New Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507 · 2020. 7. 13. · Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN:...

78

Transcript of New Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507 · 2020. 7. 13. · Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN:...

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    I

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    II

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    III

    asusTypewritten text10

    asusTypewritten text25

    asusTypewritten text48

    asusTypewritten text73

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    Politik Luar Negeri Indonesia dan Identitas Islam:

    Kebijakan Indonesia dalam Mengatasi Krisis Muslim

    Rohingya Tahun 2017

    Muhammad Jullyo Bagus Firdaus

    [email protected]

    Departemen Hubungan Internasional

    Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur

    ABSTRAK

    Membahas mengenai Politik Luar Negeri Indonesia tentu tidak jauh dari landasan

    ideologis “Politik Bebas-Aktif”, yang juga sebagai postulat dalam implementasi

    setiap politik luar negeri Indonesia. Sejak awal kemerdekaan Indonesia hingga

    sekarang, doktrin ini juga masih berlaku di era pemerintahan Presiden Joko

    Widodo. Dalam pembahasan jurnal ini, penulis menganalisa mengenai studi kasus

    diplomasi bilateral yang dilakukan oleh Indonesia untuk mengatasi krisis Rohingya

    di Myanmar pada tahun 2017 dalam menciptakan perdamaian dunia. Bentuk yang

    dilakukan oleh Indonesia tentu berkaitan dengan kepentingan nasional berupa

    upaya penciptaan kestabilan dan keamanan di level global. Jurnal ini menggunakan

    metode Historical and Identity Representation untuk membedah pelaksanaan

    Politik Luar Negeri Indonesia berdasarkan landasan ideologis Bebas-Aktif serta

    landasan konstitusional pada pembukaan UUD 1945, serta konstruksi identitas

    Indonesia sebagai salah satu negara Muslim terbesar di dunia. Penulis menganggap

    bahwa negara harus mengetahui arah kebijakan luar negeri berdasarkan identitas.

    Kata Kunci: Politik luar negeri,bebas-aktif, Indonesia, konstruktivisme,Rohingya

    Pendahuluan

    Pada dasarnya landasan politik luar negeri Indonesia mengacu pada konstitusi

    dalam pembukaan UUD 1945 maupun gagasan dari Mohammad Hatta yang dengan

    judul “Mendayung antara dua Karang”. Kedua hal tersebut telah memberikan

    ideologis penting Indonesia sebagai pijakan dalam pelaksanaan kebijakan luar

    Negeri. Politik Bebas-Aktif menjadi pijakan utama setiap pemimpin NKRI dalam

    merumuskan setiap kebijakan luar negeri. Selain kedua hal tersebut terdapat sebuah

    landasan konstitusional dalam pembukaan UUD 1945, dengan upaya penciptaan

    perdamaian dunia. Di masa Orde Baru,ASEAN menjadi poros utama dalam

    10

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    mengembangkan setiap unsur dan kesempatan untuk memperkokoh perdamaian

    dan stabilitas di wilayah Asia Tenggara.

    Indonesia di era Orde Baru sangat berperan dalam pelaksanaan stabilitas kawasan

    di kawasan Asia Tenggara mengingat regionalisme sebelumnya sering mengalami

    kegagalan seperti ASA maupun Maphilindo, ASEAN terbukti dapat bertahan lama

    hingga kini. Indonesia hadir menjadi salah satu pendiri regionalisme kawasan. Pada

    tahun 1967, Indonesia tercatat sebagai salah satu founding father ASEAN dan sejak

    itu pula Indonesia terus memainkan peran penting dalam penyusunan visi dan misi

    ASEAN, termasuk dalam pelaksanaan ASEAN Community 2015. Di masa

    pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, peran Indonesia dalam ASEAN yang

    paling menonjol yakni mendesak para menteri luar negeri ASEAN

    mengimplementasikan deklarasi bersama atau DoC (Declaration Code of Conduct)

    yang memuat elemen-elemen kerjasama di Laut China Selatan, agar menjadi kode

    etik bersama yang mengikat (Wardhana,2011). Dalam regional, Indonesia telah

    berperan dalam penciptaan stabilitas regional.

    Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo Indonesia melakukan upaya dalam

    mengatasi krisis kemanusiaan yang dialami etnis muslim Rohingya di Myanmar

    pada tahun 2017, hal tersebut memang sejalan dengan kepentingan nasional

    Indonesia sesuai dengan landasan konstitusional mengenai penciptaan perdamaian

    dunia dan keadilan sosial. Selain dalam tatanan normatif, terdapat faktor penting

    yang menjadi suatu alasan, atas aksi Indonesia dengan hadirnya ASEAN sebagai

    lingkaran konsentris utama dalam politik luar negeri Indonesia (Kementerian Luar

    Negeri,2019).

    Lingkaran konsentris dalam politik luar negeri suatu negara menjadi suatu

    kepentingan nasional dalam setiap pelaksanaan kebijakan. Ditambah dengan

    identitas Indonesia sebagai salah satu negara muslim terbesar di dunia menjadi

    salah satu sebab.Argumen utama dari penulis adalah kebijakan bilateral Indonesia-

    Myanmar memiliki kaitan dengan identitas Indonesia sebagai negara muslim

    moderat sekaligus identitas sebagai penjaga perdamaian dunia menjadi pendorong

    utama terciptanya kebijakan luar negeri tersebut. Faktor identitas dalam perumusan

    kebijakan luar negeri menjadi salah satu pertimbangan bagi pembuat kebijakan luar

    negeri.

    11

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    Metodologi

    Pada dasarnya suatu konsep tidak mungkin ahistoris. Mengacu pada pendapat

    George Lawson dan John M. Hobson (2008) bahwa penggunaan sejarah dalam

    hubungan internasional berfungsi sebagai alat untuk menafsirkan teori dalam

    Hubungan Internasional, teori berfungsi menjelaskan fenomena yang ada. Dalam

    tulisan ini, penulis menggunakan metode historicist historical sociology (historisis

    sosiologi). Metode ini fokus pada detail historis tertentu mengenai penjelasan

    kausal dalam hubungan internasional, serta menentukan bagaimana pola,

    konfigurasi dan settinghubungan sosial dalam konteks sejarah yang

    melatarbelakangi setiap kejadian.

    Untuk dapat menganalisis lebih dalam, penulis menggunakan analisis wacana

    dalam memahami identitas Indonesia. Analisis wacana dilakukan dengan cara

    melakukan fenomenan sosial (intrepretatif) dari kontestasi identitas yang diteliti,

    dalam pelaksanaannya berfokus pada gagasan wacana, sehingga membentuk

    pemahaman pada fenomena sosial. Gagasan wacana terdiri dari berbagai kumpulan

    teks-teks terkait, yang terdiri dari pidato, dokumen tertulis, dan praktik sosial, yang

    menghasilkan makna secara empiris dengan cara memahami identitas kolektif.

    Analisis wacana dengan demikian dapat dianggap sebagai kontekstualisasi

    kualitatif dari teks dan praktik untuk menggambarkan makna sosial (Abdelal et.

    al,2009)

    Identitas Sebagai Formula Kebijakan Luar Negeri

    Penggunaan Konstruktivisme, yang awal mula dijabarkan oleh Nicholas Onuf dan

    disempurnakan oleh Alexander Wendt, berguna untuk melihat realasi identitas

    dalam perumusan kebijakan luar negeri. Jika kita mencari sebuah teori yang

    menyatukan perhatian dengan identitas, khususnya untuk untuk memberikan

    pemahaman akan kebijakan luar negeri (menyangkut unsur negara, kedaulatan dan

    anarki), bisa memulai dari penjabaran identitas dalam Hubungan Internasionl dari

    Alexander Wendt (Waever,2002). Menurut Wendt (1992) hadirnya interaksi negara

    dikarenakan adanya kepentingan dan identitas yang sama antar kedua negara atau

    12

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    lebih. Secara lebih lanjut, identitas adalah konstruksi nilai, sehingga memberikan

    pengaruh dalam pengambilan kebijakan luar negeri dengan melihat posisi negara

    dalam sistem internasional, selanjutnya melahirkan konstruksi identitas dan

    kepentingan yang telah dibentuk bagaimana suatu negara memandang negara lain

    (Wendt,1994). Identitas negara dinyatakan oleh pembuat keputusan utama (Jackson

    & Sorensen,2016). Dalam hal ini pernyataan maupun respon pemimpin

    pemerintahan suatu negara diungkapkan melalui surat kabar nasional, pidato

    kepresidenan, memoar, jurnal, teks buku ataupun arsip nasional.

    Historis Identitas Politik Luar Negeri Indonesia dan Identitas Muslim

    Moderat

    Membahas mengenai kontruksi politik luar negeri Indonesia, dapat dilacak dari sisi

    historis dan landasan konstitusional. Pasca berhasil memperoleh kemerdekaan,

    menghasilkan sebuah konsekuensi untuk menciptakan politik luar negeri. Dasar

    dari politik luar negeri Indonesia telah termaktub dalam Pembukaan UUD 1945

    pada alinea pertama yang berbunyi :

    “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu,

    maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri

    kemanusiaan dan peri keadilan”.

    Dalam pembentukan Negara Indonesia dalam konteks cara bertindak dalam

    hubungan internasional khususnya melaksanakan syarat de jure diawal

    kemerdekaan suatu negara adalah untuk “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

    berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Kedua prinsip

    tersebut telah melatarbelakangi pembentukan politik luar negeri bebas – aktif dalam

    kontestasi politik di dunia Internasional. Hal tersebut merupakan suatu landasan

    konstitusional yang membentuk strategi Indonesia untuk berinterkasi di dalam

    hubungan Internasional. Dan ini juga menjadi doktrin dasar maupun landasan

    ideologis pandangan politik luar negeri Indonesia dalam konstelasi politik

    internasional.

    Secara penerapan acuan konkrit pada mulanya dijelaskan oleh Mohammad Hatta

    (Departemen Luar Negeri,1948 ) pada pidato “ Mendayung Antara Dua Karang” di

    13

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    sidang badan pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dengan tegas

    mengatakan :

    “Politik Republik Indonesia harus ditentukan sesuai dengan kepentingan sendiri

    dan fakta – fakta yang dihadapi. Garis Politik Indonesia tidak digantungkan pada

    Negara lain, yang mengejar “kepentingan sendiri”

    Dari adanya tinjauan historis akan politik luar negeri Indonesia, terdapat penafsiran

    masing-masing dari setiap presiden Indonesia mengenai identitas Indonesia sebagai

    negara muslim. Identitas akan Indonesia menjadi negara muslim terbesar mengaju

    pada laporan Pew research, sebagai lembaga riset global menyatakan bahwa

    Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia (205 juta) dan

    sekitar 88% populasi Indonesia adalah Muslim, Indonesia memiliki sekitar 13%

    dari populasi muslim di dunia (Pew Research,2010).

    Dimensi historis, identitas muslim dan identitas pendukung perdamaian dunia telah

    diartikulasikan oleh setiap pemimpin pemerintahan mulai dari Sukarno hingga Joko

    Widodo. Pada masa pemerintahan Soekarno, identitas penciptaan perdamaian dunia

    terlihat dari upaya diplomasi secara multilateral dengan melakukan balancing

    terhadap great power (Uni Soveit dan Amerika Serikat) dengan menjadi tuan rumah

    Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955. Sedangkan identitas islam, di masa ini

    kurang terlihat jelas hanya saja upaya pengakuan de facto dengan negara-negara

    islam seperti Mesir, Iran, serta Negara timur tengah lainnya. Telah menjadi langkah

    awal diplomasi Indonesia dalam memperoleh pengakuan negara lain, berawal dari

    kunjungan delegasi Indonesia yang diketuai oleh Agus Salim, Mesir merupakan

    Negara pertama yang mengakui Indonesia secara de facto terhadap proklamasi 17

    Agustus 1945 (Tempo,2013).

    Selanjutnya, dimasa pemerintahan Soeharto bentuk dari penerapan akan identitas

    pencipta perdamaian dunia, terlihat akan hadirnya Indonesia sebagai stabilitator

    kawasan dengan menjadi salah satu pendiri ASEAN yang sekaligus dianggap

    sebagai soko guru politik luar negeri Indonesia. Mengenai identitas islam, secara

    domestik partai islam di Indonesia dilarang di era pemerintahan Soeharto

    (Anwar,2010). Pada tahun 1970-1980 an Indonesia tidak memiliki kedekatan

    dengan negara-negara Islam yang berada di Timur Tengah. Pada tahun 1990an, di

    14

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    masa orde baru Indonesia menjadi tuan rumah bagi beberapa Organisasi Islam

    dunia, seperti pertemuan OIC (Organization of Islamic Cooperation), dan IFTIHAR

    (The International Islamic Forum For Science,Technology dan HumanResources)

    sebuah Forum Islam International untuk pengembangan Iptek dan Sumber Daya

    Manusia, pada Desember 1996 (Olson,2001).

    Kemudian, di masa pemerintahan B. J. Habibie, bentuk dari identitas perdamaian

    dunia ketika adanya ajuan dari Indonesia terhadap referendum kemerdekaan Timor

    Leste, Indonesia dianggap sebagai negara demokratis yang berpengaruh akan

    perbaikan citra Indonesia dalam lingkup regional maupun global. Identitas islam

    terlihat kabur, menurut Rizal Sukma (2010) di masa pemerintahan ini tidak

    mengakomodasi suara Islam ke dalam politik luar negerinya, kebijakan Indonesia

    dengan negara-negara Islam juga tidak ada perkembangan, tidak adanya hubungan

    signifikan dalam OIC. Beralih ke masa pemerintahan Abdurrahman Wahid,

    identitas akan perdamaian dunia dan islam terlihat adanya sikap demokratis dan

    pluralis ditujukan dengan adanya wacana pembukaan hubungan diplomatik dengan

    Israel meskipun sangat kontroversial, dengan mendapat respon keras dari

    masyrakat Indonesia yang mayoritas muslim, dikarenakan negara Israel melakukan

    penindasan kepada negara palestina. Tujuan dari kebijakan tersebut Indonesia dapat

    berperan dalam upaya perdamaian di Tmur Tengah (Nainggolan,2001). Identitas

    islam dalam forum internasional masih terlihat dengan hadirnya presiden Wahid

    pada KTT OKI.

    Di masa pemerintahan Megawati, identitas perdamaian dunia terlihat ketika

    Indonesia ikut mendukung atas War On Terrorism sebagai ancaman bagi kemanan

    internasional. Untuk memperkuat identitas islam yang sebelumnya mengganggu

    citra Indonesia, melalui penguatan di tingkat Internasional dalam Forum PBB

    maupun regional ASEAN untuk deradikalisasi (Wuryandari,2014). Berpindah ke

    masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia hadir dengan

    memperkenalkan jargon baru “thousand friends zero enemy” dengan tujuan lebih

    memperluas diplomasi Indonesia baik secara bilateral dan multilateral khususnya

    ASEAN. Identitas islam diperiode ini dikombinasikan dengan modernitas sebagai

    identitas baru politik luar negeri Indonesia.

    15

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    Periode terkahir yakni pada masa pemerintahan Joko Widodo, Secara garis besar

    peran dan posisi Indonesia di Pemerintahan Joko Widodo secara identitas menjaga

    perdamaian dunia, terlihat dari penguatan arsitektur kawasan melalui ASEAN, East

    Asia Summit, dan penguatan kemitraan startegis bilateral serta penguatan

    demokratisasi. Sedangkan secara identitas islam, penguatan Indonesia sebagai

    negara Islam Moderat dan ikut serta pencegahan isu kemanusiaan dan terorisme

    guna terciptanya perdamaian dunia. Dari beberapa kepemimpinan yang telah ada,

    terdapat benang merah dalam membentuk identitas Indonesia dalam upaya

    pencapaian perdamaian dunia, Indonesia cenderung tidak menggunakan diplomasi

    kooperatif dengan pihak manapun yang sesuai dengan ideologi bebas-aktif.

    Dan identitas islam, yang dimiliki Indonesia merupakan faktor penting dalam sisi

    domestik dengan adanya mayoritas, yang menjadi pertimbangan setiap presiden

    dalam mengambil kebijakan dengan identitas muslim. Nilai-nilai Demokrasi, Islam

    dan modernitas menjadi poin penting bagi postur polugri Indonesia. Setelah

    melacak dari artikulasi identitas setiap kepemimpinan, penulis menelaah kedua

    identitas yang dimiliki Politik Luar negeri Indonesia dalam kasus mengatasi

    masalah krisis etnis muslim Rohingya di Myanmar tahun 2017.

    Identitas Indonesia dalam Kebijakan Mengatasi Krisis Rohingya Tahun 2017

    Etnis minoritas Rohingnya sudah tinggal di Myanmar selama berabad-abad.

    Namun pemerintah Myanmar menganggap bahwa Rohingya bukan kelompok etnis

    asli. Keturunan Rohingya dianggap sebagai pengungsi ilegal etnis Bengali dari

    negara Banglades. Di pihak lain, Banglades juga tidak mengakui mereka sebagai

    warga negara (Kusuma & Sitorus,2019). Konflik di Rakhine State, Myanmar,

    antara umat Buddha Rakhine dan Muslim Rohingya adalah ketegangan etnis dan

    agama yang telah lama ada. Telah dicatat bahwa tindakan utama kekejaman di

    wilayah ini telah terjadi setidaknya empat kali (1960, 1978, 1982, dan 1991)

    (Mathieson,2009). Pada tahun 2012, konflik muncul kembali. Konflik dipicu

    karena terdapat dua bentrokan utama. Pada 28 Mei 2012, seorang wanita Rakhine

    dilaporkan diperkosa, dirampok, dan dibunuh oleh tiga pemuda Muslim Rohingya

    di Kota Yanbye. Ketika berita itu beredar di kalangan umat Buddha Rakhine,

    membuat sebuah rencana pembalasan. Seminggu kemudian, di sebuah bus umum

    16

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    Muslim Rohingya diserang, sekitar 10 korban jiwa Muslim Rohingya dibunuh

    (Smith,2013).

    Eskalasi kembali memuncak pada agustus 2017, dan membuat pemerintah hadir

    untuk bersikap, terutama sebagai negara yang memiliki identitas menjaga

    perdamaiana dunia. Lebih dari setengah juta etnis Rohingya telah melarikan diri

    dari kekerasan di Negara Bagian Rakhine Myanmar sejak Agustus 2017, pada 25

    agustus 2017 media pemerintah Myanmar telah melaporkan terdapat 12 petugas

    keamanan dibunuh oleh gerilyawan ARSA (Arakan Rohingya Salvation Army)

    selama serangkaian serangan yang terkoordinas.Militer Myanmar melakukan

    tindakan balasan lebih masif dengan membakar desa-desa dan memicu eksodus

    massal etnis Rohingya ke Bangladesh (Hunt,2017).

    Berdasarkan perkiraan jumlah korban menurut Medicine Sans Frontieres, sejak

    serangan atas sejumlah pos polisi oleh kelompok militan Rohingya, sekitar 647.000

    orang Rohingya mengungsi ke Bangladesh untuk menghindari aksi kekerasan oleh

    aparat keamanan Myanmar maupun kelompok nasionalis Budha (BBC

    Indonesia,2017). Pada akhir tahun 2016, sebelum konflik mengalami eskalasi,

    Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan Indonesia adalah negara berpenduduk

    muslim terbesar, maka Indonesia punya kewajiban moral untuk membantu

    permasalahan krisis kemanusiaan yang meinmpa etnsi muslim Rohingya di

    Myanmar (Purnomo,2016).

    Sejak adanya eskalasi konflik pada akhir agustus 2017, belum ada negara yang

    diterima oleh Myanmar untuk menyelsaikan konflik tersebut. Penolakan juga

    dialami oleh PBB, alasan Myanmar menolak bantuan dari seluruh badan PBB

    dikarenakan masalah keamanan. Penolakan ini dibenarkan oleh perwakilan PBB di

    Myanmar. Perwakilan PBB mengatakan, mereka telah meminta izin kepada

    pemerintah Myanmar, namun hal itu ditolak dengan alasan situasi keamanan yang

    masih belum kondusif (Maulana,2017). Myanmar juga menutup diri dengan

    negara-negara anggota ASEAN pada awalnya dan juga menutup akses dalam

    menyalurkan bantuan kepada kelompok etnis Rohingya. Saat itu, ASEAN tidak

    bereaksi, karena terhambat oleh prinsip non-intervensi yang telah ada dalam prinsip

    ASEAN Way(Affan,2017).

    17

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    Grafik 1.1 Neraca Perdagangan Indonesia-Myanmar Tahun 2015-2020

    Sumber : Kementrian Perdagangan Republik Indonesia,2019

    Hubungan Myanmar Indonesia berjalan baik selama 67 tahun. Hubungan baik

    antara Myanmar dan Indonesia digunakan oleh Kedutaan Besar Indonesia di

    Yangon sebagai perwakilan dari Pemerintah Indonesia untuk dapat membangun

    dan mengembangkan kerja sama dalam bidang politik, ekonomi, sosial-budaya dan

    pertahanan. Mengacu pada data Kementerian Perdagangan Republik Indonesia

    pada grafik diatas, hubungan ekonomi antara Indonesia dan Myanmar di sektor

    perdagangan pada tahun 2012-2017 mengalami peningkatan yang terlihat dari

    neraca perdagangan kedua negara (Kemendag,2019). Oleh karena itu, merujuk

    pada proses hubungan bilateral Indonesia dan Myanmar dalam mengatasi krisis

    kemanusiaan. Bentuk hubungan baik ini adalah investasi bagi Indonesia dalam

    mendukung jalannya diplomasi kemanusiaan. Dalam hal ini, Indonesia sudah

    memiliki hubungan investasi jangka panjang sehingga lebih mudah untuk

    melakukan kontak dengan Pemerintah Myanmar.

    Di di sisi lain, menurut Arya Sandhiyudha (2017,dalam okezone.com) tindakan

    Indonesia segera melakukan diplomasi dengan pemimpin de facto Myanmar, Aung

    San Suu Kyi diapresiasi dunia. Indonesia merupakan negara pertama yang

    18

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    melakukan diplomasi dengan Myanmar untuk menangani krisis kemanusiaan, hal

    tersebut dikarenakan di masa lalu Indonesia memiliki kontribusi dalam

    bergabungnya Myanmar ke dalam ASEAN.

    Pada 3 September 2017, presiden Jokowi mengadakan konferensi pers di istana

    presiden, mengumumkan bahwa ia telah menginstruksikan Menteri Luar Negeri

    untuk pergi ke Myanmar dan mendesak untuk menghentikan kekerasan, melindungi

    umat Islam dan memastikan akses bagi organisasi kemanusiaan untuk mengirimkan

    bantuan ke Rakhine State (Institute of Policy Analysis and Conflict,2018). Dari

    pernyataan presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dapat dilihat

    mengenai pengartikulasian identitas baik sebagai negara pencipta perdamaian dunia

    serta identitas muslim moderat. Hubungan Indonesia dengan Myanmar secara

    bilateral dalam mengatasai konflik antar etnis didorong oleh komitmen untuk

    menjaga stabilitas keamanan di ASEAN terutama menjadi perantara damai, lalu

    dilakukan upaya untuk memastikan akses untuk bantuan kemanusiaan, dan

    kebutuhannya untuk menanggapi tekanan domestik untuk membela sesama Muslim

    yang diserang.

    Selang sehari usai konferensi pers, pada tanggal 4 September 2017, Menteri Luar

    Negeri Indonesia Retno Marsudi melakukan diplomasi secara bilateral dengan

    pemerintah Myanmar guna menghentikan kekerasan mematikan terhadap etnis

    muslim Rohingya, tugas Menlu ke Myanmar bertujuan untuk mengadakan

    "komunikasi intensif" dengan pihak-pihak yang terlibat seperti National Security

    Advisor Aung San Suu Kyi dan Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar Jenderal

    Senior U Min Aung Hlaing, termasuk PBB (AlJazeera,2017). Ketika berkunjung

    ke Myanmar, menteri luar negeri memberikan desakan untuk Rakhine State, tediri

    dari empat elemen, yaitu mengembalikan stabilitas dan keamanan, menahan diri

    secara maksimal dan tidak menggunakan kekerasan, perlindungan kepada semua

    orang yang berada di Rakhine State tanpa memandang suku dan agama, dan

    pentingnya segera dibuka akses untuk bantuan keamanan (Suryowati,2017).

    Selanjutnya, Pemerintah Indonesia di bawah koordinasi Kementerian Luar Negeri

    membentuk Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM). Aliansi ini

    dibentuk sebagai forum untuk masyarakat Indonesia dan LSM kemanusiaan

    19

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    Indonesia. Aliansi ini terdiri dari 11 lembaga kemanusiaan, termasuk dua organisasi

    Islam terbesar yakni Nadhlatul Ulama dan Muhammadiyah. AKIM menciptakan

    program yang disebut Assistance for Sustainable Community (HASCO). Program

    ini bertujuan untuk membantu masyarakat Myanmar khususnya Rohingya dalam

    meningkatkan kapasitas, mengirimkan para ahli, mata pencaharian, dan pemulihan.

    Program ini dilaksanakan selama dua tahun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat

    Rakhine di bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Sebagai tindak lanjut

    kunjungan 4 September 2017, Indonesia telah mengirimkan bantuan kemanusiaan

    kepada etnis Rohingya, antara lain: berupa makanan, pakaian, obat-obatan, dan

    tenda untuk pengungsi di Bangladesh berjumlah 74 ton dan untuk masyarakat di

    Rakhine State sejumlah 20 ton (Kementrian Luar Negeri,2018). Dalam memenuhi

    kebutuhan dasar orang-orang yang mengalami krisis, AKIM mengumpulkan

    sumbangan dari masyarakat Indonesia. LSM yang berafiliasi dengan AKIM juga

    mengumpulkan donasi, dana yang terkumpul disalurkan melalui AKIM ke

    Myanmar. Pemerintah Indonesia dan AKIM bekerja sama untuk melaksanakan

    komitmen untuk mendukung penanganan krisis melalui bantuan kemanusiaan. Ini

    untuk realisasi reformasi, rekonsiliasi, dan pembangunan inklusif di Myanmar.

    Presiden Joko Widodo (2018, dalam VoA Indonesia) membutuhkan komitmen dari

    semua negara anggota untuk tetap menjaga perdamaian dan kesejahteraan di

    kawasan sebagai satu keluarga. Ia juga mengungkapkan kekhawatiran apabila krisis

    kemanusiaan ini dibiarkan terus berlanjut, akan memiliki dampak yang tidak baik

    bagi Myanmar dan kohesifitas ASEAN, yang tentu mengancam perdamaian dunia.

    Asumsi pemilihan rentang tahun 2017, menjadi penting dikarenakan pada tahun ini

    pada pemerintahan Joko Widodo kita dapat mengartikulasikan identitas Indonesia

    sebagai pencipta perdamaian dunia dan identitas sebagai negara muslim, keduanya

    menjadi latar belakang bagi politik luar negeri di Indonesia dalam pengambilan atau

    permusan kebijakan luar negeri dalam merespon isu global.

    Penutup

    Pelakasanaan kebijakan luar negeri Indonesia dalam menangani krisis kemanusiaan

    di Myanmar pada tahun 2017. Telah memberikan kesimpulan sekaligus pembuktian

    20

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    bahwa kontrsuksi identitas Indonesia sebagai negara pencipta perdamaian dunia

    dalam tatanan normatif dan identitas islam yang dimiliki, berperan dalam

    perumusan kebijakan luar negeri Indonesia. Penggunaan analisis wacana melalui

    kacamata konstruktivisme memberikan opsi baru dalam menganalisis politik luar

    negeri Indonesia serta dapat memberikan paradigma baru dalam menganalisis

    politik luar negeri Indonesia lebih luas, dalam aspek ideasional.

    Referensi

    Abdelal, Rawi et. al (eds.).2009. Measuring Identity A Guide for Social

    Scientists.Cambridge: Cambridge University Press.

    Al Jazeera.2017. Indonesia FM to urge Myanmar to halt Rohingya violence

    [daring]. dalam https://www.aljazeera.com/news/2017/09/indonesia-fm-

    urge-myanmar-halt-rohingya-viol ence-170903160924784.html [diakses 5

    Februari 2020].

    Affan,Heyder.2017. Krisis Rohingya, mengapa ASEAN tidak mampu berperan?

    [daring]. dalam https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41160293

    [diakses 5 Februari 2020].

    Anwar,Dewi Fortuna.2010. Foreign Policy, Islam and Democracy in Indonesia.

    Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities Vol. 3, 2010, halaman

    37-54.

    BBC Indonesia.2017. Sekitar 6.700 Muslim Rohingya Tewas Dalam Waktu

    Sebulan [daring]. dalam https://www.bbc.com/indonesia/dunia-42351386

    [diakes 6 Februari 2020].

    Hunt, Katie.2017. Rohingya Crisis: How We Got Here [daring]. dalam

    https://edition.cnn.com/2017/11/12/asia/rohingya-crisis-timeline/index.html

    [diakses 5 Februari 2020].

    Institute of Policy Analysis and Conflict.2018. Indonesia And The Rohingya Crisis

    [pdf]. dalam

    https://www.burmalibrary.org/sites/burmalibrary.org/files/obl/2018-06-29-

    Indonesia_and _Rohingya_Crisis-en-red.pdf [diakses 6 Februari 2020].IPAC

    Report No.46.

    Jackson,Robert dan Sorenson, Georg.2013.Pengantar Studi Hubungan

    Internasional (diterjemahkan oleh Dadan Suryadipura dan Pancasari

    Suyatiman, Introduction to International Relations, fifth edition). Jogjakarta :

    Pustaka Pelajar

    21

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    Kementrian Luar Negeri.2019. Kerja Sama Regional [daring]. dalam

    https://kemlu.go.id/portal/id/page/20/kerja-sama-regional [diakses 2 Februari

    2020].

    Kementrian Luar Negeri.2018. Laporan Kinerja 2017 : Direktorat Jenderal Asia

    Pasifik dan

    Afrika [pdf]. dalam

    https://kemlu.go.id/download/L3NpdGVzL3B1c2F0L0RvY3VtZW50cy9B

    S0lQL0Rpc

    mVrdG9yYXQlMjBKZW5kZXJhbCUyMEFTUEFTQUYvTEtKJTIwRGl0

    amVuJTIw QXNwYXNhZiUyMDIwMTcucGRm [diakses 6 Februari 2020].

    Kementrian Perdagangan Republik Indonesia.2019.Neraca Perdagangan dengan

    Mitra Dagang, Neraca Perdagangan Indonesia Dengan Burma Periode: 2015

    - 2020 dalam https://statistik.kemendag.go.id/balance-of-trade-with-trade-

    partner-country [diakses 5 Februari 2020].

    Kusuma, Ardli Johan & Sitorus,Fernando Ersento Maraden.Strategi Diplomasi

    Kemanusiaan Pemerintah Indonesia Dalam Kasus Krisis Kemanusiaan Yang

    Dialami Etnis Rohingya Di Myanmar Tahun 2017. Mandala Jurnal Ilmu

    Hubungan Internasional Vol.2 No.2 Juli-Desember 2019.

    Lawson, George dan Hobson, John M.2008. What is history in international

    relations?.Millennium - Journal of International Studies,37 (2). halaman 415-

    435.

    Mathieson,David.2009. Perilous Plight Burma’s Rohingya Take to the Seas

    [daring]. dalam https://www.hrw.org/report/2009/05/26/perilous-

    plight/burmas-rohingya-take-seas [diakses 7 februari 2020].

    Maulana,Victor.2017. Myanmar Tolak Bantuan PBB untuk Rakhine [daring].

    dalam https://international.sindonews.com/berita/1236576/40/myanmar-

    tolak-bantuan-pbb-unt uk-rakhine [diakses 6 Februari 2020].

    Nainggolan,Poltak Partogi.2001.Diplomasi Ofensif Pemerintah Wahid : Analisis

    dari Perspektif Politik, dalam Sekretariat Jenderal DPR –RI. Jakarat : Pusat

    Pengkajian dan Pelayanan lnformasi (P31) Bekerjasama dengan Konrad

    Adenauer Stiftung

    Olson,Robert Edward.2008. Suharto: A Political Biography 1st Edition.Cambridge:

    Cambridge University Press.

    Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Alinea

    Pertama.

    Pew Research Center.2010. Muslim Population of Indonesia [daring]. Dalam

    https://www.pewforum.org/2010/11/04/muslim-population-of-indonesia/

    [diakses 3 Februari 2020].

    22

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    Purnomo, Nurmulia Rekso.2016. Jusuf Kalla Jelaskan Alasan Pemerintah RI Harus

    Bantu

    Selesaikan Konflik[daring]. dalam

    https://www.tribunnews.com/nasional/2016/12/13/jusuf-kalla-jelaskan-

    alasan-pemerintah -ri-harus-bantu-selesaikan-konflik-rohingya [diakses 6

    Februari 2016].

    Smith,Matthew.2013. “All You Can Do is Pray” Crimes Against Humanity and

    Ethnic Cleansing of Rohingya Muslims in Burma’s Arakan State [daring].

    dalam https://www.hrw.org/report/2013/04/22/all-you-can-do-pray/crimes-

    against-humanity-an d-ethnic-cleansing-rohingya-muslims [diakses 6

    Februari 2020].

    Sukma,Rizal.2004. Islam in Indonesian Foreign Policy 1st edition.London:

    Routledge. Sandhiyudha, Arya.2017. Konflik Rohingya, Kenapa Myanmar

    Mau Berdiplomasi dengan

    Indonesia? [daring]. dalam

    https://nasional.okezone.com/read/2017/09/08/337/1771806/konflik-

    rohingya-kenapa-my anmar-mau-berdiplomasi-dengan-indonesia [diakses 6

    Februari 2020].

    Suryowati,Estu.2017.Temui Otoritas Myanmar, Menlu Retno Tawarkan Solusi

    untuk Warga

    Rohingya[daring].dalamhttps://nasional.kompas.com/read/2017/09/05/13215991/t

    emui-otoritas-myanmar-menlu -retno-tawarkan-solusi-untuk-warga-

    rohingya?page=all [diakses 6 Februari 2020].

    VoA Indonesia.2018.Jokowi Dorong ASEAN Terlibat Atasi Krisis Rohingya

    [daring]. dalam https://www.voaindonesia.com/a/jokowi-dorong-asean-

    terlibat-atasi-krisis rohingya/4657902.html [diakses 5 Februari 2020].

    Waever, Ole (2002). Identity, communities and foreign policy: Discourse analysis

    as foreign policy theory,dalam L. Hansen & O. Waever (eds.), European

    Integration and National Identity: The Challenge of the Nordic

    States.London: Routledge. Chapter 2.

    Wardhana,Raditya.2011.SBY Desak Menlu ASEAN Percepat Penanganan Laut

    Cina Selatan

    [daring]. dalam https://www.dw.com/id/sby-desak-menlu-asean-percepat-

    penanganan-laut-cina-selatan/ a-15250224 [diakses 2 Februari 2020].

    Wendt, Alexander.1992.Anarchy is what States Make of it, International

    Organization.41 halaman 335-370.

    23

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    ______________.1994. Collective Identity Formation and the International State.

    American Political Science Review, 88(02),halaman 384–396.

    Wuryandari,Ganewati.2014. Indonesian Foreign Policy In Dealing With

    International Terrorism Issue.Jurnal Penelitian Politik Volume 11 No. 2

    Desember 2014,halaman 71–83.

    24

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    Implikasi One China Policy terhadap Hubungan Kerja

    Sama Dagang Taiwan dan ASEAN

    Shyintia Lo

    [email protected]

    ABSTRAK

    Status internasional dan aktivitas diplomasi Taiwan tergantikan oleh China daratan

    sejak dikeluarkannya One China Policy pada 1979. Keterbatasan tersebut

    mempengaruhi kekuatan Taiwan dalam menjalin kerja sama dengan negara-negara

    di dunia, termasuk kawasan ASEAN. Meskipun demikian, Taiwan tetap aktif dalam

    mengekspansi kekuatan ekonominya, ini dilihat dengan bergabungnya Taiwan

    dalam WTO serta dibukanya kantor kerjasama dagang di negara lain. Penelitian ini

    menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan menyajikan data-data seperti

    grafik dan tabel untuk menganalisis dinamika perdagangan Taiwan dan ASEAN

    sejak dikeluarkannya One China Policy. Kebijakan tersebut tidak berdampak secara

    langsung terhadap perdagangan Taiwan dan ASEAN karena keduanya saling

    menjadi mitra perdagangan terbesar hingga 2015 yang diikuti dengan peningkatan

    investasi dan perdagangan yang signifikan. Besarnya kekuatan hegemoni China di

    ASEAN menyebabkan kondisi dilematis dan dapat mengintimidasi negara ASEAN

    terkait kerja sama dengan Taiwan jika dianggap mengancam kepentingan China.

    Taiwan melalui strategi New Southbound Policy di ASEAN berupaya

    meminimalisir dampak kebijakan China tersebut.

    Kata Kunci: One China Policy, New Southbound Policy, China, Taiwan, ASEAN,

    Kebijakan Perdagangan

    ABSTRACT

    Taiwan's international status and diplomatic activities have been replaced by

    mainland China since the One China Policy was issued in 1979. These boundaries

    affect Taiwan's strength in cooperating with countries in the world, including

    ASEAN. Nevertheless, Taiwan remains active in expanding its economic power,

    this is seen by Taiwan's membership in the WTO and the opening of trade

    cooperation offices in other countries. This research uses quantitative research

    methods by using graphs and tables to analyze the dynamics of Taiwan and ASEAN

    trade since the issuance of policy. The policy does not have a direct impact on

    Taiwan and ASEAN trade because both of them are the largest partner until 2015,

    followed by a significant increase in investment and trade. China's hegemony in

    ASEAN has led to dilemmatic conditions and can intimidate ASEAN countries

    regarding cooperation with Taiwan if they are considered as a threat to China's

    interests. Taiwan through its New Southbound Policy strategy in ASEAN seeks to

    minimize the impact of Chinese policy.

    25

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    Keywords : One China Policy, New Southbound Policy, China, Taiwan, ASEAN,

    Trade Policy

    Pendahuluan

    One China Policy adalah pengakuan diplomatik atas posisi Cina bahwa hanya ada

    satu entitas politik resmi yaitu pemerintah Cina. Pada hal ini, Taiwan dilihat Cina

    sebagai provinsi yang memisahkan diri untuk dipersatukan kembali dengan daratan

    kelak. Ini menyebabkan dualisme dalam hubungan internasional keduanya, di mana

    negara-negara yang menjalin hubungan diplomatik dengan Cina Daratan, harus

    memutuskan hubungan resminya dengan Taiwan. Pada 1949, kelompok nasionalis,

    yang juga dikenal sebagai Kuomintang, kalah dalam Perang Saudara Cina dan

    mundur ke daerah Taiwan.

    Kuomintang kemudian menjadikan Taiwan sebagai pusat pemerintahan mereka.

    Sementara kelompok komunis yang menang mulai memerintah daratan sebagai

    Republik Rakyat Cina (RRC). Kedua belah pihak juga mengklaim bahwa keduanya

    mewakili seluruh Cina.

    Sejak saat itu Partai Komunis Cina yang berkuasa mengancam dan mengintimidasi

    eksistensi Taiwan yang dicemaskan akan secara resmi mendeklarasikan

    kemerdekaan. Partai Komunis Cina kemudian juga mengejar jalur diplomatik yang

    lebih lunak dengan pulau itu dalam beberapa tahun terakhir. Cina mendapat

    manfaat paling banyak dari kebijakan One China Policy ini karena berhasil

    membuat negara-negara memutus hubungan diplomatiknya dengan Taiwan.

    Taiwan tidak diakui sebagai negara merdeka oleh sebagian besar negara di dunia

    bahkan PBB. Ini memberikan tekanan yang besar secara politis kepada Taiwan

    karena hanya dapat berpartisipasi dalam acara dan institusi, seperti Olimpiade dan

    Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

    Taiwan memenuhi syarat terbentuknya sebuah negara, yaitu memiliki wilayah,

    penduduk, dan juga pemerintahan. Taiwan juga memiliki kantor perwakilan dagang

    di berbagai negara di dunia, namun hal tersebut tidak mensyaratkan adanya

    hubungan diplomatik sepenuhnya. Pengakuan terhadap Taiwan dari sekitar dua

    26

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    puluh negara di Pasifik dan Afrika tidak merepresentasikan jumlah global negara

    di dunia atau sifatnya minoritas. Meskipun tidak diakui sebagai negara secara

    diplomatis karena adanya One China Policy, eksistensi ekonomi Taiwan terus

    bertumbuh. Hal ini dibuktikan dengan status Taiwan sebagai anggota WTO dan

    adanya kantor perwakilan dagang di berbagai negara.

    Perkembangan pandangan tentang syarat eksistensi sebuah negara yang meliputi:

    ketiga unsur de facto, serta adanya aktivitas ekonomi yang terorganisir, dapat

    membuat mata uang sendiri, menjalankan rekayasa sosial, adanya sistem

    transportasi, adanya kedaulatan dan pengakuan dari negara lain; sudah dipenuhi

    oleh Taiwan. Dengan kebijakan One China Policy,posisi Taiwan di mata dunia

    tersingkirkan karena kebijakan tersebut dilaksanakan oleh negara- negara di dunia.

    Banyak kantor perwakilan diplomatik yang ditutup sejak dikeluarkannya kebijakan

    tersebut. Kebijakan ini dibentuk melalui proses diplomasi yang panjang sejak

    deklarasi RRC pada 1949 yang kemudian disepakati Beijing dan Taipei merupakan

    satu Cina tetapi legitimasi pemerintahannya berbeda (Wonoadi, 2013). Sementara

    belum diakuinya Taiwan sebagai sebuah negara yang berdaulat oleh sebagian

    negara lain di dunia merupakan kendala besar bagi Taiwan untuk menjalin

    hubungan diplomatik dan hubungan kerja sama yang lebih luas (M Fahrezal

    Maulana, 2016).

    Cina juga melakukan pendekatan paksa untuk mengintegrasikan Taiwan ke dalam

    wilayahnya melalui proposal rencana negosiasi yaitu ‘One Principle and Four

    Points’. Prinsip tersebut menyebutkan bahwa Taiwan akan kembali ke pangkuan

    Cina dan menganut empat prinsip:

    - Mengembalikan hak diplomatik ke Cina;

    - Menyediakan dukungan pendanaan bagi Taiwan;

    - Menunda reformasi bergaya sosialis di Taiwan;

    - Menahan diri dari melibatkan perilaku merusak bagi pihak lain.

    27

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    Pada 1992, terjadi konsensus antara Cina dan Taiwan mengenai ‘One China’.Sejak

    itu Cina berusaha menghapus status internasional dan menutup segala aktivitas

    internasional Taiwan. Hal ini dikarenakan masih dominannya keinginan Taiwan

    untuk menjadi negara merdeka yang tidak terikat pada otoritas Cina (Dudjatmiko,

    2010). Taiwan kemudian menjadi anggota ke-155 di dalam WTO setelah

    mengalami hambatan karena tidak dapat masuk sebagai anggota sebelum RRC

    masuk menjadi anggota WTO. Dalam kasus ini, Taiwan diklasifikasikan sebagai

    wilayah dengan bea cukai terpisah dari Cina (separate customs territory). Taiwan

    memiliki statistik ekonomi dan perdagangan yang luar biasa dan memiliki

    pertumbuhan ekonomi yang cenderung stabil. Ekspor Taiwan ke Indonesia bahkan

    mencapai 15 miliar dolar AS dengan produk utama mesin, alat-alat listrik, dan

    teknologi tinggi. Taiwan juga menyumbang Foreign Direct Investment (FDI) yang

    cukup signifikan ke sejumlah host countries di Asia.

    Dengan kebijakan ‘One China Policy’, Taiwan hanya boleh bergerak dalam bidang

    investasi dan perdagangan bukan diplomatik. Dengan diterapkannya kebijakan

    tersebut, maka ruang lingkup dalam membangun hubungan dengan Taiwan

    terbatas. Apabila ada negara yang menjalin hubungan diplomatik dengan Taiwan,

    maka Cina akan memutuskan tali diplomatiknya dengan negara tersebut serta

    menarik kerja sama yang telah dilakukan. Selama bertahun-tahun, Taiwan telah

    memperdalam hubungannya dengan negara-negara besar, termasuk Amerika

    Serikat dan Jepang. Namun, Taiwan belum proaktif dalam keterlibatannya dengan

    ASEAN. Taiwan hanya menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan satu

    negara anggota ASEAN, yaitu Singapura. Melihat latar belakang perlambatan

    ekonomi Taiwan, yang disebabkan oleh dorongan Cina untuk penurunan

    ekspornya, Taiwan perlu melihat ke arah pasar alternatif untuk bahan bakar mesin

    ekonominya.

    ASEAN yang sedang bersiap untuk membentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN

    dapat berfungsi sebagai pusat manufaktur dan konsumen yang layak untuk bisnis

    Taiwan. Ini juga didukung dengan prospek ekonomi yang besar dan meningkatnya

    biaya tenaga kerja dan tanah di daratan Cina, sehingga variasi ekonomi ASEAN

    28

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    menawarkan alternatif yang saling melengkapi dan kompetitif untuk bisnis Taiwan

    (SIIA: ASEAN-TAIWAN RELATIONS - WHAT'S NEXT?, 2015).

    Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah yang menjadi dasar

    pembuatan tulisan ini adalah:

    1. Bagaimana dinamika kerja sama dagang Taiwan dan ASEAN setelah

    dikeluarkannya One China Policy?

    2. Bagaimana implikasi kebijakan One China Policy terhadap kerja sama

    dagang Taiwan dan ASEAN?

    Tujuan Penulisan

    Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui dinamika perdagangan Taiwan dan ASEAN

    setelah dikeluarkannya One China Policy serta implikasinya terhadap posisi dan

    aktivitas perdagangan Taiwan dengan negara ASEAN.

    Kerangka Konsep

    Tulisan ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan unit analisis berupa

    tabel investasi dan volume perdagangan antara Taiwan dan ASEAN serta

    menggunakan konsep soft power diplomacy. Soft Power diplomacy menurut

    Joseph Ny adalah kemampuan untuk mempengaruhi negara lain melalui kerja sama

    melalui pembentukkan agenda, mengajak serta melakukan kegiatan positif untuk

    memperoleh hasil yang diinginkan. Soft power ini dapat diwujudkan dalam

    instrumen dan teknik kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh suatu negara

    (Poros Ilmu: Memahami Konsep Soft Power Diplomacy, 2015). Konsep ini

    membantu menjelaskan diplomasi yang dijalankan oleh Taiwan di ASEAN berbasis

    aktivitas ekonomi, pendekatan sosial budaya, serta berfokus pada pendekatan

    people-to-people.

    29

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    Pembahasan

    A. One China Policy dan Taiwan

    One China Policy merupakan pengakuan diplomatik atas posisi Cina sebagai satu-

    satunya entitas politik resmi yang mewakili Cina. Kebijakan ini terbentuk karena

    latar belakang sejarah perang saudara antara Partai Komunis Cina (PKC) dan Partai

    Nasionalis (ROC). Kelompok nasionalis kalah dalam Perang Saudara Cina dan

    mundur ke daerah Taiwan dan menjadikannya sebagai pusat pemerintahan mereka.

    Taiwan menikmati pengakuan dunia selama beberapa dekade sebagai satu-satunya

    pemerintah Cina yang sah, baik dari Perserikatan Bangsa-Bangsa maupun di

    lingkaran diplomatik dunia. Sejak 1950-an dan seterusnya, Uni Soviet berupaya

    untuk menghapus Republic Of China (Taiwan) dari PBB secara konsisten, namun

    upaya tersebut diblokir oleh aliansi Amerika Serikat. Situasi berubah pada 1960-

    an, dinamika Majelis Umum yang didominasi Barat mulai berubah dan lebih pro

    kepada Beijing. Majelis Umum PBB kemudian mengeluarkan Resolusi yang

    diusulkan Albania 2758:

    “[...] Memutuskan untuk mengembalikan semua haknya ke Republik Rakyat

    Tiongkok dan mengakui perwakilan pemerintahnya sebagai satu-satunya

    perwakilan Cina yang sah untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan untuk segera

    diusir dengan perwakilan Chiang Kai-shek dari tempat itu. yang mereka duduki

    secara tidak sah di PBB dan di semua organisasi yang berkaitan dengannya.”

    Resolusi ini menggeser posisi Taiwan di dalam PBB dan mendukung upaya One

    China Policy. Selama kurang dari satu tahun, Taiwan terpaksa meninggalkan

    hampir semua lembaga yang berafiliasi dengan PBB. Alasan hukumnya karena

    Resolusi 2758 memindahkan kursi diplomatik Cina ke RRC dan tidak memberikan

    ruang bagi Taiwan. Pemerintahan Nixon juga memutuskan untuk memutuskan

    hubungan dengan Taiwan dan mengakui RRC pada tahun 1979 dan menyebabkan

    sebagian besar negara bagian mengikuti keputusan AS. Tidak adanya pengakuan

    internasional membuat tantangan hukum yang berat bagi Taiwan dan mempersulit

    hubungan lintas batas dengan komunitas internasional (Hsieh, 2009).

    30

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    Taiwan di bawah Konvensi Montevideo telah memenuhi unsur-unsur

    pembentukkan sebuah negara. Perkembangan pandangan tentang syarat eksistensi

    sebuah negara yang meliputi: ketiga unsur de facto, serta adanya aktivitas ekonomi

    yang

    terorganisir, dapat membuat mata uang sendiri, menjalankan rekayasa sosial,

    adanya sistem transportasi, adanya kedaulatan dan pengakuan dari negara lain telah

    dipenuhi Taiwan. Dengan kebijakan ‘One China Policy’, posisi Taiwan di mata

    dunia bergeser karena kebijakan tersebut dilaksanakan oleh negara-negara di dunia.

    Banyak kantor perwakilan diplomatik yang ditutup sejak kebijakan tersebut

    dikeluarkan secara resmi oleh otoritas Pemerintah Cina. Taiwan hanya boleh

    bergerak dalam bidang investasi dan perdagangan bukan diplomatik. Ini

    menyebabkan terbatasnya ruang lingkup dalam membangun hubungan dengan

    Taiwan. Negara yang menjalin hubungan diplomatik dengan Taiwan akan

    terintimidasi oleh Cina dengan ancaman pemutusan hubungan diplomatik dan

    penarikan kerja sama yang telah dilakukan.

    B. Go South Policy dan New Southbound Policy (NSP) sebagai Pendorong

    Hubungan Ekonomi Taiwan dan ASEAN

    Pada 1994, di bawah kepemimpinan Presiden Lee Tenghui, Taiwan mencoba untuk

    melakukan pendekatan dengan Asia Tenggara melalui “Go South Policy”.

    Kebijakan tersebut mempromosikan kerjasama Taiwan dan ASEAN dengan

    mendorong perusahaan manufaktur Taiwan untuk membuka pabrik-pabrik di Asia

    Tenggara. Kebijakan ini tidak memberikan hasil yang signifikan dan

    kesuksesannya terbatas, ini dibuktikan dengan investasi asing (foreign investment)

    Taiwan ke negara anggota ASEAN dari tahun 1991

    31

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    sampai dengan 2017 hanya mencapai 18,6%. Sedangkan proporsi investasi ke Cina

    dan Hongkong 40,5%. Dari segi perdagangan, Taiwan dan ASEAN dapat saling

    menciptakan keuntungan ekonomi. ASEAN dapat memanfaatkan teknologi

    agrikultur yang sudah matang dan rampung untuk memenuhi kebutuhan produksi

    komoditas pertanian di Asia Tenggara. Taiwan dapat memanfaatkan tenaga kerja

    muda dari ASEAN untuk pengembangan sektor industri dan teknologinya.

    Pengalaman Taiwan dalam bidang layanan kesehatan, teknologi, usaha kecil dan

    menengah di kawasan menjadi nilai tambah untuk negara ASEAN dalam

    mendorong rantai nilai dan promosi pengembangan bisnis. Potensi ekonomi yang

    dimiliki Taiwan menjadi salah satu daya tarik bagi negara ASEAN untuk

    memperluas cakupan kerja sama ekonomi. Dengan kemajuan teknologi dan

    keahlian Taiwan dalam beberapa area industri dianggap dapat mendukung

    keberlanjutan pengembangan ekonomi di Asia Tenggara dan Selatan. Ini dapat

    dilihat salah satunya dari kerja sama dalam bidang elektronik, artificial intelligence,

    dan teknologi blockchain dengan Filipina yang menunjukkan proses signifikan

    melalui Taiwan-Philippines Digital Corridor (Chiang, 2020).

    32

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    Tabel 1: Investasi Taiwan di Asia Tenggara (1959 – 2000)

    Sumber: Ministry of Economic Affairs (MOEA) ROC

    (http://npl.ly.gov.tw/npl/report/900425/5.pdf.)

    Arus modal yang besar ke wilayah ASEAN menjadikan Taiwan sebagai salah satu

    sumber utama investasi asing di Asia Tenggara, menyaingi Jepang dan Amerika

    Serikat. Pada 1988, Taiwan sudah menjadi investor asing terbesar kedua di

    Thailand, Malaysia, Indonesia, dan orang Filipina. Pada paruh pertama 1989, pulau

    itu juga menjadi investor asing terbesar di Malaysia dan Filipina. Investasi asing

    Taiwan di Vietnam tidak diizinkan hingga 1988 setelah Hanoi memulai kebijakan

    ekonomi "Doi Moi".

    Kebijakan ini mengubah ekonomi yang direncanakan secara terpusat menjadi

    perekonomian yang direncanakan pasar dan terdesentralisasi, memberlakukan

    Undang-Undang Penanaman Modal Asing, dan membuka jalur masuk bagi modal

    internasional. Sejak itu, Vietnam muncul sebagai negara paling populer untuk

    investasi Taiwan. Sementara Lee dan para teknokratnya masih menyusun kebijakan

    "Go South" pada tahun 1993, Taiwan sudah menempati peringkat tertinggi sebagai

    investor asing terbesar di Vietnam, terbesar kedua di Malaysia (setelah Jepang),

    ketiga di Indonesia (setelah Jepang dan Hongkong), keempat di Thailand (setelah

    33

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    Jepang, Hongkong, dan Amerika Serikat), kelima di Filipina (setelah Jepang,

    Amerika Serikat, Hongkong, dan Inggris), dan ketiga belas di Singapura. Investasi

    Taiwan ke negara Asia Tenggara dapat diamati pada tabel 1.

    Kebijakan "Go South" pada 1994 mendorong perusahaan Taiwan untuk

    memperluas investasi asing langsung di Asia Tenggara daripada Cina daratan.

    Tabel 1 menunjukkan investasi Taiwan di negara-negara ASEAN dari tahun 1959

    hingga 2000 (setelah dikeluarkannya One China Policy), secara khusus

    menunjukkan investasi tahunan selama dua belas tahun masa jabatan Lee sebagai

    presiden dari tahun 1988 hingga 2000. Dari tahun 1988 hingga 1989, total investasi

    yang disetujui Taiwan di anggota-anggota ASEAN-5, termasuk Vietnam dan

    Kamboja, berjumlah total lebih dari 4,55 miliar dolar AS. Investasi selama dua

    tahun ini melebihi investasi kumulatif pulau itu selama 29 tahun sebelumnya di

    negara-negara ASEAN dengan jumlah 3,64 miliar dolar AS. Selama enam tahun

    pertama kepemimpinan Lee (1988 hingga 1993), total investasi Taiwan yang

    disetujui di negara-negara ASEAN mencapai 15,4 miliar dolar AS, terhitung sekitar

    81% dari investasi kumulatif pulau itu di Asia Tenggara dari tahun 1959 hingga

    1993 (Jing, 2016).

    Kepemimpinan berikutnya yang dipimpin oleh Tsai Ing-wen menunjukkan

    progresivitas terkait hubungan kerja sama Taiwan dengan ASEAN dengan

    melakukan people-centric approach. Tsai Ing-wen mengalokasikan sejumlah dana:

    sekitar 148 juta dolar AS pada 2017 dan 240 juta dolar AS untuk mengupayakan

    “New Southbound Policy” (NSP). Munculnya kebijakan tersebut datang dari

    keinginan Taiwan untuk keluar dari pengaruh dan otoritas Cina, baik secara

    ekonomi maupun politik. Taiwan ingin mengurangi ketergantungannya pada Cina

    yang merupakan importir utama barang-barang Taiwan, di mana ekonomi Taiwan

    sebagian besar bergantung pada ekspornya. Pada 2015, kegiatan ekspor

    menyumbang 53% dari Produk Domestik Bruto Taiwan (PDB) sementara Cina

    menyumbang 30% dari pasar itu. Pada 2016, ekspor teknologi Taiwan menyusut di

    tengah meningkatnya persaingan dari perusahaan berbasis teknologi di Korea

    Selatan dan Cina.

    34

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    NSP dibuat untuk menyusun kembali peran Taiwan dalam perkembangan di Asia,

    mencari arah dan momentum untuk menciptakan fase baru dalam pertumbuhan

    ekonomi Taiwan, serta menciptakan future value.Kebijakan Taiwan ini

    dikhususkan untuk membangun relasi antara Taiwan dengan 10 negara anggota

    ASEAN, dan enam negara di Asia Selatan (India, Bangladesh, Bhutan, Nepal,

    Pakistan, Sri Lanka), Australia, dan Selandia Baru. Melalui New Southbound

    Policy, pemerintah Taiwan berupaya untuk menciptakan hubungan mutual melalui

    kerja sama di berbagai aspek, seperti kemitraan ekonomi (economic partnerships),

    investasi asing (foreign investments), pertukaran sumber daya manusia (talent

    exchanges), dan juga pembagian sumber daya (resources sharing).

    Guna mempromosikan aspek kemitraan ekonomi, rencana promosi menetapkan

    bahwa Taiwan akan menciptakan kemitraan yang mengintegrasikan negara anggota

    NSP dengan mengekspor produk dan layanan medis yang canggih. Hal ini

    merupakan salah satu strategi untuk mempromosikan citra produksi Taiwan, dan

    kolaborasi dalam infrastruktur di negara-negara NSP. Dalam pertukaran sumber

    daya manusia, Taiwan mengupayakan “aliran profesional dua arah” dalam

    pendidikan, dan membantu para migran untuk mencari pekerjaan dan mengatasi

    keterbatasan bahasa di Taiwan. Melalui sumber daya yang dimiliki oleh Taiwan,

    NSP bermaksud untuk melakukan pendekatan lunak dan mempromosikan kerja

    sama bilateral dan multilateral di berbagai sektor, dari budaya dan pariwisata,

    pertanian, teknologi, dan usaha kecil dan menengah (UKM).

    Sekitar 57 juta dolar AS dialokasikan pada 2018 untuk pembangunan sektor

    pendidikan dan pariwisata. Fokus utama Taiwan dalam pengalokasian dana tersebut

    adalah untuk meningkatkan jumlah pelajar dari ASEAN yang melakukan studi dan

    pendidikan di berbagai universitas di Taiwan. Kuota beasiswa yang diberikan

    Taiwan kepada pelajar Malaysia meningkat dari 20 menjadi 35 pada 2017, dan

    kuota pelajar Indonesia meningkat dari 16 menjadi 35. Dalam sektor pariwisata,

    Taiwan menerapkan strategi bebas visa kepada turis dari Singapura dan Malaysia,

    pembebasan visa 30 hari kepada turis Thailand dan Brunei, serta memperpanjang

    35

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    kebijakan visa-free privileges kepada turis Filipina. Ini sebagai langkah inisiatif

    untuk mengatasi penurunan kedatangan turis dari Cina. Upaya tersebut

    menunjukkan peningkatan signifikan dengan bertambahnya turis ASEAN sebanyak

    16% dari tahun 2015 ke 2016 (Ollie, 2018).

    Menurut laporan oleh Biro Nasional Penelitian Asia pada Januari, investasi Taiwan

    telah meningkat sejak pengumuman New Southbound Policy. Investasi oleh

    perusahaan Taiwan di negara-negara ASEAN mencapai rekor 3,45 miliar dolar AS

    pada 2016. Pada Oktober 2017, Presiden Tsai Ing-wen berjanji untuk

    mendistribusikan dana 3,5 miliar dolar AS untuk membantu mengembangkan

    proyek-proyek infrastruktur di wilayah ASEAN. ASEAN juga menyumbang

    sebagian besar ekspor Taiwan dan foreign direct investment (FDI) dengan negara-

    negara NSP. Terhitung dari Januari 2016 hingga April 2018, ASEAN menerima

    lebih dari 86% dari total ekspor Taiwan ke negara-negara NSP. Pada 2017, ekspor

    Taiwan ke ASEAN mencapai 58,57 miliar dolar AS, di mana jumlah ini meningkat

    14,2% dari tahun sebelumnya. Malaysia juga mengalami peningkatan ekspor

    Taiwan sebesar 32,7% pada 2016, sementara ekspor ke Laos tumbuh sebesar

    74,5%. Negara anggota ASEAN, seperti Singapura, Vietnam, dan Malaysia juga

    turut menyumbang 38,5 miliar dolar AS dari total ekspor Taiwan pada 2017.

    Arus investasi Taiwan ke ASEAN juga mengalami kenaikan menjadi 4,2 miliar

    dolar AS pada tahun 2016, naik sekitar 73,3% dari tahun sebelumnya. Ini

    menjadikan Taiwan sebagai sumber FDI terbesar ketujuh di kawasan Asia

    Tenggara. Kementerian Urusan Ekonomi Taiwan pada 2017 menyatakan bahwa

    investasi Taiwan di enam negara ASEAN terbesar di Singapura, Indonesia,

    Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam, tumbuh lebih dari 25% dari tahun

    sebelumnya menjadi 2,82 miliar dolar AS. Jika

    36

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    dibandingkan, jumlah ini jauh lebih besar daripada total FDI yang disumbangkan

    Taiwan kepada negara NSP lainnya meskipun tetap memiliki kenaikan yang cukup

    signifikan. Pada 2017, FDI yang disumbangkan Taiwan di India hanya meningkat

    menjadi 30,56 juta dolar AS, sementara investasi di Australia menjadi 615,88 juta

    dolar AS.

    Negara-negara NSP telah memberikan tanggapan positif terkait investasi besar

    yang diberikan oleh Taiwan, di mana investasi yang masuk meningkat hampir 25%

    pada 2017. ASEAN dalam hal ini juga mengalahkan negara-negara NSP lain,

    seperti India, Australia, dan Selandia Baru. Pada 2017, Singapura dan Malaysia

    bertanggung jawab atas aliran FDI masing-masing 138,32 juta dolar AS dan 74,26

    juta dolar AS ke Taiwan. Sebagai perbandingan, India menyumbang sekitar 2,57

    juta dolar AS, sedangkan Australia menginvestasikan 46,73 juta dolar AS dalam

    perekonomian Taiwan (Hunter Marston, 2018). NSP menjadi strategi Taiwan

    dalam mengimbangi kekuatan Cina serta mengurangi ketergantungannya terhadap

    Cina sejak dikeluarkannya One China Policy. Taiwan berupaya menjalankan soft

    power diplomacy kepada negara-negara Asia melalui pendekatan ekonomi dan

    social budayanya. Ini dapat dilihat dari pemberiaan beasiswa, kebijakan visa gratis,

    serta penanaman investasi di beberapa negara ASEAN. Langkah Taiwan melalui

    NSP menjadi strategi utama dalam membendung implikasi One China Policy

    terhadap posisi diplomatik Taiwan. Melalui pendekatan soft power, Taiwan

    berupaya memperkuat relasi dan ikatan dengan negara-negara ASEAN melalui

    ekonomi. Ini dapat dilihat dari dibukanya kantor dagang Taiwan di negara ASEAN,

    ekspor impor yang terus berlangsung dan stabil hingga 2019, serta berhasilnya

    implementasi kebijakan NSP dalam sosiokultural dan pariwisata.

    37

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    C. Implikasi One China Policy Terhadap Hubungan Ekonomi Taiwan dan

    ASEAN

    Investasi Taiwan di ASEAN berkembang dengan cepat pada akhir 1980-an,

    menjadikan ASEAN mitra dagang terbesar ketiga Taiwan pada 1990, setelah

    Amerika Serikat dan Jepang, serta menggeser posisi Hongkong dan Jerman.

    Perdagangan Taiwan-ASEAN meningkat dari 6,4% dari total perdagangan luar

    negeri Taiwan pada tahun 1986, dan naik menjadi 9% persen pada tahun 1990.

    Ekspor Taiwan ke wilayah Asia Tenggara juga naik dari 5,4% menjadi 10,2% dari

    total nilai ekspor pulau itu dan membuat ASEAN menjadi pasar ekspor terbesar

    keempat Taiwan.

    Pada 1990-an, ASEAN menjadi mitra dagang yang penting dari Taiwan setelah

    dikeluarkannya kebijakan Presiden Lee "Go South", yang mulai berlaku pada 1994.

    Hubungan perdagangan Taiwan-ASEAN mengalami pertumbuhan dua digit dari

    1990 hingga 1995 dengan tingkat pertumbuhan luar biasa 23% pada 1994 dan

    26,4% pada 1995. ASEAN menggantikan Jepang sebagai pasar ekspor ketiga

    terbesar Taiwan pada 1994, ketika ekspor Taiwan ke wilayah ASEAN tersebut

    tumbuh pada tingkat 21,7% dan meningkat menjadi 30,8% pada 1995. Pada saat

    pemerintahan Lee menyelesaikan fase tiga tahun pertama dari strategi "Go South"

    pada 1996, perdagangan antara ASEAN dan Taiwan telah mencapai 26,7 miliar

    dolar AS, melebihi angka perdagangan tahun 1993 lebih dari 10 miliar dolar AS.

    Tabel 2: Investasi Taiwan di Asia Tenggara (1959 – 2015) Sumber: Southeast

    Asian Government’s Statistics by Department of Investment Services, Ministry of Economic Affairs (MOEA), ROC

    (http://www.dois.moea.gov.tw/asp/relations3.asp)

    38

    http://www.dois.moea.gov.tw/asp/relations3.asp

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    Tabel 3: Perdagangan Taiwan dan Asia Tenggara (1989 – 2015)

    Sumber: Bureau of Foreign Trade, Ministry of Economic Affairs

    (http://cus93.trade.gov.tw/FSCI/)

    Tabel 2 dan 3 menggambarkan jumlah investasi dan perdagangan Taiwan dan

    ASEAN hingga 2015. Dapat disimpulkan bahwa One China Policy tidak

    menghalangi hubungan ekonomi antara Taiwan dan ASEAN. Dari tahun 1989

    hingga 2015, perdagangan dan investasi ekonomi di antara keduanya mengalami

    pergerakkan yang dinamis. Meskipun sempat mengalami kendala pada tahun 1997

    sampai 1998 akibat Krisis Asia, yang menyebabkan krisis moneter dan kemunduran

    perekonomian di negara-negara Asia Tenggara yang cukup signifikan. Ini dilihat

    dari data yang dipaparkan pada tabel 3, di mana tingkat pertumbuhan ekspor pada

    1998 turun sebesar 27,26%, pertumbuhan impor turun sebesar 5,53%, dan

    keseluruhan perdagangan Taiwan-ASEAN turun sebesar 17,46%. Meskipun

    demikian, di tahun-tahun berikutnya hingga 2015, hubungan ekonomi dan

    39

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    perdagangan keduanya mengalami dinamika yang cukup stabil dan tidak

    mengalami stagnansi.

    Taiwan telah mencapai banyak prestasi dalam ekspor ASEAN selama beberapa

    dekade terakhir. Seperti yang ditunjukkan tabel 3, ekspor ke negara-negara ASEAN

    mewakili 13,9% dari total ekspor Taiwan pada 2006 dan 15,2% pada 2008. Angka

    ini terus meningkat menjadi 19,2% pada 2013 dan turun sekitar satu persen menjadi

    18,2% pada 2015, dengan Singapura mewakili sekitar sepertiga ekspor dari Taiwan

    di ASEAN dengan presentase 6,1%, diikuti oleh Vietnam sebesar 3,4%, Filipina

    (2,6%), Malaysia (2,5%), dan Thailand (2%). Secara keseluruhan, ASEAN saat ini

    adalah mitra ekspor terbesar kedua Taiwan setelah daratan Cina, dan mengalahkan

    Hong Kong, Amerika Serikat, dan Jepang. ASEAN juga sebagai mitra impor ketiga

    terbesar Taiwan setelah Cina daratan dan Jepang, dan mengalahkan Amerika

    Serikat dan

    Korea Selatan (dilihat dari tabel 4). Meskipun perdagangan Taiwan-ASEAN

    mengalami tantangan kembali dan menurun selama Krisis Keuangan Global (2008-

    2009), perdagangan bilateral Taiwan dengan ASEAN meningkat lebih dari dua kali

    lipat antara tahun 2000 sampai 2015. Pada 2015, perdagangan Taiwan-ASEAN

    melebihi 79 miliar dolar AS.

    40

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    Tabel 4: Lima Negara atau Wilayah Mitra Dagang Terbesar Taiwan (2015) by

    asean.org. Sumber: Bureau of Foreign Trade, Ministry of Economic Affairs,

    ROC.

    41

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    Tabel 5: Sepuluh Negara atau Wilayah Mitra Dagang Terbesar ASEAN (2014)

    Sumber: ASEAN Merchandise Trade Statistic Database

    (https://asean.org/storage/2016/01/statistic/table20_asof121Dec15.pdf.)

    Tabel 4 dan 5 menunjukkan urutan mitra dagang terbesar Taiwan dan ASEAN

    hingga tahun 2015, dapat disimpulkan bahwa mitra ekonomi terbesar Taiwan saat

    ini masih didominasi oleh Cina. Meskipun Taiwan dan ASEAN masih belum

    menjadi mitra ekonomi yang utama, dalam hal ini perdagangan. Data terbaru yang

    dikeluarkan oleh World’s Top Export pada 24 Maret 2020 menunjukkan bahwa

    total ekspor ASEAN pada 2019 mencapai 31,9 miliar dolar AS (Workman, 2020).

    ASEAN berada di posisi empat dari lima belas mitra dagang terbesar Taiwan

    setelah Cina, AS, dan Hongkong.

    Melihat peningkatan investasi dan perdagangan yang signifikan sampai tahun 2020,

    hal ini mengindikasikan kemungkinan ASEAN untuk menjadi pasar ekonomi baru

    yang utama bagi ASEAN melalui New Southbound Policy. Taiwan sendiri

    memfokuskan diri untuk membuka jalur ekonomi dan kerja sama dengan negara-

    negara NSP untuk meminimalisir ketergantungan dan dominasi Cina secara politik

    dan ekonomi. Kebijakan “One China Policy” saat ini tidak berpengaruh besar

    terhadap hubungan kerja sama ekonomi Taiwan, namun Cina tetap memiliki andil

    42

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    dan kendali terhadap Taiwan. Mengingat besarnya kekuatan Cina dalam

    perekonomian dunia saat ini, tentu ada resiko dan indikasi Cina dapat mengatur alur

    ekonomi dan politik dunia untuk menekan Taiwan, jika hal tersebut dirasa perlu

    dilakukan.

    Sebagai contoh, Cina secara terbuka mengkritik Singapura pada tahun 2016 karena

    dianggap melanggar One China Policy-nya dengan membangun hubungan

    mendalam dengan Taiwan. Ini tentu mengancam dan mengintimidasi eksistensi

    Singapura sebagai salah satu entitas politik yang maju di bidang ekonomi dan

    industri, para pemimpin ASEAN tentu tidak inginmembahayakan hubungan

    perdagangan mereka dengan Cina dengan melakukan bisnis dengan Taiwan.

    Sehingga bagian tersulit dari perluasan New Southbound Policy adalah mengatasi

    hegemon Cina yang memiliki hubungan ekonomi yang mendalam dengan masing-

    masing negara ASEAN.

    Taiwan menyadari bahwa poros paling koheren saat ini adalah Asia Tenggara dan

    dalam menentukan pilihan antara Cina dan Taiwan, para pemimpin ASEAN akan

    memilih Cina. Dengan berfokus pada pendekatan people-centric atau people-to-

    people, diperlukan komitmen jangka panjang serta kolaborasi dari tangan

    pemerintah. Pembukaan sejumlah bank di negara-negara ASEAN, memberikan

    beasiswa kepada pelajar ASEAN untuk belajar di universitas-universitas Taiwan,

    kebijakan pariwisata terkait pembebasan visa bagi wisatawan ASEAN; merupakan

    langkah yang terus ditempuh oleh Taiwan. Namun tidak ada ikatan secara resmi

    yang terjadi di tingkat pemerintah karena tidak ada hubungan diplomatik yang

    boleh terjalin antara Taiwan dengan negara-negara ASEAN, seperti kerangka

    perjanjian perdagangan bebas. Ini merupakan salah satu dampak dari One China

    Policy, meskipun tidak berpengaruh secara langsung, Cina dengan kekuatannya

    melalui kebijakan tersebut dapat menekan posisi Taiwan di dunia internasional

    dengan mengancam dan mengintimidasi negara-negara yang hendak bekerja sama

    secara luas hingga mendukung upaya politis Taiwa

    43

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    Kesimpulan

    Dikeluarkannya One China Policy yang ditempuh melalui proses diplomasi panjang

    sejak 1949, serta didukung Resolusi Albania 2758 oleh PBB menekan dan

    menggeser posisi Taiwan sebagai suatu negara di dunia. Pasalnya kebijakan ini

    mendeklarasikan bahwa hanya ada satu entitas politik yang mewakili Cina.

    Sehingga Taiwan dianggap sebagai bagian dari provinsi Cina yang memberontak

    dan akan diintegrasikan kembali. Sejak dikeluarkannya kebijakan tersebut, Taiwan

    kehilangan eksistensi politiknya di PBB sebagai salah satu pemegang hak veto dan

    juga kehilangan sejumlah relasi diplomatik dengan negara-negara di dunia. Ini

    dikarenakan berubahnya dinamika di dalam majelis umum PBB yang mendukung

    Beijing, atau dikenal sebagai Cina daratan saat itu.

    Meskipun memiliki hubungan luar negeri yang terbatas secara politis, Taiwan tetap

    menjalin hubungan kerja sama ekonomi dan perdagangan dengan negara-negara di

    dunia. Ini dibuktikan dengan dibukanya kantor dagang Taiwan di beberapa negara

    di dunia (seperti Indonesia dan Singapura) dan keberadaan Taiwan sebagai anggota

    WTO ke-155. Taiwan juga menjalin hubungan ekonomi dan perdagangan dengan

    kawasan ASEAN yang terus menunjukkan peningkatan yang signifikan sejak tahun

    1990-an hingga 2017 melalui strategi Go South Policy di bawah kepemimpinan Lee

    Tenghui dan New Southbound Policy di bawah kepemimpinan Tsai Ing- wen.

    ASEAN menunjukkan respon positif terhadap kerja sama ekonomi dan

    perdagangan ini, dibuktikan dengan posisi ASEAN sebagai mitra ekspor terbesar

    kedua dengan presentase 18,2% dari total ekspor Taiwan dan total perdagangan

    sebesar 79 miliar dolar AS di tahun 2015.

    Dinamika perdagangan dan investasi antara Taiwan dan ASEAN sejak tahun 1990-

    an (atau sejak diterapkannya One China Policy) sampai 2017 sangat baik dan

    pertumbuhannya signifikan. Ini menunjukkan bahwa One China Policy tidak

    berdampak secara langsung dan masif terhadap hubungan ekonomi Taiwan dan

    ASEAN. Baik Taiwan maupun ASEAN masih menggantungkan perekonomiannya

    pada peran Cina (dilihat dari posisi Cina sebagai mitra investasi dan dagang

    44

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    pertama), hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa Taiwan-ASEAN akan

    menjadi mitra ekonomi yang saling memprioritaskan satu sama lain. Posisi Cina

    dan keberadaan kebijakan tersebut juga perlu diantisipasi karena Cina tetap dapat

    menekan dan mengintimidasi negara- negara di dunia jika dianggap melanggar atau

    merusak One Cina Policy, contohnya Singapura.

    Besarnya kekuatan hegemoni Cina di dalam perekonomian dunia saat ini membuat

    para pemimpin dan pembuat kebijakan negara ASEAN dilema. Pasalnya pasar

    perekonomian Taiwan sangat menguntungkan, namun keberadaan Cina juga turut

    memberikan tekanan dalam kerja sama dengan Taiwan. Jika diwajibkan untuk

    memilih antara Taiwan dan Cina, tentu pembuat kebijakan ASEAN akan lebih

    memilih Cina karena tidak ingin membahayakan posisi negaranya secara politik

    dan ekonomi. Taiwan perlu secara konsisten menerapkan strategi New Southbound

    Policy- nya yang fokus pada pendekatan people-to-people, serta mengupayakan

    diplomasi ekonomi yang dapat membuat negara-negara ASEAN berkomitmen

    menjalin hubungan kerja sama ekonomi dengan Taiwan.

    45

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    Referensi

    (SIIA), S. I. (2015, December 4). ASEAN-Taiwan Relations - What's Next?

    Retrieved from Singapore Institute of International Affairs (SIIA):

    http://www.siiaonline.org/asean-taiwan-relations-whats-next/

    Ariffin, E. (2018). Taiwan's Pivot to Southeast Asia. Retrieved from The ASEAN

    Post: https://theaseanpost.com/article/taiwans-pivot-southeast-asia

    Bo-jiun, J. (2016). Taiwan and Southeast Asia: Opportunities and Constraints of

    Continued Engagement.Contemporary Asian Studies Series,46 - 66.

    Brush, H. M. (2018, July 30). Taiwan's Engagement with Southeast Asia is Making

    Progress Under the New Southbound Policy.Retrieved from Brookings Edu:

    https://www.brookings.edu/opinions/taiwans-engagement-with-southeast-

    asia-is-making-progress-under-the-new-southbound-policy/

    Chiang, J. H.-C. (2020, February 26). How Does Asia Think About Taiwan and Its

    New Southbound Policy? Retrieved from The Diplomat:

    https://thediplomat.com/2020/02/how-does-asia-think-about-taiwan-and-its-

    new-southbound-policy/

    Congkittavorn, K. (2018, December 18). Reimagining Taiwan's Ties with

    ASEAN.Retrieved from Bangkok Post:

    https://www.bangkokpost.com/opinion/opinion/1596118/re-imagining-

    taiwans-ties-with-asean

    Dudjatmiko, T. (2010). Upaya China-Taiwan untuk Bergabung Dalam

    International Space Station (ISS):nSatu Kajian Diplomasi. Jurnal Analisis

    dan Informasi Kedirgantaraan LAPAN,112 - 115.

    Hsieh, P. L. (2009). The Taiwan Question and The One-China-Policy: Legal

    Challenges with Renewed

    Momentum. Research Collection School of Law: Singapore Management

    University,60 - 62.

    M. Fahrezal Maulana, K. R. (2016). Implikasi One China Policy Terhadap

    Hubungan Luar Negeri Indonesia dan Taiwan Dalam Perspektif Hukum

    Internasional. Diponegoro Law Journal,3.

    News, B. (2017, February 10). What is the One China Policy? Retrieved from BBC News: https://www.bbc.com/news/world-asia-china-38285354

    Ollie. (2018, March 12). ASEAN Today: Why Taiwan's Most Recent Pivot to

    Southeast Asia is its best yet. Retrieved from ASEAN Today :

    https://www.aseantoday.com/2018/03/why-taiwans-most-recent-pivot-to-

    southeast-asia-is-its-best-yet/

    46

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    Poros Ilmu: Memahami Konsep Soft Power Diplomacy.(2015). Retrieved from

    Poros Ilmu:https://www.porosilmu.com/2015/02/memahami-konsep-soft-

    power-diplomacy.html

    Taipei Times: Taiwan Seeks to Deepen ASEAN Ties Through Knowledge-Sharing

    Channels.(2017, November 12). Retrieved from Taipei

    Times:http://www.taipeitimes.com/News/front/archives/2017/11/12/200368

    2107

    Wonoadi, G. L. (2013). Jurnal Hubungan Internasional UMY.Retrieved from HI

    UMY: https://hi.umy.ac.id/menelisik-kedaulatan-taiwan/

    Workman, D. (2020, March 24). Taiwan's Top Trading Partners.Retrieved from

    World's Top Exports: http://www.worldstopexports.com/taiwans-top-import-

    partners/

    47

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    The Death of NAFTA and Why it Happens: An

    Explanation from Economic Process of Regime Change

    Celica Andini

    [email protected]

    Departement of International Relations

    Universitas Indonesia

    ABSTRACT

    The death of 24 years old North America Free Trade Agreement (NAFTA) replaced

    by USMCA (United States, Mexico, and Canada) recently draw a vast international

    attention. With the new deal concentrate in tightening intellectual property rights,

    dairy products and digital technology enforced in 2020. Several assume that these

    is merely a power-talk from United States and current demeanour is going to

    jeopardize international regime composure. This paper aim to counter prior

    assumption and further explain the factors that might influence these regimentals

    change and why is it wrong. Borrowing theory of complex interdependence and its

    unnecessarily asymmetrical effects to explain power politics in economic process

    of regime change. Subsequently, Canada and Mexico felt change of regime is

    unavoidable considering technology, people’s inquiry as well as the aggregate is

    going upward the current regime cannot sustain. Is neither zero-sum or realist

    control over power, it’s a win – win with a clear win for United States and half-win

    for Canada and Mexico for this agreement and what’s left in the future of

    international regime.

    Keywords: NAFTA, USMCA, Economic Process of Regime Change, Complex

    Interdependence

    1. The Death of NAFTA

    North American Free Trade Agreement (NAFTA) is 24 years old trade agreement

    having it come into force since 1st of January of 1994. The agreements have two

    major compromises: First, NAFTA will reduce/ eliminate tariff of more or less

    ninety thousand categories of good sold inter US- Canada-Mexico by 2008 and

    second, will protect intellectual property rights of investor and further facilitate

    easy-ease investment environment (David N. Balaam and Michael Veseth, 2001:

    258). After 10 years implementation the three contracting countries enjoy

    significant growth on real GDP 1994-2003 was 3.6% for Canada, 3.3% for United

    48

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    State and 2.7% for Mexico. The number is faster than OECD annual growth

    standard expectation (Gary Clyde Hufbauer, 2005: 2). NAFTA has doing a great

    job easing trade between 450 people alive, it helps lower groceries and oil prices in

    US, foster agriculture prosperity for Canada-Mexico, easing trade in services and

    boost economic growth between three countries involved (Kimberly Amadeo,

    2018). More than economically beneficial, it is also having several social-political

    impacts. 20 years after, in Mexico, NAFTA encourage more sustainable economy,

    encourage process of democratization and promote anti-corruption.

    Whereas, in Canada NAFTA pulled down Canada “lack-of innovation because no-

    one buys it anyway” stigma into competitive market and rapid productivity in

    Canadian business environment by 13-15% higher than before (Daniel Trefler at

    Michael J. Boskin, 2014: 40). In United States NAFTA had so much to do with

    lower unemployment rate ever since estimated 2.9% lower (Gary Clyde Hufbauer,

    Cathleen Cimino, and Tyler Moran, 2014: 2). Accordingly, this economic

    integration achievement shall be praised, other than creating more prosperous

    economy to participated countries it has abrupt ability to resolve ongoing socio-

    political problem domestically.

    However, after all positive spill-over talk there should be discontented fraction with

    that the debate is unavoidable. Pros and cons had been revolving over years while

    the proponents are sturdy, the number of opponents increases since early 2010s. to

    summarize the critics, Peterson Institute for International Economics (PIIE)

    highlight six central critic charges towards NAFTA:

    (1)NAFTA foster US trade deficits to Canada and Mexico, (2)Trade with Mexico

    raised unemployment in US, (3)Job loss in US manufacturing industries and wages

    are also not progressive, (4)Boom in US agricultural export turned rural Mexicans

    into illegal Emigrant (5)NAFTA encourages illegal immigration, (6)Mexican

    growth is below estimate prediction of NAFTA proponents (Misleading Charges

    and Positive Achievements, nd).

    Whilst complaints mostly come from United States in fact wage growth stagnation,

    sectoral income inequality, and aforementioned claims is not entirely NAFTA fault,

    it is important to consider another factor like competition whose come from far East

    49

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507 Original Article

    (Robert A. Blecker, 2014: 22-24). Nonetheless, NAFTA is still at the blame because

    it can’t live up to its original promises and is not like US can put all the blame to

    either Canada or Mexico. Height of the debates reached first while United States of

    America President, Donald Trump first mention that he will renegotiate NAFTA in

    his twitter at 19 October 2016.

    “I will renegotiate NAFTA. If I can’t make a great deal, we’re going to tear it up.

    We’re going to get this economy running again. #Debate”

    In responding Trump tweets; Mexico President, Enrique Pena Nieto carefully

    expressed their disagreement but open for option to renegotiation as Pena’s

    statement at TPP participating leaders meeting:

    “In the fact of Trump positioning, we’re now in a stage of favouring dialogue as a

    way to build new agenda in our bilateral relationship … and in commercial terms

    we want Mto give the right value this this strategic relationship between Mexico

    and US ”

    Justin Trudeau, Canada Prime Minister at press conferences in Sydney says that

    he’s opens for renegotiation.

    “If Americans want to talk about NAFTA, I’m happy to talk about it”

    Following Justin Trudeau benevolence towards the plans to renegotiate NAFTA,

    all that’s left is final calling, since Americans were so eager, Canada is open for

    options, Mexico though reluctant but Pena will not sacrifice strategic relationship

    with US.

    The wait is over, at 18 May 2018, The Bipartisan Congressional Trade Priorities

    and Accountability Act of 2015 (2015 TPA) issued a notice regarding

    modernization of the North American Free Trade Agreement (NAFTA) to congress,

    there are 16 topics to talk including the most basic such as negotiating objectives

    (Key Dates Prior to Commencement of Negotiation, 2017). Negotiation process

    wasn’t silky smooth, there are lot criticism, reluctancy and Trump attacks on either

    50

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    twitter or media make the situation more complicated. After three rounds of tough-

    and unresolved negotiation, on 30 September 2018 Canada is joining US – Mexico

    prior agreed pact to replace NAFTA with U.S-Mexico-Canada Agreement

    (USMCA) compromised of 34 chapters and 12 side letters mostly from previous

    NAFTA but the noticeable changes are the market access provision for automotive,

    agricultural products, investment rules, government procurement, and intellectual

    property rights (Ian F. Fergusson and M. Angeles Vilarrreal, 2018). Finally, just

    now on 30 November 2018 Donald Trump, Justin Trudeau, and Enrique Pena Nieto

    signed USMCA agreement on the Margins of the G20 leaders’ summit in Buenos

    Aires (A New Canada-United States-Mexico Agreement, 2018), it marks the end

    of NAFTA and start of the new born USMCA. Seeing it only takes 2 years of talks

    to end 24 years old agreement and years of complaint along the implementation,

    what exactly pushes this negotiation forward, why and how it happened is the centre

    focus of this articles with the help of theory of complex interdependence by

    Keohane and Nye and using United States as a main standpoint to analyse trilateral

    relationship between US-Mexico-Canada, writers seeks to find a congruent

    explanation it can provide.

    2. Research Question

    Following a previous problem overview, question raised for further analysis is:

    “Why United States, Mexico and Canada decided to replace NAFTA with new

    USMCA?”

    3. Research Purpose and Significance

    3.1 Research Purpose

    To understand the process and factors influences regimental change with respect

    toI nterdependence relation. Following explanation located in America

    neighbourhood, NAFTA to USMCA. However, the methods are not limited to be

    served for another region.

    51

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507 Original Article

    3.2 Research Significance

    Academic wise, NAFTA to USMCA is very new and this research presents

    economic process of regimental change with complex interdependence relation

    coherently so it is almost no one who writes alike. Empirical wise, this issue is just

    recently and possibly is the unpredictable change of regime United States of

    America, Mexico and Canada ever made. Practical wise, the change of NAFTA and

    USMCA will cost several impacts to world trading and also open up opportunity

    for another trading partner including Indonesia. Besides, apprehend these issues

    may benefit take prior anticipation if United States probability to change another

    regime is high.

    4. Theoretical Framework: Economic Process of Regime Change

    This paper uses complex interdependence theory and economic process of

    international regime change model from Robert O. Keohane and Joseph S. Nye to

    further explain why NAFTA negotiation befalls then replaced by new USMCA.

    Central to understanding the politics of interdependence is to understand how

    international regimes emerge and fall out. Nye and Keohane offer four models to

    understand change in international regime (1) Economic process (2) Overall

    power structure, (3) Power structure within issues, (4) Power capabilities affected

    by international organization. The case of US – Canada – Mexico in this writing

    use simple economical process to understand how change of regime occurred.

    Economic process of international regime change compromise three premises. First,

    technological change and increased of economic interdependence with make

    existing international regime obsolete. Second, government will unusually

    responsive to domestic political demands of increasing standard of living. Lastly,

    Great aggregate will make government think of modify, reconstruct or change

    international regime in order to restore their effectiveness (Keohane and Nye, 2012:

    33-34). Therefore, in order to understand why regime change, we must understand

    complex interdependence interaction between each contracting party have at each

    other’s in this case United States – Mexico – Canada. After seeing through the

    process, we could fully understand the creation of USMCA replacing NAFTA isn’t

    merely power-talk on US sides.

    52

  • Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507

    According to Keohane and Nye, interdependence is a relationship that have

    reciprocal effects but doesn’t necessarily only benefited each other (Keohane and

    Nye, 2012: 7). Interdependence could have either symmetrical and asymmetrical

    effects as they emphasize interdependence always require a cost, restrict certain

    degree of autonomy and including impossibility to foresee future outcome of either

    interdependence relation outweigh the cost rather than the benefits (Keohane and

    Nye, 2012: 9). Therefore, understanding interdependence mere as a win-win

    solution it’s a no go, rather its is more complicated interaction that needs to be

    understood as a combination of utilization of power and political bargaining

    process. Concepts of power is often associated with realism, undeniably no power

    in study of international relation feels a bit odd tough definition and source of power

    changes overtime due to transformation in international situation and getting more

    complex than original version. In complex interdependence which adopted several

    realism assumptions to its theory, concepts of power were also redefined into what

    it called as asymmetrical interdependence which simply translated by Keohane in

    another book as “one side shall be benefited more than the rest, so there are more

    competitive advantages” (Keohane, 2015). In another words, the less dependant

    actor most likely to have more power and advantages as a result in not guaranteed,

    consistent with a paragraph before.

    The role of power in interdependence distinguished between two; sensibility and