayaan sumber daya manusia, penggerak pembangunan di segala bidang, serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menyongsong era global. Dan di sinilah perubahan merambah dunia pesantren.7

Realitas sejarah sudah menunjukkan bahwa pondok pesantren dalam kaitannya dengan masyarakat telah berhasil memposisikan pesantren sebagai benteng moral menghadapi gempuran arus globalisasi, sebagaimana yang telah diperankan oleh Pondok Pesantren Al-Huda dalam kiprahnya di tengah masyarakat Gorontalo sejak dahulu hingga kini. Gorontalo dengan segala kemajuan yang telah dicapainya, tak urung ikut memberikan problematika moral bagi mayoritas masyarakat Islam yang menghuni daerah ini. Dalam situasi seperti ini, Pondok Pesantren Al-Huda diharapkan dapat memberi arah moral bagi kemajuan Gorontalo di saat ini dan masa depan.

Keberadaan Pondok Pesantren Al-Huda tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan para ulama keturunan Arab yang berasal 6 Rahma Dani Pudji Astuti, Perubahan Pondok Pesantren di Perko-taan: Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Adzkar Tangerang Selatan Banten, MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi Volume 22 Nomo2 2017, h. 258 7 HM Amin Haedari, et.al., Masa Depan Pesantren (Jakarta: IRD Press; 2004) h. 80-81

dari Hadramaut (Yaman). Mereka masuk ke Gorontalo berbaur dengan masyarakat lokal dan ikut berkontribusi dalam pengembangan masyarakat Gorontalo khususnya dalam bidang pendidikan keagamaan dan dakwah. Kedua aspek inilah yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini untuk menjawab bagaimana peranan para ulama Hadramaut pengembangan Islam di Gorontalo khususnya dalam bidang dakwah.

Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, yakni penelitian yang dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata yang tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati8. Dengan metode ini penelitian ini berupaya menemukan data kongkrit tentang Pondok Pesantren Al-Huda utamanya menyangkut peran para ulama Hadramaut dalam pengembangan Islam di Gorontalo. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan studi dokumentasi.

B. Pondok Pesantren Sebagai Basis Keagamaan Masyarakat

Pesantren, pondok pesantren, atau sering disingkat pondok atau ponpes, adalah sebuah asrama pendidikan tradisional, di mana para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai dan mempunyai asrama untuk tempat menginap santri. Santri tersebut berada dalam komplek yang juga menyediakan masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar dan kegiatan keagamaan lainnya.9 Komplek 8 Lexi J. Moleong, Metode Penelitian Kulaitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013) h.69 Irfan Paturohman, Peran Pendidikan Pondok Pesantren dalam Perbaikan Kondisi Keberagaman di Lingkungannya (Studi Deskriptif pada Pondok Pesantren Dar Al-Taubah Bandung, Jurnal Tarbawi Vol-

Page 5: PESANTREN AL-HUDA DAN JEJAK SEJARAH DAKWAH ULAMA …

831

PESANTREN AL-HUDA DAN JEJAK SEJARAH DAKWAH ULAMA HADRAMAUT DI GORONTALOErwin Jusuf Thaib

ini biasanya dikelilingi oleh tembok untuk dapat mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlaku.10 Pondok Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan satu pengertian. Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana terbuat dari bambu. Di samping itu, kata pondok mungkin berasal dari Bahasa Arab funduq yang berarti asrama atau hotel. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura umumnya digunakan istilah pondok dan pesantren, sedang di Aceh dikenal dengan istilah dayah atau rangkang atau menuasa, sedangkan di Minangkabau disebut surau.11 Pesantren juga dapat dipahami sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara non-klasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santrinya biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut.12

Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari adanya seorang Kiai di suatu tempat, kemudian datang santri yang ingin belajar agama kepadanya. Setelah semakin hari semakin banyak santri yang datang, timbullah inisiatif untuk mendirikan pondok atau asrama di samping rumah Kiai. Pada zaman dahulu Kiai tidak merencanakan bagaimana membangun pondoknya itu, namun yang terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan ilmu agama supaya dapat dipahami dan dimengerti oleh santri.

Kiai saat itu belum memberikan perhatian terhadap tempat-tempat yang didiami oleh ume 1 Nomor 1 2012, h. 65 10 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3S; 1983) h. 18 11 Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjala-nan, (Jakarta: Paramadina, 1997) h. 5 12 Sudjono Prasodjo, Profil Pesantren, (Jakarta: LP3S;1982), h. 6

para santri, yang umumnya sangat kecil dan sederhana. Mereka menempati sebuah gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan sendiri di sekitar rumah Kiai. Semakin banyak jumlah santri, semakin bertambah pula gubug yang didirikan. Para santri selanjutnya memopulerkan keberadaan pondok pesantren tersebut, sehingga menjadi terkenal kemana-mana, contohnya seperti pada pondok-pondok yang timbul pada zaman Walisongo.13

Pondok pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar, baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Berdasarkan catatan yang ada, kegiatan pendidikan agama di Nusantara telah dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama inilah yang kemudain dikenal dengan nama Pondok Pesantren. Bahkan dalam catatan Howard M. Federspiel- salah seorang pengkaji ke-Islaman di Indonesia, menjelang abad ke-12 pusat-pusat studi di Aceh (pesantren disebut dengan nama Dayah di Aceh) dan Palembang (Sumatera), di Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) telah menghasilkan tulisan-tulisan penting dan telah menarik santri untuk belajar.14

Istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an, di mana kata “santri” berarti murid dalam Bahasa Jawa. Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab funduq yang berarti penginapan15. Khusus di Aceh, pesantren disebut juga dengan nama dayah. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang Kiai. Untuk mengatur kehidupan pondok pesantren, Kiai menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, mereka biasanya disebut

13 Rochidin Wahab, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Band-ung: Alfabeta; 2004) h.153-154 14 Irfan Hielmy, Wancana Islam (Ciamis:Pusat Informasi Pesantren; 2000), h. 120 15 Imam Syafe’I, PONDOK PESANTREN: Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter, At-Tadzkiyyat: Jurnal Pendidikan Islam Vol-ume 8 2017, h.87

Page 6: PESANTREN AL-HUDA DAN JEJAK SEJARAH DAKWAH ULAMA …

832

Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume 6, Nomor 2, Juli-Desember 2020

lurah pondok. Tujuan para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka adalah agar mereka belajar hidup mandiri dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan dengan Kiai dan juga Tuhan.16

Pendapat lainnya, pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan tempat santri. Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berarti orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan. Istilah santri juga dalam ada dalam bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedang C. C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata saint (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.17

C. Elemen Dasar Pondok Pesantren

1. Pondok Sebuah pondok pada dasarnya merupakan sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya (santri) tinggal bersama di bawah bimbingan seorang atau lebih guru yang lebih dikenal dengan Kiai.18 Dengan istilah pondok pesantren dimaksudkan sebagai suatu bentuk pendidikan keislaman yang melembaga di Indonesia. Pondok atau asrama merupakan tempat yang sudah disediakan untuk kegiatan bagi para santri. Adanya pondok ini banyak 16 Ibid. 17 H Rohadi Abdul Fatah, M Tata Taufik, Abdul Mukti Bisri,. Rekon-truksi Pesantren Masa Depan, (Jakarta Utara: PT. Listafariska Putra; 2005), h. 11 18 Zamakhsyari Dhofir, op.cit. h. 49

menunjang segala kegiatan yang ada. Hal ini didasarkan jarak pondok dengan sarana pondok yang lain biasanya berdekatan sehingga memudahkan untuk komunikasi antara Kiai dan santri, dan antara satu santri dengan santri yang lain.

Dengan demikian akan tercipta situasi yang komunikatif di samping adanya hubungan timbal balik antara Kiai dan santri, dan antara santri dengan santri. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Zamakhsari Dhofir, bahwa adanya sikap timbal balik antara Kiai dan santri di mana para santri menganggap Kiai seolah-olah menjadi bapaknya sendiri, sedangkan santri dianggap Kiai sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi19

Sikap timbal balik tersebut menimbulkan rasa kekeluargaan dan saling menyayangi satu sama lain, sehingga mudah bagi Kiai dan ustadz untuk membimbing dan mengawasi anak didiknya atau santri. Segala sesuatu yang dihadapi oleh santri dapat dimonitor langsung oleh Kiai dan ustadz, sehingga dapat membantu memberikan pemecahan ataupun pengarahan yang cepat terhadap santri, mengurai masalah yang dihadapi para santri.

Keadaan pondok pada masa kolonial sangat berbeda dengan keberadaan pondok masa kini. Hurgronje menggambarkan keadaan pondok pada masa kolonial yaitu: “Pondok terdiri dari sebuah gedung berbentuk persegi, biasanya dibangun dari bambu, tetapi di desa-desa yang agak makmur tiangnya terdiri dari kayu dan batangnya juga terbuat dari kayu. Tangga pondok dihubungkan ke sumur oleh sederet batu-batu titian, sehingga santri yang kebanyakan tidak bersepatu itu dapat mencuci kakinya sebelum naik ke pondoknya. Pondok

19 Ibid.

Page 7: PESANTREN AL-HUDA DAN JEJAK SEJARAH DAKWAH ULAMA …

833

PESANTREN AL-HUDA DAN JEJAK SEJARAH DAKWAH ULAMA HADRAMAUT DI GORONTALOErwin Jusuf Thaib

yang sederhana hanya terdiri dari ruangan yang besar yang didiami bersama. Terdapat juga pondok yang agak sempurna di mana didapati sebuah gang (lorong) yang dihubungkan oleh pintu-pintu. Di sebelah kiri kanan gang terdapat kamar kecil-kecil dengan pintunya yang sempit, sehingga sewaktu memasuki kamar itu orang-orang terpaksa harus membungkuk, cendelanya kecil-kecil dan memakai terali. Perabot di dalamnya sangat sederhana. Di depan cendela yang kecil itu terdapat tikar pandan atau rotan dan sebuah meja pendek dari bambu atau dari kayu, di atasnya terletak beberapa buah kitab”20

Dewasa ini keberadaan pondok pesantren sudah mengalami perkembangan sedemikian rupa sehingga komponen-komponen yang dimaksudkan makin lama makin bertambah dan dilengkapi sarana dan prasarananya.

Dalam sejarah pertumbuhannya, pondok pesantren telah mengalami beberapa fase perkembangan, termasuk dibukanya pondok khusus perempuan. Dengan perkembangan tersebut, terdapat pondok perempuan dan pondok laki-laki. Sehingga pesantren yang tergolong besar dapat menerima santri laki-laki dan santri perempuan, dengan memilahkan pondok-pondok berdasarkan jenis kelamin dengan peraturan yang ketat.

2. Masjid

Masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek ibadah lima waktu, khutbah dan shalat Jum’at dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Sebagaimana pula Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi 20 Irfan Hielmy, op.cit. h. 139

universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan kata lain kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat di masjid sejak masjid Quba’ didirikan di dekat Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW. tetap terpancar dalam sistem pesantren. Sejak zaman Nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam”21

Lembaga-lembaga pesantren di Jawa memelihara terus tradisi tersebut, bahkan pada zaman kini di daerah umat Islam begitu terpengaruh oleh kehidupan Barat, masih ditemui beberapa ulama dengan penuh pengabdian mengajar kepada para santri di masjid-masjid serta memberi wejangan dan anjuran kepada murid-muridnya.

Di Jawa biasanya seorang Kiai yang mengembangkan sebuah pesantren pertama-tama dengan mendirikan masjid di dekat rumahnya. Langkah ini pun biasanya diambil atas perintah Kiainya yang telah menilai bahwa ia sanggup memimpin sebuah pesantren. Selanjutnya Kiai tersebut akan mengajar murid-muridnya (para santri) di masjid, sehingga masjid merupakan elemen yang sangat penting dari pesantren.

3. Pengajaran Kitab-kitab Klasik Serta Metodenya

Sejak tumbuhnya pesantren, pengajaran kitab-kitab klasik diberikan sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama pesantren yaitu mendidik calon-calon ulama yang setia terhadap faham Islam tradisional. Karena itu kitab-kitab Islam klasik merupakan bagian integral dari nilai dan faham pesantren yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

Penyebutan kitab-kitab Islam klasik di dunia pesantren lebih populer dengan sebutan 21 Zamakhsyari Dhofir, op.cit. h. 50

Page 8: PESANTREN AL-HUDA DAN JEJAK SEJARAH DAKWAH ULAMA …

834

Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume 6, Nomor 2, Juli-Desember 2020

“kitab kuning”, tetapi asal usul istilah ini belum diketahui secara pasti. Mungkin penyebutan istilah tersebut guna membatasi dengan tahun karangan atau disebabkan warna kertas dari kitab tersebut berwarna kuning, tetapi argumentasi ini kurang tepat sebab pada saat ini kitab-kitab Islam klasik sudah banyak dicetak dengan kertas putih.

Pengajaran kitab-kitab Islam klasik oleh pengasuh pondok (Kiai) atau ustadz biasanya dengan menggunakan sistem sorogan, wetonan, dan bandongan. Adapun kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren menurut Zamakhsyari Dhofir dapat digolongkan ke dalam 8 kelompok, yaitu: (1) Nahwu (syntax) dan Sharaf (morfologi), (2) Fiqih (hukum), (3) Ushul Fiqh (yurispundensi), (4) Hadits, (5) Tafsir, (6) Tauhid (theologi), (7) Tasawuf dan Etika, (8) Cabang-cabang lain seperti Tarikh (sejarah) dan Balaghah”22

Ki tab-ki tab Is lam klasik adalah kepustakaan dan pegangan para Kiai di pesantren. Keberadaannya tidaklah dapat dipisahkan dengan Kiai di pesantren. Kitab-kitab Islam klasik merupakan modifikasi nilai-nilai ajaran Islam, sedangkan Kiai merupakan personifikasi dari nilai-nilai itu. Di sisi lain keharusan Kiai di samping tumbuh disebabkan kekuatan-kekuatan mistik yang juga karena kemampuannya menguasai kitab-kitab Islam klasik.

Dengan demikian, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan hal utama di pesantren guna mencetak alumnus yang menguasai pengetahuan tentang Islam bahkan diharapkan diantaranya dapat menjadi Kiai.

Dalam pelaksanaan proses pengajaran terhadap para santri terdapat beberapa metode yang lazim digunakan yaitu:

22 Ibid.

a. Metode Sorogan yaitu bentuk belajar mengajar di mana Kiai hanya menghadapi seorang santri atau sekelompok kecil santri yang masih berada di tingkat dasar. Tata caranya seorang santri menyodorkan sebuah kitab di hadapan Kiai, kemudian Kiai membacakan beberapa bagian dari kitab itu, lalu murid mengulangi bacaannya di bawah tuntunan Kiai sampai santri benar-benar dapat membacanya dengan baik. Bagi santri yang telah menguasai materi pelajarannya akan ditambahkan materi baru, sedangkan yang belum harus mengulanginya lagi.

b. Metode Wetonan atau Bandongan ialah metode mengajar dengan sistem ceramah. Kiai membaca kitab didepan kelompok santri tingkat lanjutan dalam jumlah besar pada waktu-waktu tertentu seperti sesudah sholat berjamaah Isya dan Shubuh. Dalam metode ini biasanya Kiai membacakan, menterjemahkan lalu menjelaskan kalimat-kalimat yang sulit dari suatu kitab dan para santri menyimak bacaan Kiai sambil membuat catatan penjelasan pada pinggiran kitabnya.

c. Metode Musyawarah ialah sistem belajar dalam bentuk seminar untuk membahas setiap masalah yang berhubungan dengan pelajaran santri di tingkat tinggi. Metode ini menekankan keaktifan pada pihak santri, yaitu santri harus mempelajari dan mengkaji sendiri buku-buku yang telah ditentukan oleh Kiainya. Kiai hanya menyerahkan dan memberi bimbingan seperlunya.23

Pemilihan kitab-kitab yang diajarkan berdasarkan tingkat-tingkat santri. Untuk 23 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam (Jilid IV, Cet. iv, Jakarta: Ich-tiar Baru Van Hoeve; 1997) h. 103-104

Page 9: PESANTREN AL-HUDA DAN JEJAK SEJARAH DAKWAH ULAMA …

835

PESANTREN AL-HUDA DAN JEJAK SEJARAH DAKWAH ULAMA HADRAMAUT DI GORONTALOErwin Jusuf Thaib

tingkat dasar diajarkan kitab-kitab yang susunan bahasanya sederhana. Pada tingkat menengah disajikan kitab-kitab yang agak rumit bahasanya. Pada tingkat tinggi atau tingkat takhassus (spesialisasi) diberikan kitab-kitab yang tebal dan rumit susunan bahasanya.

4. Santri

Santri merupakan sebutan bagi para siswa yang belajar mendalami agama di pesantren. Biasanya para santri ini tinggal di pondok atau asrama pesantren yang telah disediakan, namun ada pula santri yang tidak tinggal di tempat yang telah disediakan tersebut yang biasa disebut dengan santri kalong sebagaimana yang telah penulis kemukakan pada pembahasan di depan.

Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Santri yaitu murid-murid yang tinggal di dalam pesantren untuk mengikuti pelajaran kitab-kitab kuning atau kitab-kitab Islam klasik yang pada umumnya terdiri dari dua kelompok santri yaitu: (a) Santri Mukim yaitu santri atau murid-murid yang berasal dari jauh yang tinggal atau menetap di lingkungan pesantren. (b) Santri Kalong yaitu santri yang berasal dari desa-desa sekitar pesantren yang mereka tidak menetap di lingkungan komplek peantren tetapi setelah mengikuti pelajaran mereka pulang24

Dalam menjalani kehidupan di pesantren, pada umumnya mereka mengurus sendiri keperluan sehari-hari dan mereka mendapat fasilitas yang sama antara santri yang satu dengan lainnya. Santri diwajibkan mentaati peraturan yang ditetapkan di dalam pesantren tersebut dan apabila ada pelanggaran akan dikenakan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.

24 Ibid.h. 51

5. Kiai

Istilah Kiai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa.25 Kata Kiai mempunyai makna yang agung, keramat, dan dituahkan. Selain gelar Kiai diberikan kepada seorang laki-laki yang lanjut usia, arif, dan dihormati di Jawa. Gelar Kiai juga diberikan untuk benda-benda yang keramat dan dituahkan, seperti keris dan tombak. Namun demikian pengertian paling luas di Indonesia, sebutan Kiai dimaksudkan untuk para pendiri dan pemimpin pesantren, yang sebagai muslim terhormat telah membaktikan hidupnya untuk Allah SWT serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran serta pandangan Islam melalui pendidikan.26

Kiai berkedudukan sebagai tokoh sentral dalam tata kehidupan pesantren, sekaligus sebagai pemimpin pesantren27. Dalam kedudukan ini nilai kepesantrenannya banyak tergantung pada kepribadian Kiai sebagai suri tauladan dan sekaligus pemegang kebijaksanaan mutlak dalam tata nilai pesantren. Dalam hal ini M. Habib Chirzin mengatakan bahwa peran Kiai sangat besar sekali dalam bidang penanganan iman, bimbingan amaliyah, penyebaran dan pewarisan ilmu, pembinaan akhlak, pendidikan beramal dan memimpin serta menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh santri dan masyarakat. Dan dalam hal pemikiran Kiai lebih banyak berupa terbentuknya pola berfikir, sikap, jiwa serta orientasi tertentu untuk memimpin sesuai dengan latar belakang kepribadian Kiai28

25 Ibid. 26 B. Marjani Alwi, PONDOK PESANTREN: Ciiri Khas, Perkem-bangan, dan Sistem Pendidikannya, Jurnal Lentera Pendidikan Vol-ume 16 Nomor 2 2013, h. 207 27 Ahmad Muhakamurrohman, Pesantrean: Santri, Kiai, dan Tradisi, Ibda, Jurnal Kebudayaan Islam Volume 12 Nomor 2 2014, h. 116 28 M. Habib Chirzin, Ilmu Agama Dalam Pesantren, dalam M. Dawam Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan (Jakarta: LP3ES; 1983) h. 94

Page 10: PESANTREN AL-HUDA DAN JEJAK SEJARAH DAKWAH ULAMA …

836

Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume 6, Nomor 2, Juli-Desember 2020

Dari pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa peran Kiai sangat menentukan keberhasilan pesantren yang diasuhnya. Demikianlah beberapa uraian tentang elemen-elemen umum pesantren, yang pada dasarnya merupakan syarat dan gambaran kelengkapan elemen sebuah pondok pesantren yang terklasifikasi asli meskipun tidak menutup kemungkinan berkembang atau bertambah seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.

D. Peran Ulama Hadramaut dalam Pengembangan Islam di Gorontalo

1. Bidang Pendidikan Islam

Kiprah Pondok Pesantren Al-Huda dalam pengembangan Pendidikan Islam di Gorontalo dapat dibagi ke dalam dua fase.

a. Periode Al-Fataa al-‘Arabiyah dari tahun 1929 – 1957

Al-Fata adalah kata yang berasal dari bahsa Arab yang berarti pemuda, dan al-‘Arabiyah artinya bahasa Arab. Kalau dikembalikan kepada struktur tata bahasa Arab ’Arabiyyah yang artinya Sekolah Pemuda berbahasa Arab. Ide pendirian Madrasah Al-Fata Al-’Arabiyyah sesungguhnya berangkat dari niat luhur agar para pemuda Arab pada waktu yang telah mulai membaur dan berasimilasi dengan penduduk Gorontalo, yang datang dengan tujuan berdakwah sambil berdagang. Menurut beberapa sumber dari kalangan keturunan Arab yang setelah kemerdekaan Indonesia mereka telah menjadi warga Indonesia, yang bermukim di kampung Arab (Kelurahan Limba B. Kota Gorontalo) bahwa pendirian Madrasah Al-Fata Al-’Arabiyyah awalnya adalah diperuntukkan dalam rangka mewadahi pemuda Arab yang

datang dari negeri Yaman yang pada waktu itu masih belum lancar berbahasa Indonesia sehingga agak kesulitan dalam berkomunikasi dan menjalankan misi dakwahnya. Harapan besar dari para pendiri Madrasah Al-Fata Al-’Arabiyyah ini, dengan adanya wadah tersebut para pemuda Arab akan semakin banyak menguasai bahasa Indonesia dengan baik melalui guru yang mereka tunjuk baik dari komunitas Arab yang lebih dahulu datang ke Gorontalo maupun dari orang Gorontalo langsung yang sudah agak memahami bahasa Arab. Dengan demikian tujuan luhur Dakwah Islamiyah para pemuda Arab yang baru datang saat itu akan semakin efektif, komunikatif dan cepat mengenai sasaran.

Pendir ian madrasah ini memang monumental karena madrasah ini adalah satu-satunya sekolah agama yang pertama kali dibuka di Gorontalo pada tahun 1929. Pada tahun itulah, Madrasah Al-Fata Al-’Arabiyyah secara resmi dikukuhkan sebagai sekolah agama atas inisiatif dari Bapak Haji Umar Basalamah dengan menyewa rumah milik dari Amir bin Badar yang terletak di Kampung Cina (Kelurahan Biawa’o Kota Gorontalo).29

Banyak tokoh Islam Gorontalo lahir dari madrasah ini di antaranya Tuan Guru Yahya Podungge seorang ulama sufi di bumi Gorontalo yang dikenal dengan panggilan Ti Paci Nurjanah menuturkan bahwa beliau pernah belajar di Madrasah Al-Fata Al-’Arabiyyah dan pernah diajar oleh para syekh dari Yaman antara lain oleh Syekh Abdul Rahim, Syekh Mustafa, Syekh Abd. Rahman dan lain-lain. Beliau mengakui telah banyak menimba ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu Islam dari madrasah

29 Tim Penyusun, Instrumen Madrasah Unggulan-Madrasah Tsanawiyah Al-Huda (Gorontalo: Yayasan Pendidikan dan Dakwah Al-Huda, 2014) h. 3

Page 11: PESANTREN AL-HUDA DAN JEJAK SEJARAH DAKWAH ULAMA …

837

PESANTREN AL-HUDA DAN JEJAK SEJARAH DAKWAH ULAMA HADRAMAUT DI GORONTALOErwin Jusuf Thaib

yang berlokasi di Kelurahan Limba B Kota Gorontalo di mana kemudian tekenal dengan nama Kampung Arab.30

Eksistensi Madrasah Al-Fata Al-’Arabiyyah telah cukup eksis di Gorontalo sehingga menarik minat Habib Idrus bin Salim Al-Jufri yang terkenal dengan nama “Ustadz Tua” (pendiri Al-Khairaat di Palu tahun 1930) pernah datang ke Kampung Arab di Gorontalo pada ahun 1929 M. Kunjungan ini mengeratkan hubungan antara Madrasah Al-Fata Al-’Arabiyyah dengan Pesantren Al-Khairaat yang didirikan Habib Idrus bin Salim Al-Jufri di Palu pada tahun 1930.31

Seiring dengan berjalannya waktu Madrasah Al-Fata Al-’Arabiyyah telah memperlihatkan kemajuannya berupa tingginya animo dan minat masyarakat Gorontalo yang itu dibuktikan dengan meningkatnya kuantitas peserta didiknya. Maka atas inisiatif pengurusnya pada waktu itu H. Umar Basalamah, H. Said bin Ahmad Djibran, dan H. Umar bin Jusuf dibeli sebidang tanah di Jl. Kiai Maja No. 26 Kelurahan Limba B sebagai lokasi tetap madrasah ini. Kemudian didirikan bangunan semi permanen untuk menjadi Gedung Madrasah Al-Fata Al-’Arabiyyah yang beroperasi pada tahun 1930 dengan para pengajar sebagai berikut: (1) Syekh Muhammad Bin Umar Bahmid (2) Sayyid Ahmad bin Alwi Almasyur (3) Syekh Salim bin Umar Bahmid (4) Sayyid Abdullah Bin Umar Assagaf (5) Syekh Abdullah Bin Saleh Az-Zubedi. Adapun mata pelajaran yang diajarkan pada Madrasah Al-Fataa Al-’Arabiyyah antara lain: (1) Loghah (bahasa Arab/Muhadatsah), (2) Tarikh (Sejarah Islam), (3) Fiqih, (4) Ushul Fiqih, (5) Mufradat, (6) Nahwu/Sharaf, (7) Usul Hisab, (8) Imla,’ (9) Tahsinul Khat, (10) Tafsir Al-Quran.30 Ibid., h.431 Ibid., h.5

Madrasah Al-Fata Al-’Arabiyyah terus berkembang dan melahirkan alumni yang cukup berpengaruh dalam bidang keagamaan di wilayah Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah. Pada tahun 1957, periode Madrasah Al-Fata Al-’Arabiyyah berakhir dan dilanjutkan menjadi Pesantren Al-Huda.

b. Periode Al-Huda dari tahun 1957 sampai dengan sekarang.

Tepatnya bulan Februari tahun 1957 beliau Alm. Ali Abdullah bin Abdurrahman bin Awad Los Djibran dengan didukung pnuh oleh istri beliau yang bernama Ibu Hajah Maryam Basalamah menyatakan siap mnerima amanah menjadi pendiri Taman Pengajian Al-Huda yang kemudian berubah menjadi Yayasan Al-Huda. Dengan bekerja sama dengan semua pihak beliau dapat berhasil menyelesaian pembangunan pisik Al-Huda dalam waktu 2 tahun. Dan sekaligus telah dapat mengurus akta Notaris Al-Huda sebagai sebuah Yayasan berbadan Hukum dengan Akta Notaris no. 15 Tahun 1961.32

Lebih khusus mengenai unit Madrasah Tsanawiyah Al-Huda yang awalnya telah dirintis sejak tahun 1957 dengan nama Madrasah Tsanawiyah Al-Fata, telah mengalami perkembangan. Kalau sebelumnya hanya diminati oleh siswa dari masyarakat terdekat, pada periode selanjutnya berdatanganlah siswa-siswa dari luar daerah Kotamadya Gorontalo pada waktu itu masuk di Madrasah Tsanawiyah Al-Huda. Bahkan dalam perkembangannya Madrasah Tsanawiyah pernah menjadi Madrasah Tsanawiyah Mu’allimiin Al-Huda yang alumninya diproyeksikan menjadi Guru Agama Islam di sekolah-sekolah yang ada di Gorontalo

32 Ibid., h.6

Page 12: PESANTREN AL-HUDA DAN JEJAK SEJARAH DAKWAH ULAMA …

838

Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume 6, Nomor 2, Juli-Desember 2020

saat itu. Sehingga dapat dikatakan bahwa Madrasah Tsanawiyah Al-Huda Gorontalo sejak didirikannya sejak tahun 1957 hingga sekarang masih tetap eksis sebagai lembaga pendidikan di bawah naungan Yayasan Al-Huda Gorontalo yang telah melahirkan begitu banyak alumninya yang cukup handal dan berprestasi. Saat ini Yayasan Pendidikan dan Dakwah Al-Huda Gorontalo telah berkembang cukup signifikan di Gorontalo di bawah kepemimpinan tokoh-tokoh seperti H. Hamid Soleman, H. Awad Djibran, dr. H. Ziyad Ahmad, dan dr. H. Burhanuddin Umar, dengan mengelola pendidikan mulai Raudhatul Athfal, TK Islam, Madrasah Ibtidaiyah, SD Islam, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah.

2. Bidang Dakwah

Dalam sejarah panjangnya, baik sejak bernama Madrasah Al-Fata Al-’Arabiyyah maupun hingga menjadi Pesantren Al-Huda, lembaga ini telah memainkan peranan penting dalam mengembangkan pengkajian Islam melalui dakwah baik itu di wilayah Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah. Peran para alumni begitu besar dalam menjadikan Pesantren Al-Huda sebagai lembaga dakwah yang begitu penting di daerah Gorontalo dan sekitarnya. Alumni Pesantren Al-Huda banyak berperan dalam berbagai bidang sosial baik di tingkat lokal maupun nasional. Di antara para alumni antara lain:

a. Kiyai Haji Abas Rauf mendapat julukan lautan Ilmu Sulawesi Utara

b. Kiyai Haji Naha Akaji yang dikenal sebagai Ulama Ti Moputi dalam struktur Lembaga Adat Gorontalo.

c. Drs. KH. Abd. Rasyid Kamaru, Ketua

Majelis Ulama Indonesia Provinsi Gorontalo

d. KH. Muhammad Abubakar, S.Ag, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Khairat Tilamuta Kab. Boalemo

e. KH Ahmad Hatlah, Ulama di Kabupaten Gorontalo

f. KH. Marwan Saleh, S.Ag., imam Masjid Agung Baitur Rahim Kota Gorontalo

g. H. Hasan Aja, M.H.I, pengurus Majelis Ulama Kota Gorontalo

h. KH. Ahmad Saleh,S.Ag.,Qadhi Kabupaten Pohuwato.

i. DR. Hamdan Ladiku, M.H.I, Kepala Madrasah Tsanawiyah Negeri Kota Gorontalo.

j. DR. H. Zein Badjeber, SH mantan anggota DPR RI

k. DR. H. Mohamad Naser mantan anggota Komite Kepolisian Nasional (Kompolnas)

Di samping melahirkan banyak tokoh lokal dan nasional, Pondok Pesantren Al-Huda telah memainkan peranan sosial yang besar dalam kehdidupan sosial masyarakat Islam Gorontalo. Hal ini ditunjang oleh tiga hal yakni:

a. Secara historis, Pondok Pesantren Al Huda termasuk pesantren yang telah berdiri cukup lama. Artinya alumni yang dihasilkan dari pesantren ini cukup banyak. Alumni Pondok Pesantren Al Huda sudah tersebar hampir diseluruh instansi pemerintah baik pemerintah daerah maupun instansi vertikal. Di dunia wiraswasta alumni pesantren Al-Huda cukup banyak yang berhasil, mulai dari pengusaha kelas daerah sampai pengusaha kelas nasional.

Page 13: PESANTREN AL-HUDA DAN JEJAK SEJARAH DAKWAH ULAMA …

839

PESANTREN AL-HUDA DAN JEJAK SEJARAH DAKWAH ULAMA HADRAMAUT DI GORONTALOErwin Jusuf Thaib

b. Alumni Pondok Pesantren Al Huda banyak yang melajutkan pendidikannya. hingga sampai S-3. Ini juga berarti bahwa potensi sumber daya ini bias dimanfaatkan untuk pengembangan masyarakat Islam di Gorontalo.

c. Terbentuknya beberapa ikatan alumni Madrasah Pondok Pesantren Al Huda yakni PERWADA (Persatuan Wanita Al Huda) yang bergerak pada hari-hari besar kegiatan Islam dengan mendatangkan mubaligh nasional, membentuk majelis ta’lim, dan IKNI (Ikatan Alumni) Al Huda dengan beberapa kegiatan diantaranya adalah donor darah, penghijauan, bakti sosial dan kunjungan sekaligus pemberian bantuan ke panti-panti asuhan. Kegiatan seperti ini memperlihatkan peran sosial Pondok Pesantren Al-Huda yang cukup signifikan di Gorontalo.

Uraian di atas memperlihatkan peranan besar dari Madrasah Al-Fata Al-’Arabiyyah dalam membangun pondasi pengembangan agama Islam di Gorontalo melalui pendidikan Islam dan dakwah. Sebagai perguruan Islam tertua di wilayah Sulawesi Utara dan Gorontalo, madrasah ini telah menjadi basis pengembangan Islam yang berpengaruh di wilayah ini. Madrasah Al-Fata Al-’Arabiyyah berhasil mencetak banyak guru agama dan juru dakwah yang menjadi corong agama Islam yang masih langka di Gorontalo pada masa itu.

Madrasah Al-Fata Al-’Arabiyyah memainkan peranan besar dalam proses Islamisasi Gorontalo dan sekitarnya. Penting untuk diketahui bahwa meskipun dalam kurun waktu di mana ajaran Islam belum di ajarkan secara resmi di sekolah-sekolah, namun penduduk Gorontalo telah menjadi

penganut agama Islam yang taat dan sangat kental dengan “Aadati hula-hula’a to Syara’a, syara’a hula-hula’a to Kitabullah” artinya Adat bersendi Syara’ dan Syara’ bersendi Kitabullah. Sejarawan mengungkapkan bahwa Islam masuk di Gorontalo adalah pada abad ke16 yaitu sekitar tahun 1525 dengan rajanya yang bernama Sultan Amai menyatakan masuk Islam yang kemudian diikuti oleh seluruh rakyatnya. Dalam kurun waktu sejak tahun 1525 belum ada satu pun sekolah agama berdiri di wilayah Kerajaan Gorontalo, sehingga berlangsung sampai pada awal abad ke-2033.

Dengan kondisi ini, keberadaan Madrasah Al-Fata Al-’Arabiyyah yang kemudian bertansformasi menjadi Pesantren Al-Huda di Gorontalo benar-benar menjadi wahana pengembangan Islam yang sangat penting di Gorontalo. Pada waktu itu tidak ada sama sekali sekolah agama baik mulai dari jenjang pendidikan yang paling dasar sampai pendidikan lanjutan atas. Ajaran agama Islam saat itu masih terbatas diajarkan di di surau-surau, di mesjid-mesjid oleh para Imam dan Sara’a Da’a (pelaksana agama di kampungkampung di Gorontalo) di tempat-tempat ibadah tersebut di mana terdapat kumpulan jamaah, dan biasanya kegiatan itu dilakukan pada sore hari. Dengan hadirnya Madrasah Al-Fata Al-’Arabiyyah benar-benar mengisi ruang kosong pendidikan agama Islam formal yang memang belum ada di Gorontalo.

Keberadaan Madrasah Al-Fata Al-’Arabiyyah menjadi pertanda hadirnya jejak sejarah dakwah para ulama Hadramaut di tanah Gorontalo. Madrasah ini telah melahirkan para guru agama yang kemudian menyebar

33 Hasanuddin dan Basri Amin, Gorontalo dalam Dinamika Sejarah Masa Kolonial (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012) h. 23

Page 14: PESANTREN AL-HUDA DAN JEJAK SEJARAH DAKWAH ULAMA …

840

Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume 6, Nomor 2, Juli-Desember 2020

ke berbagai wilayah Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah, mendirikan madrasah sendiri dan menyebarkan semangat Madrasah Al-Fata Al-’Arabiyyah dalam dunia pendidikan. Di Gorontalo, Madrasah Al-Fata Al-’Arabiyyah bertansformasi menjadi Pondok Pesantren Al-Huda yang terus berkiprah hingga hari ini, mencetak kader-kader dakwah yang menyebarkan ajaran dakwah Islam di Gorontalo dan sekitarnya.

Sebelum era Madrasah Al-Fata Al-’Arabiyyah, para ulama Hadramaut selain berdagang juga berdakwah di Gorontalo. Maka dengan adanya madrasah ini, aktivitas dakwah para ulama Hadramaut ini semakin kuat utamanya dalam pengembangan pendidikan Islam dan dakwah. Melalui Madrasah Al-Fata Al-’Arabiyyah dan selanjutnya menjadi Pondok Pesantren Al-Huda, para ulama Hadramaut telah ikut memainkan peranan penting dalam proses Islamisasi Gorontalo.

E. Simpulan

Para ulama Hadramaut (Yaman) berperan penting dalam pengembangan Islam di Gorontalo utamanya dalam bidang Pendidikan dan dakwah. Dalam bidang pendidikan, mereka mendirikan Madrasah Al-Fata Al-’Arabiyyah yang kemudian bertansformasi menjadi Pondok Pesantren Al-Huda yang melahirkan banyak guru agama yang kemudian mengembangkan pendidikan Islam di wilayah lain. Dalam bidang dakwah, para alumni madrasah ini telah menjadi juru dakwah yang membina masyarakat Islam dalam bidang keagamaan dan aspek sosial kemasyarakatan lainnya.

Warisan para ulama Hadramaut (Yaman) dalam bidang Pendidikan dan dakwah, merupakan bagian penting dari proses Islamisasi Gorontalo. Madrasah Al-Fata Al-’Arabiyyah merupakan perguruan Islam formal pertama di Gorontalo sejak Islamisasi awal Gorontalo di abad ke-16. Kiprah madrasah ini yang kemudian diteruskan oleh Pondok Pesantren Al-Huda yang hingga saat ini terus melahirkan kader-kader dakwah yang berperan baik di tingkat lokal Gorontalo, maupun di tingkat nasional.

Page 15: PESANTREN AL-HUDA DAN JEJAK SEJARAH DAKWAH ULAMA …

841

PESANTREN AL-HUDA DAN JEJAK SEJARAH DAKWAH ULAMA HADRAMAUT DI GORONTALOErwin Jusuf Thaib

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, B. Marjani.2013. “Pondok Pesantren: Ciri Khas, Perkembangan, dan Sistem Pendidikannya” dalam Jurnal Lentera Pendidikan, Volume 16 (2).

Astuti, Rahma Dani Pudji, 2017 Perubahan Pondok Pesantren di Perkotaan: Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Adzkar Tangerang Selatan Banten. dalam Jurnal Sosiologi, 22 (2).

Chirzin, M. Habib, 1983 “Ilmu Agama Dalam Pesantren”, dalam M. Dawam Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan , Jakarta: LP3ES.

Dewan Redaksi. 1997 Ensiklopedi Islam (Jilid IV, Cet. Iv). Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.

Dhofier, Zamakhsyari. 1983 Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kiai. Jakarta: LP3S.

Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Depag RI, 1995 Manajemen Lembaga Dakwah, Jakarta: tp.

Fatah, H Rohadi Abdul, dkk. 2005 Rekontruksi Pesantren Masa Depan. Jakarta Utara: PT. Listafariska Putra.

Far ida , Umma, 2015 “Rad ika l i sme , Moderatisme, dan Liberalisme Pesantren: Melacak Pemikiran dan Gerakan Pesantren di Era Globalisasi” dalam Edukasia, Jurnal Pendidikan Islam 10 (1)

Haedari, HM.Amin. 2007 Transformasi Pesantren. Jakarta: Media Nusantara.

Hasanuddin, Amin, Basri. 2012 Gorontalo dalam Dinamika Sejarah Masa Kolonial Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Hielmy, Irfan, 2000 Wancana Islam. Ciamis: Pusat Informasi Pesantren.

Madjid, Nurcholish 1997 Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina.

Moleong, Lexy J. 2013. Metode Penelitian Kualitat i f , Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Muhakamurrohman, Ahmad. 2014 “Pesantrean: Santri, Kiai, dan Tradisi” dalam Ibda, Jurnal Kebudayaan Islam. 12 (2).

Paturohman, Irfan. 2012 “Peran Pendidikan Pondok Pesantren dalam Perbaikan Kondisi Keberagaman di Lingkungannya (Studi Deskriptif pada Pondok Pesantren Dar Al-Taubah Bandung” dalam Jurnal Tarbawi 1 (1).

Prasodjo, Sudjono. 1982 Profil Pesantren. Jakarta: LP3S.

Saleh, A. Rosyad. 1998 Manajemen Dakwah Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Sampono, Ahmad. 2002 Pembelajaran Pesantren, Suatu Kajian Komparatif. Jakarta: Departemen Agama RI.

Page 16: PESANTREN AL-HUDA DAN JEJAK SEJARAH DAKWAH ULAMA …

842

Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume 6, Nomor 2, Juli-Desember 2020

Syafe’i, Imam. 2017 “Pondok Pesantren: Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter, At-Tadzkiyyat” dalam Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8.

Tolib, Abdul. 2015 “Pendidikan di Pondok Pesantren Modern”. dalam Risalah Jurnal Pendidikan dan Studi Islam, 1 (1).

Wahab, Rochidin. 2004 Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: Alfabeta.

Zarkasyi, Amal Fathullah. 1998 Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan dan Dakwah, dalam Adi Sasono et.al., Solusi Islam Atas Problematika Umat (Ekonomi, Pendidikan, dan Dakwah). Jakarta: Gema Insani Press.

Zulhimma. 2013 “Dinamika Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia”, dalam Jurnal Darul Ilmi Volume 1 (2).