MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No ...
Transcript of MEIS Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No ...
MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019
58
Pengaruh Sikap Amanah dan Kecerdasan Emosional terhadap Self-
Efficacy Orang Tua dalam Mengasuh Anak Autis
Fikni Mutiara Rachma Universitas Djuanda
Email: [email protected]
Abstract
This study aims to examine the effect of trustful attitudes (amanah) and emotional intelligence
on the self-efficacy of parents in nurturing autistic child empirically. The sample in this study
is parents who have children diagnosed with Autism Spectrum Disorder (autism) in the school
for autistic children. The data used in this study were 33 questionnaires distributed to parents
who have autistic child. This research uses statistical methods of multiple linear regression
analysis. The results of this study show that amanah significantly influences the self-efficacy.
This indicates that trustworthy parents are always responsible for carrying out their duties, so
that they will be sincere and cause self-efficacy in nurturing autistic child. However, the results
of the study show that emotional intelligence had no effect on the self-efficacy of parents which
presumably, because there were still parents who not fully prepared to deal with autistic
children.
Keywords: Amanah, Emotional intelligence, Self-efficacy, Parent, Autism
PENDAHULUAN
Membesarkan dan mengasuh anak
dengan gangguan spektrum autisme (ASD)
bisa menjadi pengalaman yang luar biasa
bagi keluarga khususnya orang tua.
Berbagai masalah hadir pada anak-anak
dengan ASD dikaitkan dengan sejumlah
kesulitan dalam pengasuhan, termasuk
menurunnya keberhasilan orang tua dalam
mengasuh, meningkatnya stres pada orang
tua, dan peningkatan masalah kesehatan
mental dan fisik dibandingkan dengan
orang tua yang mengasuh anak normal
lainnya.
Sebaliknya, beberapa orang tua lain
berpikir positif kemudian mencari bantuan
atau jawaban dan validasi diagnosis ketika
mereka akhirnya menerima hasilnya
dengan ikhlas. Bagi banyak orang tua,
menerima diagnosis adalah sebuah
pengalaman emosional. Dari data yang
diperoleh, orang tua dari anak-anak
berkebutuhan khusus melaporkan bahwa
saat menerima diagnosis anak, tingkat stres
dan kecemasan naik berkaitan dengan
membesarkan anak dengan disabilitas
(Baxter, Cummins, & Polak, 1995).
Sayangnya, respons emosional dan kognitif
orang tua untuk diagnosis autisme jarang
ditangani oleh profesional kesehatan.
Hal yang terpenting dari semua itu
adalah bagaimana segala perasaan yang
MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019
59
hadir tersebut bisa digantikan dengan emosi
dan sikap yang positif. Melanjutkan fokus
pada anak autis sebagai sumber kesedihan
justru akan menambah kesulitan bagi orang
tua juga sang anak. Selain itu, bisa
menghalangi perkembangan dalam
penerimaan dan hubungan yang otentik
antar orang tua dan anak.
Tidak seperti menangani anak-anak
normal pada umumnya, mengasuh dan
mendidik anak berkebutuhan khusus seperti
autis tentu memiliki kesulitan tersendiri.
Maka salah satu dibutuhkan kecerdasan
emosional yang baik untuk memahami
betapa luar biasa amanah yang Allah
berikan berupa anak tersebut. Dengan
kemampuan mengelola kecerdasan
emosional yang baik, diharapkan orang tua
dapat membangun komunikasi dua arah
hingga tercipta keharmonisan dan rasa
nyaman pada anak. Kemampuan inilah
yang akan membantu orang tua selama
membesarkan anaknya.
Kemampuan orang tua dalam
menjalankan perannya atau disebut self-
efficacy orang tua, terkait dengan
keberhasilan dalam mengasuh anak dengan
hasil yang positif. Mengingat tekanan yang
unik yang melekat dalam membesarkan
anak autis, orang tua akan tertantang untuk
lebih amanah serta mempertahankan sikap
positif dan self-efficacy mereka. Dukungan
sosial dan motivasi diri yang dimiliki orang
tua dapat menolong mereka dalam
menghadapi tekanan membesarkan anak
yang berkebutuhan khusus, sehingga perlu
adanya penyesuaian diri terutama dalam
lingkungan masyarakat. Penyesuaian diri
yang baik merupakan sebuah bentuk
kemampuan seseorang untuk beradaptasi
dan tetap teguh dalam keadaan apapun.
Dalam hal ini orang tua dituntut untuk
selalu meningkatkan self-efficacy pada diri
mereka.
Semua tantangan dalam keluarga
dengan anak ASD, bukan berarti menutup
kemungkinan untuk dapat mengembangkan
potensi anak tersebut dengan optimal.
Dengan memberikan lingkungan yang
tepat, terutama orang tua yang saling
mendukung dan merawat satu sama lain,
diharapkan anak dengan berkebutuhan
khusus dapat menjalani kehidupan dengan
sebaik-baiknya dan mampu
mengoptimalkan potensi dirinya, sehingga
dapat mengarah pada kemandirian. Oleh
sebab itu, dari hasil studi literatur penulis
meyakini bahwa orang tua diharapkan bisa
mengatasi segala permasalahan yang
dialami oleh sang anak.
Untuk itu, diharapkan para orang
tua mau bekerjasama dalam rangka
menyukseskan terapi atau mendukung
sekolah khusus anak mereka. Bukan hanya
sebatas memilihkan sekolah atau tempat
terapi yang bagus, tetapi juga turut serta
dalam proses belajar anak setiap harinya,
dan terus belajar menjadi orang tua yang
MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019
60
mampu mengatur emosi selama mengasuh
anak yang luar biasa tersebut.
Amanah
Amanah secara bahasa berasal dari
kata “amuna-ya’munu-amânatan”, amânah
adalah sesuatu yang dipercayakan, yaitu
berupa sekumpulan tindakan yang harus
dilakukan. Amanah adalah lawan dari
khianat.
Sebagaimana dalam Al-Qur’an
surah Al-Jinn [72] ayat 33, amanah adalah
perkara-perkara yang dipercayakan kepada
hamba, maka dia membawa hak-hak
Tuhan. Jadi manusia tersebut memiliki
amanah kepada Tuhan dan kepada ciptaan-
Nya. Amanah adalah akal. Disebut
demikian karena untuk menunjukan arti
kebesaran amanah tersebut, hal hal ini
terkait dengan jiwa, karena akal bagian dari
jiwa (aqal, nafs, jasad) dan dititipkan
kepada yang mampu memikulnya.
Amanah dalam arti sempit adalah
memelihara titipan, sedangkan dalam arti
luas adalah dapat dipercaya, menjaga
rahasia, membuat orang-orang
disekelilingnya merasa aman, merupakan
akhlak mendasar yang menjadi karakter
Nabi Muhammad SAW sebagai teladan
bagi umat Islam.
Manusia sebagai Makhluk Pemangku
Amanah
Manusia adalah representasi dari
makhluk-makhluk yang ada. Ia berada pada
titik pusat antara kemampuan paling
ekstrim yang dimiliki makhluk-makhluk
lain. Ia bukan malaikat yang mampu
menembus ruang dan waktu tanpa aral,
tetapi juga bukan hewan yang
mengandalkan instink belaka. Ia bukan
burung yang mampu terbang bebas di
angkasa, namun juga bukan ikan yang
hanya bisa hidup di air. Meskipun memiliki
kemampuan melebihi makhluk-makhluk
itu ketika mengembangkan potensi
kecerdasannya. Manusia memiliki akal dan
nafsu sekaligus yang tercermin dalam
kehendak mereka dalam melakukan sesuatu
yang sifatnya individual karena terdorong
dari diri mereka sendiri. Menurut Qurthubi
(1372 H: XX, 114), manusia adalah alam
kecil (mikrokosmos) yang
merepresentasikan makhluk-makhluk lain.
Ketika menjelaskan manusia dalam kitab
tafsirnya, ia mengatakan: “Manusia adalah
mikrokosmos karena semua hal penting
yang ada pada makhluk-makhluk
terakumulasi di dalamnya.”
Karena itu, kemudian manusia
menerima amanah taklif (beban tanggung
jawab) yang ditampik oleh makhluk-
makhluk lain. Sebagaimana Allah
berfirman dalam surah Al-Ahzab ayat 72.
“Sesungguhnya kami telah mengemukakan
amanat kepada langit, bumi dan gunung-
gunung, maka semuanya enggan untuk
MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019
61
memikul amanat itu dan mereka khawatir
akan mengkhianatinya, dan dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya
manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”
(QS. Al-Ahzab [33]: 72).
Amanah yang ditawarkan makhluk-
makhluk itu dan kemudian ditolaknya
adalah amanah untuk menjalankan tugas-
tugas agama (qada al-din) sementara
ungkapan penawaran kepada langit, bumi,
dan gunung ditujukan kepada penghuninya
(Baghawi, 1407 H), kendati banyak tafsir
menolak pendapat ini.
“Maksud dari ungkapan ‘penawaran kepada
langit dan bumi’ adalah penawaran kepada
penghuninya….sebagaimana pada contoh
firman Allah: ‘Tanyakan kepada negeri’,
maksudnya adalah penduduk negeri itu...”
Penerimaan manusia terhadap
amanah yang dilimpahkan kepadanya
memiliki implikasi keharusan adanya
kehidupan lain untuk
mempertanggungjawabkan dan menerima
ganjaran pelaksanaan amanah itu. Bagi
yang menjalankan amanah dengan baik,
maka mendapatkan kebaikan pula,
demikian pula sebaliknya. Untuk
menjalankan amanah dengan baik, manusia
dibekali instrumen sebagai modalitas
kehidupan, dari yang sangat sederhana
hingga potensi yang memungkinkan
perubahan mendasar dalam peradaban umat
manusia.
Dalam penelitian ini, manusia yang
dimaksud adalah kedua orang tua, ayah
maupun ibu sebagai manusia yang
memangku amanah dalam mengasuh dan
merawat anaknya yang luar biasa.
Sebagaimana pula tertulis dalam surat At
Tahrim ayat 6 “Hai orang-orang yang
beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,
keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.”
Dimensi-dimensi Amanah
Dari pengertian-pengertian yang
telah disebutkan, penulis mengambil
kesimpulan bahwa amanah dalam
penelitian ini adalah, sesuatu yang
diberikan pada seseorang yang sifatnya
individual, dikarenakan seseorang tersebut
memeliki kehendak sepenuhnya untuk
menerima atau menolaknya, dan
dilaksanakan dengan cerdas. Dalam
penelitian ini, penulis mengambil dimensi
yaitu:
1. Cerdas
Dalam ilmu mantiq (logika),
manusia disebut sebagai al-hayawan
al-nathiq atau hewan yang berpikir.
Kemampuan berpikir menjadi modal
utama dalam kehidupannya, karena
MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019
62
secara biologis manusia sanagt lemah.
Menurut Sarlito (2000:22), manusia
merupakan satu-satunya makhluk yang
tidak dibekali alat-alat secara alamiah
untuk bertahan dalam lingkungannya,
misalnya bulu tebal untuk melawan
cuaca dingin, sayap untuk bisa terbang,
kuku dan taring yang tajam untuk
memangsa. Satu-satunya modal utama
untuk bertahan hidup adalah
kecerdasan. Sejatinya, manusia secara
biologis sangat lemah, bahkan amat
bergantung pada pengasuhan
(nurturing) orang tuanya atau orang-
orang di sekelilingnya, terutama pada
fase awal kehidupannya. Faktor
kelemahan dibidang ini telah
dijelaskan dalam Al-Qur’an, antara
lain surat 30:54 (lihat juga 4:28).
“Allah, Dialah yang menciptakan
kamu dari keadaan lemah, kemudian
Dia menjadikan (kamu) sesudah
keadaan lemah itu menjadi kuat,
kemudian Dia menjadikan (kamu)
sesudah kuat itu lemah (kembali) dan
beruban. Dia menciptakan apa yang
dikehendaki-Nya dan Dia laha Yang
Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”
Penelitian terhadap alam
merangsang lahirnya penemuan-
penemuan bau dalam konteks budaya
dan dapat dimanfaatkan bagi
kemaslahatan umat manusia.
Pengetahuan tidak selamanya harus
murni diperoleh melalui eksplorasi
alam, tetapi pengetahuan dan
pengalaman orang lain juga dapat
menjadi inspirasi dalam
pengembangan kreativitas. Oleh sebab
itu, Al-Qur’an menganjurkan manusia
untuk menggali ilmu pengetahuan dari
para pakar di berbagai bidang demi
terpenuhinya rasa keingintahuan
(curiosity) yang muncul (16:43; 21:7).
Dalam penelitian manusia
sebagai seseorang yang diberi akal,
selayaknya melaksanakan amanah,
mengetahui, dan paham benar akan
sesuatu yang akan diembannya.
2. Individual
Yaitu seseorang yang amanah
bersifat bertanggungjawab terhadap
dirinya sendiri atas pilihannya. Dalam
konteks ini, manusia sendiri yang
bertanggungjawab atas sikap yang
diambilnya, dalam kata lain
berkomitmen terhadap diri sendiri dan
tentunya kepada sang Pencipta Allah
SWT.
3. Kehendak
Manusia memiliki kehendak
dalam melakukan apa yang mereka
inginkan. Selain keseimbangan yang
tampak secara fisik dari luar berupa
bentuk tubuh yang proporsional dan
kemampuan melakukan mobilitas
MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019
63
dalam berbagai medan, manusia juga
memiliki keseimbangan internal.
Keseimbangan internal yang dimaksud
di sini ialah sebuah mekanisme yang
ada di dalam diri manuisa untuk
senantiasa melakukan penyesuaian
keseimbangan terhadap perubahan-
perubahan yang terjadi. Keseimbangan
internal ini di dalam psikologi dikenal
dengan istilah homeostatis. Ketika
manusia merasa haus, lapar, dingin,
panas, lelah, atau keadaan-keadaan lain
yang tak biasanya, maka homeostatis
akan bekerja menyeimbangkan keadaan
dan memberi sinyal-sinyal pada tubuh
untuk mengambil tindakan yang
diperlukan (82:7; 15:19; 25:2; 13:8;
54:49). Homeostatis adalah
kecenderungan tubuh untuk terus-
menerus memelihara posisi
keseimbangan atau “the body’s
tendency to maintain a balanced
equilibrium” (Santrock, 1988:364).
Inilah yang mendorong manusia
berkehendak.
Kecerdasan Emosional
Daniel Goleman, sebagai tokoh
yang mempopulerkan kecerdasan
emosional memiliki definisi tersendiri.
Goleman (1997) mendefinisikan
kecerdasan emosional sebagai:
“abilities such as being able to
motivate oneself and persist in the face
of frustrations; to control impulse and
delay gratifications; to regulate one’s
moods and keep distress from
swamping the ability ti think; to
emphatize and hope.”
“being able, for example, to rein in
emotional impulse; to read another’s
innermost feelings; to handle
relationship smoothly”
Goleman mendefinisikan,
kecerdasan emosional merupakan
kemampuan untuk memotivasi diri sendiri,
bertahan menghadapi frustasi, mengelola
suasana hati agar dapat mencegah stress
yang melumpuhkan kemampuan berpikir;
kemampuan berempati dan harapan.
Kecerdasan emosional juga merupakan
kemampuan mengendalikan dorongan
emosional, kemampuan membaca perasaan
orang lain, dan kemampuan membina
hubungan dengan baik.
MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019
64
Adaptasi
(Sumber: Ciarrochi J., Forgas, J.P., Mayer, J.D. (2001). Emotional intelligence in
everyday life: a scientific inquiry, hal 26)
Gambar 1. Peran Kecerdasan Emosional dalam Kehidupan Sehari-hari
Dapat disimpulkan bahwa
kecerdsan emosional adalah kemampuan
seseorang dalam mengelola emosi dirinya
dan mengelola hubungan dengan orang
lain. Goleman (2002) menyatakan bahwa
kecerdasan emosional mencakup lima hal,
yaitu self awareness (kesadaran diri), self
control (pengendalian diri), self motivation
(memotivasi diri), emphaty (empati), dan
social skill (keterampilan sosial). Dimensi-
dimensi ini lah yang akan digunakan pada
penelitian ini.
Parenting Self-Efficacy
Parenting self-efficacy muncul
berkaitan dengan konteks, nature, dan
pengalaman yang mencakup tugas individu
sehari-hari dalam kaitannya sebagai orang
tua. Parenting self-efficacy disebut juga
dengan maternal self-efficacy dan parental
self-efficacy belief, namun sebenarnya
sebutan ini merujuk pada definisi yang
sama yaitu melihat keyakinan yang dimiliki
seseorang mengenai kompetensinya
sebagai orang tua (Bandura dalam Pugh,
2004).
Menurut Kuhn dan Carter (2006)
parenting self-efficacy adalah perasaan
kompeten dalam peran parenting.
Sedangkan Ardel & Eccles, (Small, 2010)
mendefinisikan parenting self-efficacy
sebagai:
Parental beliefs in his or her
abilities to influence his or her child
and the environtment in ways that
will promote the child’s success and
development (Ardelt & Eccles,
2001 dalam Small, 2010)
Definisi parenting self-efficacy
yang dikemukakan oleh Ardelt & Eccles
(2001 dalam Small, 2010) di atas
Kejadian dalam
kehidupan:
Pertengkaran,
kekecewaan,
kehilangan,
penolakan, dll.
Hasil (outcome) dalam
kehidupan:
Kesehatan mental dan
fisik, kualitas hubungan,
kesuksesan dalam
pekerjaan
Kecerdasan Emosional:
Merasakan, menerima,
memahami, mengatur
MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019
65
menyebutkannya sebagai keyakinan orang
tua terhadap kemampuannya dalam
mempengaruhi anak dan lingkungan yang
akan memberikan keberhasilan dan
perkembangan anak.
Definisi lain dikemukakan oleh Coleman
dan Karraker (2000), yaitu:
parenting self-referent estimations
of competence in the parental role
or as parent’s perceptions of their
ability to positively influence the
behavior and development of their
children (Coleman dan Karraker,
2000).
Coleman dan Karraker (2000)
mendefinisikan parenting self-efficacy
sebagai estimasi penilaian diri sendiri (self-
referent) terhadap kemampuan
menjalankan peran orang tua untuk
memberikan pengaruh positif ke dalam
tingkah laku dan perkembangan anak
mereka.
Faktor-faktor yang Memengaruhi
Parenting Self-Efficacy
Coleman dan Karraker (2005)
mengkaji literature parenting self-efficacy
dan menemukan beberapa pengaruh
spesifik dari perkembanagn parenting self-
efficacy, antara lain:
1. Parenting self-efficacy muncul sebagai
bagian dari pengalaman orang tua dari
keluarga asalnya sendiri. Pengalaman
masa kecil dengan model positif dari
perilaku orang tua memberi kesempatan
munculnya melalui proses vicarious
learning. Leekers dan Crockenberg
(1992 dalam Coleman dan Karraker,
2005) menemukan korelasi yang
signifikan antara pengalaman positif
yang diingat orang tua dengan
caregiver-nya dengan parenting self-
efficacy yang tinggi pada seseorang
yang menjadi ibu pertama kalinya.
2. Unsur sosial, orang tua yang memiliki
belief dan perilaku yang sesuai dengan
budaya cenderung merasa lebih yakin
(efficacious).
3. Pengalaman dengan anak-anak, baik
dengan anaknya sendiri atau anak orang
lain. Ide parenting self-efficacy dari
Bandura berkembang sebagai hasil
pengalaman secara langsung.
4. Tingkat kognitif/persiapan behavior
menjadi orang tua.
Selain keempat poin yang telah
disebutkan, Teti (1996 dalam Coleman dan
Karraker, 2005) menambahkan bahwa,
sociomarital support berperan penting
dalam perkembangan dan mempertahankan
parenting self-efficacy melalui mekanisme
persuasi social atau feedback dan modeling.
Autisme
Istilah autisme berasal dari kata
“autos” yang berarti diri sendiri dan “isme”
yang berarti suatu aliran, sehingga dapat
diartikan sebagai suatu paham tertarik pada
dunianya sendiri (Suryana, 2004). Autisme
MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019
66
pertama kali ditemukan oleh Leo Kanner
pada tahun 1943. Kanner mendeskripsikan
gangguan ini sebagai ketidakmampuan
untuk berinteraksi dengan orang lain,
gangguan berbahasa yang ditunjukkan
dengan penguasaan bahasa yang tertunda,
echolalia, mutism, pembalikan kalimat,
adanya aktivitas bermain repetitive dan
stereotype, rute ingatan yang kuat dan
keinginan obsesif untuk mempertahankan
keteraturan di dalam lingkungannya
(Dawson & Castelloe dalam Widihastuti,
2007).
Gulo (1982) menyebutkan autisme
berarti preokupasi terhadap pikiran dan
khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih
banyak berorientasi kepada pikiran
subjektifnya sendiridaripada melihat
kenyataan atau realita kehidupan sehari-
hari. Oleh karena itu penderita autisme
disebut orang yang hidup di “alamnya”
sendiri.
Istilah autisme dipergunakan untuk
menunjukkan suatu gejala psikosis pada
anak-anak yang unik dan menonjol yang
sering disebut sindrom Kanner yang
dicirikan dengan ekspresi wajah yang
kosong seolah-olah sedang melamun,
kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi
orang lain untuk menarik perhatian mereka
atau mengajak mereka berkomunikasi
(Budiman, 1998).
Autisme adalah suatu gangguan
perkembangan yang kompleks menyangkut
komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas
imajinasi. Gejalanya mulai tampak sebelum
anak berusia 3 tahun (Suryana, 2004).
Menurut dr. Faisal Yatim DTM & H, MPH
(dalam Suryana, 2004), autisme bukanlah
gejala penyakit tetapi berupa sindroma
(kumpulan gejala) dimana terjadi
penyimpangan perkembangan sosial,
kemampuan berbahasa dan kepedulian
terhadap sekitar, sehingga anak autisme
hidup dalam dunianya sendiri. Autisme
tidak termasuk ke dalam golongan suatu
penyakit tetapi suatu kumpulan gejala
kelainan perilaku dan kemajuan
perkembangan. Dengan kata lain, pada
anak Autisme terjadi kelainan emosi,
intelektual dan kemauan (gangguan
pervasif).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan
pendekatan structured approach yang
dikategorikan sebagai penelitian
kuantitatif. Penelitian kuantitatif dilakukan
dengan mengkuantitatifikasi variasi dalam
suatu fenomena, situasi, masalah, atau isu
dan menganalisisnya untuk mendapatkan
besaran variasinya (Kumar, 2005). Oleh
karena itu, penelitian ini termasuk
penelitian kuantitatif karena data yang
diperoleh akan diolah dengan
menggunakan perhitungan statistik.
Populasi dalam penelitian ini adalah
orang tua yang memiliki anak yang
MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019
67
didiagnosis Autism Spectrum Disorder
(autis). Sedangkan sampelnya adalah orang
tua yang memiliki anak autis dan sedang
dalam usia sekolah (kurang lebih dari usia
4 tahun hingga 17 tahun). Metode
pengambilan sampel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah nonprobability
sampling methods. Menurut Gravetter dan
Forzano (2009), metode ini merupakan
metode di mana kemungkinan terpilihnya
individu tidak diketahui karena peneliti
tidak mengetahui jumlah populasi.
Selanjutnya, metode nonprobability
sampling yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode convenience sampling,
yaitu peneliti memilih partisipan
berdasarkan ketersediaan dan kemauan
partisipan untuk terlibat dalam
penelitian.Metode ini paling umum
digunakan dalam penelitian ilmu perilaku
karena lebih mudah, lebih tidak mahal, dan
lebih tepat waktu (Gravetter dan Forzano,
2009).Partisipan dipilih atas dasar
ketersediaannya dan kemauan untuk
berespon.Jadi, orang tua dengan anak
terdiagnosis autis yang dijadikan partisipan
di sini deperoleh berdasarkan ketersediaan
dan kesediaan.
Untuk memperoleh data peneliti
menggunakan teknik penyebaran
angket/kuisioner yang telah terseleksi
melalui uji validitas dan reliabilitas. Teknik
ini dipakai untuk mendapatkan data sebagai
objek penelitian. Dengan demikian data
yang diperoleh merupakan data primer.
Angket yang digunakan merupakan angket
skala bertingkat yang mengandung sebuah
pernyataan positif (favorable) dan negatif
(unfavorable dan diikuti oleh kolom-kolom
yang menunjukkan tingkatan mulai dari
Sangat sesuai (SS) sampai kepada sangat
tidak sesuai (TS). Kepada responden diberi
petunjuk agar memilih jawaban sesuai
pilihan yang disediakan.
Lokasi penelitian adalah sekolah-
sekolah atau yayasan yang mendidik anak
berkebutuhan khusus di Jakarta dan Depok.
Selebihnya, peneliti mendapatkan
responden dari informasi atau kenalan, dan
kerabat yang memiliki anak ASD.
Variabel dalam penelitian ini terdiri
atas dua jenis, yaitu variabel dependen dan
independen. Variabel dependen dalam
penelitian ini ialah amanah dan kecerdasan
emosi orang tua yang memiliki anak autis,
sedangkan variabel independen dalam
penelitian ini ialah self-efficacy orang tua
yang memiliki anak autis.
Variabel amanah memiliki tiga
dimensi operasional, yaitu cerdas,
kehendak, dan individual. Definisi
kecerdasan emosional secara operasional
merupakan skor total dari masing-masing
dimensi yang terdiri dari dimensi self
awareness (kesadaran diri), self control
(pengendalian diri), self motivation
(memotivasi diri), emphaty (empati), dan
social skill (keterampilan sosial). Secara
MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019
68
P : 91%
L : 9%
operasional, definisi parenting self-efficacy
merupakan skor total dari lima dimensi
yang telah disebutkan dalam definisi
konseptual, yaitu: (a) achievement berarti
memfasilitasi keberhasilan anak di sekolah,
(b) rekreasi, yaitu mendukung kebutuhan
anak untuk rekreasi, termasuk bergaul
dengan teman-temannya, (c) disiplin, yaitu
menetapkan peraturan atau struktur serta
mendampinginya untuk menjalankan
peraturan tersebut, (d)nurturance,
pengasuhan berarti menyediakan dukungan
emosional (emotional nurturance), (e)
kesehatan, yaitu mempertahankan
kesehatan fisik anak.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Responden
Dalam pengumpulan data
responden penelitian ini, kuesioner
diberikan kepada orang tua yang memiliki
anak autis. Khususnya orang tua yang
memiliki anak autis usia sekolah. Dari
keseluruhan kuesioner yang tersebar,
terkumpul 33 kuesioner yang representatif
dengan penelitian. Demografi responden
penelitian berdasarkan jenis kelamin
didapat bahwa responden perempuan atau
ibu sangat mendominasi yaitu sebanyak
91% berjumlah 30 orang dan responden
laki-laki hanya 9% yaitu 3 orang.
Gambar 2. Jenis Kelamin Responden
Pada penelitian ini, usia responden
dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu
jumlah responden yang berusia 20-30 tahun
sebanyak 7 orang (21%), jumlah responden
yang berusia 31-40 tahun sebanyak 15
orang (45%), dan responden yang berusia
di atas 40 tahun sebanyak 11 orang (33%)
keterangan terperinci usia subjek dapat
dilihat pada gambar 2.
MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019
69
20-30 th21%
31-40 th46%
> 40 th33%
0-5 th9%
6-10 th30%
11-20 th52%
>20 th9%
Gambar 3. Usia Responden
Berdasarkan usia perkawinan,
diperoleh bahwa responden dengan usia
perkawinan 6-10 tahun sebanyak 10 orang
(30%), 0-5 tahun sebanyak 3 orang (9%)
sama persis dengan kategori di atas 20
tahun. Dan yang paling mendominasi
adalah usia perkawinan 11-20 tahun yaitu
sebanyak 17 orang (52%). Selain usia
individualnya, usia dalam membina rumah
tangga tak kalah menjadi faktor yang
kemungkinan dapat berpengaruh seperti
dalam proses pengasuhan sang anak.
Gambar 4. Usia Perkawinan
Dalam hal tingkat pendidikan,
lulusan sarjana mendominasi yaitu
sebanyak 22 orang (67%), disusul oleh
responden yang lulusan S2 yaitu 5 orang
(15%) dan lulusan SMA/SMK dan D3 yang
masing-masing memiliki jumlah yang sama
yaitu 3 orang (9%). Dilihat dari sisi tingkat
pendidikan responden ini, didominasi oleh
responden yang sudah bersekolah hingga
jenjang tinggi. Artinya, dari sisi
pemahaman diharapkan responden dapat
lebih berusaha mencari tahu semua hal
mengenai hal yang belum diketahuinya
khususnya dalam mengasuh anak ASD.
MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019
70
SMA/SMK:9%
D39%
S167%
S215%
Gambar 5. Tingkat Pendidikan
Analisis Validitas dan Realiabilitas
Peneliti menggunakan validitas
konten sebagai cara untuk menguji kevalid-
an penelitian ini. Validitas konten (content
validity), yaitu pengujian validitas yang
diestimasi lewat pengujian terhadap
kelayakan atau relevansi isi tes melalui
analisis rasional oleh panel yang
berkompeten atau melalui expert
judgement (penilaian ahli). Validitas
konten memastikan bahwa pengukuran
memasukkan sekumpulan item yang
memadai (Sekaran, 2006). Ketika materi
alat ukur cocok dengan materi penyusunan
alat ukur, berarti alat ukur tersebut
memiliki validitas konten.
Alat ukur yang digunakan adalah
alat ukur SEPTI (Self-efficacy for parenting
Task Index) dari Coleman dan Karraker
(2000). Alat ukur ini mengukur domain-
spesifik self-efficacy pada orang tua dan
terdiri dari lima domain yang didesain
untuk mengukur persepsi orang tua
terhadap kemampuan yang dimilikinya
dalam menjalankan tugas-tugas parenting.
Tugas-tugas tersebut adalah (a) prestasi, (b)
rekreasi, (c) disiplin (d) nurturance, dan (e)
kesehatan.
Kelima domain ini merupakan
domain yang dianggap paling
merepresentasikan tugas orang tua dalam
mengembangkan fungsi dari dimensi-
dimensi dalam alat ukur tersebut pada anak
(sosial, kognitif, fisik, dan emosi)
(Baurmind, 1967, 1971, 1988, 1991;
Macoby & Martin, 1983, dalam Coleman
&Karraker, 2000). Item dalam alat ukur
SEPTI ini menggunakan lima poin skala
Likert.
Tabel 1. Kisi-kisi Instrumen Variabel Amanah
No. Indikator Favorable Unfavorable Jumlah
1 Cerdas 9 1, 4 3
2 Individual 3, 6, 8 3
MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019
71
3 Kehendak 2, 7 5 3
Kisi-kisi pada tabel 1 menjelaskan
bahwa, instrumen amanah memiliki 9 item,
masing-masing item mewakili dimensi
cerdas, kehendak, dan individual. Dimensi
cerdas terdiri dari 3 pernyataan yaitu 1
pernyataan posistif (no. 9) dan 2 pernyataan
negatif (no. 1 dan 4). Dimensi individual
terdiri dari 3 pernyataan yang semuanya
positif yaitu no. 3, 6, dan 8. Terakhir
dimensi individual yang terdiri dari 3
pernyataan kehendak, terdiri dari 3
pernyataan yaitu dua pernyataan positif (no.
2 dan 7) dan satu pernyataan negatif yaitu
no. 5.
Tabel 2. Kisi-kisi Instrumen Variabel Kecerdasan Emosi
No. Indikator Favorable Unfavorable Jumlah
1 Self awareness 1,13 14 3
2 Self control 4 3,5 3
3 Self motivation 8,10 2
4 Emphaty 6 2,7,11 4
5 Social skill 15 9,12 3
Pada Tabel 2 menggambarkan
instrumen kecerdasan emosi yang terdiri
dari 15 item yang masing-masing
mengukur lima dimensinya. Dimensi self
awarenessterdiri dari 3 pernyataan yaitu 2
pernyataan posistif (no. 1 dan 13) dan 1
pernyataan negatif (no. 14). Dimensiself
controlterdiri dari 3 pernyataan yaitu 1
pernyataan posistif (no. 4) dan 2 pernyataan
negatif (no. 3 dan 5). Dimensiself
motivationDimensi individual terdiri dari 2
pernyataan yang semuanya negatif yaitu no.
8 dan 10. Dimensiemphatyterdiri dari 4
pernyataan yaitu 1 pernyataan posistif (no.
6) dan 3 pernyataan negatif (no. 2, 7, dan
11), dan Dimensi social skillterdiri dari 3
pernyataan yaitu 1 pernyataan posistif (no.
15) dan 2 pernyataan negatif (no. 9 dan 12).
Tabel 3. Kisi-kisi Variabel Parenting Self-Efficacy
No. Indikator Favorable Unfavorable Jumlah
1 Prestasi 1, 15 2 3
2 Rekreasi 6 5, 14 3
3 Disiplin 4, 12 3 3
4 Nurturance 8, 13 7 3
5 Kesehatan 9, 10 11 3
MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019
72
Selanjutnya Tabel 3
menggambarkan instrumen self-efficacy
orang tua yang terdiri dari 15 item yang
masing-masing mengukur lima
dimensinya. Dimensi prestasi terdiri dari 3
pernyataan yaitu 2 pernyataan posistif (no.
1 dan 15) dan 1 pernyataan negatif (no. 2).
Dimensi rekreasiterdiri dari 3 pernyataan
yaitu 1 pernyataan posistif (no. 6) dan 2
pernyataan negatif (no. 5 dan 14). Dimensi
disiplin terdiri dari 3 pernyataan yaitu 2
pernyataan posistif (no. 4 dan 12) dan 1
pernyataan negatif (no. 3). Dimensi
nurturance terdiri dari 3 pernyataan yaitu 2
pernyataan posistif (no. 8 dan 13) dan 1
pernyataan negatif (no. 7). Dimensi
kesehatan terdiri dari 3 pernyataan yaitu 2
pernyataan posistif (no. 9 dan 10) dan 1
pernyataan negatif (no. 11).
Analisis Deskriptif
Analisis ini bertujuan untuk
memberikan penjelasan atau gambaran
mengenai variabel-variabel penelitian,
sehingga dapat menjadi acuan analisis lebih
lanjut mengenai nilai minimum,
maksimum, mean atau rata-rata, standar
deviasi, dan tabulasi data setiap instrumen.
Tabel 4 menunjukkan deskripsi instimen
untuk variabel amanah.
Tabel 4. Statistik Deskriptif Amanah
No Pertanyaan N Mean Std. Deviation
1 33 2.0000 1.03078
2 33 1.1818 .63514
3 33 2.0000 .82916
4 33 2.9091 .72300
5 33 1.3333 .81650
6 33 1.3333 .69222
7 33 1.2727 .57406
8 33 1.8182 .91701
9 33 2.8182 .91701
Nilai statistik deskriptif
menunjukkan respon jawaban responden
terhadap masing-masing indikator.
Diketahui indikator untuk sulit
mengupayakan salat bersama anak
memilikin nilai rata-rata 2,00. Kemudian
untuk menyerahkan sepenuhnya kepada
anak mengenai kehalalan apapun yang
dikonsumsinya menunjukkan nilai rata-rata
sebesar 1,81. Nilai rata-rata terendah
terdapat pada item menyerahkan jadwal
belajar agama kepada anak sepenuhnya dan
pemahaman agama anak diserahkan kepada
sekolah yang menunjukkan nilai rata-rata
sebesar 1,333. Secara keseluruhan hasil
nilai rata-rata amanah menunjukkan bahwa
orang tua masih memegang kendali untuk
aktivitas anaknya, sehingga peranan orang
MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019
73
tua yang berhubungan dengan aktivitas
agama, pendidikan dan kepercayaan
terhadap pihak sekolah masih ditangani
oleh orang tua.
Tabel 5. Statistik Deskriptif Kecerdasan Emosi
No Pertanyaan N Mean Std. Deviation
1 33 1.5455 .66572
2 33 2.3939 .89928
3 33 2.8182 .68258
4 33 2.0000 1.03078
5 33 2.9697 .80951
6 33 1.5455 .90453
7 33 1.8788 .99240
8 33 1.3030 .68396
9 33 1.3333 .69222
10 33 1.5758 .79177
11 33 1.6364 .74239
12 33 2.8182 .80834
13 33 1.7273 .94448
14 33 1.1515 .36411
Tabel 5 menunjukkan nilai rata-rata
terendah pada pertanyaan ke-8 tentang
indikator kesulitan bagi orang tua untuk
melebur dalam kegembiraan orang lain,
dengan nilai 1,3030. Kemudian nilai rata-
rata tertinggi terdapat pada pertanyaan ke-5
tentang indikator empati orang tua
mengenai perasaan seseorang, dengan nilai
rata-rata sebesar 2.9.
Tabel 6. Statistik Deskriptif Self-efficacy
No. Pertanyaan N Mean Std. Deviation
1 33 1.4848 .75503
2 33 1.8485 1.00378
3 33 3.0909 .87905
4 33 1.2121 .41515
5 33 3.1515 .66714
6 33 1.3939 .82687
7 33 2.8788 .92728
8 33 3.0606 .65857
9 33 3.1818 .68258
10 33 1.1515 .56575
11 33 2.7273 .80128
12 33 3.1212 .69631
13 33 3.1212 .69631
14 33 3.1515 .56575
Berdasarkan tabel 6, nilai rata-rata
terendah terdapat pada pertanyaan ke-4,
dengan nilai sebesar 1,212 yang
menjelaskan bahwa responden merasa
mampu membuat anaknya senang.
Kemudian nilai tertinggi terdapat pada
pertanyaan ke-9 dengan nilai rata-rata
sebesar 3,18. Hal tersebut menunjukkan
MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019
74
besarnya perhatian orang tua dalam
memberikan hal - hal yang menyenangkan
kepada anaknya.
Analisis Hipotesis
Untuk memperoleh keputusan
penerimaan atau penolakan hipotesis,
dalam penelitian ini menggunakan alat
bantu statistik regresi linear berganda
dengan menggunakan perangkat lunak
SPSS. Hasil pengujian hipotesis dapat
dilihat pada tabel 7.
Tabel 7. Hasil Regresi Berganda
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients T Sig.
Correlations
B Std. Error Beta Zero-
order Partial Part
1
(Constant) 21.541 4.367 4.932 .000
CERDASAMANAH .186 .471 .055 .395 .697 .365 .080 .049
INDUVAMANAH -1.106 .607 -.323 -1.822 .081 .155 -.349 -.225
KEHAMANAH 1.611 .606 .489 2.659 .014 .403 .477 .329
AWARE 2.421 .547 .690 4.425 .000 .638 .670 .547
CONTROL -.370 .489 -.138 -.756 .457 .293 -.153 -.094
MOTIVATION 1.030 .663 .289 1.553 .134 .154 .302 .192
EMPATHY .196 .617 .065 .318 .754 .370 .065 .039
SOCSKILL -1.276 .666 -.324 -1.918 .067 .009 -.364 -.237
a. Dependent Variable: EFFICACY
Pembahasan Pengaruh Amanah dan
Self-Efficacy
Berdasarkan Tabel 7, dimensi pada
amanah yaitu dimensi kehendak memiliki
nilai pengaruh yang lebih besar terhadap
self-efficacy dibandingkan dengan dimensi-
dimensi lainnya. Hasil pengujian hipotesis
pengaruh kehendak terhadap self-efficacy
memiliki nilai signifikan sebesar 0.014 <
0.05 sehingga keputusannya adalah
diterimanya hipotesis pertama, yaitu
terdapat pengaruh kehendak terhadap self-
efficacy. Nilai koefisien beta positif pada
variabel Amanah Dimensi Kehendak
sebesar 0.489 yang menunjukkan bahwa
peningkatkan satu satuan nilai Dimensi
Kehendak akan meningkatkan self-efficacy
orang tua sebesar 0.489 atau 48,9%.
Seperti yang disampaikan dalam
teori, bahwa amanah yang telah diberikan
harus dipahami, dan dilaksanakan dengan
cerdas. Maka orang yang amanah akan
senantiasa hati-hati dalam menerima
amanah. Karena itu, peneliti memasukan
dimensi cerdas ini sebagai salah satu
dimensi untuk mengukur variabel amanah
MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019
75
terhadap variabel self-efficacy. Jika dilihat
dari data demografis dapat dilihat dari
responden yang bahkan sebagian besar
berpendidikan sarjana, ini merupakan salah
satu gambaran bahwa kecerdasan ini cukup
memiliki pengaruh yang baik dengan hasil
pengukuran self-efficacy-nya.
Ditambah lagi dengan dimensi
kehendak dan individual sebagai dimensi
yang lekat dengan perilaku atau tindakan.
Khususnya dimensi kehendak yang
memiliki nilai tertinggi secara statistik,
artinya dimensi ini cukup memberi
pengaruh yang baik dalam mengukur
amanah. Jika dihubungkan dengan self-
efficacy orang tua, hal ini sejalan dengan
definisi parenting self-efficacy menurut
Coleman dan Karraker (2000) yaitu
parenting self-efficacy sebagai estimasi
penilaian diri sendiri (self-referent)
terhadap kemampuan menjalankan peran
orang tua untuk memberikan pengaruh
positif ke dalam tingkah laku dan
perkembangan anak mereka. Kehendak
sebagai gerbang utama yaitu kemauan
menerima dan menjalankan amanah, dalam
hal ini mengasuh anak sebagai bentuk
amanah.
Didukung dari data responden yang
mayoritas usia perkawinannya lebih dari 10
tahun, responden, terutama seorang ibu
yang amanah, senantiasa selalu belajar
setiap harinya, menjaga dan melakukan
semua yang terbaik bagi anaknya. Terlebih
anak yang mereka jaga adalah anak yang
diberi keistimewaan oleh Allah
SWT.Makin baik penerimaan orang tua
maka makin baik pula perlakuan mereka
terhadap anaknya.
Pada akhirnya, seorang yang
amanah senantiasa bertanggung jawab
dalam menjalankan tugasnya. Dalam
konteks ini, orang tua yang selalu berusaha
mengasuh anaknya sebaik mungkin, baik
anaknya itu normal ataupun anaknya yang
memiliki ‘keluarbiasaan’. Ketika orang tua
memberi kasih sayangnya, mereka
mengerahkan semua yang mereka miliki
sama. Semakin mereka amanah, makin naik
pula self-efficacy mereka sebagai orang tua.
Dapat dilihat dari hasil jawaban responden
yang hamper semuanya tidak menyerahkan
anak mereka sepenuhnya kepada sekolah,
namun mereka terlibat langsung dalam
interaksi dengan anak-anaknya (Mash &
Johnson, dalam Pelletier & Brent, 2002).
Dengan demikian, sikap amanah
memiliki pengaruh terhadap self-efficacy
orang tua. Dari temuan-temuan yang
didapatkan, peneliti melihat hal ini
disebabkan karena sikap amanah didasari
oleh kecerdasan orang tua dalam
memelihara amanah yang diberikan oleh
Allah SWT berupa seorang anak yang luar
biasa.
Pembahasan Pengaruh Kecerdasan
Emosi dan Self-Efficacy
MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019
76
Berdasarkan tabel 7, pengujian
hipotesis pengaruh Awareness terhadap
Self-Efficacy memiliki nilai signifikan
sebesar 0.000 < 0.05 sehingga
keputusannya adalah Ho ditolak. Maka
dapat dinyatakan terdapat pengaruh
Awareness terhadap self-efficacy. Nilai
koefisien beta positif pada Dimensi
Awareness sebesar 0.690 yang
menunjukkan bahwa peningkatkan satu
satuan nilai dimensi Awareness akan
meningkatkan self-efficacy orang tua
sebesar 0.690 atau 69 %.
Emosi yang dialami orang tua,
sejatinya merupakan suatu bentuk
komunikasi (Darwis Hude, 2006) kepada
anaknya. Seperti salah satu dimensi
kecerdasan emosi, yaitu emphaty. Yaitu,
melibatkan diri seolah-olah mengalami
sendiri apa yang dirasakan oleh sang anak.
Peneliti melihat kemungkinan bahwa
terdapat komunikasi antara emosi orang tua
berupa empati dengan anaknya yang autis,
di mana anak autis memiliki masalah utama
yaitu komunikasi atau interaksi social
dengan orang lain termasuk mdengan orang
tuanya. Meskipun dari hasil perhitungan
statistik data dalam penelitian ini, dimensi
emphatytidak memiliki nilai yang cukup
baik, namun peneliti menduga ada sedikit
pengaruh dalam emosi orang tua terhadap
self-efficacy orang tua dalam mengasuh
anaknya.
Secara keseluruhan dari hasil data
statistik, memang tidak semua dimensi
memiliki nilai yang baik terhadap self-
efficacy. Dari hasil data demografinya,
pengaruh usia dalam variabel kecerdasan
emosi cukup berpengaruh. Usia yang
mendominasi dalam penelitian ini adalah
usia 31-40 tahun. Ini merupakan usia yang
cukup matang untuk menjalani rumah
tangga. Hal ini juga sejalan seperti yang
diungkapan oleh Goleman (1999),
menyebutkan istilah lama untuk
perkembangan kecerdasan emosional
sebagai kedewasaan. Studi-studi yang
menelusuri tingkat kecerdasan emosional
seseorang selama bertaun-taun menunjukan
bahwa makin lama makin baik dalam
kemampuan ini (kecerdasan emosional)
sejalan dengan semakin terampilnya
dirinya dalam menangani emosinya sendiri,
memotivasi diri, dan mengasah empati,
serta kecakapan sosialnya.
Hurlock (1990) mengatakan bahwa
dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun
sampai kira-kira umur 40 tahun, saat
perubahan-perubahan fisik dan psikologis
yang menyertai berkurangnya kemampuan
reproduktif.Secara umum, mereka yang
tergolong dewasa muda (young) ialah
mereka yang berusia 20-40 tahun.Menurut
seorang ahli psikologi perkembangan,
Santrock (1999), orang dewasa muda
termasuk masa transisi, baik transisi secara
fisik (physically trantition) transisi secara
MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019
77
intelektual (cognitive trantition), serta
transisi peran sosial (social role trantition).
Karena itu, perkembangan sosial
masa dewasa awal adalah puncak dari
perkembangan sosial masa dewasa. Masa
dewasa awal adalah masa beralihnya
padangan egosentris menjadi sikap yang
empati. Pada masa ini, penentuan relasi
sangat memegang peranan penting. Salah
satu tugas dalam usia ini adalah mengelola
rumah tangga termasuk mengasuh anak.
Maka, dari sisi usia, usia pasangan dan usia
pernikahan responden, mayoritas memiliki
nilai yang baik dalam kesiapan
melaksanakan tanggung jawab berkeluarga
salah satunya mengasuh anak. Ini bisa
menjadi salah satu poin yang tergambar
dari hasil pengisian kuisioner.
Goleman (1999) menemukan
bahwa wanita rata-rata sadar tentang emosi
mereka, lebih mudah bersikap empati, dan
lebih terampil dalam hubungan
interpersonal dibandingkan pria. Hal ini
mungkin dikarenakan pria kurang motivasi
untuk berempati dibandingkan
wanita.Namun dari hasil penelitian ini,
dengan responden yang 90%-nya adalah
wanita, tidak terlihat pengaruh yang cukup
baik terhadap self-efficacy orang tua.
Dari sisi tingkat pendidikan, seperti
yang telah disebutkan bahwa mayoritas
responden adalah lulusan sarjana bahkan
beberapa lulusan master dan sedikit sekali
yang hanya sampai tingkat SMK/SMA. Di
masa yang serba modern ini, bukanlah hal
sulit mendapatkan informasi yang kita
butuhkan sesegera mungkin.Bagi mereka
yang telah mengenyam pendidikan tinggi,
setidaknya mereka tahu harus ke mana atau
bertanya kepada siapa saat menghadapi
sebuah masalah.Misalnya saat menghadapi
anak mereka yang dirasa tumbuh tidak
seperti biasanya.Dengan demikian, tingkat
pendidikan seseorang dapat mempengaruhi
pemanfaatan pengetahuan dan
keterampilannya termasuk dalam hal
mengambil sikap dalam kehidupan sehari-
hari. Dalam konteks ini, orang tua yang
memanfaatkan keterampilannya mencari
informasi mengenai hal atau tindakan apa
yang tepat untuk mengasuh anak mereka
yang luar biasa.
Namun pada hasil penelitian ini,
menunjukkan bahwa kecerdasan emosi
tidak berpengaruh banyak, hanya sedikit
saja. Ini artinya masih banyak faktor lain
yang lebih dominan terhadap self-efficacy
orang tua. Peneliti menduga, masih ada
orang tua yang masih kurang siap
sepenuhnya dalam menghadapi anaknya
yang autis. Meskipun mereka berusaha
sebaik mungkin, tingkat depresi yang lebih
tinggi (Teti & Gelfand, dalam Pelletier &
Brent, 2002) dan tingkat stres yang lebih
tinggi (Wells-Paker et al, dalam Pelletier &
Brent, 2002), serta persepsi yang lebih
besar tentang kesulitan-kesulitan yang
dihadapi anaknya (Halpern, Andres, Coll &
MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019
78
Hua, Pelletier & Brent, 2002) menjadi hal
yang masih ada dalam diri para orang orang
tua, khususnya seorang ibu.
Dimensi awareness memiliki nilai
yang cukup baik di sini, peneliti melihat
bahwa, awerness ini sebagai pondasi dari
seluruh usaha meningkatkan kecerdasan
emosi. Jika dihubungkan denganself-
efficacy, dimensi awareness ini diwujudkan
dengan mengidentifikasi apa yang saat itu
ia rasakan dan menggunakannya untuk
memandunya dalam mengambil keputusan.
Selain itu, memunculkan kepercayaan diri
dan mendorong individu untuk mampu
mengidentifikasi emosinya sendiri
(Goleman, 2005). Sehingga orang tua yang
memiliki kesadaran diri yang baik, akan
senantiasa berusaha memberikan perlakuan
yang terbaik pula, tak terkecuali pada
anaknya yang memiliki kebutuhan khusus.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian penulis
secara kuantitatif, dapat disimpulkan
bahwa sikap amanah memiliki pengaruh
terhadap self-efficacy orang tua. Artinya
semakin besar nilai sikap amanah maka
semakin baik pula self-efficacy orang
tuanya. Kecerdasan emosi memiliki
pengaruh tidak signifikan terhadap self-
efficacy orang tua, namun ada dimensi
dalam kecerdasan emosi yaitu self-
awareness dan social skill yang memiliki
nilai pengaruh yang cukup baik terhadap
self-efficacy orang tua, penulis menduga
yang diduga karena masih ada orang tua
yang masih kurang siap sepenuhnya dalam
menghadapi anaknya yang autis. Secara
bersama-sama, variabel amanah dan
kecerdasan emosi memiliki pengaruh
terhadap self-efficacy orang tua.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ary Ginanjar. (2007). ESQ
(Emotional Spiritual Quotient).
Jakarta: Arga Publishing.
Anastasi, A. Urbina, S. (1997).
Psychological Testing. New Jersey:
Prencise- Hall, Inc.
Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The
exercise of control. New York:
W.H. Freeman.
Coleman, P. K, & Karraker, K. H. (2003).
Maternal Self-efficacy Beliefs,
Competence in Parenting, and
Toddler’s Behavior and
Developmental Status. Infant
Mental Health Journal, 24 (2), 126-
148.
Coleman, P.K. & Karraker, K.H. (2000).
Parenting self-efficacy among
mothers of school-age children:
Conceptualization, measurement,
and correlates. Family Relations,
49, 13–24.
Cooper, Donald R. & Pamela S. Scnidher.
Business Research Methods. 12th
Ed. 2014. New York: McGraw Hill
Companies..
Depag, Al-Qur’an dan terjemahannya.
(1971). Jakarta: Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Al-
Qur’an.
Gardner, H. ( 2003). Multiple
Intelligences: Kecerdasan
Majemuk dalam Praktik (alih
bahasa Sindoro A). Batam:
Interaksara.
Goleman, Daniel. Reuven Bar-On. James
D. A. Parker. (2000). The
MEIS___________________Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 6 No. 1 Januari – Juni 2019
79
Handbook of Emotional
Intelligence: Theory, Development,
Assessment, and Application at
Home, School and in the
Workplace. pdf.
Hude, Darwis. (2006). Emosi
(Penjelajahan Religio-Psikologis
tentang Emosi Manusia di dalam
Al-Qur’an). Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Hurlock, Elizabeth B. (2015). Psikologi
Perkembangan. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Kerlinger, F. N. dan Lee, H. B. (2000).
Foundation of Behavioral Research
(Fourth Edition). USA: Holt,
Reinnar & Winston, Inc.
Kuhn, J.C. & Carter A.S. (2006). Maternal
Self-Efficacy and Associated
Parenting Cognitions Among
Mothers of Children. ProQuest.
Mangunsong, F. (2009). Psikologi
Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus. Depok: LPSP3UI. Jilid 1-2.
Mujib, A. (2006). Kepribadian dalam
Psikologi Islam. Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
Pelletier, J., Brent, J. M. (2002). Parent
participation in children ‘s school
readiness: the effects of parental
self –efficacity, cultural diversity
and teacher strategies. International
Journal of Early Childhood, 34, 45-
60.
Premanand, V; Kumari Krishna K;
Mathew, Tessy P. 2014. Trait
Emotional Intelligence among the
parents of children with autism and
typically developing children.
ProQuest. India.
Surna, I. N. dan Olga. D., (2014). Psikologi
Pendidikan 1. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Thompson, Jenny. (2014). Memahami
Anak Berkebutuhan Khusus.
Jakarta: Esensi Erlangga Group.
Wijayakusuma, Hembing. (2004).
Psikoterapi Anak Autisma. Jakarta:
Pustaka Populer Obor.