MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No ...

22
MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari Juni 2019 58 Pengaruh Sikap Amanah dan Kecerdasan Emosional terhadap Self- Efficacy Orang Tua dalam Mengasuh Anak Autis Fikni Mutiara Rachma Universitas Djuanda Email: [email protected] Abstract This study aims to examine the effect of trustful attitudes (amanah) and emotional intelligence on the self-efficacy of parents in nurturing autistic child empirically. The sample in this study is parents who have children diagnosed with Autism Spectrum Disorder (autism) in the school for autistic children. The data used in this study were 33 questionnaires distributed to parents who have autistic child. This research uses statistical methods of multiple linear regression analysis. The results of this study show that amanah significantly influences the self-efficacy. This indicates that trustworthy parents are always responsible for carrying out their duties, so that they will be sincere and cause self-efficacy in nurturing autistic child. However, the results of the study show that emotional intelligence had no effect on the self-efficacy of parents which presumably, because there were still parents who not fully prepared to deal with autistic children. Keywords: Amanah, Emotional intelligence, Self-efficacy, Parent, Autism PENDAHULUAN Membesarkan dan mengasuh anak dengan gangguan spektrum autisme (ASD) bisa menjadi pengalaman yang luar biasa bagi keluarga khususnya orang tua. Berbagai masalah hadir pada anak-anak dengan ASD dikaitkan dengan sejumlah kesulitan dalam pengasuhan, termasuk menurunnya keberhasilan orang tua dalam mengasuh, meningkatnya stres pada orang tua, dan peningkatan masalah kesehatan mental dan fisik dibandingkan dengan orang tua yang mengasuh anak normal lainnya. Sebaliknya, beberapa orang tua lain berpikir positif kemudian mencari bantuan atau jawaban dan validasi diagnosis ketika mereka akhirnya menerima hasilnya dengan ikhlas. Bagi banyak orang tua, menerima diagnosis adalah sebuah pengalaman emosional. Dari data yang diperoleh, orang tua dari anak-anak berkebutuhan khusus melaporkan bahwa saat menerima diagnosis anak, tingkat stres dan kecemasan naik berkaitan dengan membesarkan anak dengan disabilitas (Baxter, Cummins, & Polak, 1995). Sayangnya, respons emosional dan kognitif orang tua untuk diagnosis autisme jarang ditangani oleh profesional kesehatan. Hal yang terpenting dari semua itu adalah bagaimana segala perasaan yang

Transcript of MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No ...

Page 1: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No ...

MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019

58

Pengaruh Sikap Amanah dan Kecerdasan Emosional terhadap Self-

Efficacy Orang Tua dalam Mengasuh Anak Autis

Fikni Mutiara Rachma Universitas Djuanda

Email: [email protected]

Abstract

This study aims to examine the effect of trustful attitudes (amanah) and emotional intelligence

on the self-efficacy of parents in nurturing autistic child empirically. The sample in this study

is parents who have children diagnosed with Autism Spectrum Disorder (autism) in the school

for autistic children. The data used in this study were 33 questionnaires distributed to parents

who have autistic child. This research uses statistical methods of multiple linear regression

analysis. The results of this study show that amanah significantly influences the self-efficacy.

This indicates that trustworthy parents are always responsible for carrying out their duties, so

that they will be sincere and cause self-efficacy in nurturing autistic child. However, the results

of the study show that emotional intelligence had no effect on the self-efficacy of parents which

presumably, because there were still parents who not fully prepared to deal with autistic

children.

Keywords: Amanah, Emotional intelligence, Self-efficacy, Parent, Autism

PENDAHULUAN

Membesarkan dan mengasuh anak

dengan gangguan spektrum autisme (ASD)

bisa menjadi pengalaman yang luar biasa

bagi keluarga khususnya orang tua.

Berbagai masalah hadir pada anak-anak

dengan ASD dikaitkan dengan sejumlah

kesulitan dalam pengasuhan, termasuk

menurunnya keberhasilan orang tua dalam

mengasuh, meningkatnya stres pada orang

tua, dan peningkatan masalah kesehatan

mental dan fisik dibandingkan dengan

orang tua yang mengasuh anak normal

lainnya.

Sebaliknya, beberapa orang tua lain

berpikir positif kemudian mencari bantuan

atau jawaban dan validasi diagnosis ketika

mereka akhirnya menerima hasilnya

dengan ikhlas. Bagi banyak orang tua,

menerima diagnosis adalah sebuah

pengalaman emosional. Dari data yang

diperoleh, orang tua dari anak-anak

berkebutuhan khusus melaporkan bahwa

saat menerima diagnosis anak, tingkat stres

dan kecemasan naik berkaitan dengan

membesarkan anak dengan disabilitas

(Baxter, Cummins, & Polak, 1995).

Sayangnya, respons emosional dan kognitif

orang tua untuk diagnosis autisme jarang

ditangani oleh profesional kesehatan.

Hal yang terpenting dari semua itu

adalah bagaimana segala perasaan yang

Page 2: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No ...

MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019

59

hadir tersebut bisa digantikan dengan emosi

dan sikap yang positif. Melanjutkan fokus

pada anak autis sebagai sumber kesedihan

justru akan menambah kesulitan bagi orang

tua juga sang anak. Selain itu, bisa

menghalangi perkembangan dalam

penerimaan dan hubungan yang otentik

antar orang tua dan anak.

Tidak seperti menangani anak-anak

normal pada umumnya, mengasuh dan

mendidik anak berkebutuhan khusus seperti

autis tentu memiliki kesulitan tersendiri.

Maka salah satu dibutuhkan kecerdasan

emosional yang baik untuk memahami

betapa luar biasa amanah yang Allah

berikan berupa anak tersebut. Dengan

kemampuan mengelola kecerdasan

emosional yang baik, diharapkan orang tua

dapat membangun komunikasi dua arah

hingga tercipta keharmonisan dan rasa

nyaman pada anak. Kemampuan inilah

yang akan membantu orang tua selama

membesarkan anaknya.

Kemampuan orang tua dalam

menjalankan perannya atau disebut self-

efficacy orang tua, terkait dengan

keberhasilan dalam mengasuh anak dengan

hasil yang positif. Mengingat tekanan yang

unik yang melekat dalam membesarkan

anak autis, orang tua akan tertantang untuk

lebih amanah serta mempertahankan sikap

positif dan self-efficacy mereka. Dukungan

sosial dan motivasi diri yang dimiliki orang

tua dapat menolong mereka dalam

menghadapi tekanan membesarkan anak

yang berkebutuhan khusus, sehingga perlu

adanya penyesuaian diri terutama dalam

lingkungan masyarakat. Penyesuaian diri

yang baik merupakan sebuah bentuk

kemampuan seseorang untuk beradaptasi

dan tetap teguh dalam keadaan apapun.

Dalam hal ini orang tua dituntut untuk

selalu meningkatkan self-efficacy pada diri

mereka.

Semua tantangan dalam keluarga

dengan anak ASD, bukan berarti menutup

kemungkinan untuk dapat mengembangkan

potensi anak tersebut dengan optimal.

Dengan memberikan lingkungan yang

tepat, terutama orang tua yang saling

mendukung dan merawat satu sama lain,

diharapkan anak dengan berkebutuhan

khusus dapat menjalani kehidupan dengan

sebaik-baiknya dan mampu

mengoptimalkan potensi dirinya, sehingga

dapat mengarah pada kemandirian. Oleh

sebab itu, dari hasil studi literatur penulis

meyakini bahwa orang tua diharapkan bisa

mengatasi segala permasalahan yang

dialami oleh sang anak.

Untuk itu, diharapkan para orang

tua mau bekerjasama dalam rangka

menyukseskan terapi atau mendukung

sekolah khusus anak mereka. Bukan hanya

sebatas memilihkan sekolah atau tempat

terapi yang bagus, tetapi juga turut serta

dalam proses belajar anak setiap harinya,

dan terus belajar menjadi orang tua yang

Page 3: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No ...

MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019

60

mampu mengatur emosi selama mengasuh

anak yang luar biasa tersebut.

Amanah

Amanah secara bahasa berasal dari

kata “amuna-ya’munu-amânatan”, amânah

adalah sesuatu yang dipercayakan, yaitu

berupa sekumpulan tindakan yang harus

dilakukan. Amanah adalah lawan dari

khianat.

Sebagaimana dalam Al-Qur’an

surah Al-Jinn [72] ayat 33, amanah adalah

perkara-perkara yang dipercayakan kepada

hamba, maka dia membawa hak-hak

Tuhan. Jadi manusia tersebut memiliki

amanah kepada Tuhan dan kepada ciptaan-

Nya. Amanah adalah akal. Disebut

demikian karena untuk menunjukan arti

kebesaran amanah tersebut, hal hal ini

terkait dengan jiwa, karena akal bagian dari

jiwa (aqal, nafs, jasad) dan dititipkan

kepada yang mampu memikulnya.

Amanah dalam arti sempit adalah

memelihara titipan, sedangkan dalam arti

luas adalah dapat dipercaya, menjaga

rahasia, membuat orang-orang

disekelilingnya merasa aman, merupakan

akhlak mendasar yang menjadi karakter

Nabi Muhammad SAW sebagai teladan

bagi umat Islam.

Manusia sebagai Makhluk Pemangku

Amanah

Manusia adalah representasi dari

makhluk-makhluk yang ada. Ia berada pada

titik pusat antara kemampuan paling

ekstrim yang dimiliki makhluk-makhluk

lain. Ia bukan malaikat yang mampu

menembus ruang dan waktu tanpa aral,

tetapi juga bukan hewan yang

mengandalkan instink belaka. Ia bukan

burung yang mampu terbang bebas di

angkasa, namun juga bukan ikan yang

hanya bisa hidup di air. Meskipun memiliki

kemampuan melebihi makhluk-makhluk

itu ketika mengembangkan potensi

kecerdasannya. Manusia memiliki akal dan

nafsu sekaligus yang tercermin dalam

kehendak mereka dalam melakukan sesuatu

yang sifatnya individual karena terdorong

dari diri mereka sendiri. Menurut Qurthubi

(1372 H: XX, 114), manusia adalah alam

kecil (mikrokosmos) yang

merepresentasikan makhluk-makhluk lain.

Ketika menjelaskan manusia dalam kitab

tafsirnya, ia mengatakan: “Manusia adalah

mikrokosmos karena semua hal penting

yang ada pada makhluk-makhluk

terakumulasi di dalamnya.”

Karena itu, kemudian manusia

menerima amanah taklif (beban tanggung

jawab) yang ditampik oleh makhluk-

makhluk lain. Sebagaimana Allah

berfirman dalam surah Al-Ahzab ayat 72.

“Sesungguhnya kami telah mengemukakan

amanat kepada langit, bumi dan gunung-

gunung, maka semuanya enggan untuk

Page 4: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No ...

MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019

61

memikul amanat itu dan mereka khawatir

akan mengkhianatinya, dan dipikullah

amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya

manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”

(QS. Al-Ahzab [33]: 72).

Amanah yang ditawarkan makhluk-

makhluk itu dan kemudian ditolaknya

adalah amanah untuk menjalankan tugas-

tugas agama (qada al-din) sementara

ungkapan penawaran kepada langit, bumi,

dan gunung ditujukan kepada penghuninya

(Baghawi, 1407 H), kendati banyak tafsir

menolak pendapat ini.

“Maksud dari ungkapan ‘penawaran kepada

langit dan bumi’ adalah penawaran kepada

penghuninya….sebagaimana pada contoh

firman Allah: ‘Tanyakan kepada negeri’,

maksudnya adalah penduduk negeri itu...”

Penerimaan manusia terhadap

amanah yang dilimpahkan kepadanya

memiliki implikasi keharusan adanya

kehidupan lain untuk

mempertanggungjawabkan dan menerima

ganjaran pelaksanaan amanah itu. Bagi

yang menjalankan amanah dengan baik,

maka mendapatkan kebaikan pula,

demikian pula sebaliknya. Untuk

menjalankan amanah dengan baik, manusia

dibekali instrumen sebagai modalitas

kehidupan, dari yang sangat sederhana

hingga potensi yang memungkinkan

perubahan mendasar dalam peradaban umat

manusia.

Dalam penelitian ini, manusia yang

dimaksud adalah kedua orang tua, ayah

maupun ibu sebagai manusia yang

memangku amanah dalam mengasuh dan

merawat anaknya yang luar biasa.

Sebagaimana pula tertulis dalam surat At

Tahrim ayat 6 “Hai orang-orang yang

beriman, peliharalah dirimu dan

keluargamu dari api neraka yang bahan

bakarnya adalah manusia dan batu;

penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,

keras, dan tidak mendurhakai Allah

terhadap apa yang diperintahkan-Nya

kepada mereka dan selalu mengerjakan

apa yang diperintahkan.”

Dimensi-dimensi Amanah

Dari pengertian-pengertian yang

telah disebutkan, penulis mengambil

kesimpulan bahwa amanah dalam

penelitian ini adalah, sesuatu yang

diberikan pada seseorang yang sifatnya

individual, dikarenakan seseorang tersebut

memeliki kehendak sepenuhnya untuk

menerima atau menolaknya, dan

dilaksanakan dengan cerdas. Dalam

penelitian ini, penulis mengambil dimensi

yaitu:

1. Cerdas

Dalam ilmu mantiq (logika),

manusia disebut sebagai al-hayawan

al-nathiq atau hewan yang berpikir.

Kemampuan berpikir menjadi modal

utama dalam kehidupannya, karena

Page 5: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No ...

MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019

62

secara biologis manusia sanagt lemah.

Menurut Sarlito (2000:22), manusia

merupakan satu-satunya makhluk yang

tidak dibekali alat-alat secara alamiah

untuk bertahan dalam lingkungannya,

misalnya bulu tebal untuk melawan

cuaca dingin, sayap untuk bisa terbang,

kuku dan taring yang tajam untuk

memangsa. Satu-satunya modal utama

untuk bertahan hidup adalah

kecerdasan. Sejatinya, manusia secara

biologis sangat lemah, bahkan amat

bergantung pada pengasuhan

(nurturing) orang tuanya atau orang-

orang di sekelilingnya, terutama pada

fase awal kehidupannya. Faktor

kelemahan dibidang ini telah

dijelaskan dalam Al-Qur’an, antara

lain surat 30:54 (lihat juga 4:28).

“Allah, Dialah yang menciptakan

kamu dari keadaan lemah, kemudian

Dia menjadikan (kamu) sesudah

keadaan lemah itu menjadi kuat,

kemudian Dia menjadikan (kamu)

sesudah kuat itu lemah (kembali) dan

beruban. Dia menciptakan apa yang

dikehendaki-Nya dan Dia laha Yang

Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”

Penelitian terhadap alam

merangsang lahirnya penemuan-

penemuan bau dalam konteks budaya

dan dapat dimanfaatkan bagi

kemaslahatan umat manusia.

Pengetahuan tidak selamanya harus

murni diperoleh melalui eksplorasi

alam, tetapi pengetahuan dan

pengalaman orang lain juga dapat

menjadi inspirasi dalam

pengembangan kreativitas. Oleh sebab

itu, Al-Qur’an menganjurkan manusia

untuk menggali ilmu pengetahuan dari

para pakar di berbagai bidang demi

terpenuhinya rasa keingintahuan

(curiosity) yang muncul (16:43; 21:7).

Dalam penelitian manusia

sebagai seseorang yang diberi akal,

selayaknya melaksanakan amanah,

mengetahui, dan paham benar akan

sesuatu yang akan diembannya.

2. Individual

Yaitu seseorang yang amanah

bersifat bertanggungjawab terhadap

dirinya sendiri atas pilihannya. Dalam

konteks ini, manusia sendiri yang

bertanggungjawab atas sikap yang

diambilnya, dalam kata lain

berkomitmen terhadap diri sendiri dan

tentunya kepada sang Pencipta Allah

SWT.

3. Kehendak

Manusia memiliki kehendak

dalam melakukan apa yang mereka

inginkan. Selain keseimbangan yang

tampak secara fisik dari luar berupa

bentuk tubuh yang proporsional dan

kemampuan melakukan mobilitas

Page 6: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No ...

MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019

63

dalam berbagai medan, manusia juga

memiliki keseimbangan internal.

Keseimbangan internal yang dimaksud

di sini ialah sebuah mekanisme yang

ada di dalam diri manuisa untuk

senantiasa melakukan penyesuaian

keseimbangan terhadap perubahan-

perubahan yang terjadi. Keseimbangan

internal ini di dalam psikologi dikenal

dengan istilah homeostatis. Ketika

manusia merasa haus, lapar, dingin,

panas, lelah, atau keadaan-keadaan lain

yang tak biasanya, maka homeostatis

akan bekerja menyeimbangkan keadaan

dan memberi sinyal-sinyal pada tubuh

untuk mengambil tindakan yang

diperlukan (82:7; 15:19; 25:2; 13:8;

54:49). Homeostatis adalah

kecenderungan tubuh untuk terus-

menerus memelihara posisi

keseimbangan atau “the body’s

tendency to maintain a balanced

equilibrium” (Santrock, 1988:364).

Inilah yang mendorong manusia

berkehendak.

Kecerdasan Emosional

Daniel Goleman, sebagai tokoh

yang mempopulerkan kecerdasan

emosional memiliki definisi tersendiri.

Goleman (1997) mendefinisikan

kecerdasan emosional sebagai:

“abilities such as being able to

motivate oneself and persist in the face

of frustrations; to control impulse and

delay gratifications; to regulate one’s

moods and keep distress from

swamping the ability ti think; to

emphatize and hope.”

“being able, for example, to rein in

emotional impulse; to read another’s

innermost feelings; to handle

relationship smoothly”

Goleman mendefinisikan,

kecerdasan emosional merupakan

kemampuan untuk memotivasi diri sendiri,

bertahan menghadapi frustasi, mengelola

suasana hati agar dapat mencegah stress

yang melumpuhkan kemampuan berpikir;

kemampuan berempati dan harapan.

Kecerdasan emosional juga merupakan

kemampuan mengendalikan dorongan

emosional, kemampuan membaca perasaan

orang lain, dan kemampuan membina

hubungan dengan baik.

Page 7: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No ...

MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019

64

Adaptasi

(Sumber: Ciarrochi J., Forgas, J.P., Mayer, J.D. (2001). Emotional intelligence in

everyday life: a scientific inquiry, hal 26)

Gambar 1. Peran Kecerdasan Emosional dalam Kehidupan Sehari-hari

Dapat disimpulkan bahwa

kecerdsan emosional adalah kemampuan

seseorang dalam mengelola emosi dirinya

dan mengelola hubungan dengan orang

lain. Goleman (2002) menyatakan bahwa

kecerdasan emosional mencakup lima hal,

yaitu self awareness (kesadaran diri), self

control (pengendalian diri), self motivation

(memotivasi diri), emphaty (empati), dan

social skill (keterampilan sosial). Dimensi-

dimensi ini lah yang akan digunakan pada

penelitian ini.

Parenting Self-Efficacy

Parenting self-efficacy muncul

berkaitan dengan konteks, nature, dan

pengalaman yang mencakup tugas individu

sehari-hari dalam kaitannya sebagai orang

tua. Parenting self-efficacy disebut juga

dengan maternal self-efficacy dan parental

self-efficacy belief, namun sebenarnya

sebutan ini merujuk pada definisi yang

sama yaitu melihat keyakinan yang dimiliki

seseorang mengenai kompetensinya

sebagai orang tua (Bandura dalam Pugh,

2004).

Menurut Kuhn dan Carter (2006)

parenting self-efficacy adalah perasaan

kompeten dalam peran parenting.

Sedangkan Ardel & Eccles, (Small, 2010)

mendefinisikan parenting self-efficacy

sebagai:

Parental beliefs in his or her

abilities to influence his or her child

and the environtment in ways that

will promote the child’s success and

development (Ardelt & Eccles,

2001 dalam Small, 2010)

Definisi parenting self-efficacy

yang dikemukakan oleh Ardelt & Eccles

(2001 dalam Small, 2010) di atas

Kejadian dalam

kehidupan:

Pertengkaran,

kekecewaan,

kehilangan,

penolakan, dll.

Hasil (outcome) dalam

kehidupan:

Kesehatan mental dan

fisik, kualitas hubungan,

kesuksesan dalam

pekerjaan

Kecerdasan Emosional:

Merasakan, menerima,

memahami, mengatur

Page 8: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No ...

MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019

65

menyebutkannya sebagai keyakinan orang

tua terhadap kemampuannya dalam

mempengaruhi anak dan lingkungan yang

akan memberikan keberhasilan dan

perkembangan anak.

Definisi lain dikemukakan oleh Coleman

dan Karraker (2000), yaitu:

parenting self-referent estimations

of competence in the parental role

or as parent’s perceptions of their

ability to positively influence the

behavior and development of their

children (Coleman dan Karraker,

2000).

Coleman dan Karraker (2000)

mendefinisikan parenting self-efficacy

sebagai estimasi penilaian diri sendiri (self-

referent) terhadap kemampuan

menjalankan peran orang tua untuk

memberikan pengaruh positif ke dalam

tingkah laku dan perkembangan anak

mereka.

Faktor-faktor yang Memengaruhi

Parenting Self-Efficacy

Coleman dan Karraker (2005)

mengkaji literature parenting self-efficacy

dan menemukan beberapa pengaruh

spesifik dari perkembanagn parenting self-

efficacy, antara lain:

1. Parenting self-efficacy muncul sebagai

bagian dari pengalaman orang tua dari

keluarga asalnya sendiri. Pengalaman

masa kecil dengan model positif dari

perilaku orang tua memberi kesempatan

munculnya melalui proses vicarious

learning. Leekers dan Crockenberg

(1992 dalam Coleman dan Karraker,

2005) menemukan korelasi yang

signifikan antara pengalaman positif

yang diingat orang tua dengan

caregiver-nya dengan parenting self-

efficacy yang tinggi pada seseorang

yang menjadi ibu pertama kalinya.

2. Unsur sosial, orang tua yang memiliki

belief dan perilaku yang sesuai dengan

budaya cenderung merasa lebih yakin

(efficacious).

3. Pengalaman dengan anak-anak, baik

dengan anaknya sendiri atau anak orang

lain. Ide parenting self-efficacy dari

Bandura berkembang sebagai hasil

pengalaman secara langsung.

4. Tingkat kognitif/persiapan behavior

menjadi orang tua.

Selain keempat poin yang telah

disebutkan, Teti (1996 dalam Coleman dan

Karraker, 2005) menambahkan bahwa,

sociomarital support berperan penting

dalam perkembangan dan mempertahankan

parenting self-efficacy melalui mekanisme

persuasi social atau feedback dan modeling.

Autisme

Istilah autisme berasal dari kata

“autos” yang berarti diri sendiri dan “isme”

yang berarti suatu aliran, sehingga dapat

diartikan sebagai suatu paham tertarik pada

dunianya sendiri (Suryana, 2004). Autisme

Page 9: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No ...

MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019

66

pertama kali ditemukan oleh Leo Kanner

pada tahun 1943. Kanner mendeskripsikan

gangguan ini sebagai ketidakmampuan

untuk berinteraksi dengan orang lain,

gangguan berbahasa yang ditunjukkan

dengan penguasaan bahasa yang tertunda,

echolalia, mutism, pembalikan kalimat,

adanya aktivitas bermain repetitive dan

stereotype, rute ingatan yang kuat dan

keinginan obsesif untuk mempertahankan

keteraturan di dalam lingkungannya

(Dawson & Castelloe dalam Widihastuti,

2007).

Gulo (1982) menyebutkan autisme

berarti preokupasi terhadap pikiran dan

khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih

banyak berorientasi kepada pikiran

subjektifnya sendiridaripada melihat

kenyataan atau realita kehidupan sehari-

hari. Oleh karena itu penderita autisme

disebut orang yang hidup di “alamnya”

sendiri.

Istilah autisme dipergunakan untuk

menunjukkan suatu gejala psikosis pada

anak-anak yang unik dan menonjol yang

sering disebut sindrom Kanner yang

dicirikan dengan ekspresi wajah yang

kosong seolah-olah sedang melamun,

kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi

orang lain untuk menarik perhatian mereka

atau mengajak mereka berkomunikasi

(Budiman, 1998).

Autisme adalah suatu gangguan

perkembangan yang kompleks menyangkut

komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas

imajinasi. Gejalanya mulai tampak sebelum

anak berusia 3 tahun (Suryana, 2004).

Menurut dr. Faisal Yatim DTM & H, MPH

(dalam Suryana, 2004), autisme bukanlah

gejala penyakit tetapi berupa sindroma

(kumpulan gejala) dimana terjadi

penyimpangan perkembangan sosial,

kemampuan berbahasa dan kepedulian

terhadap sekitar, sehingga anak autisme

hidup dalam dunianya sendiri. Autisme

tidak termasuk ke dalam golongan suatu

penyakit tetapi suatu kumpulan gejala

kelainan perilaku dan kemajuan

perkembangan. Dengan kata lain, pada

anak Autisme terjadi kelainan emosi,

intelektual dan kemauan (gangguan

pervasif).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan

pendekatan structured approach yang

dikategorikan sebagai penelitian

kuantitatif. Penelitian kuantitatif dilakukan

dengan mengkuantitatifikasi variasi dalam

suatu fenomena, situasi, masalah, atau isu

dan menganalisisnya untuk mendapatkan

besaran variasinya (Kumar, 2005). Oleh

karena itu, penelitian ini termasuk

penelitian kuantitatif karena data yang

diperoleh akan diolah dengan

menggunakan perhitungan statistik.

Populasi dalam penelitian ini adalah

orang tua yang memiliki anak yang

Page 10: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No ...

MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019

67

didiagnosis Autism Spectrum Disorder

(autis). Sedangkan sampelnya adalah orang

tua yang memiliki anak autis dan sedang

dalam usia sekolah (kurang lebih dari usia

4 tahun hingga 17 tahun). Metode

pengambilan sampel yang digunakan dalam

penelitian ini adalah nonprobability

sampling methods. Menurut Gravetter dan

Forzano (2009), metode ini merupakan

metode di mana kemungkinan terpilihnya

individu tidak diketahui karena peneliti

tidak mengetahui jumlah populasi.

Selanjutnya, metode nonprobability

sampling yang digunakan dalam penelitian

ini adalah metode convenience sampling,

yaitu peneliti memilih partisipan

berdasarkan ketersediaan dan kemauan

partisipan untuk terlibat dalam

penelitian.Metode ini paling umum

digunakan dalam penelitian ilmu perilaku

karena lebih mudah, lebih tidak mahal, dan

lebih tepat waktu (Gravetter dan Forzano,

2009).Partisipan dipilih atas dasar

ketersediaannya dan kemauan untuk

berespon.Jadi, orang tua dengan anak

terdiagnosis autis yang dijadikan partisipan

di sini deperoleh berdasarkan ketersediaan

dan kesediaan.

Untuk memperoleh data peneliti

menggunakan teknik penyebaran

angket/kuisioner yang telah terseleksi

melalui uji validitas dan reliabilitas. Teknik

ini dipakai untuk mendapatkan data sebagai

objek penelitian. Dengan demikian data

yang diperoleh merupakan data primer.

Angket yang digunakan merupakan angket

skala bertingkat yang mengandung sebuah

pernyataan positif (favorable) dan negatif

(unfavorable dan diikuti oleh kolom-kolom

yang menunjukkan tingkatan mulai dari

Sangat sesuai (SS) sampai kepada sangat

tidak sesuai (TS). Kepada responden diberi

petunjuk agar memilih jawaban sesuai

pilihan yang disediakan.

Lokasi penelitian adalah sekolah-

sekolah atau yayasan yang mendidik anak

berkebutuhan khusus di Jakarta dan Depok.

Selebihnya, peneliti mendapatkan

responden dari informasi atau kenalan, dan

kerabat yang memiliki anak ASD.

Variabel dalam penelitian ini terdiri

atas dua jenis, yaitu variabel dependen dan

independen. Variabel dependen dalam

penelitian ini ialah amanah dan kecerdasan

emosi orang tua yang memiliki anak autis,

sedangkan variabel independen dalam

penelitian ini ialah self-efficacy orang tua

yang memiliki anak autis.

Variabel amanah memiliki tiga

dimensi operasional, yaitu cerdas,

kehendak, dan individual. Definisi

kecerdasan emosional secara operasional

merupakan skor total dari masing-masing

dimensi yang terdiri dari dimensi self

awareness (kesadaran diri), self control

(pengendalian diri), self motivation

(memotivasi diri), emphaty (empati), dan

social skill (keterampilan sosial). Secara

Page 11: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No ...

MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019

68

P : 91%

L : 9%

operasional, definisi parenting self-efficacy

merupakan skor total dari lima dimensi

yang telah disebutkan dalam definisi

konseptual, yaitu: (a) achievement berarti

memfasilitasi keberhasilan anak di sekolah,

(b) rekreasi, yaitu mendukung kebutuhan

anak untuk rekreasi, termasuk bergaul

dengan teman-temannya, (c) disiplin, yaitu

menetapkan peraturan atau struktur serta

mendampinginya untuk menjalankan

peraturan tersebut, (d)nurturance,

pengasuhan berarti menyediakan dukungan

emosional (emotional nurturance), (e)

kesehatan, yaitu mempertahankan

kesehatan fisik anak.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Responden

Dalam pengumpulan data

responden penelitian ini, kuesioner

diberikan kepada orang tua yang memiliki

anak autis. Khususnya orang tua yang

memiliki anak autis usia sekolah. Dari

keseluruhan kuesioner yang tersebar,

terkumpul 33 kuesioner yang representatif

dengan penelitian. Demografi responden

penelitian berdasarkan jenis kelamin

didapat bahwa responden perempuan atau

ibu sangat mendominasi yaitu sebanyak

91% berjumlah 30 orang dan responden

laki-laki hanya 9% yaitu 3 orang.

Gambar 2. Jenis Kelamin Responden

Pada penelitian ini, usia responden

dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu

jumlah responden yang berusia 20-30 tahun

sebanyak 7 orang (21%), jumlah responden

yang berusia 31-40 tahun sebanyak 15

orang (45%), dan responden yang berusia

di atas 40 tahun sebanyak 11 orang (33%)

keterangan terperinci usia subjek dapat

dilihat pada gambar 2.

Page 12: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No ...

MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019

69

20-30 th21%

31-40 th46%

> 40 th33%

0-5 th9%

6-10 th30%

11-20 th52%

>20 th9%

Gambar 3. Usia Responden

Berdasarkan usia perkawinan,

diperoleh bahwa responden dengan usia

perkawinan 6-10 tahun sebanyak 10 orang

(30%), 0-5 tahun sebanyak 3 orang (9%)

sama persis dengan kategori di atas 20

tahun. Dan yang paling mendominasi

adalah usia perkawinan 11-20 tahun yaitu

sebanyak 17 orang (52%). Selain usia

individualnya, usia dalam membina rumah

tangga tak kalah menjadi faktor yang

kemungkinan dapat berpengaruh seperti

dalam proses pengasuhan sang anak.

Gambar 4. Usia Perkawinan

Dalam hal tingkat pendidikan,

lulusan sarjana mendominasi yaitu

sebanyak 22 orang (67%), disusul oleh

responden yang lulusan S2 yaitu 5 orang

(15%) dan lulusan SMA/SMK dan D3 yang

masing-masing memiliki jumlah yang sama

yaitu 3 orang (9%). Dilihat dari sisi tingkat

pendidikan responden ini, didominasi oleh

responden yang sudah bersekolah hingga

jenjang tinggi. Artinya, dari sisi

pemahaman diharapkan responden dapat

lebih berusaha mencari tahu semua hal

mengenai hal yang belum diketahuinya

khususnya dalam mengasuh anak ASD.

Page 13: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No ...

MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019

70

SMA/SMK:9%

D39%

S167%

S215%

Gambar 5. Tingkat Pendidikan

Analisis Validitas dan Realiabilitas

Peneliti menggunakan validitas

konten sebagai cara untuk menguji kevalid-

an penelitian ini. Validitas konten (content

validity), yaitu pengujian validitas yang

diestimasi lewat pengujian terhadap

kelayakan atau relevansi isi tes melalui

analisis rasional oleh panel yang

berkompeten atau melalui expert

judgement (penilaian ahli). Validitas

konten memastikan bahwa pengukuran

memasukkan sekumpulan item yang

memadai (Sekaran, 2006). Ketika materi

alat ukur cocok dengan materi penyusunan

alat ukur, berarti alat ukur tersebut

memiliki validitas konten.

Alat ukur yang digunakan adalah

alat ukur SEPTI (Self-efficacy for parenting

Task Index) dari Coleman dan Karraker

(2000). Alat ukur ini mengukur domain-

spesifik self-efficacy pada orang tua dan

terdiri dari lima domain yang didesain

untuk mengukur persepsi orang tua

terhadap kemampuan yang dimilikinya

dalam menjalankan tugas-tugas parenting.

Tugas-tugas tersebut adalah (a) prestasi, (b)

rekreasi, (c) disiplin (d) nurturance, dan (e)

kesehatan.

Kelima domain ini merupakan

domain yang dianggap paling

merepresentasikan tugas orang tua dalam

mengembangkan fungsi dari dimensi-

dimensi dalam alat ukur tersebut pada anak

(sosial, kognitif, fisik, dan emosi)

(Baurmind, 1967, 1971, 1988, 1991;

Macoby & Martin, 1983, dalam Coleman

&Karraker, 2000). Item dalam alat ukur

SEPTI ini menggunakan lima poin skala

Likert.

Tabel 1. Kisi-kisi Instrumen Variabel Amanah

No. Indikator Favorable Unfavorable Jumlah

1 Cerdas 9 1, 4 3

2 Individual 3, 6, 8 3

Page 14: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No ...

MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019

71

3 Kehendak 2, 7 5 3

Kisi-kisi pada tabel 1 menjelaskan

bahwa, instrumen amanah memiliki 9 item,

masing-masing item mewakili dimensi

cerdas, kehendak, dan individual. Dimensi

cerdas terdiri dari 3 pernyataan yaitu 1

pernyataan posistif (no. 9) dan 2 pernyataan

negatif (no. 1 dan 4). Dimensi individual

terdiri dari 3 pernyataan yang semuanya

positif yaitu no. 3, 6, dan 8. Terakhir

dimensi individual yang terdiri dari 3

pernyataan kehendak, terdiri dari 3

pernyataan yaitu dua pernyataan positif (no.

2 dan 7) dan satu pernyataan negatif yaitu

no. 5.

Tabel 2. Kisi-kisi Instrumen Variabel Kecerdasan Emosi

No. Indikator Favorable Unfavorable Jumlah

1 Self awareness 1,13 14 3

2 Self control 4 3,5 3

3 Self motivation 8,10 2

4 Emphaty 6 2,7,11 4

5 Social skill 15 9,12 3

Pada Tabel 2 menggambarkan

instrumen kecerdasan emosi yang terdiri

dari 15 item yang masing-masing

mengukur lima dimensinya. Dimensi self

awarenessterdiri dari 3 pernyataan yaitu 2

pernyataan posistif (no. 1 dan 13) dan 1

pernyataan negatif (no. 14). Dimensiself

controlterdiri dari 3 pernyataan yaitu 1

pernyataan posistif (no. 4) dan 2 pernyataan

negatif (no. 3 dan 5). Dimensiself

motivationDimensi individual terdiri dari 2

pernyataan yang semuanya negatif yaitu no.

8 dan 10. Dimensiemphatyterdiri dari 4

pernyataan yaitu 1 pernyataan posistif (no.

6) dan 3 pernyataan negatif (no. 2, 7, dan

11), dan Dimensi social skillterdiri dari 3

pernyataan yaitu 1 pernyataan posistif (no.

15) dan 2 pernyataan negatif (no. 9 dan 12).

Tabel 3. Kisi-kisi Variabel Parenting Self-Efficacy

No. Indikator Favorable Unfavorable Jumlah

1 Prestasi 1, 15 2 3

2 Rekreasi 6 5, 14 3

3 Disiplin 4, 12 3 3

4 Nurturance 8, 13 7 3

5 Kesehatan 9, 10 11 3

Page 15: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No ...

MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019

72

Selanjutnya Tabel 3

menggambarkan instrumen self-efficacy

orang tua yang terdiri dari 15 item yang

masing-masing mengukur lima

dimensinya. Dimensi prestasi terdiri dari 3

pernyataan yaitu 2 pernyataan posistif (no.

1 dan 15) dan 1 pernyataan negatif (no. 2).

Dimensi rekreasiterdiri dari 3 pernyataan

yaitu 1 pernyataan posistif (no. 6) dan 2

pernyataan negatif (no. 5 dan 14). Dimensi

disiplin terdiri dari 3 pernyataan yaitu 2

pernyataan posistif (no. 4 dan 12) dan 1

pernyataan negatif (no. 3). Dimensi

nurturance terdiri dari 3 pernyataan yaitu 2

pernyataan posistif (no. 8 dan 13) dan 1

pernyataan negatif (no. 7). Dimensi

kesehatan terdiri dari 3 pernyataan yaitu 2

pernyataan posistif (no. 9 dan 10) dan 1

pernyataan negatif (no. 11).

Analisis Deskriptif

Analisis ini bertujuan untuk

memberikan penjelasan atau gambaran

mengenai variabel-variabel penelitian,

sehingga dapat menjadi acuan analisis lebih

lanjut mengenai nilai minimum,

maksimum, mean atau rata-rata, standar

deviasi, dan tabulasi data setiap instrumen.

Tabel 4 menunjukkan deskripsi instimen

untuk variabel amanah.

Tabel 4. Statistik Deskriptif Amanah

No Pertanyaan N Mean Std. Deviation

1 33 2.0000 1.03078

2 33 1.1818 .63514

3 33 2.0000 .82916

4 33 2.9091 .72300

5 33 1.3333 .81650

6 33 1.3333 .69222

7 33 1.2727 .57406

8 33 1.8182 .91701

9 33 2.8182 .91701

Nilai statistik deskriptif

menunjukkan respon jawaban responden

terhadap masing-masing indikator.

Diketahui indikator untuk sulit

mengupayakan salat bersama anak

memilikin nilai rata-rata 2,00. Kemudian

untuk menyerahkan sepenuhnya kepada

anak mengenai kehalalan apapun yang

dikonsumsinya menunjukkan nilai rata-rata

sebesar 1,81. Nilai rata-rata terendah

terdapat pada item menyerahkan jadwal

belajar agama kepada anak sepenuhnya dan

pemahaman agama anak diserahkan kepada

sekolah yang menunjukkan nilai rata-rata

sebesar 1,333. Secara keseluruhan hasil

nilai rata-rata amanah menunjukkan bahwa

orang tua masih memegang kendali untuk

aktivitas anaknya, sehingga peranan orang

Page 16: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No ...

MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019

73

tua yang berhubungan dengan aktivitas

agama, pendidikan dan kepercayaan

terhadap pihak sekolah masih ditangani

oleh orang tua.

Tabel 5. Statistik Deskriptif Kecerdasan Emosi

No Pertanyaan N Mean Std. Deviation

1 33 1.5455 .66572

2 33 2.3939 .89928

3 33 2.8182 .68258

4 33 2.0000 1.03078

5 33 2.9697 .80951

6 33 1.5455 .90453

7 33 1.8788 .99240

8 33 1.3030 .68396

9 33 1.3333 .69222

10 33 1.5758 .79177

11 33 1.6364 .74239

12 33 2.8182 .80834

13 33 1.7273 .94448

14 33 1.1515 .36411

Tabel 5 menunjukkan nilai rata-rata

terendah pada pertanyaan ke-8 tentang

indikator kesulitan bagi orang tua untuk

melebur dalam kegembiraan orang lain,

dengan nilai 1,3030. Kemudian nilai rata-

rata tertinggi terdapat pada pertanyaan ke-5

tentang indikator empati orang tua

mengenai perasaan seseorang, dengan nilai

rata-rata sebesar 2.9.

Tabel 6. Statistik Deskriptif Self-efficacy

No. Pertanyaan N Mean Std. Deviation

1 33 1.4848 .75503

2 33 1.8485 1.00378

3 33 3.0909 .87905

4 33 1.2121 .41515

5 33 3.1515 .66714

6 33 1.3939 .82687

7 33 2.8788 .92728

8 33 3.0606 .65857

9 33 3.1818 .68258

10 33 1.1515 .56575

11 33 2.7273 .80128

12 33 3.1212 .69631

13 33 3.1212 .69631

14 33 3.1515 .56575

Berdasarkan tabel 6, nilai rata-rata

terendah terdapat pada pertanyaan ke-4,

dengan nilai sebesar 1,212 yang

menjelaskan bahwa responden merasa

mampu membuat anaknya senang.

Kemudian nilai tertinggi terdapat pada

pertanyaan ke-9 dengan nilai rata-rata

sebesar 3,18. Hal tersebut menunjukkan

Page 17: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No ...

MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019

74

besarnya perhatian orang tua dalam

memberikan hal - hal yang menyenangkan

kepada anaknya.

Analisis Hipotesis

Untuk memperoleh keputusan

penerimaan atau penolakan hipotesis,

dalam penelitian ini menggunakan alat

bantu statistik regresi linear berganda

dengan menggunakan perangkat lunak

SPSS. Hasil pengujian hipotesis dapat

dilihat pada tabel 7.

Tabel 7. Hasil Regresi Berganda

Model

Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients T Sig.

Correlations

B Std. Error Beta Zero-

order Partial Part

1

(Constant) 21.541 4.367 4.932 .000

CERDASAMANAH .186 .471 .055 .395 .697 .365 .080 .049

INDUVAMANAH -1.106 .607 -.323 -1.822 .081 .155 -.349 -.225

KEHAMANAH 1.611 .606 .489 2.659 .014 .403 .477 .329

AWARE 2.421 .547 .690 4.425 .000 .638 .670 .547

CONTROL -.370 .489 -.138 -.756 .457 .293 -.153 -.094

MOTIVATION 1.030 .663 .289 1.553 .134 .154 .302 .192

EMPATHY .196 .617 .065 .318 .754 .370 .065 .039

SOCSKILL -1.276 .666 -.324 -1.918 .067 .009 -.364 -.237

a. Dependent Variable: EFFICACY

Pembahasan Pengaruh Amanah dan

Self-Efficacy

Berdasarkan Tabel 7, dimensi pada

amanah yaitu dimensi kehendak memiliki

nilai pengaruh yang lebih besar terhadap

self-efficacy dibandingkan dengan dimensi-

dimensi lainnya. Hasil pengujian hipotesis

pengaruh kehendak terhadap self-efficacy

memiliki nilai signifikan sebesar 0.014 <

0.05 sehingga keputusannya adalah

diterimanya hipotesis pertama, yaitu

terdapat pengaruh kehendak terhadap self-

efficacy. Nilai koefisien beta positif pada

variabel Amanah Dimensi Kehendak

sebesar 0.489 yang menunjukkan bahwa

peningkatkan satu satuan nilai Dimensi

Kehendak akan meningkatkan self-efficacy

orang tua sebesar 0.489 atau 48,9%.

Seperti yang disampaikan dalam

teori, bahwa amanah yang telah diberikan

harus dipahami, dan dilaksanakan dengan

cerdas. Maka orang yang amanah akan

senantiasa hati-hati dalam menerima

amanah. Karena itu, peneliti memasukan

dimensi cerdas ini sebagai salah satu

dimensi untuk mengukur variabel amanah

Page 18: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No ...

MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019

75

terhadap variabel self-efficacy. Jika dilihat

dari data demografis dapat dilihat dari

responden yang bahkan sebagian besar

berpendidikan sarjana, ini merupakan salah

satu gambaran bahwa kecerdasan ini cukup

memiliki pengaruh yang baik dengan hasil

pengukuran self-efficacy-nya.

Ditambah lagi dengan dimensi

kehendak dan individual sebagai dimensi

yang lekat dengan perilaku atau tindakan.

Khususnya dimensi kehendak yang

memiliki nilai tertinggi secara statistik,

artinya dimensi ini cukup memberi

pengaruh yang baik dalam mengukur

amanah. Jika dihubungkan dengan self-

efficacy orang tua, hal ini sejalan dengan

definisi parenting self-efficacy menurut

Coleman dan Karraker (2000) yaitu

parenting self-efficacy sebagai estimasi

penilaian diri sendiri (self-referent)

terhadap kemampuan menjalankan peran

orang tua untuk memberikan pengaruh

positif ke dalam tingkah laku dan

perkembangan anak mereka. Kehendak

sebagai gerbang utama yaitu kemauan

menerima dan menjalankan amanah, dalam

hal ini mengasuh anak sebagai bentuk

amanah.

Didukung dari data responden yang

mayoritas usia perkawinannya lebih dari 10

tahun, responden, terutama seorang ibu

yang amanah, senantiasa selalu belajar

setiap harinya, menjaga dan melakukan

semua yang terbaik bagi anaknya. Terlebih

anak yang mereka jaga adalah anak yang

diberi keistimewaan oleh Allah

SWT.Makin baik penerimaan orang tua

maka makin baik pula perlakuan mereka

terhadap anaknya.

Pada akhirnya, seorang yang

amanah senantiasa bertanggung jawab

dalam menjalankan tugasnya. Dalam

konteks ini, orang tua yang selalu berusaha

mengasuh anaknya sebaik mungkin, baik

anaknya itu normal ataupun anaknya yang

memiliki ‘keluarbiasaan’. Ketika orang tua

memberi kasih sayangnya, mereka

mengerahkan semua yang mereka miliki

sama. Semakin mereka amanah, makin naik

pula self-efficacy mereka sebagai orang tua.

Dapat dilihat dari hasil jawaban responden

yang hamper semuanya tidak menyerahkan

anak mereka sepenuhnya kepada sekolah,

namun mereka terlibat langsung dalam

interaksi dengan anak-anaknya (Mash &

Johnson, dalam Pelletier & Brent, 2002).

Dengan demikian, sikap amanah

memiliki pengaruh terhadap self-efficacy

orang tua. Dari temuan-temuan yang

didapatkan, peneliti melihat hal ini

disebabkan karena sikap amanah didasari

oleh kecerdasan orang tua dalam

memelihara amanah yang diberikan oleh

Allah SWT berupa seorang anak yang luar

biasa.

Pembahasan Pengaruh Kecerdasan

Emosi dan Self-Efficacy

Page 19: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No ...

MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019

76

Berdasarkan tabel 7, pengujian

hipotesis pengaruh Awareness terhadap

Self-Efficacy memiliki nilai signifikan

sebesar 0.000 < 0.05 sehingga

keputusannya adalah Ho ditolak. Maka

dapat dinyatakan terdapat pengaruh

Awareness terhadap self-efficacy. Nilai

koefisien beta positif pada Dimensi

Awareness sebesar 0.690 yang

menunjukkan bahwa peningkatkan satu

satuan nilai dimensi Awareness akan

meningkatkan self-efficacy orang tua

sebesar 0.690 atau 69 %.

Emosi yang dialami orang tua,

sejatinya merupakan suatu bentuk

komunikasi (Darwis Hude, 2006) kepada

anaknya. Seperti salah satu dimensi

kecerdasan emosi, yaitu emphaty. Yaitu,

melibatkan diri seolah-olah mengalami

sendiri apa yang dirasakan oleh sang anak.

Peneliti melihat kemungkinan bahwa

terdapat komunikasi antara emosi orang tua

berupa empati dengan anaknya yang autis,

di mana anak autis memiliki masalah utama

yaitu komunikasi atau interaksi social

dengan orang lain termasuk mdengan orang

tuanya. Meskipun dari hasil perhitungan

statistik data dalam penelitian ini, dimensi

emphatytidak memiliki nilai yang cukup

baik, namun peneliti menduga ada sedikit

pengaruh dalam emosi orang tua terhadap

self-efficacy orang tua dalam mengasuh

anaknya.

Secara keseluruhan dari hasil data

statistik, memang tidak semua dimensi

memiliki nilai yang baik terhadap self-

efficacy. Dari hasil data demografinya,

pengaruh usia dalam variabel kecerdasan

emosi cukup berpengaruh. Usia yang

mendominasi dalam penelitian ini adalah

usia 31-40 tahun. Ini merupakan usia yang

cukup matang untuk menjalani rumah

tangga. Hal ini juga sejalan seperti yang

diungkapan oleh Goleman (1999),

menyebutkan istilah lama untuk

perkembangan kecerdasan emosional

sebagai kedewasaan. Studi-studi yang

menelusuri tingkat kecerdasan emosional

seseorang selama bertaun-taun menunjukan

bahwa makin lama makin baik dalam

kemampuan ini (kecerdasan emosional)

sejalan dengan semakin terampilnya

dirinya dalam menangani emosinya sendiri,

memotivasi diri, dan mengasah empati,

serta kecakapan sosialnya.

Hurlock (1990) mengatakan bahwa

dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun

sampai kira-kira umur 40 tahun, saat

perubahan-perubahan fisik dan psikologis

yang menyertai berkurangnya kemampuan

reproduktif.Secara umum, mereka yang

tergolong dewasa muda (young) ialah

mereka yang berusia 20-40 tahun.Menurut

seorang ahli psikologi perkembangan,

Santrock (1999), orang dewasa muda

termasuk masa transisi, baik transisi secara

fisik (physically trantition) transisi secara

Page 20: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No ...

MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019

77

intelektual (cognitive trantition), serta

transisi peran sosial (social role trantition).

Karena itu, perkembangan sosial

masa dewasa awal adalah puncak dari

perkembangan sosial masa dewasa. Masa

dewasa awal adalah masa beralihnya

padangan egosentris menjadi sikap yang

empati. Pada masa ini, penentuan relasi

sangat memegang peranan penting. Salah

satu tugas dalam usia ini adalah mengelola

rumah tangga termasuk mengasuh anak.

Maka, dari sisi usia, usia pasangan dan usia

pernikahan responden, mayoritas memiliki

nilai yang baik dalam kesiapan

melaksanakan tanggung jawab berkeluarga

salah satunya mengasuh anak. Ini bisa

menjadi salah satu poin yang tergambar

dari hasil pengisian kuisioner.

Goleman (1999) menemukan

bahwa wanita rata-rata sadar tentang emosi

mereka, lebih mudah bersikap empati, dan

lebih terampil dalam hubungan

interpersonal dibandingkan pria. Hal ini

mungkin dikarenakan pria kurang motivasi

untuk berempati dibandingkan

wanita.Namun dari hasil penelitian ini,

dengan responden yang 90%-nya adalah

wanita, tidak terlihat pengaruh yang cukup

baik terhadap self-efficacy orang tua.

Dari sisi tingkat pendidikan, seperti

yang telah disebutkan bahwa mayoritas

responden adalah lulusan sarjana bahkan

beberapa lulusan master dan sedikit sekali

yang hanya sampai tingkat SMK/SMA. Di

masa yang serba modern ini, bukanlah hal

sulit mendapatkan informasi yang kita

butuhkan sesegera mungkin.Bagi mereka

yang telah mengenyam pendidikan tinggi,

setidaknya mereka tahu harus ke mana atau

bertanya kepada siapa saat menghadapi

sebuah masalah.Misalnya saat menghadapi

anak mereka yang dirasa tumbuh tidak

seperti biasanya.Dengan demikian, tingkat

pendidikan seseorang dapat mempengaruhi

pemanfaatan pengetahuan dan

keterampilannya termasuk dalam hal

mengambil sikap dalam kehidupan sehari-

hari. Dalam konteks ini, orang tua yang

memanfaatkan keterampilannya mencari

informasi mengenai hal atau tindakan apa

yang tepat untuk mengasuh anak mereka

yang luar biasa.

Namun pada hasil penelitian ini,

menunjukkan bahwa kecerdasan emosi

tidak berpengaruh banyak, hanya sedikit

saja. Ini artinya masih banyak faktor lain

yang lebih dominan terhadap self-efficacy

orang tua. Peneliti menduga, masih ada

orang tua yang masih kurang siap

sepenuhnya dalam menghadapi anaknya

yang autis. Meskipun mereka berusaha

sebaik mungkin, tingkat depresi yang lebih

tinggi (Teti & Gelfand, dalam Pelletier &

Brent, 2002) dan tingkat stres yang lebih

tinggi (Wells-Paker et al, dalam Pelletier &

Brent, 2002), serta persepsi yang lebih

besar tentang kesulitan-kesulitan yang

dihadapi anaknya (Halpern, Andres, Coll &

Page 21: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No ...

MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019

78

Hua, Pelletier & Brent, 2002) menjadi hal

yang masih ada dalam diri para orang orang

tua, khususnya seorang ibu.

Dimensi awareness memiliki nilai

yang cukup baik di sini, peneliti melihat

bahwa, awerness ini sebagai pondasi dari

seluruh usaha meningkatkan kecerdasan

emosi. Jika dihubungkan denganself-

efficacy, dimensi awareness ini diwujudkan

dengan mengidentifikasi apa yang saat itu

ia rasakan dan menggunakannya untuk

memandunya dalam mengambil keputusan.

Selain itu, memunculkan kepercayaan diri

dan mendorong individu untuk mampu

mengidentifikasi emosinya sendiri

(Goleman, 2005). Sehingga orang tua yang

memiliki kesadaran diri yang baik, akan

senantiasa berusaha memberikan perlakuan

yang terbaik pula, tak terkecuali pada

anaknya yang memiliki kebutuhan khusus.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian penulis

secara kuantitatif, dapat disimpulkan

bahwa sikap amanah memiliki pengaruh

terhadap self-efficacy orang tua. Artinya

semakin besar nilai sikap amanah maka

semakin baik pula self-efficacy orang

tuanya. Kecerdasan emosi memiliki

pengaruh tidak signifikan terhadap self-

efficacy orang tua, namun ada dimensi

dalam kecerdasan emosi yaitu self-

awareness dan social skill yang memiliki

nilai pengaruh yang cukup baik terhadap

self-efficacy orang tua, penulis menduga

yang diduga karena masih ada orang tua

yang masih kurang siap sepenuhnya dalam

menghadapi anaknya yang autis. Secara

bersama-sama, variabel amanah dan

kecerdasan emosi memiliki pengaruh

terhadap self-efficacy orang tua.

DAFTAR PUSTAKA

Agustian, Ary Ginanjar. (2007). ESQ

(Emotional Spiritual Quotient).

Jakarta: Arga Publishing.

Anastasi, A. Urbina, S. (1997).

Psychological Testing. New Jersey:

Prencise- Hall, Inc.

Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The

exercise of control. New York:

W.H. Freeman.

Coleman, P. K, & Karraker, K. H. (2003).

Maternal Self-efficacy Beliefs,

Competence in Parenting, and

Toddler’s Behavior and

Developmental Status. Infant

Mental Health Journal, 24 (2), 126-

148.

Coleman, P.K. & Karraker, K.H. (2000).

Parenting self-efficacy among

mothers of school-age children:

Conceptualization, measurement,

and correlates. Family Relations,

49, 13–24.

Cooper, Donald R. & Pamela S. Scnidher.

Business Research Methods. 12th

Ed. 2014. New York: McGraw Hill

Companies..

Depag, Al-Qur’an dan terjemahannya.

(1971). Jakarta: Yayasan

Penyelenggara Penterjemah Al-

Qur’an.

Gardner, H. ( 2003). Multiple

Intelligences: Kecerdasan

Majemuk dalam Praktik (alih

bahasa Sindoro A). Batam:

Interaksara.

Goleman, Daniel. Reuven Bar-On. James

D. A. Parker. (2000). The

Page 22: MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No ...

MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019

79

Handbook of Emotional

Intelligence: Theory, Development,

Assessment, and Application at

Home, School and in the

Workplace. pdf.

Hude, Darwis. (2006). Emosi

(Penjelajahan Religio-Psikologis

tentang Emosi Manusia di dalam

Al-Qur’an). Jakarta: Penerbit

Erlangga.

Hurlock, Elizabeth B. (2015). Psikologi

Perkembangan. Jakarta: Penerbit

Erlangga.

Kerlinger, F. N. dan Lee, H. B. (2000).

Foundation of Behavioral Research

(Fourth Edition). USA: Holt,

Reinnar & Winston, Inc.

Kuhn, J.C. & Carter A.S. (2006). Maternal

Self-Efficacy and Associated

Parenting Cognitions Among

Mothers of Children. ProQuest.

Mangunsong, F. (2009). Psikologi

Pendidikan Anak Berkebutuhan

Khusus. Depok: LPSP3UI. Jilid 1-2.

Mujib, A. (2006). Kepribadian dalam

Psikologi Islam. Jakarta:

Rajagrafindo Persada.

Pelletier, J., Brent, J. M. (2002). Parent

participation in children ‘s school

readiness: the effects of parental

self –efficacity, cultural diversity

and teacher strategies. International

Journal of Early Childhood, 34, 45-

60.

Premanand, V; Kumari Krishna K;

Mathew, Tessy P. 2014. Trait

Emotional Intelligence among the

parents of children with autism and

typically developing children.

ProQuest. India.

Surna, I. N. dan Olga. D., (2014). Psikologi

Pendidikan 1. Jakarta: Penerbit

Erlangga.

Thompson, Jenny. (2014). Memahami

Anak Berkebutuhan Khusus.

Jakarta: Esensi Erlangga Group.

Wijayakusuma, Hembing. (2004).

Psikoterapi Anak Autisma. Jakarta:

Pustaka Populer Obor.