KIPRAH • Volume 38

84
1 KIPRAH • Volume 38

Transcript of KIPRAH • Volume 38

Page 1: KIPRAH • Volume 38

1KIPRAH • Volume 38

Page 2: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH2

Page 3: KIPRAH • Volume 38

3KIPRAH • Volume 38

NUANSA

• Setia Budhy Algamar

• Ruchyat Deni Jakapermana

• Waskito Pandu • Supardi • Mohammad Irian

• Antonius Budiono • Sjukrul Amien

• Dadan Krisnandar

Amwazi Idrus

Dedy Permadi

Etty Winarni

Yunaldi • Djuwanto

Lisniari Munthe • Warjono • Srijanto

• Ade Syaiful • Krisno Yuwono • Wayan Yoke

• Endah Prihatiningtyas

• Agus Iwan Setiawan • Dian Irawati

Tim Dok. Puskom

Widowati • Litha

Anas S • Yusron • Nadi Tarmadi

• Sutikno • Budi

Kementerian Pekerjaan Umum

Puskom PU, Gedung Bina Marga Lt.1

Jl Pattimura 20, Kebayoran Baru, Jakarta 12110

Telp./Fax: 021-725 1538, 021-722 1679

e-mail:[email protected]

KIPRAHHUNIAN, INFRASTRUKTUR, KOTA DAN LINGKUNGAN

menerima kiriman artikel, atau tulisan lainyang (1) bersifat populer dan (2) sesuai dengan isi Majalah KIPRAH. (3)Panjang tulisan minimal 400 kata, maksimal 1600 kata. (4) Pengirimannaskah dapat dilakukan melalui email ke [email protected], disertaidengan data diri berupa biografi singkat dan alamat, nomor telepon,fax atau E-mail (bila ada). (5) Naskah yang tidak dimuat biasanya tidakakan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis. (6) Redaksi berhakmelakukan perubahan naskah tanpa mengubah isi dari tulisan.

Dalam lima tahun terakhir ini, fokus pemerintah untuk menggarap dengan

lebih serius kawasan perbatasan mulai dirasakan. Hal ini terlihat dengan

gerak langkah pembangunan dan upaya pengaturan di 5 (lima) kabupaten

di Kalimantan Barat dan 3 (tiga) kabupaten di Kalimantan Timur sebagai kabupaten

yang daratannya berbatasan langsung dengan Malaysia, serta 5 (lima) kabupaten/kota di

Papua yang berbatasan dengan Papua Nugini dan 3 (tiga) kabupaten di NTT yang

berbatasan dengan Timor Leste. Disamping itu, terdapat pula beberapa pulau terluar

yang digunakan sebagai pedoman batas negara, seperti P. Rondo di Prov. NAD, P. Berhala

di Prov. Sumut, P. Nipa dan P. Sekatung di Prov. Kep. Riau, P. Miangas dan P. Marore di

Prov. Sulut, P. Batek di Prov. NTT, dan P. Fani serta P. Fanildo di Prov. Papua.

Pentingnya menangani kawasan perbatasan ini pada awalnya bertujuan untuk menjaga

keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk kedaulatan

NKRI melalui batas wilayah yang jelas dan dijamin oleh hukum internasional. Selain upaya

diplomasi internasional di dalam negeri, di kawasan perbatasan kemudian lebih banyak

dilakukan upaya di bidang pertahanan dan keamanan, antara lain penjagaan dan patroli

perbatasan serta pembuatan batas fisik dalam bentuk pagar dan pintu pelintas batas.

Mengingat luasnya wilayah nusantara, berbagai upaya untuk mengamankan wilayah

perbatasan oleh TNI/Polri menjadi sulit. Upaya ini akan lebih efektif bila masyarakat

setempat dilibatkan, tidak dalam tugas pengamanan fisik tentu saja, tetapi eksistensi

masyarakat di kawasan-kawasan tersebut sudah cukup untuk menegaskan batas-batas

wilayah nusantara.

Akan tetapi, memukimkan penduduk atau mendorong masyarakat untuk tinggal di

kawasan perbatasan dengan kondisi prasarana dan fasilitas yang sangat minim tentu saja

bukan langkah bijaksana. Ketimpangan kondisi prasarana antara wilayah di Kalimantan

Barat dan Timur dengan Malaysia tentu saja justru akan menimbulkan ketimpangan

ekonomi dan kecemburuan sosial yang mungkin saja bisa melunturkan nasionalisme dan

wawasan kebangsaaannya. Ketertinggalan secara ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat

perbatasan Kalimantan antara lain dipicu oleh minimnya infrastruktur dan aksesibilitas

yang tidak memadai, seperti jaringan jalan dan angkutan perhubungan darat maupun

sungai yang masih sangat terbatas, prasarana dan sarana komunikasi, seperti pemancar

atau transmisi radio dan televisi serta sarana telepon yang relatif minim, maupun

ketersediaan sarana dasar sosial dan ekonomi, seperti pusat kesehatan masyarakat, sekolah,

dan pasar yang juga sangat terbatas. Kondisi keterbatasan tersebut akan semakin nyata

dirasakan oleh masyarakat perbatasan ketika mereka membandingkan keadaan daerahnya

dengan kondisi pembangunan di negara tetangga Malaysia.

Jadi, mendorong masyarakat untuk tinggal di berbagai kawasan perbatasan sebagai bagian

dari upaya menegakkan eksistensi NKRI haruslah diikuti dengan meningkatkan

kesejahteraan mereka. Dan, infrastruktur PU, seperti jalan dan air minum, merupakan

salah satu aspek penting untuk membuka keterisolasian dan aksesibilitas penduduk sebagai

prasyarat terjadinya pertumbuhan dan peningkatan kesejahteraan. Lantas, apakah yang

sebetulnya paling dibutuhkan oleh masyarakat setempat? Hal tersebut sangat tergantung

pada kondisi lokal, dan oleh karenanyalah diperlukan perencanaan matang yang dapat

mengakomodasi berbagai kebutuhan fisik dan non fisik, yang alokasi anggarannya bisa

saja bersumber dari APBN, APBD, maupun masyarakat. Perencanaan yang matang dan

komprehensif juga diperlukan untuk mengantisipasi peran berbagai instansi pusat dan

daerah yang ‘concern’ terhadap masalah ini, namun seringkali tidak terkoordinasi dan

terintegrasi dalam bingkai perencanaan yang matang. (Redaksi)

Dua DimensiPenanganan Beranda Depan

Page 4: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH4

DAFTARISI

50 62

28

54

14

NUANSANUANSANUANSANUANSANUANSAEditorial Redaktur...........................................................................33333

LINTAS INFOLINTAS INFOLINTAS INFOLINTAS INFOLINTAS INFOAlokasi Turun, Pantai Kian Rusak..............................................66666Situ Gintung Desember Selesai.................................................6..6..6..6..6Ground Breaking Terowongan Pengelak PembangunanWaduk Jati Barang.......................................................................77777Wacana Memindahkan Ibukota Keliru...................................77777

LAPORAN UTAMALAPORAN UTAMALAPORAN UTAMALAPORAN UTAMALAPORAN UTAMAPentingnya Pencitraan Bangsa di Kawasan Perbatasan......88888Pelayanan Infrastruktur di Kawasan Perbatasan…..….........1010101010Potret Beranda Depan Indonesia..........................................1212121212Pulau Nipa Tenggelam, Kedaulatan NKRI terancam........1414141414Makna Strategis Pulau Nipa.......................................................1616161616Apa Kata Mereka........................................................................1717171717Tantangan Pembangunan di Tapal Batas...........................1818181818Entikong dan Aruk: Tantangan Pembangunan Infra-struktur Perbatasan di Kalimantan........................................2222222222Upaya Menjaga Pulau Terluar................................................2626262626Permasalahan Adalah Koordinasi.........................................2727272727Paradigma Pembangunan Sudah Berubah.......................2828282828Memberdayakan Pulau-pulau Kecil.......................................3131313131Arti Penting Pulau Talaud........................................................3131313131Dukungan Kementerian Pekerjaan Umum DalamPengelolaan Terpadu Wilayah Perbatasan........................3232323232Yang Terpenting Daerah Punya PerencanaanPembangunan...............................................................................3636363636

Page 5: KIPRAH • Volume 38

5KIPRAH • Volume 38

DAFTARISI

70

44

65 76

32 40

Penanganan Infrastruktur Kalbar Bak Cinta Tak Terbalas.......37....37....37....37....37Lasarus, Anggota Komisi V DPR-RI Pembangunan JalanLintas Perbatasan: Jangan Hanya Sekedar Janji-janji.......3838383838Konsep Ada, Implementasi Kurang.......................................3939393939

SELINGANSELINGANSELINGANSELINGANSELINGAN

Penggunaan Atap Sirap Semakin Lenyap.......................4040404040

GALERI FOTOGALERI FOTOGALERI FOTOGALERI FOTOGALERI FOTOSecercah Harapan dari Perbatasan...................................4242424242

SELINGANSELINGANSELINGANSELINGANSELINGAN

Situ Babakan: Satu dari Benteng Terakhir Pelestarianan Budaya Betawi....................................................................4444444444

INFO TEKNOLOGIINFO TEKNOLOGIINFO TEKNOLOGIINFO TEKNOLOGIINFO TEKNOLOGIBangunan ABSAH (Akuifer Buatan dan Simpanan AirHujan)...........................................................................................4646464646

TAHUKAH ANDATAHUKAH ANDATAHUKAH ANDATAHUKAH ANDATAHUKAH ANDAGlossary........................................................................................4848484848Yang Unik....................................................................................4949494949Salah Kaprah..............................................................................4747474747

JELAJAHJELAJAHJELAJAHJELAJAHJELAJAHPenataan Kota solo: Bermula dari Loji Gandrung........5050505050Jembatan Bentang Panjang: Dari Penguasaan TeknologiHingga Kompetensi SDM.......................................................5353535353

Membenahi Infrastruktur Pulau Karimata.......................5454545454

LAPORAN KHUSUSLAPORAN KHUSUSLAPORAN KHUSUSLAPORAN KHUSUSLAPORAN KHUSUSPreservasi dan Pembangunan Jalan Fokus UtamaSulawesi..........................................…….............................................5656565656Penghasil Aspal, Tetapi Miskin Jalan beraspal.................6060606060Jalan Lintas Timur Sulawesi Memprihantinkan................6262626262

WACANAWACANAWACANAWACANAWACANAPenyikapan Hidrologis dengan Pendekatan Ekohi-drologis: Konservasi SDA dan Pengendalian BanjirKawasan Demak-Juwana......................................................6666666666Jembatan Impian Bintan.......................................................6969696969Konsep Hijau Pada Kawasan Berdensitas Tinggi ….....7070707070Permukiman Padat Tidak Selalu Kumuh.........................7373737373Busway, Primadona yang Mulai Memudar....................7676767676

HUMANIKAHUMANIKAHUMANIKAHUMANIKAHUMANIKAAsa Penghuni Rusun Urip Sumoharjo...................….......7979797979

JENDELAJENDELAJENDELAJENDELAJENDELAOki Setiana Dewi: Infrastruktur Kurang Merata.................8080808080

INFO BUKUINFO BUKUINFO BUKUINFO BUKUINFO BUKUDaerah Perbatasan, Keterbatasan, Pembatasan…….….......8181818181

KARIKATURKARIKATURKARIKATURKARIKATURKARIKATURIllegal Logging & Gusur Patok di Perbatasan........................82..82..82..82..82

Page 6: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH6

LINTASINFO

Lingkungan Situ Gintung yang asri,

aman, nyaman, dan penuh pesona

bakal tercipta lagi setelah Balai

Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cilliwung-

Cisadane membangun kembali kawasan

yang rusak akibat jebolnya tanggul Situ

Gintung setahun silam. Saat ini pihak balai

sedang merampungkan pekerjaan utama

berupa bendungan, tanggul, dan spill way

(bangunan pelimpah bebas) berikut

pelengkapnya. Lokasinya sendiri tak jauh

dari ibu kota, tepatnya berada di Keca-

matan Ciputat Timur, Kota Tangerang

Selatan, Provinsi Banten.

“Saat ini kemajuan pembangunan fi-

siknya telah mencapai 47 persen dan

diharapkan selesai pada akhir Desember

2010,” demikian ditegaskan Kepala BBWS

Ciliwung-Cisadane, Pitoyo Subandrio, saat

meninjau lokasi proyek pada awal Juli lalu.

Ia mengatakan bahwa pekerjaan utama

Situ Gintung Desember Selesai

yang dilakukan adalah membuat tanggul

setinggi 15 m dengan lebar 5 m, spillway

sepanjang 800 m dan lebar 8 - 30 m, serta

normalisasi sungai Pesanggrahan dan

penataan lingkungan.

Dana APBN murni sebesar Rp93 miliar

telah dialokasikan untuk penyelesaian

proyek tersebut yang dikerjakan selama

52 minggu kalender oleh PT Bumi Karsa

dan PT Nindya Karya. “Hambatan utama

dalam pelaksanaan konstruksi ini adalah

cuaca yang sering kurang bersahabat,”

ujar Anwar Gandi, Deputi Proyek Manajer

PT. Bumi Karsa. Akan tetapi, ia optimis

bahwa pekerjaan yang ditanganinya akan

selesai sesuai jadwal.

Penyelesaian pembangunan kawasan Situ

Gintung akan dimanfaatkan sebagai

cadangan sumber air baku dengan jumlah

volume sekitar 1 juta m3.

Pitoyo berpendapat bahwa becermin dari

kejadian jebolnya bendungan Situ Gin-

tung, maka di samping tetap melakukan

pemantauan, penting pula memper-

hatikan penertiban dan pemeliharaan

ratusan situ yang berada di wilayahnya,

yang sekarang mulai terancam kerusakan

dan penciutan. (Joe)

Konstruksi bangunan Spillway. (Foto: Wy)

Salah satu faktor yang menyebabkan

kondisi pantai semakin rusak adalah

alokasi anggaran untuk infrastruk-

tur pengamanan pantai yang semakin

berkurang. Padahal, panjang pantai yang

harus diamankan dari abrasi terus ber-

tambah. Hal ini dapat dilihat dari alokasi

anggaran untuk infrastruktur pantai tahun lalu

sebesar Rp400 miliar sehingga hanya dapat

menangani sekitar 40 km garis pantai.

“Bila yang ditangani tak sampai 50 km garis

pantai per tahun, sampai kapan abrasi

terselesaikan? Padahal, ancaman per-

ubahan iklim dengan naiknya permukaan

air laut makin nyata,” tegas Direktur Rawa

dan Pantai, Ditjen Sumber Daya Air (SDA),

Kementerian Pekerjaan Umum, Djaja

Murni Warga Dalam.

Sementara Suprapto, Kasubdit Penga-

manan Pantai, Rawa, dan Pantai Ditjen

Alokasi Turun, Pantai Kian Rusak

SDA PU, mengakui bahwa alokasi APBN

untuk pantai makin berkurang. “Rencana

alokasi anggaran tahun 2011 misalnya,

hanya Rp240 miliar. Dana sebesar itu

hanya sanggup untuk menangani 30 km

garis pantai, sedangkan ada 20 persen dari

95.000 km panjang garis pantai di Indo-

nesia yang rusak.”

Dari pengamatan Kiprah, kerusakan

terjadi di hampir seluruh pesisir pantai di

setiap pulau, terutama di utara Pulau

Jawa, pesisir selatan Kalimantan, pesisir

barat Sumatera, dan pesisir pulau-pulau

kecil lainnya, seperti Bali, NTB, dan NTT.

Di Sumatera misalnya, persisnya di pesisir

barat Bengkulu, abrasi hampir memu-

tuskan ruas jalan nasional antara Bantal-

Mokomuko. Demikian pula di Kalimantan,

abrasi juga hampir memutuskan jalan

Lintas Selatan Kalimantan, yakni ruas

Batulicin-Pelaihari.

Abrasi mengancam jalan nasional, permukim-an, dan persawahan di Bengkulu. (Foto:Joe)

Menurut Djaja, penanganan pantai butuh

kebijakan yang menyeluruh, tidak hanya

sekedar membangun tembok laut pena-

han gelombang, tetapi harus ada cetak

biru penanganan pantai secara menye-

luruh. (Joe)

Page 7: KIPRAH • Volume 38

7KIPRAH • Volume 38

LINTASINFO

Menteri Pekerjaan Umum, Djoko

Kirmanto, didampingi Guber-

nur Provinsi Jawa Tengah, Bibit

Waluyo, dan Kepala Balai Besar Wilayah

Sungai (BBWS) Pemali Juwana, Hartanto,

melakukan ground breaking (peman-

cangan tiang) pengeboran pertama

terowongan pengelak pada proyek pem-

bangunan Waduk Jatibarang, (30/6) di

Semarang, Jawa Tengah.

Kegunaan terowongan pengelak adalah

untuk mengelakkan aliran sungai di

sekitar/yang melintasi lokasi bendungan

selama masa pembangunan bendungan.

Bangunan pengelak terdiri dari cofferdam

(bendungan pengelak) utama, portal in-

let dan outlet, serta terowongan pengelak

sepanjang 441 m. Terowongan tersebut

didesain untuk mengatasi banjir selama

25 tahun dengan besaran 280m3/detik

serta elevasi pundak bendungan setinggi

50 m. Pengelakan sungai ini diharapkan

telah selesai dibangun pada akhir Juni 2011.

Ground Breaking Terowongan PengelakWaduk Jatibarang

Pembangunan Waduk Jatibarang dimulai

dari tahap studi pengembangan wilayah

sungai Jragung, Tuntang, Serang, Lusi, dan

Juwana (Jratunseluna) pada tahun 1969

oleh JICA dan PT. Indah Karya. Hasil studi

tersebut menunjukkan perlunya waduk

serbaguna yang harus dibangun untuk

mendukung pengembangan wilayah dan

mengurangi banjir di Semarang dan

sekitarnya.

“Proses pembangunan Waduk Jatibarang

diharapkan segera selesai sehingga dapat

mengurangi potensi banjir dan menye-

diakan air baku untuk air minum,” ujar

Djoko. Pembangunan Waduk Jatibarang

telah dimulai sejak 2008 dan diharapkan

dapat selesai tahun 2014. Pembangunan

waduk dan pendukungnya ini membu-

tuhkan dana sekitar Rp560 miliar.

Hartanto mengatakan, “Luas lahan yang

dibebaskan sekitar 210 ha. Estimasi biaya

sebesar Rp206 miliar dengan sharing dari

pemerintah pusat sebesar 50% (Rp103

miliar) dan pemerintah daerah, baik

provinsi maupun kabupaten, masing-

masing sebesar 25% (Rp51,5 miliar).”

Hingga saat ini, lahan yang telah di-

bebaskan mencapai 85%. Terowongan

pengelak diharapkan segera selesai

dibangun sehingga pekerjaan pem-

bangunan Waduk Jatibarang dapat

terlaksana sesuai dengan rencana. (Ind)

Beban Kota Jakarta sebagai ibu kota

negara kian bertambah, meski

daya dukungnya justru menurun.

Hal ini mencuatkan kembali wacana

pemindahan ibu kota pemerintahan ke

daerah lain.

“Tidak bisa dipungkiri bahwa Jakarta

adalah ibu kota negara. Oleh karena itu,

tidak boleh ada cara berpikir untuk me-

Wacana Memindahkan Ibu Kota Kelirumindahkan ibu kota. Itu keliru. Yang

benar adalah fungsi-fungsi yang tidak

sesuai dengan ibu kota itu yang dipin-

dahkan,” demikian disampaikan Prof. DR.

Emil Salim dalam makalahnya yang

berjudul “Prinsip-Prinsip Pembangunan

Berkelanjutan Dalam Pembangunan

Kota”, selaku keynote speech (ceramah

utama) dalam acara “Seminar Nasional

Lingkungan Penataan Ruang dan Keber-

lanjutan Kota”. Acara ini bertempat di

Ruang Serbaguna Program Pascasarjana

Gedung IASTH lantai 3 Universitas Indo-

nesia, Salemba, Jakarta Pusat.

Turut hadir sebagai pembicara di acara

tersebut Prof. Ir. Budhy Tjahjati, MCP,

Phd, dengan makalah “Kebijakan Pem-

bangunan dan Dimensi Lingkungan Dalam

Penataan Ruang”, Dr. Ir. Darrundono, MSi

dengan makalah “Peran Modal Sosial

Dalam Pembangunan Kota”, Dr. Ir. Endrawati

Fatimah dengan makalah “Pengembangan

Model Daya Dukung Lingkungan Untuk

Keberlanjutan Kota”, Dr. Iwan Kustiwan

dengan makalah “Penetapan Compact City

Untuk Pembangunan Kota Yang Ber-

kelanjutan”, dan Ir. Setia Damayanti, MSi

dengan makalah “Rusunawa Sebagai Salah

Satu Solusi Dalam Penataan Ruang Kota”.

Acara yang diselenggarakan pada hari

Rabu, tanggal 14 Juli 2010, pukul 08.00

WIB hingga pukul 14.00 WIB ini dihadiri

pula oleh akademisi, perwakilan instansi

terkait dari pemerintah dan swasta,

individu-individu, serta para wartawan

dari media cetak dan elektronik. (Wy)

Pengeboran pertama terowongan pengelakproyek pembangunan Waduk Jatibarang.

(Foto:Indah)

Page 8: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH8

LAPORANUTAMA

Pentingnya Pencitraan Bangsadi Kawasan Perbatasan

Page 9: KIPRAH • Volume 38

9KIPRAH • Volume 38

LAPORANUTAMA

Bila dilihat, memang banyak

kawasan perbatasan yang

terbengkalai, minim infrastruk-

tur, dan sangat tertinggal. Kepedulian

akan pentingnya kawasan tersebut

mungkin mulai timbul setelah kita

mengalami “kekalahan” dalam memper-

tahankan kepemilikan Pulau Sipadan dan

Pulau Ligitan. Hanya satu kata yang

menjadi “kunci kemenangan” dari nega-

ra tetangga kita itu, yakni “kepedulian”.

Ya, kepedulian mereka terhadap kondisi

kedua pulau tersebutlah yang “tidak

mampu” diberikan oleh negara kita saat

itu. Berbeda dengan kita, mereka sangat

perhatian pada daerah yang “abu-abu”.

Hanya dengan berbekal memberikan

stimulus ekonomi ke daerah tersebut,

ternyata dampaknya cukup besar karena

membuat mayoritas penduduk di sana

merasa bahwa mereka adalah bagian dari

negara yang memberikan perhatian

tersebut. Mungkin setelah kejadian

tersebut, kawasan perbatasan mulai

dilirik dan diperhatikan oleh negara kita

ini. Tentunya kita tidak mau kembali

terjeblos ke dalam lubang yang sama

untuk kedua kalinya. Keledai saja tidak

pernah kejeblos dua kali ke dalam lubang

yang sama. Yah…memang sarkastik,

tetapi semoga kritik ini menjadi pemicu

kita untuk tidak mengulang-ulang ke-

salahan yang sama.

Bila diibaratkan sebuah rumah, maka

kawasan perbatasan merupakan sebuah

teras depan, halaman depan, maupun

pagar dari sebuah rumah. Penghuni

rumah biasanya akan berupaya seoptimal

mungkin untuk memelihara, menjaga,

merawat, ataupun mempercantik teras

depan, halaman depan, dan pagar rumah-

nya, misalnya teras depannya dibuat dari

bermacam keramik yang menawan serta

dilengkapi dengan sofa yang menarik

untuk dapat menerima kunjungan tamu

dengan nyaman dan santai. Di halaman

depan tertata taman yang asri, penuh

dengan rerumputan. Pagar rumah tidak

hanya berfungsi untuk keamanan, tetapi

juga sebagai penarik perhatian yang

didesain sedemikian rupa sehingga

memiliki nilai artistik. Penghuni rumah

pasti sadar betul bahwa citra rumahnya

menunjukkan citra dirinya sendiri seka-

ligus penarik tamu, bahwa citra awal dari

rumahnya ditunjukkan dari teras depan,

halaman depan, dan pagar rumahnya.

Bagaimana dengan teras depan, halaman

depan, dan pagar negara kita? Apakah

dapat menjadi penarik tamu? Ataukah

penghuninya yang malah berpindah

karena melihat teras dan halaman depan

negara tetangga tetangga lebih indah dan

menarik.

Dilihat dari kondisinya saat ini, hanya

beberapa perbatasan yang memiliki

infrastruktur memadai, sedangkan se-

bagian besar masih minim infrastruktur,

khususnya di pulau-pulau terluar atau

yang saat ini disebut sebagai pulau-pulau

terdepan. Kurangnya prasarana jalan,

permukiman, dan sumber air bersih

menjadi trademark kawasan perbatasan.

Keterbelakangan yang ada di sana se-

makin diperparah lagi dengan belum

adanya fasilitas listrik maupun tele-

komunikasi di hampir sebagian besar

kawasan perbatasan. Tingkat pereko-

nomian masyarakat yang rendah dan

kemiskinan menjadi ciri utama kawasan

perbatasan, sehingga untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya, penduduk se-

tempat lebih berorientasi pada negara

tetangga. Ungkapan “Merah Putih Ben-

deraku, Ringgit Uangku” benar adanya,

dan dengan semakin banyaknya warga

kita yang mencari uang di negara te-

tangga, lambat laun dikhawatirkan akan

dapat menipiskan rasa kebangsaannya.

Hal ini dapat menjadi titik lemah ke-

amanan negara kita.

Sadar akan permasalahan yang ada di

perbatasan, saat ini pemerintah telah

mengubah paradigma pembangunan

perbatasan yang selama ini lebih meng-

utamakan pendekatan keamanan dari-

pada pendekatan kesejahteraan, sehingga

dinamika pembangunan dan pember-

dayaan masyarakat di beberapa kawasan

perbatasan belum tersentuh. Percepatan

pembangunan kawasan perbatasan ter-

sebut, terutama infrastruktur, mau tidak

mau harus segera dilakukan oleh peme-

rintah dengan melibatkan seluruh instansi

terkait. Terbitnya Peraturan Presiden RI

Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan

Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP)

menjadi bukti keseriusan pemerintah

dalam meningkatkan pembangunan di

kawasan perbatasan tersebut.

Badan yang dikepalai oleh Menteri Dalam

Negeri ini mempunyai tugas menetapkan

kebijakan program pembangunan perba-

tasan, menetapkan rencana kebutuhan

anggaran, mengkoordinasikan pelaksa-

naan, dan melaksanakan evaluasi dan

pengawasan terhadap pengelolaan ka-

wasan perbatasan. Pembangunan ka-

wasan perbatasan yang akan dikoordinir

oleh BNPP harus menggunakan pende-

katan kesejahteraan (prosperity ap-

proach), pendekatan keamanan (security

approach) dan pendekatan keberlanjutan

(sustainability approach) dengan mem-

perhatikan kualitas lingkungan hidup,

meningkatkan kerja sama ekonomi dan

perdagangan di lokasi perbatasan, me-

ningkatkan kinerja prasarana dan sarana

sosial, pendidikan, permukiman, ekonomi,

transportasi, pertahanan dan keamanan,

serta meningkatkan pelayanan lintas

batas, baik barang maupun orang.

Conductor pembangunan sudah terben-

tuk, tinggal menunggu kiprah yang opti-

mal dalam sinergi dari setiap instansi.

Semoga harapan semakin baiknya kondisi

masyarakat di kawasan perbatasan dapat

terwujud sehingga penghuni perbatasan

akan dengan bangga dan lantang menye-

butkan “Merah Putih Benderaku, Indo-

nesia Tumpah Darahku, Rupiah Uangku.”

(Nld)

Mungkin banyak orang tidakmengetahui apa yang ada di

kawasan perbatasan, yang jugabiasa disebut perbatasan saja,

atau dengan ekstrim bisadisebut “tidak peduli” dengan

apa yang ada di sana.

Page 10: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH10

LAPORANUTAMA

Mengacu pada Perpres No.12

Tahun 2010 tentang Badan

Nasional Pengelola Perba-

tasan, pada pasal 1 (satu) disebutkan

bahwa yang dimaksud dengan Kawasan

Perbatasan adalah bagian dari wilayah

negara yang terletak pada sisi dalam

sepanjang batas wilayah Indonesia

dengan negara lain. Dalam hal batas

wilayah negara di darat, kawasan per-

batasan berada di kecamatan. Adapun

Batas Wilayah Negara adalah garis batas

yang merupakan pemisah kedaulatan

suatu negara yang didasarkan atas hukum

internasional. Sementara itu, pada pasal

5 (lima) juga dijelaskan bahwa Wilayah

Negara meliputi wilayah darat, wilayah

perairan, dasar laut, dan tanah di bawah-

nya serta ruang udara di atasnya, ter-

masuk seluruh sumber kekayaan yang

terkandung di dalamnya.

Indonesia merupakan salah satu negara

kepulauan terbesar di dunia yang me-

miliki 17.504 pulau. Dari 17 ribu lebih pulau

tersebut, terdapat 92 pulau-pulau kecil

yang dijadikan sebagai titik dasar dan

referensi untuk menarik garis pangkal

kepulauan yang berbatasan langsung

dengan 10 negara tetangga, yaitu Malay-

sia, Singapura, Thailand, Papua Nugini,

Filipina, Timor Leste, Palau, India, Viet-

nam, dan Australia.

Pada pasal 6 ayat (1) butir (a) disebutkan

bahwa Batas Wilayah Negara Indonesia

di darat berbatasan dengan Negara Ma-

laysia, Papua Nugini, dan Timor Leste.

Pulau-pulau besar yang daratannya

berbatasan langsung dengan ketiga

negara tetangga tersebut adalah:

a)Kalimantan yang berbatasan langsung

Pelayanan Infrastruktur

dengan Malaysia; b)Nusa Tenggara Timur

yang berbatasan dengan negara muda

Timor Leste; serta c)Papua, provinsi pa-

ling timur Indonesia, yang langsung

berbatasan dengan Papua Nugini.

Di pulau terbesar di Indonesia sekaligus

terbesar ketiga di dunia, Kalimantan,

terdapat 8 (delapan) wilayah perbatasan

di tingkat kabupaten, terdiri atas 5 (lima)

kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat

dan 3 (tiga) kabupaten di Provinsi Kali-

mantan Timur. Kelima kabupaten di

Kalimantan Barat yang berbatasan lang-

sung dengan Malaysia adalah Sanggau,

Kapuas Hulu, Sambas, Sintang, dan

Bengkayang. Sementara itu, 3 (tiga)

kabupaten di Kalimantan Timur yang

berbatasan langsung dengan Malaysia

adalah Nunukan, Kutai Barat, dan Malinau.

Hingga tahun ini, hanya gerbang per-

batasan Entikong dan Nunukan yang

sudah dibuka. Meskipun demikian, pe-

merintah dalam waktu dekat juga akan

membuka 2 (dua) gerbang perbatasan

lagi, yaitu di Aruk (Sambas) dan Nanga

Badau (Kapuas Hulu). Adapun kabupaten

yang menjadi wilayah tapal batas antara

Papua dengan Papua Nugini adalah

Kabupaten Keerom, Kabupaten Pe-

gunungan Bintang, Kabupaten Merauke,

Kabupaten Boven Digoel, dan Kabupaten

Jayapura dengan 1 (satu) pintu gerbang

perbatasan, yaitu di Skow Wutung

(Keerom). Sementara itu, daerah per-

batasan di Nusa Tenggara Timur dengan

Timor Leste meliputi 3 (tiga) kabupaten,

yaitu Kabupaten Timor Tengah Utara,

di Kawasan PerbatasanKesenjangan pembangunan infrastruktur di kawasan perbatasan menimbulkan tantangan serius di bidang

ekonomi dan sosial, pariwisata, serta pertahanan dan keamanan negara Indonesia.

Infrastruktur Jalan Lintas Selatan Kaltim yang masih berupa jalan tanah dan kerikil.(Foto: Gazhali)

Page 11: KIPRAH • Volume 38

11KIPRAH • Volume 38

LAPORANUTAMA

Kabupaten Kupang, dan Kabupaten Belu

dengan 1 (satu) pintu gerbang perbatasan

yang sudah dibuka terletak di Kota

Atambua (Belu).

Tantangan di Kawasan Perbatasan Darat

Kondisi masyarakat di daerah-daerah

perbatasan darat tentunya berbeda

dengan kondisi masyarakat yang berada

di daerah kawasan perbatasan laut

maupun pulau. Masyarakat di perbatasan

laut maupun pulau-pulau terluar seringkali

terisolir dari negara tetangga, bahkan dari

negaranya sendiri, akibat kondisi alamnya

yang memang berada di tempat terisolir

maupun terpencil. Sementara masyarakat

yang berada di perbatasan darat tidaklah

memiliki kesulitan dalam berkomunikasi

serta mengunjungi secara langsung

negara tetangganya, baik secara legal

maupun ilegal, namun banyak yang masih

terisolir dari negaranya sendiri akibat

kesenjangan pembangunan, terutama

pembangunan infrastruktur, di daerah-

nya.

Beberapa hal yang masih menjadi tan-

tangan bagi pengamanan maupun pe-

ngembangan kawasan perbatasan darat

di Indonesia dapat dikategorikan menjadi

3 (tiga) bidang, yaitu:

1. Bidang ekonomi dan sosial

Kondisi daerah-daerah perbatasan Indo-

nesia sebagian besar sama, yakni tidak

meratanya penyebaran penduduk serta

pembangunan infrastruktur dasar mau-

pun terbatasnya pembangunan sarana

dan prasarana transportasi, kesehatan,

pendidikan, dan lain-lain. Ketidakme-

rataan tersebut mengakibatkan adanya

kesenjangan pembangunan ekonomi

penduduk dan infrastruktur dasar yang

dapat dilihat dari masih adanya daerah

yang terisolir dan tingginya tingkat

kemiskinan penduduk yang tinggal di

kawasan perbatasan. Di kawasan tertentu,

seperti perbatasan Kalimantan misalnya,

masih terdapat keterbatasan akses tele-

komunikasi (telepon) dan informasi

(televisi, radio, dan sebagainya) bagi

masyarakat Indonesia dari negaranya

sendiri, namun akses telekomunikasi dan

informasi dari Malaysia justru dengan

mudah dapat mereka akses. Tidak me-

ratanya pembangunan ekonomi dan

infrastruktur tentunya menimbulkan

kecemburuan ekonomi, terutama bagi

masyarakat yang tinggal tak jauh dari

daerah-daerah di negara tetangga yang

lebih makmur dan sejahtera. Tak heran

apabila warga negara Indonesia yang

tinggal di kawasan perbatasan banyak

yang lebih memilih melakukan kegiatan

ekonomi, sosial, pendidikan, dan ke-

sehatan di negara tetangga yang mereka

anggap lebih terjangkau (baik jarak

maupun harganya) dan berkualitas.

rendahnya kesadaran politik dan hukum

serta disiplin masyarakat dan aparat

keamanan di wilayah perbatasan juga

semakin meruwetkan masalah. Tingkat

kesadaran politik, hukum, dan disiplin

yang rendah mengakibatkan kurangnya

rasa kepemilikan (sense of belonging)

warga atas infrastruktur di perbatasan

sehingga infrastruktur yang telah ter-

sedia tidak terjaga dan terawat dengan

baik. Sebagai contoh, banyak patok-patok

ataupun rambu lalu lintas di kawasan

perbatasan yang hilang akibat dipindah-

kan oleh masyarakat, bahkan dicuri untuk

dijual, padahal patok-patok tersebut

merupakan tanda batas wilayah negara.

Hal ini juga menjadi salah satu pemicu

persengketaan tapal batas negara, selain

memang masih banyak daerah-daerah di

perbatasan yang belum jelas statusnya

secara hukum internasional. Kondisi jalan

yang masih rusak dan tidak terhubung

menjadi faktor yang membuat lokasi dan

medan menjadi lebih sulit untuk diawasi.

Situasi ini mengakibatkan sebagian dari

sekian banyak pos penjagaan lintas batas

yang ada itu tidak dijaga dengan ketat.

Rendahnya kesadaran politik dan hukum

serta ketersediaan infrastruktur dasar

yang tidak memadai juga turut menyu-

burkan berbagai tindakan ilegal, ter-

utama penyelundupan kayu dan narkoba,

maupun meningkatnya tenaga kerja dan

pendatang gelap serta human trafficking

(perdagangan orang), terutama perem-

puan dan anak-anak.

Salah satu kunci solusi dari tantangan di

kawasan perbatasan darat Indonesia

adalah pembangunan dan penyediaan

sarana dan prasarana yang memadai,

terutama infrastruktur dasar, seperti

jalan, jembatan, dan perumahan. Kondisi

di daerah-daerah perbatasan darat Indo-

nesia merupakan potret beranda depan

negara Indonesia. Apabila tidak segera

dibenahi, maka beranda depan negara

kita akan rusak sehingga tidak akan layak

menerima “tamu” yang hendak ber-

kunjung, apalagi sebagai benteng per-

tahanan dari para “tamu tak diundang”.

(Endah)

2. Bidang pariwisata

Kesenjangan dan keterbatasan pem-

bangunan infrastruktur dasar dan eko-

nomi di kawasan perbatasan juga ber-

pengaruh pada bidang pariwisata. Apabila

jalan saja masih banyak yang berlubang-

lubang dan jembatan belum terbangun,

tentunya susah untuk dapat mengakses

kawasan wisata. Apalagi jika pasar dan

pusat-pusat ekonomi belum terbangun,

maka pastilah potensi-potensi pariwisata

di daerah-daerah perbatasan juga susah

untuk berkembang.

3. Bidang pertahanan dan keamanan

Di samping segala kesenjangan dan

keterbatasan yang disebutkan di atas,

Salah satu kunci solusidari tantangan di

kawasan perbatasandarat Indonesia adalah

pembangunan danpenyediaan sarana dan

prasarana yangmemadai, terutamainfrastruktur dasar.

Page 12: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH12

LAPORANUTAMA

Daerah-daerah perbatasan darat

merupakan wilayah yang

strategis sekaligus dilematis. Di

satu sisi, daerah-daerah tersebut memiliki

potensi ancaman bagi pertahanan dan

keamanan Negara Kesatuan Republik In-

donesia (NKRI). Di sisi lain, daerah-daerah

perbatasan memiliki potensi pengem-

bangan kerja sama dengan negara-negara

tetangga, khususnya di bidang ekonomi

dan pariwisata. Tak salah apabila daerah-

daerah di kawasan perbatasan dianggap

sebagai beranda depan negara. Istilah

beranda depan bagi daerah-daerah

perbatasan, yang kini tengah dipo-

pulerkan oleh pemerintah, berarti bahwa

daerah-daerah tersebut merupakan

kawasan yang secara geografis berba-

tasan dengan negara lain dan menunjuk-

kan gambaran tentang kondisi wilayah

serta jati diri bangsa Indonesia. Dengan

demikian, kondisi daerah-daerah di

wilayah perbatasan, khususnya perba-

tasan darat, dapat menjadi tolok ukur

kondisi suatu bangsa, layaknya kondisi

beranda depan yang mencerminkan

kondisi suatu rumah.

Tamu asing yang mendatangi sebuah

rumah pasti dapat menarik kesimpulan

bagaimana kondisi di dalam rumah

maupun karakter sang pemilik rumah

dengan hanya melihat beranda rumah-

nya. Apabila beranda rumahnya terlihat

berpagar rapi, bersih, dan asri, tamu

tersebut akan senang berkunjung karena

dapat menyimpulkan bahwa kondisi di

dalam rumah pastilah semenarik dan

senyaman berandanya. Pemilik rumah

pun pastilah orang yang baik serta

menyenangkan. Akan tetapi, apabila

beranda rumahnya kotor, dipenuhi pagar

Potret Beranda Depan IndonesiaDaerah-daerah di kawasan perbatasan bak beranda depan negara karena disitulah pintu gerbang bagi

wisatawan dari negara tetangga dan dunia untuk memasuki negara kita, demikian pula sebaliknya. Semakinbagus dan menarik penataan beranda depan kita, semakin banyak orang tertarik masuk ke dalam

“rumahnya”. Akan tetapi, apabila jalan masuknya saja rusak atau bahkan tidak ada, belum lagi suasana diberanda itu terlihat tak terurus, menyeramkan, dan rawan, siapa yang bersedia berkunjung?

berkawat duri, maupun tak tertata rapi,

sang tamu jadi enggan, bahkan takut

untuk melintas, apalagi masuk ke dalam

rumah tersebut. Pemilik rumahnya juga

akan dianggap sebagai orang yang tidak

ramah dan tidak menyenangkan. Oleh

karena itulah, penanganan dan pengem-

bangan kawasan perbatasan, terutama

perbatasan darat, hendaklah meng-

gunakan pendekatan strategis dengan

mempertimbangkan secara sungguh-

sungguh potensi ancaman maupun

potensi pengembangan kerja sama

dengan negara tetangga.

Di samping tetap menjaga fungsi keta-

hanan dan keamanan, pemerintah juga

perlu mengembangkan fungsi ekonomi

dan pariwisata di daerah-daerah perba-

tasan darat sehingga menarik warga

negara tetangga maupun negara lainnya

untuk mau berkunjung ke negara kita.

Pembangunan dan ketersediaan pra-

sarana dan sarana, khususnya infra-

struktur jalan, perumahan, air bersih, dan

sanitasi, menjadi faktor penentu bagi

pengembangan daerah-daerah di ka-

wasan perbatasan. Tetapi fakta di la-

pangan masih menunjukkan kalau pem-

bangunan sarana dan prasarana dasar,

terutama pembangunan infrastruktur

jalan dan jembatan, di daerah-daerah

perbatasan darat Indonesia masih belum

memadai, terutama perbatasan darat

Indonesia dengan Malaysia di Pulau

Kalimantan.

Perbedaan yang sangat mencolok dapat

dilihat dan dirasakan apabila kita berken-

dara menggunakan jalur jalan nasional

Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong, Kalbar. (Foto: Lis)

Page 13: KIPRAH • Volume 38

13KIPRAH • Volume 38

LAPORANUTAMA

dari Pontianak ke Entikong menuju

Kuching dan kembali dari Kuching menuju

Entikong. Meskipun jalan Trans Kali-

mantan dari Pontianak ke Entikong saat

ini jauh lebih baik dan sebagian besar telah

beraspal, namun di sana-sini terdapat jalan

yang ditambal sulam dan berlubang-

lubang. Belum lagi masih ada ruas jalan,

sekitar 32 km lebih, yang dalam tahap

deretan rumah penduduk.

Arkan Yamri, Pejabat Pembuat Komit-

men (PPK) Pengembangan Kawasan

Perbatasan Dinas Pekerjaan Umum

Provinsi Kalimantan Barat, menjelaskan

kepada KIPRAH bahwa pembangunan

yang paling diperlukan saat ini di kawasan

perbatasan Kalimantan Barat adalah

infrastruktur jalan. Meskipun jalan nasio-

nal (Trans Kalimantan) dan jalan poros

sudah banyak dibangun, namun jalan yang

menghubungkan kota-kota di Kalimantan

tidak semuanya dalam kondisi baik. Arkan

juga menyebutkan bahwa jarak dari jalan-

jalan penghubung yang ada masih relatif

jauh dan memutar. Ditambah lagi dengan

sarana transportasi yang belum memadai.

Kondisi tersebut berbanding terbalik

dengan di Malaysia. Perjalanan kami dari

Entikong ke Kuching juga melewati jalan-

jalan nasional beraspal yang tambal

sulam, namun tanpa ada satupun lubang.

Jalan-jalannya mulus, lebar, memiliki bahu

jalan, serta dilengkapi dengan rambu-

rambu lalu lintas, penanda arah, dan

lampu jalan yang terang benderang.

Jalan-jalan poros yang menghubungkan

jalan utama dengan perumahan pendu-

duk sebagian besar juga sudah beraspal.

KIPRAH juga melihat bagaimana ber-

bagai infrastruktur di perbatasan Malay-

sia telah terbangun dengan baik. Pusat-

pusat perdagangan serta tempat-tempat

pariwisata di sana juga ditata dengan apik

dan menarik. Berbeda dengan sebagian

besar kecamatan yang berada di perba-

tasan Indonesia, semua distrik di Malay-

sia telah memiliki pasokan listrik dan air

bersih sendiri. Dengan sendirinya, sarana

komunikasi dan informasi seperti siaran

televisi, radio, telepon, internet, maupun

koran dapat terdistribusi dengan baik

hingga ke desa-desa.

Seringnya terjadi kelangkaan persediaan

gas elpiji dan sembako membuat hampir

semua kebutuhan pokok warga Indone-

sia yang ada di perbatasan dipasok dari

Malaysia. Bahkan akibat pembangunan

sarana dan prasarana, seperti sekolah,

rumah sakit, kantor polisi, dan lain se-

bagainya yang tidak merata, warga kita

yang bersekolah maupun berobat ke Ma-

laysia pun menjadi suatu pemandangan

biasa di sana. Oleh karena itu, peredaran

uang ringgit di Entikong jauh lebih besar

dibandingkan rupiah karena mereka

membeli barang-barang kebutuhan da-

sarnya ke Sarawak yang lebih murah dan

aksesnya mudah.

Kenyataan bahwa pembangunan infra-

struktur di daerah-daerah yang menjadi

pintu gerbang Indonesia di perbatasan

Kalimantan masih belum dilengkapi

dengan sarana dan prasarana dasar yang

memadai merupakan potret beranda

depan negara kita. Pembukaan daerah

perbatasan diharapkan dapat mendorong

pertumbuhan ekonomi sehingga pen-

duduk lokal dapat lebih sejahtera.

Keberadaan daerah perbatasan darat

merupakan beranda depan negara kita

yang seharusnya dapat menarik turis,

khususnya turis mancanegara dari te-

tangga sebelah, untuk datang berwisata

sehingga meningkatkan devisa negara.

Akan tetapi, apabila ketimpangan infra-

struktur dan sarana serta prasarana di

daerah-daerah yang sudah disentuh

pembangunan saja masih terjadi, lalu

bagaimana nasib daerah-daerah di ka-

wasan perbatasan yang jalannya terputus

dan wilayahnya masih terisolir?

Hal ini patut mendapat perhatian dari

semua instansi pemerintah, terutama

terkait dengan rencana pembukaan PPLB

Aruk dan Nanga Badau. Apakah dengan

hanya membuka PPLB Aruk dan PPLB

Nangau Badau dalam waktu dekat ini

sudah dapat dikatakan sebagai upaya yang

memadai sehingga benar-benar dapat

menyejahterakan penduduk Indonesia

yang berada di kawasan perbatasan

ataukah perekonomian warga Malaysia

yang justru akan meningkat karena warga

negara kitalah yang berbondong-

bondong berwisata ke Malaysia yang

memiliki sarana dan prasarana lebih

lengkap dan infrastruktur yang lebih baik?

(Endah)

pengerasan, sehingga pengemudi yang

melewatinya harus terlonjak-lonjak di

dalam mobilnya. Sesampainya di Enti-

kong, kita pun dapat menemukan banyak

jalan-jalan poros yang masih berupa jalan

tanah, kerikil, dan batu. Selain itu,

terdapat ±50 jalan setapak dan berpuluh-

puluh jalan tikus yang menghubungkan

55 desa di Kalimantan Barat dengan 32

kampung di Sarawak. Apabila malam

menjelang, Trans Kalimantan terselimuti

pekatnya kegelapan malam karena fasi-

litas lampu jalan masih belum ada. Hanya

lampu-lampu mobil dan sesekali sepeda

motor yang jadi penerang para pengen-

dara yang melintas. Padahal, jalan-jalan di

Kalimantan tidak memiliki bahu jalan

karena biasanya langsung berada di tepi

tebing, jurang, ataupun sungai kecil, dan

Page 14: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH14

LAPORANUTAMA

Pulau Nipa Tenggelam,

Oleh : **Ade Syaiful R

Kedaulatan NKRI Terancam

Pulau Nipa secara geografis berada

pada koordinat 103° 39’ 11" BT dan

1° 09’ 13" LU, sedangkan secara ad-

ministratif pulau ini terletak di Desa

Pemping, Kecamatan Belakang Padang,

Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau.

Pulau yang dilintasi sekitar 50.000 kapal

laut per tahun tersebut terletak di Selat

Philip, diapit oleh negara Singapura dan

Pulau Batam. Pulau ini merupakan salah

hampir tenggelam. Apalagi dengan

maraknya kegiatan eksploitasi pasir (laut

dan darat) maupun bahan granit yang

diselundupkan ke Singapura. Padahal jika

dilihat dari berbagai sisi kepentingan

negara, keberadaan pulau ini sangat

strategis sehingga harus segera dilakukan

upaya-upaya penyelamatan. Ancaman

tenggelamnya Pulau Nipa, yang merupa-

kan pulau terluar dari wilayah Indonesia

Tembok laut dengan konstruksi batu. (Foto: Dok.)

Keberadaan pulau-pulau terluar di kawasan perbatasan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesiamemegang peranan penting untuk menjaga kedaulatan bangsa. Tak pelak, menjaga keberadaan

pulau-pulau yang menjadi garda depan negara kita mutlak adanya.

satu dari 20 (dua puluh) pulau kecil terluar

wilayah Negara Kesatuan Republik Indo-

nesia (NKRI).

Luas wilayahnya yang hanya sebesar 63

ha pada saat permukaan air laut terendah,

58 ha pada saat permukaan air laut rata-

rata, dan 28 ha pada saat permukaan air

laut tertinggi, menjadikan pulau yang

nyaris hilang dari peta Indonesia ini

Page 15: KIPRAH • Volume 38

15KIPRAH • Volume 38

LAPORANUTAMA

yang berbatasan langsung dengan Singa-

pura, akan menjadi ancaman pula bagi ke-

daulatan Republik Indonesia.

Upaya Penyelamatan

Sebelum dilaksanakannya pekerjaan kon-

servasi, kondisi Pulau Nipa sangat kritis

akibat pengaruh abrasi, baik yang di-

sebabkan oleh gelombang laut musiman

maupun oleh gelombang yang ditimbul-

kan dari lalu lintas kapal. Kondisi ini

semakin diperparah akibat adanya ak-

tivitas pengambilan pasir laut yang tidak

terkendali di sekitar Pulau Nipa.

Pada tanggal 20 Februari 2004, Presiden

RI Megawati Soekarnoputri berkunjung

ke Pulau Nipa dan mencanangkan di-

mulainya kegiatan konservasi Pulau Nipa

dengan pertimbangan bahwa:

1. Pulau Nipa adalah salah satu pulau

terluar yang berbatasan langsung

dengan negara Singapura;

2. Terdapat benchmark (titik dasar) di

Pulau Nipa dengan kode TD 190 dan

TD 190A yang berfungsi sebagi acuan

pengukuran dan penetapan median

line pada perjanjian perbatasan Indo-

nesia–Singapura pada tahun 1973; dan

3. Luasan (ukuran) pulau ini yang relatif

kecil menjadikannya sangat sensitif

terhadap perubahan alam atau ak-

tivitas manusia.

Pulau karang seluas 63 ha ini terbagi

menjadi empat zona, yaitu zona utara

(seluas 15,00 ha), zona hutan bakau

(seluas 12,28 ha), zona selatan (seluas

16,19 ha), serta zona laguna pasir (seluas

6,91 ha). Untuk menjaga Pulau Nipa dari

ancaman abrasi, maka Kementerian PU

melakukan pembangunan untuk pe-

ngamanan pantai melalui pembuatan

tembok laut dengan konstruksi batu di

sekeliling Pulau Nipa sepanjang 4,3 km

hingga mencapai elevasi ± 5,2 m. Setelah

itu, dilanjutkan dengan pemasangan te-

trapod (salah satu jenis konstruksi pe-

mecah gelombang) sebagai armour

(lapisan pelindung) tanggul batu ter-

hadap hantaman gelombang. Disamping

itu, dilakukan pula pengisian pasir laut di

zona utara dan zona selatan hingga

meningkatkan elevasi ± 4,6 m, pengisian

pasir laut di zona hutan bakau hingga

mencapai elevasi ±1,8 m, dan pengisian

tanah timbunan di zona utara dan selatan

setebal 0,6 m hingga mencapai elevasi

±5,2 m.

Selain pemasangan tetrapod serta

penimbunan tanah dan pasir, dilakukan

pula pembangunan dermaga TNI AL,

pembangunan jalan penghubung antara

zona utara dengan zona selatan, dan

pembangunan sarana penunjang lainnya,

diantaranya jalan lingkungan, lahan

parkir, serta fasilitas mesin dan listrik.

Selain terdapat bangunan Monumen

Pencanangan Konservasi Pulau Nipa di

zona selatan dan bangunan Plaza Monu-

men Peresmian Konservasi Pulau Nipa

di zona utara, Kementerian PU yang

berkoordinasi dengan TNI AL juga

membangun guest house dan pos Satuan

Tugas (Satgas) Pengamanan Pulau

Terluar Korps Marinir yang berlokasi di

zona utara dengan konstruksi atap beton

yang dilengkapi dengan menara pe-

ngawas, bungker pertahanan, tandon air,

ruang genset, gudang BBM, menara

setinggi 30 meter untuk memonitor

situasi di perbatasan, serta jajaran barak-

barak para anggota TNI-AL yang di-

lengkapi dengan

instalasi sarana pe-

nunjang lainnya,

seperti pembang-

kit listrik tenaga

sel surya, mesin

penyuling air laut,

dan lain sebagai-

nya.

Kondisi Kini Sete-

lah Konservasi

Kini, kegiatan kon-

servasi yang pen-

canangannya di-

mulai sejak tahun

2004 ini telah selesai dilaksanakan. Pulau

Nipa sebagai pulau terluar NKRI sekarang

juga memiliki potensi menjadi objek

wisata bahari yang menarik wisatawan.

Selain lokasinya yang eksotis dengan

pemandangan di bawah laut yang sangat

indah, fasilitas di sana juga sudah men-

dukung. Semua jalan menuju pos TNI AL

dipasangi paving blok di sekeliling pos. Di

samping itu, fasilitas penerangan juga

telah tersedia sehingga kondisi pulau

tersebut pada malam hari sudah terang

benderang. Yang tak kalah pentingnya,

di pulau terluar ini juga telah berdiri guest

house berupa rumah adat Minahasa

berlantai dua yang siap digunakan untuk

menerima kunjungan tamu. Sudah dila-

kukan pula penanaman pohon kelapa dan

cemara laut yang kian mempercantik

Pulau Nipa. Oleh karena itulah, setelah

segala usaha ekstra yang dilakukan oleh

berbagai pihak untuk keberhasilan upaya

konservasi ini, cita-cita untuk mewu-

judkan Pulau Nipa sebagai objek wisata

bahari tinggal selangkah lagi. Sekarang

tinggal bagaimana hasil konservasi Pulau

Nipa tersebut dapat dimanfaatkan se-

besar-besarnya untuk menjaga tegaknya

kedaulatan NKRI secara utuh sekaligus

untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat di Provinsi Kepulauan Riau.

** Kepala Sub Bidang Penyiapan

Pelaporan Puskom PU

Pulau Nipah. (Foto: Dok.)

Page 16: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH16

Pembangunan Pulau Nipa di Provinsi

Kepulauan Riau yang terletak di

Selat Philip telah selesai diker-

jakan. Kini proses alih status pulau terluar

yang berbatasan langsung dengan

Singapura itu sedang dilakukan antara

Kementerian Pekerjaan Umum (PU)

dengan Kementerian Kelautan dan

Perikanan (KKP).

Menurut Sekretaris Jenderal Kemen-

terian PU, Agoes Widjanarko, alih status

Pulau Nipa dimaksudkan untuk mengop-

timalkan pemanfaatan aset, tertib pe-

natausahaan aset, dan menghindari

kerusakan sarana dan prasarana yang

telah dibangun. Untuk itu, pemeliharaan

dan pengamanan menjadi penting.

Sementara itu, Suprapto, Kasubdit

Pengamanan Pantai, Dit Rawa dan Pantai,

Ditjen SDA, menjelaskan bahwa aset

negara yang diserahkan berupa tembok

pantai sepanjang 3.740 m di sekeliling

pulau dengan total luas 60 ha, tetrapod

(1,2 ton) sepanjang 2.945 m untuk peng-

amanan pantai, reklamasi penimbunan

pasir laut pada areal seluas 992,000 m2

dengan total volume 1.584.184,65 m3, dan

tanggul keliling sepanjang 4.983 m.

Disamping itu, diserahkan pula dermaga

Makna Strategis Pulau Nipa

sepanjang 155,20 m dengan panjang

trestle (struktur jembatan) 45 m yang

terletak di sisi barat.

Aset lain yang juga diserahkan adalah area

penghijauan kawasan pantai untuk pe-

nanaman pohon bakau seluas 23,8 ha,

jalan lingkungan (2,9 km), jalan peng-

hubung seluas 4.408,50 m2, serta lahan

parkir seluas 2.400 m2, saluran drainase

sepanjang 569,00 m, 2 unit bangunan

bungker dengan luas 61,40 m2, 3 unit

genset masing-masing berkekuatan 65

kva dan 250 kva lengkap dengan

bangunan rumah genset serta gudang

maupun tangki BBM.

Kementerian PU juga menyerahkan satu

unit masing-masing helipad, instalansi

hidran, plaza monumen, menara pe-

ngawas, dan satu jaringan mekanisasi

elektrikal. Bangunan Pos Terpadu TNI-

Polri, bangunan Penelitian Biota Laut dan

Mangrove, serta shelter nelayan ikut pula

diserahkan.

Awal dibangunnya Pulau Nipa ini dilatar

belakangi kekhawatiran terhadap an-

caman hilangnya pulau karang ini dari

peta wilayah Indonesia yang dulu

nyaris tenggelam akibat pengerukan

pasir laut dari negara tetangga Singa-

pura.

Pada tahun 2004, Direktorat Jenderal

Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan

Umum ditunjuk sebagai pelaksana pem-

bangunan penyelamatan Pulau Nipa,

antara lain melalui reklamasi dan pem-

bangunan infrastruktur multifungsi.

Menurut Suprapto, selain untuk me-

nyelamatkan pulau tersebut dari ke-

mungkinan tenggelam, langkah tersebut

juga untuk mengamankan titik pangkal

batas RI-Singapura dan RI-Malaysia agar

tidak hilang. Bila hilang, maka dampaknya

adalah bergesernya median line sehingga

akan mempenga-

ruhi batas wilayah

NKRI. Secara spe-

sif ik lagi, ber-

pengaruh terha-

dap Zone Eko-

nomi Eksklusif

(ZEE) Indonesia.

Satu hal yang pasti,

Pulau Nipa harus

dijaga dan diper-

tahankan kebera-

daannya agar te-

tap lestari. (Joe)

Suprapto, KasubditPengamanan Pantai,

Dit. Rawa dan Pantai,Ditjen SDA PU. (Foto:

Joe)

LAPORANUTAMA

Fasilitas Pos TNI AL di Pulau Nipa. (Foto: Dok.)

Page 17: KIPRAH • Volume 38

17KIPRAH • Volume 38

LAPORANUTAMA

Apa Kata Mereka...

Infrastruktur dasar di daerah

perbatasan sangat tertinggal

jauh dibanding daerah lain, ter-

utama prasarana perhubungan se-

perti jalan dan jembatan, listrik, air

bersih, telekomunikasi, pendidikan,

dan kesehatan. “Semuanya serba

kekurangan,” kata Erna (20) gadis

Dayak yang tinggal di Jalan Sudirman

No. 70, Sanggau, Kalbar.

Prasarana jalan dan jembatan misal-

nya, belum semua daerah kabupa-

ten/kota dan kecamatan dapat di lalui

melalui jalan darat. Masyarakat masih harus menggunakan jalur

sungai. Demikian pula dengan pelayanan listrik, ibarat minum

obat, sehari nyala dua hari padam, padahal tagihan rekening

listrik terus berjalan.

“Bagaimana mau bela negara kalau warga perbatasan miskin

dan sakit-sakitan, “ keluh Erna. Keluhan serupa juga diungkapkan

kawan-kawan Erna yang sekarang sedang menempuh pendidikan

di Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalbar.

Menurut Erna, sudah waktunya pemerintah memperhatikan

daerah perbatasan yang selama ini tertinggal. Alasannya, setelah

64 tahun Indonesia merdeka, kemerdekaan itu belum banyak

dinikmati oleh sebagian besar warga perbatasan. (Joe)

Susanto, petugas penjaga di

PPLB Entikong, mengatakan

bahwa setiap harinya sekitar

800 orang keluar-masuk melalui pos

tersebut. Terlebih dalam musim

liburan kali ini, jumlah tersebut

meningkat. Pos penjagaan yang

dibuka sejak jam 8 pagi hingga 5 sore

itu juga melayani visa on arrival bagi

turis asing. Susanto mengatakan

bahwa kebanyakan orang yang

keluar-masuk di pos perbatasan ituSusanto

Erna

adalah penduduk Kalbar dan Sarawak. Turis asing yang

diharapkan datang lebih banyak, jumlahnya masih jauh dari yang

diharapkan. Sampah yang masih tampak di beberapa sudut di

pos penjagaan itu turut memperburuk wajah pos penjagaan di

Entikong. Berkaitan dengan hal ini, Susanto berharap

penambahan tempat sampah di pos itu dan denda bagi yang

membuang sampah. “Di Kuching jauh lebih bersih daripada di

sini, makanya orang lebih senang ke sana,” ujarnya. Petugas

kebersihan memang sudah dikerahkan di pos penjagaan itu,

tetapi jika tiap saat sampah selalu ada akibat tidak disiplinnya

warga, maka hal itu akan memperberat tugas petugas

kebersihan sekaligus memperburuk citra bangsa Indonesia. (Lis)

Menurut Andreas Araujo,

warga Kabupaten Belu

yang berbatasan langsung

dengan negara Republik Demokratik

Timor Leste (RDTL), daerahnya

mendapat tekanan masalah paling

depan dan berat dibandingkan dae-

rah lain, padahal kemampuan Belu

masih sangat terbatas. Isu strategis

dari daerah ini adalah identitas

tertinggal, terdepan, dan terluar akibat dari minimnya

infrastruktur prasarana jalan, irigasi, air bersih, permukiman,

serta lisrik sehingga menimbulkan dampak sosial ekonomi yang

cukup parah. Hingga kini, rakyat Belu masih harus berkelit

dengan nasib dan terus berkutat dengan berbagai persoalan

demi mencukupi kebutuhan dasarnya. Kondisi itu diperparah

dengan masalah para pengungsi eks Timor Leste menyangkut

pendataan, penyediaan prasarana permukiman, dan lapangan

kerja yang hingga kini belum tuntas. Kiranya Belu perlu kebijakan

khusus untuk meningkatkan kesejahteraaan rakyatnya. (Joe)

Sugeng Permana (50)

pengusaha Samarinda,

Kaltim. Belum lengkapnya

pergudangan dan sistem penga-

turan ekspor-impor di Nunukan

menyebabkan barang-barang komo-

ditas ekspor dari Kaltim dan Sulawesi

kurang maksimal dikirim ke negara

jiran Serawak. Padahal, barang-

barang seperti karet, kopra, kelapa sawit, dan hasil hutan lainnya

sangat dibutuhkan oleh masyarakat seberang. Kondisi ini perlu

diperhatikan oleh pemerintah agar komoditas ekspor kita

meningkat. Persoalan lainnya adalah menyangkut pelayanan

infrastruktur yang perlu ditingkatkan, khususnya infrastruktur

perhubungan menuju kawasan perbatasan. Demikian pula

dengan penyediaan fasilitas listrik, pendidikan, dan kesehatan.

Nyatanya, daerah perbatasan memang masih sangat tertinggal

jika dibandingkan dengan daerah lainnya. (Joe)Sugeng Permana

Andreas Araujo

Page 18: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH18

LAPORANUTAMA

Terkait dengan ramainya berita

mengenai kawasan perbatasan,

KIPRAH pun mencoba menelusuri

permasalahan perbatasan dari sisi ga-

rapan pekerjaan umum (PU). Berikut

laporannya.

Telah banyak kita dengar dan lihat masalah perbatasan menjadi semakin rumit dan kompleks. Kompas (3/6)menyebutkan sejak tahun 1977 terdapat 2.000 warga Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Bengkayang, yang

tinggal di daerah perbatasan Kalimantan Barat-Serawak, memilih berganti kewarganegaraan menjadiwarga negara Malaysia. Angka ini kemungkinan masih akan terus bertambah akibat adanya kesenjangan

pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum di perbatasan Indonesia-Malaysia tersebut.

Tantangan Pembangunan

di Tapal Batas

Indonesia memiliki luas hampir 2 juta

km2, dikelilingi oleh 10 negara tetangga

(Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei

Darussalam, Papua Nugini, Palau, Timor

Leste, Australia, Vietnam, dan Filipina).

Berdasarkan PP No 26 tahun 2008 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

(RTRWN) terdapat 10 kawasan per-

batasan negara, terdiri dari 3 kawasan

perbatasan negara matra darat dan 7

kawasan perbatasan negara matra laut.

Dari 10 kawasan perbatasan negara

Wilayah perbatasan kini semakin diperhatikan dengan membangun berbagai prasarana infrastruktur, seperti peningkatan struktur dankapasitas jalan di Tanjung Harapan - PLB Aruk Kab. Sambas, Kalbar. (Foto: Heroe)

Page 19: KIPRAH • Volume 38

19KIPRAH • Volume 38

LAPORANUTAMA

tersebut, 9 (sembilan) di antaranya

merupakan kawasan yang berhadapan

dengan wilayah darat/laut negara

tetangga dan 1 (satu) kawasan berha-

dapan dengan laut lepas.

Kawasan perbatasan matra darat me-

ngacu pada peraturan internasional dan

kesepakatan bilateral yang ditandai oleh

titik koordinat berupa patok-patok batas

antarnegara. Adapun perbatasan matra

laut mengacu pada hukum laut inter-

nasional berupa titik koordinat batas

negara, baik batas laut teritorial dan zona

ekonomi eksklusif (ZEE), maupun batas

landas kontinen.

Jika dilihat dari kekayaan sumber daya

alam dan kondisi sosial ekonomi masyara-

katnya, hal ini sungguh sangat paradoks.

Di satu sisi sumber daya alamnya melim-

pah (darat dan laut), tetapi di sisi lain

kondisi masyarakatnya tertinggal, miskin,

dan terisolir. Kekayaan yang ada justru

dieksploitasi dan dibawa keluar oleh

negara lain dengan menyisakan kemis-

kinan di dalam negeri. Setidaknya,

gambaran itu terekam pada saat KIPRAH

melakukan perjalanan jurnalistik ke

daerah perbatasan Nunukan di Kaltim,

Pulau Nipa di Kepulauan Riau, serta Pos

Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Enti-

kong dan Aruk di Kalbar beberapa waktu

lalu.

Sumber Ditjen Tata Ruang Kementerian

Pekerjaan Umum menyebutkan bahwa

permasalahan utama dari ketertinggalan

pembangunan di wilayah perbatasan

adalah arah kebijakan pemerintah pusat

dan daerah yang selama ini cenderung

berorientasi “inward looking”, yaitu

melihat kawasan perbatasan sebagai

halaman belakang, bukan halaman depan

atau bukan wilayah prioritas, sehingga

belum banyak tersentuh oleh pelayanan

dasar, apalagi untuk wilayah pulau-pulau

kecil yang letaknya terisolir.

Banyak kampung di kawasan perbatasan

yang saat ini hanya bisa dijangkau dengan

menggunakan alat transportasi sungai

atau berjalan kaki akibat infrastruktur dan

fasilitas umum di desa-desa itu masih

sangat minim. Fasilitas kesehatan seperti

puskesmas dan sekolah juga mempri-

hatinkan, apalagi air bersih, listrik, dan

telekomunikasi.

Contoh kongkrit tentang apa yang terjadi

di wilayah perbatasan Kalbar-Serawak

dapat dilihat dari fasilitas umum dan

infrastruktur yang hampir semuanya

tersedia dengan baik di Serawak (Malay-

sia), sementara di Kalbar (Indonesia)

masih jauh tertinggal. Permintaan

Pemprov. Kalbar ke pusat untuk mem-

bangun jalan pararel di wilayah perba-

tasan sepanjang sekitar 800 kilometer

sampai sekarang juga belum terealisasi.

Melihat kondisi seperti itu, penduduk

perbatasan pun akhirnya cenderung

memilih pindah wilayah. Apalagi daerah

yang disasar tidak terlalu jauh dari

kampung mereka dan masih terjalin

hubungan kekarabatan keluarga, sebagai-

mana yang terjadi di Desa Suruh Temba-

wang, Kecamatan Entikong, Kabupaten

Sanggau, maupun di beberapa desa di

Kabupaten Bengkayang.

“Untuk mencegah agar tidak terjadi

peralihan kewarganegaraan, sudah

saatnya paradigma pembangunan kewi-

layahan diubah dari inward looking

menjadi outward looking. Kawasan

perbatasan harus diperhatikan dengan

melengkapi sarana dan prasarana infra-

struktur dan fasilitas umum,” tegas

Numsuan Madsun, Kepala Bagian Humas

Provinsi Kalimantan Barat.

Persoalan

Dari berbagai seminar maupun laporan

resmi tentang perbatasan, ada indikasi

paling kurang 8 (delapan) persoalan

yang belakangan ini merasuk ke Indone-

sia melalui wilayah atau kawasan per-

batasan. Persoalan pertama meliputi ke-

rentanan kawasan perbatasan terhadap

intervensi asing, terutama pulau-pulau

terluar, seperti Sangir dan Talaud yang

berbatasan langsung dengan Kepulauan

Mindanao, Filipina.

Kemudian, kawasan perbatasan rentan

terhadap perdagangan dan penyelun-

dupan senjata, seperti penyelundupan

senjata dari Kepulauan Mindanao ke

daerah rawan konflik di Ambon dan Poso.

Kawasan perbatasan juga dilaporkan

Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Aruk di Sambas, Kalbar yang akan diresmikan dalamwaktu dekat. (Foto: Heroe)

Page 20: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH20

LAPORANUTAMA

menjadi kawasan transit bagi alur lalu

lintas teroris internasional. Hal itu

terungkap dalam berbagai laporan resmi

dan sidang beberapa kasus teror.

Tak hanya itu, kawasan perbatasan juga

menjadi ajang perdagangan dan penye-

lundupan barang-barang elektronik,

narkoba, serta minuman berakohol dan

non-alkohol. Demikian pula dengan

maraknya peredaran dolar palsu, per-

dagangan manusia, pencurian hasil hutan

(kayu, rotan, damar dll), seperti yang

terjadi di PPLB Entikong, Jagoi Babang,

Aruk, dan Nanga Badau di Kalbar ataupun

daerah perairan Nunukan di Kaltim.

Nunukan misalnya, sebagai pintu gerbang

wilayah utara Indonesia bagian tengah,

kabupaten ini berbatasan langsung

dengan Malaysia dan Filipina serta

menjadi alur lalu lintas kapal dari Austra-

lia-Oceania ke Asia Timur. Meski daerah

ini memiliki sumber kekayaan alam dan

hasil bumi yang melimpah, di sepanjang

pesisir timur Kalimantan, namun belum

memiliki pelabuhan dan bounded zone

yang menyebabkan hasil komoditas

Kaltim, Kalteng, Sulteng, bahkan Sulsel

dan Gorontalo belum bisa tertampung

sepenuhnya di Nunukan.

Selama ini posisi geografis tersebut

dikenal hanya dimanfaatkan untuk lalu

lintas Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang

akan menyeberang ke Kota Tawau di

Sabah, Malaysia. Di Nunukan, setiap

harinya ribuan orang bercampur-baur,

dari para pekerja, pedagang harian,

hingga TKI, menyeberang dari Pelabuhan

Tunon Taka menuju Tawau.

Perdagangan tradisional pun berlangsung

di jalur ini. Rokok Indonesia membanjiri

Malaysia dan Filipina, sebaliknya barang-

barang kebutuhan sehari-hari, seperti

minuman, susu, mi instan, dan beras

hingga tabung gas Shell buatan Malaysia

membanjiri Nunukan karena selain lebih

lengkap dan mudah diperoleh, harganya

pun lebih murah dibanding buatan Jawa.

Kondisi yang hampir sama juga terjadi di

Aruk di Kabupaten Sambas dan Entikong

di Kabupaten Sanggau, Kalbar. Bedanya,

perbatasan di Kalbar dibatasai oleh matra

darat sehingga dapat ditempuh dengan

menggunakan transportasi umum, se-

perti truk, bus antarnegara (Pontianak-

Kuching), ataupun kendaraan dinas

maupun pribadi. Di sini, kegiatan transaksi

dagang dilakukan secara langsung di

pasar bebas kedua negara. Pemandangan

“truk adu pantat” untuk mengalihkan

barang dagangan dari Malaysia ke Indo-

nesia dan sebaliknya menjadi peman-

dangan sehari-hari. Nurdin (40), warga

Sanggau yang ditemui Kiprah seusai

belanja di Kuching, mengatakan bahwa

kebutuhan sehari-hari seperti gula pasir,

minuman, dan barang-barang elektronik,

lebih mudah dan murah didatangkan dari

Serawak dibandingkan dari Pontianak,

padahal warga Entikong membeli dalam

ringgit Malaysia yang nilai tukarnya

terhadap rupiah lebih tinggi. Ungkapan

“Merah Putih Benderaku, Ringgit

Uangku” agaknya benar adanya. Demi-

kianlah sepenggal potret Nunukan dan

Entikong dengan arus TKI dan per-

dagangan lintas batas tradisional yang

berlangsung hingga kini.

Miskin

Kawasan perbatasan sering pula dila-

porkan sebagai daerah miskin dan rawan

bencana alam, gizi buruk, anak putus

sekolah, kriminalitas, serta terisolasi

akibat masih terbatasnya prasarana dan

sarana infrastruktur di sana. Gambaran ini

terlihat jelas di Kabupaten Belu, Nusa

Tenggara Timur (NTT) yang berbatasan

langsung dengan Timor Leste.

Di wilayah ini, banyak desa yang belum

memiliki sarana air bersih, jalan raya,

listrik, maupun permukiman sehat akibat

bu-ruknya sanitasi lingkungan. Selain itu,

tapal batas Belu ini juga menyimpan

banyak masalah, seperti pengungsi (eks

Timor Timur), praktik penyelundupan

hasil pangan, produk tanaman perda-

gangan hasil hutan (kayu), maupun

pencurian ternak rakyat. Masalah perba-

tasan pun semakin meruncing manakala

oknum aparat keamanan tidak berlaku

adil dan menegakkan hukum sebagaimana

mestinya.

Rawan Bobol

Kurangnya perhatian dari pemerintah

membuat kawasan perbatasan menjadi

rawan dibobol oleh negara lain. Hal iniRumah tinggal suku Dayak yang tinggal di wilayah perbatasan Sanjingan, Kalbar. (Foto: Heroe)

Page 21: KIPRAH • Volume 38

21KIPRAH • Volume 38

LAPORANUTAMA

menjadi persoalan penting bagi Indone-

sia, karena apabila wilayah perbatasan

bobol, yang bobol bukan daerah itu saja

tetapi juga mengganggu kepentingan

nasional dan ikut memperlemah posisi

Indonesia di mata internasional.

Seperti halnya kemiskinan, keterbe-

lakangan yang terjadi di daerah-daerah

perbatasan juga membuat Indonesia ikut

sakit. Demi keamanan perbatasan tidak

bisa serta merta menempatkan tentara

dalam jumlah besar untuk menjaga

seluruh kawasan perbatasan karena

selain mahal, juga tidak akan meme-

cahkan persoalan. Artinya, kemiskinan dan

beragam keterbatasan yang ada di daerah

perbatasan menjadi amat strategis untuk

segera ditanggulangi karena fungsi

penduduk di sana sekaligus menjaga

kedaulatan Ibu Pertiwi. Sebaliknya, mana

mungkin warga perbatasan dapat menjadi

penjaga perbatasan yang andal dan gagah

berani apabila ekonominya buruk, miskin,

kesehatannya kurang menunjang, dan

pendidikannya serba pas-pasan. Yang

terjadi justru tenaga Indonesia direkrut

dan dibayar negara tetangga untuk

menjaga tapal batas mereka. Sungguh

ironis.

Kepala Balai Besar Pelaksanaan Jalan

Nasional (BBPJN) VII, Subagio, yang

menangani jalan perbatasan di Pulau

Kalimantan mengakui bahwa kondisi

prasarana jalan mereka (Malaysia) jauh

lebih bagus dan lengkap dibanding kita,

namun jenjang perbedaan itu secara

bertahap akan dikurangi.

Subagio menjelaskan bahwa langkah

kongkrit yang dilakukan antara lain

pembangunan dan preservasi jalan, yaitu

meningkatkan kapasitas dan struktur

serta pemeliharaan jalan menuju kawasan

perbatasan, dari lebar semula rata-rata

4,5 m menjadi 6 m dengan tekanan gandar

maksimum 10 ton. Hal ini telah di-

laksanakan pada ruas Pontianak-

Singkawang-Sambas menuju Aruk se-

panjang 380 km, maupun ruas Pontianak-

Sosok-Tanjung-Sanggau hingga pos lintas

batas Entikong.

Hal yang sama juga dilakukan pada ruas

Bontang ke arah utara menuju Tarakan

hingga Nunukan batas Serawak di Kaltim.

Terkait dengan penyediaan anggaran.

untuk jalan pararel perbatasan, kini

sedang dalam pembahasan antara masing-

masing pemda dengan BBPJN VII.

Peran Manusia

Sebetulnya jawaban atas persoalan yang

ada di kawasan perbatasan sudah diajukan

Presiden Megawati saat meresmikan

seminar nasional tentang Satal (Maret

2003). Presiden ketika itu mengatakan

bahwa faktor paling penting untuk me-

mecahkan persoalan tersebut adalah

meningkatkan peran manusia selaku

pelaku utama di lapangan. Tentu terje-

mahannya adalah memberdayakan rakyat

dari sisi ekonomi dan sosial budaya, antara

lain dengan meningkatkan pelayanan

infrastruktur dasar, seperti jalan, air

bersih, permukiman, listrik, prasarana

pendidikan, pelayanan kesehatan dan

telekomunikasi di wilayah perbatasan.

Masalah transportasi perhubungan men-

jadi penting karena keberadaannya dapat

memperlancar aksesibilitas rakyat untuk

membuat perekonomiannya menjadi

semakin terbuka. Harus bisa dihindarkan

ekonomi rakyat yang terhenti akibat

terhadang masalah transportasi.

Perekonomian rakyat di perbatasan juga

harus didorong sehingga mereka mampu

memenuhi seluruh keperluan hidupnya.

Jangan sampai terjadi lagi situasi untuk

perawatan dan pelayanan kesehatannya,

rakyat perbatasan harus pergi ke ibu kota

kabupaten atau provinsi yang jaraknya

cukup jauh. Pendidikan rakyat pun harus

ditingkatkan. Tentu tidak boleh terjadi

jikalau minimnya fasilitas pendidikan yang

ada membuat warga yang ingin melan-

jutkan pendidikan lebih tinggi beramai-

ramai meninggalkan daerahnya, sehingga

saat mereka selesai, mereka pun enggan

kembali ke kampung halaman akibat tidak

adanya lapangan pekerjaan.

Persoalan lain yang mesti menjadi per-

hatian pemerintah adalah rusaknya sistem

lingkungan hidup (ekosistem), menyusul

penggundulan hutan semena-mena di

kawasan perbatasan Kalimantan yang

berdampak sangat parah terhadap ke-

hidupan masyarakat setempat. Oleh

karena itu, sudah saatnya memandang

perbatasan sebagai pintu gerbang akti-

vitas ekonomi dan perdagangan dengan

negara tetangga. (Joe)

Peningkatan jalan dengan betonisasi pada ruas jalan nasional Sambas - Tanjung Harapansepanjang 70 km. (Foto: Heroe)

Page 22: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH22

Kemajuan suatu daerah dapat

diukur salah satunya dari

keberhasilannya membangun

jalan. Sebagaimana dipahami bersama,

infrastruktur jalan merupakan prasarana

vital yang harus tersedia guna membuka

akses dari dan ke daerah perbatasan.

Masih minimnya pembangunan infra-

struktur jalan dan jembatan menjadikan

daerah-daerah yang ada di garis perba-

tasan di Kalimantan, khususnya di Kali-

mantan Barat (Kalbar), masuk ke dalam

kategori kawasan tertinggal dan terisolir.

Kawasan perbatasan Entikong (Kabu-

paten Sanggau) dan Aruk (Kabupaten

Sambas) dapat menjadi salah satu contoh

daerah perbatasan yang perlu mendapat

prioritas perhatian dan penanganan

serius dari segala bidang, khususnya dalam

hal pembangunan infrastruktur serta

sarana dan prasarana yang memadai.

Entikong adalah sebuah kecamatan di

Kabupaten Sanggau, Kalbar dengan luas

wilayah sekitar 506,89km² dan dihuni oleh

±13.346 jiwa penduduk. Sebagai salah satu

kecamatan yang di Kabupaten Sanggau,

wilayah utara Entikong berbatasan lang-

sung dengan Tebedu di Sarawak, Malay-

sia. Sementara itu, wilayah selatannya

berbatasan dengan Kabupaten Ketapang,

bagian barat dengan Kabupaten Landak,

serta di bagian timur berbatasan dengan

Kabupaten Sintang dan Kabupaten

Sekadau. Entikong menjadi pintu gerbang

perbatasan darat resmi yang paling

banyak digunakan oleh pelintas batas dari

Indonesia ke Malaysia dan sebaliknya.

Entikong menjadi penghubung jalur Trans

Borneo yang melintas dari Sandakan

(Sabah), Bandar Seri Begawan (Brunei

Darussalam), Kuching (Sarawak), dan

Pontianak (Kalimantan Barat). Jalur darat

Entikong yang berbatasan langsung

dengan negara Malaysia terkenal sebagai

jalur sutera bagi para pedagang dan

tenaga kerja Indonesia, terutama yang

berasal dari Pulau Jawa dan Sumatera.

Entikong dan Aruk:

Sebagai salah satu beranda negara yang akhir-akhir ini mendapatkan banyak sorotan, kawasan perbatasandi Kalimantan ternyata masih menyisakan berbagai persoalan yang mesti ditangani secara lebih serius.Kondisi kawasan perbatasan di pulau yang masih indah dan alami ini nyatanya menghadapi berbagai

keterbatasan, baik akses maupun fasilitas.

Tantangan Pembangunan InfrastrukturPerbatasan di Kalimantan

Pembangunan jalan nasional dari Pontianak menuju Entikong yang masih dalam tahap penyelesaian. (Foto: Lis)

LAPORANUTAMA

Page 23: KIPRAH • Volume 38

23KIPRAH • Volume 38

Dari hasil perjalanan tim KIPRAH ke

kawasan perbatasan Entikong bulan Juli

lalu, ternyata masih banyak masalah yang

harus segera diselesaikan untuk menja-

dikan kawasan perbatasan ini benar-benar

layak disebut sebagai beranda depan

wilayah Negara RI.

Salah satu masalah utamanya adalah

kondisi akses jalan dari Pontianak (ibu kota

Provinsi Kalbar) ke perbatasan Entikong

yang masih belum mulus. Perjalanan darat

dari kota Pontianak menuju ke Entikong

harus ditempuh dengan dalam waktu

yang cukup lama, yakni 8 jam, terutama

karena adanya pengerjaan pembangunan

jalan sepanjang 100 km di sekitar keca-

matan Tayan. Dalam perjalanan itu,

beberapa truk tampak melambatkan laju

jalannya karena takut as mobil menjadi

patah. Belum lagi jika malam hari, di

sepanjang jalan itu para supir truk harus

konvoi karena medan yang cukup

berbahaya apabila mereka melintas

sendirian. Lampu penerangan yang masih

kurang dan jalan yang masih belum

beraspal, menghambat perjalanan truk-

truk yang mengangkut barang berat

tersebut menuju ke arah kawasan per-

batasan. Jalan yang tidak mulus itu

tentunya sedikit-banyak ikut mening-

katkan biaya operasional kendaraan.

Demikian pula dengan kondisi di kawasan

perbatasan Aruk, sebuah desa yang

berada di wilayah Kecamatan Sajingan

Besar, Kabupaten Sambas, Kalbar. Aruk

masuk ke dalam wilayah Kabupaten

Sambas yang terletak pada bagian pantai

barat paling utara dari wilayah Provinsi

Kalimantan Barat dan memiliki akses

langsung dengan daerah Biawak dan

Kuching di Sarawak, Malaysia. Secara ad-

ministratif, sebelah utara daerah ini

berbatasan langsung dengan Serawak,

Malaysia Timur, sementara di sebelah

timur berbatasan dengan Kecamatan

Paloh (Kabupaten Sambas), sedangkan di

sebelah selatan berbatasan dengan Jagoi

Babang (Kabupaten Bengkayang), dan di

sebelah barat berbatasan dengan

Kecamatan Teluk Keramat/Sejangkung

(Kabupaten Sambas).

Menjelang peresmian PPLB Aruk yang

direncanakan akan dibuka tahun 2011,

akses transportasi ke Aruk hingga kini

masih belum memadai. Perjalanan darat

ke Aruk dapat ditempuh dengan 2 (dua)

cara. Pertama, dari Pontianak ke Aruk

melalui Sambas. Kedua, melalui negeri

jiran, Sarawak, dengan jalur Pontianak-

Entikong-Kuching-Aruk.

Jika menempuh cara pertama, maka jarak

tempuh lebih lama dibandingkan cara

kedua karena untuk mencapai Aruk, dari

Pontianak kita harus melintasi Mem-

pawang, Pemangkat, Singkawang, dan

Sambas. Oleh karena Aruk masih belum

resmi sebagai PPLB dan ruas Aruk-Sambas

juga masih belum bisa dilalui kendaraan

berat, maka satu-satunya jalan dari

Pontianak menuju Aruk haruslah mele-

wati Entikong dengan jarak tempuh yang

lebih panjang.

Dalam perjalanan menuju Aruk, kita akan

menemui kondisi jalan yang masih belum

beraspal, sekitar 30 kilometer dari total

jalur sejauh 100 kilometer dari kota

Sambas ke arah PLB Aruk. Lebih dari 80

persen jalur ini adalah jalan tanah yang

masih dalam tahap pengerasan,

sedangkan sisanya berupa jalan aspal

dengan kondisi rusak. Kemudian, selepas

Kabupaten Sambas, akses jalan tanah

berpasir batu masih terbentang.

Akses yang kurang memadai dari Entikong

langsung menuju Aruk menyebabkan

banyak pengemudi yang menempuh cara

kedua, yakni melewati Sarawak terlebih

dahulu atau memilih menggunakan jalur

transportasi udara melalui Kuching. Jika

menempuh cara kedua, maka perjalanan

dari Kuching ke Aruk hanya membu-

tuhkan waktu sekitar 1,5 jam karena jalan-

jalan di sepanjang perbatasan yang ada di

negeri jiran mulus beraspal dan ber-

kualitas internasional. Diukur dari segi

jarak, melewati daerah Aruk melalui

Kuching memang lebih dekat daripada

harus ke Entikong terlebih dahulu, namun

itu artinya kita pergi ke wilayah di negara

sendiri dengan melintasi jalan negara

tetangga, bukan melewati jalan yang

dibangun oleh negara sendiri. Oleh

karena itulah, pembangunan jalan

nasional ruas Aruk-Sambas maupun ruas

Nanga Badau-Kapuas Hulu perlu menjadi

prioritas sebelum PPLB di sana

diresmikan.

Apabila infrastruktur sekaligus sarana dan

prasarana dasar yang lengkap telah

selesai dibangun, maka akan banyak

keuntungan yang bisa diperoleh karena

akan membuka akses wilayah-wilayah

terisolasi di sekitar PPLB. Selain itu, Aruk

juga akan menjadi salah satu gerbang

darat yang langsung menghubungkan

Kuching dengan Singkawang yang selama

Kondisi jalan nasional di Kuching, Malaysia. (Foto: Lis)

LAPORANUTAMA

Page 24: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH24

ini terkenal sebagai kota wisata di

perbatasan Malaysia.

Dampak Minimnya Pembangunan

Infrastruktur

Pembangunan infrastruktur, terutama

jalan dan jembatan penghubung, yang

masih minim menimbulkan berbagai

dampak, baik yang terlihat dan terasa

secara langsung maupun tidak langsung

oleh masyarakat di kawasan perbatasan.

Salah satu dampak yang dilihat dan

dirasakan secara langsung dari minimnya

pembangunan infrastruktur di kawasan

perbatasan Kalimantan ialah tersendat-

nya pembangunan sarana dan prasarana

dasar yang dibutuhkan oleh masyarakat

setempat.

Tidak hanya jalan menuju perbatasan saja

yang belum dapat dijangkau dengan

transportasi darat, jalan-jalan poros di

daerah-daerah yang ada di dekat perba-

tasan Entikong dan Aruk juga demikian.

Wilayah perbatasan Kalbar memiliki

panjang lebih dari 400 km, melingkupi 5

kabupaten, 15 kecamatan, dan 116 desa,

memang merupakan tempat yang sa-

ngat luas untuk membangun infras-

truktur jalan. Topografi medan yang sulit,

berbukit-bukit dan bergunung-gunung,

merupakan kendala tersendiri dalam

membangun jalan. Belum lagi kebera-

daan jalan-jalan tikus yang tersebar di

sepanjang kawasan perbatasan, akibat

belum adanya akses yang baik menuju

kawasan perbatasan, membuka peluang

bagi para penyelundup tenaga kerja

maupun barang untuk beraksi.

“Selama ini keterbatasan pembangunan

infrastruktur jalan menjadi kendala utama

pembangunan wilayah perbatasan RI-

Malaysia di Kalbar. Pembangunan jalan

dan jembatan penghubung di Provinsi

Kalbar masih banyak dibutuhkan, ter-

utama penghubung antarkabupaten dan

antarprovinsi. Hanya tinggal di Kalbar saja

yang jalan nasional, jalan provinsi, dan jalan

porosnya masih banyak yang belum

tembus (masih terputus-red.),” tukas

Arkan Yamri, Pejabat Pembuat Komit-

men (PPK) Pengembangan Kawasan

Perbatasan Dinas Pekerjaan Umum

Provinsi Kalimantan Barat.

Fasilitas umum yang tersedia di Aruk juga

jauh tertinggal dibanding Biawak, Sera-

wak. Fasilitas yang tersedia di Serawak,

seperti bus untuk bepergian ke berbagai

daerah, fasilitas telepon, air bersih, dan

listrik, sangat memadai. Dari segi tele-

komunikasi, masyarakat di Aruk dan

sekitarnya, juga lebih familiar dengan

Hotlink yang merupakan jaringan tele-

komunikasi selular produk Malaysia

karena dekatnya posisi daerah-daerah ini

dari perbatasan Malaysia dibandingkan ibu

kota kabupatennya, apalagi ibu kota

provinsi. “Daerah serupa kecamatan di

wilayah perbatasan di Malaysia tidak saja

memiliki jalan-jalan yang mulus dan

berstandar internasional, tetapi juga

dilengkapi dengan sarana sekolah serta

perguruan tinggi maupun rumah sakit

dan apotik yang lengkap dan berkualitas.

Pelayanan di sana juga jauh lebih baik

dibandingkan sekolah ataupun rumah

sakit di kita. Untuk mendapatkan gas elpiji,

sembako, sekolah, kesehatan, hingga

siaran berita dari Malaysia jauh lebih

mudah dan terjangkau oleh masyarakat

kita yang ada di daerah perbatasan,”

tambah Arkan.

Permasalahan lain yang cukup krusial

adalah kondisi penyediaan listrik di

daerah-daerah di kawasan perbatasan

Kalimantan yang masih menyedihkan. Di

Entikong misalnya, demi memenuhi

kebutuhan akan listrik maka pemerintah

daerahnya membeli listrik dengan kapa-

sitas yang besar diambil dari Malaysia,

tepatnya Tebedu, meskipun listrik ter-

sebut terkadang hanya dinikmati selama

beberapa jam saja. Itupun, di beberapa

tempat masih terdapat pemadaman

listrik pada waktu tertentu. Sama seperti

Entikong, kawasan perbatasan Aruk juga

mendapat pasokan listrik yang dibeli dari

Biawak, Serawak. Kondisi ini tentunya

memerlukan biaya yang cukup tinggi.

“Tetapi yang lebih penting, kondisi ini juga

menyangkut harga diri bangsa, bukan

masalah mahal atau murah,” ujar Manto

Saidi, Kabag Badan Pengelola Kawasan

Perbatasan dan Kerjasama (BPKPK)

Provinsi Kalbar.

Keterbatasan infrastruktur jalan dan

jembatan penghubung juga mengaki-

batkan masih adanya desa/kecamatan di

Kalbar yang masih terisolir. Pembangunan

infrastruktur yang masih kurang memadai

serta keterbatasan akses di kawasan

perbatasan Kalimantan secara tidak

langsung juga berdampak pada pengem-Terminal barang di PPLB Entikong, Kalbar. (Foto: Lis)

LAPORANUTAMA

Page 25: KIPRAH • Volume 38

25KIPRAH • Volume 38

bangan potensi pariwisata maupun

kehidupan sosial-ekonomi masyarakat

lokal di Kalimantan yang terkenal sebagai

daerah tujuan belanja para warga negeri

jiran. Saat ini upaya untuk menjual potensi

Kalimantan secara optimal masih ter-

kendala banyak hal seperti infrastruktur

yang kurang baik. Lokasi wisata alam yang

masih alami yang pada umumnya terletak

di daerah hulu, perbatasan, atau kepu-

lauan masih terkendala tingginya biaya

transportasi serta terbatasnya infra-

struktur menuju objek wisata unggulan.

Sebagai contoh, untuk dapat menuju ke

Taman Nasional Danau Sentarum atau

Betung Kerihun di Kabupaten Kapuas

Hulu yang merupakan habitat asli orang-

utan (pongo pygmeius) Borneo, pengun-

jung harus menempuh waktu sehari-

semalam menggunakan bis umum, lalu

melanjutkan perjalanan menggunakan

speed boat. Kondisi yang sangat berbeda

dapat terlihat ketika masyarakat Kali-

mantan di perbatasan kita masih berkutat

dengan minimnya infrastruktur maupun

sarana dan prasarana dasar serta ke-

tiadaan layanan publik yang memadai, di

sisi bukit yang lain di wilayah Sarawak,

terdapat lapangan golf kualitas inter-

nasional “18 hole” dan di Batang Ai` yang

berbatasan dengan Kabupaten Kapuas

Hulu, telah pula dibangun sebuah resor

berskala internasional yang tidak pernah

sepi pengunjung. Pengunjung di sana

disuguhi keindahan alami hutan setelah

memanjat menara kayu setinggi belasan

meter. Ironisnya, yang dijual adalah

pemandangan hutan di perbatasan Kalbar

yang masih asri.

Apabila kondisi ini terus dibiarkan, maka

potensi pariwisata daerah-daerah di

perbatasan kita tidak akan dapat berkem-

bang, justru malah terus-menerus di-

eksploitasi oleh negara tetangga. Padahal

menurut warga setempat, orang-orang

Sarawak dan Brunei Darussalam banyak

yang masuk ke Kalbar dan Kaltim untuk

berbelanja. Kurs rupiah yang lebih rendah

dibanding ringgit Malaysia atau dolar

Brunei Darussalam membuat harga

produk-produk dari Indonesia terasa lebih

murah untuk mereka borong. Kondisi ini

mengakibatkan aksesibilitas di kawasan

perbatasan Kalimantan jauh lebih tinggi

terhadap wilayah perbatasan di kota-kota

perbatasan Malaysia, yang pada akhirnya

mengakibatkan rendahnya kesejahteraan

warga di perbatasan. Menurut informasi,

saat ini pendapatan per kapita masyarakat

Entikong masih jauh di bawah pendapatan

per kapita masyarakat perbatasan Malay-

sia yang konon telah mencapai US $

11.000.

Oleh karena itulah, di samping dampak

dari rendahnya kesejahteraan warga

setempat, maraknya berbagai penyelun-

dupan yang banyak terjadi di kawasan

perbatasan Kalimantan merupakan dam-

pak lain dari minimnya pembangunan

sarana dan prasarana di PPLB. Bahkan,

infrastruktur di PPLB Entikong yang sudah

hampir 9 tahun berdiri saja masih kurang

bisa menunjukkan bahwa Entikong adalah

pintu gerbang yang “kokoh” untuk

membantu keamanan negara di perba-

tasan Kalimantan Barat. Hingga saat ini,

PPLB yang seharusnya sudah memadai

dan berstandar internasional tersebut

nyatanya masih belum dilengkapi dengan

gudang sita berat maupun terminal

barang dan penumpang sehingga sering

“kecolongan” saat melakukan peme-

riksaan.

Masalah lainnya di PPLB Entikong adalah

masih kurangnya perhatian terhadap

penanganan sampah. Di samping tempat

sampah yang tersedia juga masih kurang

memadai, puntung rokok, plastik bekas

makanan, maupun sampah kertas meng-

hiasi sudut-sudut pos pemeriksaan ter-

sebut. Kondisi PPLB Entikong yang kotor

dan kurang terpelihara tentu menjadi

preseden buruk bagi wajah Indonesia.

Terlebih karena sejak tahun 2008 PPLB

Entikong menyediakan fasilitas Visa on

Arrival (VoA) yang melayani permintaan

visa di lokasi kedatangan sehingga pintu

gerbang inilah yang pertama dilihat oleh

pendatang/wisatawan dari luar yang akan

masuk ke wilayah RI. Masih minimnya

prasarana di PPLB juga menimbulkan

dampak krusial lain di bidang pertahanan

dan keamanan di kawasan perbatasan,

seperti hilangnya patok batas antar

negara.

“Terdapat 349 patok negara yang hilang,”

jelas Manto. “Diperkirakan masih banyak

lagi patok tapal batas negara yang hilang,

namun tidak teridentifikasi mengingat

panjang-nya garis perbatasan darat antara

Indonesia-Malaysia di Kalimantan menca-

pai 2.004 kilometer, terdiri dari 857 km di

Kalbar dan 1.147 km di Kaltim. Salah satu

penyebab hilangnya puluhan patok-patok

tapal batas pada areal sepanjang dua kilo-

meter di Kabupaten Kapuas Hulu terse-

but disinyalir dilakukan oleh perusahaan

kelapa sawit milik negara tetangga yang

membangun jalan untuk mengangkut

hasil kebunnya.”

Melihat berbagai permasalahan yang ada

di Entikong maupun di Aruk kiranya dapat

menyadarkan kita semua bahwa tan-

tangan-tantangan di kawasan perbatasan

Kalimantan tidak hanya perlu menda-

patkan perhatian, melainkan keseriusan

penanganan secara nyata, baik dari

pemerintah pusat maupun pemerintah

daerah. Hal ini sangatlah penting untuk

segera ditindaklanjuti sebelum permasa-

lahan-permasalahan yang ada di kawasan

perbatasan Kalimantan kian bertambah

banyak sehingga dapat mengancam

kedaulatan negara kita.(Lis)

Manto Saidi, Kabag. Badan PengelolaKawasan Perbatasan dan Kerjasama

(BPKPK) Kalbar. (Foto: Lis)

LAPORANUTAMA

Page 26: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH26

yang berbatasan langsung dengan negara

tetangga, seperti Pulau Rondo (NAD-

Sabang), Berhala di (Sumut), Nipa,

Sekatung (Riau Kepulauan), Rote, Dana

(NTT), Miangas, Marore, Marapai, Fani,

Fanildo, Bras, (Papua) dan Pulau Batek

yang berbatasan dengan Timor Leste.

“Keseluruhan pulau tersebut perlu dijaga

pertahanan dan keamanannya, sekaligus

ditingkatkan kesejahteraan masyara-

katnya,” tegasnya.

Oleh karena itu, langkah kongkrit lain yang

dilakukan adalah menambah jumlah

personil TNI dan kapal patroli serta

mengoperasikan pelabuhan dan pang-

kalan, seperti pengoperasian Pangkalan

Udara Pitu di Morotai yang merupakan

peninggalan Amerika Serikat semasa

Perang Dunia II. Pangkalan yang memiliki

landasan pacu 3.000 meter ini ditar-

getkan bisa didarati pada malam hari

sebelum 17 Agustus 2010.

Selama ini pengawasan wilayah perba-

tasan laut dilakukan Kapal Perang Re-

publik Indonesia yang berpatroli secara

periodik di seluruh wilayah perairan

nusantara. (Joe)

Senja di Karimata (Foto: Arkan)

Pulau Terluar

Pengamanan wilayah perbatasan

laut pulau terluar di Indonesia

masih minim. Akibatnya, praktik

penyelundupan barang dan manusia

serta pencurian ikan oleh nelayan asing

hingga kini masih terus berlangsung.

Demikian disampaikan Sugiono, mantan

Kasubdit Akselerasi dan Akses Investasi

Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan

dan Perikanan, kepada KIPRAH pada

suatu kesempatan.

“Pencurian minyak maupun pencurian

ikan oleh kapal dan nelayan asing serta

masuknya imigran gelap masih sering

terjadi di perbatasan pulau terluar,

seperti di Morotai, Provinsi Maluku Utara

serta di Sangir-Talaud, Provinsi Sulawesi

Utara. Keduanya berbatasan langsung

dengan negara tetangga Filipina. Wilayah

per-batasan laut di sini masih menjadi

pintu keluar yang paling bebas. Nelayan

Filipina, Cina, dan Vietnam, hampir setiap

bulan tertangkap mencuri ikan di wilayah

itu,” kata Sugiono.

Menurut Sugiono, bahkan pada masa

konflik sosial di Poso, Sulawesi Tengah,

Maluku Utara, dan Ambon banyak senjata

Upaya Menjaga

api dari luar yang masuk melalui kawasan

perbatasan tersebut. Kawasan perba-

tasan dilaporkan menjadi kawasan tran-

sit bagi alur lalu lintas teroris interna-

sional. Hal itu terungkap dalam berbagai

laporan resmi dan sidang pengadilan

beberapa kasus terorisme.

Kawasan perbatasan juga menjadi ajang

perdagangan dan penyelundupan barang

barang elektronik, narkoba, minuman

berakohol dan non-alkohol yang di-

kapalkan di tengah laut. Begitu pula dila-

porkan bahwa kawasan perbatasan

sebagai daerah miskin dan rawan

bencana alam, termasuk sering terisolasi

akibat ganasnya gelombang laut pada

musim tertentu.

Hal ini menjadi persolan amat penting

bagi Indonesia karena apabila wilayah

Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kepu-

lauan Talaud, dan Halmahera Utara bobol,

akibatnya akan memperlemah posisi In-

donesia.

Bayangkan, sebagai negara kepulauan,

kita memiliki 92 pulau perbatasan dan 12

diantaranya merupakan pulau terluar

LAPORANUTAMA

Page 27: KIPRAH • Volume 38

27KIPRAH • Volume 38

Agar pengembangan kawasan perbatasan

tidak terkendala persoalan ini, solusinya

mengacu pada rencana tata ruang yang

lebih tinggi. “Seumpamanya rencana tata

ruang kabupaten tidak ada, maka

mengacu pada provinsi. Jika di tingkat

provinsi juga tidak ada, bisa melihat ke

rencana tata ruang wilayah nasional,”

demikian saran Iman.

Pembentukan BNPP (Badan Nasional

Pengelola Perbatasan) yang baru-baru ini

disahkan dengan Perpres No.12 Tahun

2010 diharapkan bisa menjembatani

kepentingan lintas sektoral dengan

pembuatan master plan pengembangan

kawasan perbatasan yang tentunya harus

mengacu pada rencana tata ruang yang

ada. (Wy)

Bicara tentang pengembangan

kawasan perbatasan tidak dapat

dipisahkan dari penataan ruang.

Direktur Penataan Ruang Nasional, Iman

Soedrajat, mengidentifikan bahwa dalam

pengembangan kawasan perbatasan,

permasalahan yang terjadi di lapangan

adalah kurangnya koordinasi.

“Permasalahannya adalah pengimple-

mentasian program di lapangan belum

terkoordinasi dengan baik,” tuturnya saat

diwawancara oleh KIPRAH di ruang ker-

janya, Jumat (2/07). “Misalkan saja

pembangunan rusunawa di Entikong.

Pemda meminta pembangunan rusuna-

wa ke PU dan Menpera, namun ternyata

(setelah dibangun) tidak disupport

dengan listrik dan air.”

Belum lagi permasalahan lintas sektoral

yang terjadi karena pihak-pihak yang

terlibat bersikukuh pada portofolionya

masing-masing. Sebagai contoh, di

Kalimantan Tengah banyak lahan hutan

yang dialihfungsikan menjadi kawasan

kegiatan ekonomi, seperti pertanian,

tambang, industri, dan lain-lain. Karena

melihat kawasan tersebut sudah terlanjur

dikonversi, pemda kemudian meng-

inginkan rencana tata ruang yang sesuai

dengan keadaan sebenarnya.

Pihak kehutanan tentu tidak bisa serta

merta meluluskan permintaan tersebut

karena ada aturan dan persyaratan yang

harus dipenuhi, seperti tingkat kemi-

ringan, daerah resapan air, dan lain

sebagainya. Kemudian dilakukanlah

penelitian oleh tim terpadu yang inde-

penden, yang hasilnya dibawa ke DPRD.

Akan tetapi, karena ternyata lahan yang

bisa dikonversi hanya sedikit dibanding

kenyataan di lapangan, permintaan

pemda tersebut tetap ditolak. Hal ini juga

banyak terjadi di daerah-daerah lain.

Demikian pula dengan masalah klasik,

Permasalahannya adalah

yakni anggaran yang ada tetapi tidak

sesuai dengan kebutuhan pengem-

bangan kawasan perbatasan.

Dari segi penataan ruang, diakui karena

belum semua provinsi memiliki Rencana

Tata Ruang Wilayah, hanya 9 dari 33

provinsi yang sudah ada rencana tata

ruang. Akibatnya, di tingkat pemerintah

kabupaten/kotamadya tingkat II juga tidak

memiliki rencana tata ruang karena

mereka menunggu rencana tata ruang

dari provinsi selesai.

“Padahal undang-undang tidak mensya-

ratkan demikian,” tutur Iman. Untuk

tahun 2010 ini, Ditjen Penataan Ruang

menargetkan ada 17 provinsi yang sudah

memiliki rencana tata ruang.

Koordinasi

Rusunawa di Entikong yang telah selesai dibangun namun tidak diminati karena tidak adanyafasilitas listrik dan air bersih. (Foto: Endah)

LAPORANUTAMA

Page 28: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH28

LAPORANUTAMALAPORANUTAMA

KIPRAH mendapat kehormatan

untuk bisa mewawancarai

langsung Purnomo Yusgiantoro,

Menteri Pertahanan RI yang juga mantan

Menteri ESDM, sebagai orang nomor satu

dari institusi yang paling berkepentingan

terhadap masalah pertahanan di negeri

ini.

Ditemui pada Jumat siang (16/7) di ruang

tamu Kementerian Pertahanan, berikut

petikan wawancara dengan Beliau.

Bagaimana Bapak melihat permasalahan di

perbatasan dari berbagai sudut pandang,

dari secara umum sampai kaitannya

dengan infrastruktur?

Yang pertama, perbatasan ini adalah garis

terdepan dari rumah kita. Seperti rumah,

dengan perkarangannya, maka kawasan

perbatasan ini adalah pagar kita. Jadi pagar

ini harus kuat, untuk menjaga banyak hal,

bukan hanya dari sisi keamanannya tetapi

juga sisi kesejahteraan sehingga ke-

tahanan nasionalnya kuat. Jadi prinsip

pertama, kawasan perbatasan ini adalah

pekarangan terdepan kita.

Kedua, pada prinsipnya harus diper-

hatikan tidak hanya masalah keamanan

tapi juga masalah kesejahteraan. Untuk

itu pembangunan kawasan perbatasan

Paradigma Pembangunan

Bicara tentang kawasanperbatasan, tentu tak lepas daripermasalahan pertahanan dankeamanan. Berangkat dari hal

tersebut Kiprah mencobamenggali lebih dalam lagimengenai pertahanan dan

keamanan di kawasanperbatasan, tentunya yang terkait

dengan bahasan infrastruktur.

d i p e r -

sepsikan

t i d a k

h a n y a

pembangun-

an masalah-

masalah ke-

amanan, namun

juga kesejahteraan.

Sekarang ini kebanyak-

an yang menjaga perba-

tasan adalah pasukan-pasukan kita,

namun karena persepsinya sekarang

berbeda, maka unsur-unsur ekonomi

harus masuk, terutama infrastruktur,

sektor riil. Hal tersebut, pembangunan

infrastruktur dan sektor riil, juga akan

memudahkan mendukung pengamanan

dari sisi keamanan.

Ketiga, pemerintah sudah melakukan

langkah-langkah dalam penanganan

kawasan perbatasan ini, diantaranya

membentuk Badan Nasional Pengelola

Perbatasan (BNPP). Artinya, di situ tidak

hanya masalah unsur keamanan, tapi

unsur kesejahteraan juga ada.

Karena apa, sekarang yang rawan itu

adanya tingkat kehidupan sosial ekonomi

antara kita dengan negara tetangga.

Memang berbeda antara perbatasan kita

di Kalimantan-Malaysia, dengan perba-

tasan kita di Papua-PNG (Papua New

Guinea) dan NTT-RDTL (Republik Demo-

kratik Timor Leste). Kalau kita lihat yang

di Papua dan T imor Leste, tingkat

kehidupan sosial ekonomi kita lebih

tinggi sehingga yang diperlukan adalah

penguatan, baik dari sisi ekonomi maupun

keamanan.

Tapi kalau kita lihat di Entikong atau

perbatasan Kalimantan secara umum,

t i n g k a t

kehidupan sosial ekonomi

mereka, negara tetangga, lebih tinggi dari

pada kita, sehingga memang perlu

perhatian terhadap kondisi yang ada.

Pembangunan infrastruktur kita ada

berbagai macam dari jalan, air minum,

hingga pengembangan sumber daya air.

Diantara semua itu mana yang menurut

Bapak yang paling perlu kita kembangkan

di kawasan perbatasan ini?

Saya kira semua itu perlu karena seperti

yang saya katakan, kalau ingin pagar

pekarangan rumah yang kuat, maka

pekarangan terdepan kita harus kokoh.

Nah, untuk mendapatkan pekarangan

yang kokoh itu memang ada pemikiran,

bahwa infrastruktur itu harus dikem-

bangkan. Kedua, kita perlu kembangkan

kawasan perbatasan kita menjadi sema-

cam kawasan ekonomi khusus. Pemikiran

tersebut saya sampaikan di rapat koor-

dinasi di menko perekonomian waktu itu.

Kita katakan kawasan perbatasan bisa

dijadikan kawasan ekonomi khusus.

Bagaimana dengan kemungkinan adanya

pulau-pulau terluar yang tenggelam?

Sejauh ini sudah kita perbaiki. Contohnya

Pulau Nipa di tahun 2000-an sudah hampir

Sudah Berubah

Purnomo Yusgiantoro, Menhan RI. (Foto: Wy)

Page 29: KIPRAH • Volume 38

29KIPRAH • Volume 38

LAPORANUTAMA

tenggelam, kemudian direklamasi. Mu-

lanya sedikit, namun sekarang sudah

mencapai 50 hektar. Lalu ada juga rencana

resort itu akan terus berkembang. Pulau

Nipa tersebut yang mereklamasi adalah

(Kementerian) PU, dari Pak Djoko

Kirmanto, dengan budget PU, kemudian

kini sesuai dengan Peraturan Presiden

bahwa yang mengelola adalah KKP,

Kementerian Kelautan dan Perikanan,

maka diserahkan ke mereka dan sebagian

ke kita, hanya sebagian kecil saja, untuk

pengamanan.

Bagaimana dengan penanganan terhadap

masalah pencurian sumber daya alam kita

dan pemindahan patok-patok perbatasan

oleh warga negara tetangga yang “jahil”?

Semangat NKRI dengan negara tetang-

ganya adalah semangat ASEAN, sehingga

perbatasan bukanlah pemisah, tetapi

sebaliknya diupayakan untuk dikerja-

samakan. Untuk penanganan masalah

tersebut, Kementerian Pertahanan,

dalam hal ini TNI, telah menempatkan

pos-pos pengamanan di seluruh wilayah

perbatasan darat. Memang masih banyak

lagi wilayah yang tidak terjaga secara fisik

dan harus diakui ini merupakan kendala.

Namun kita tetap mengupayakan adanya

patroli pasukan secara rutin dan suatu

sistem yang memanfaatkan sarana tekno-

logi pemindaian (pesawat terbang tanpa

awak, sekarang tengah dalam taraf uji

coba).

Terkait pemindahan patok/tugu batas,

dari sisi kedaulatan sebetulnya tidak

menjadi permasalahan karena tugu batas

itu sudah ada koordinatnya dan dise-

pakati oleh kedua negara. Jadi, bisa

dikembalikan pada posisi yang sebenar-

nya. Terkait pencurian sumber daya alam

dan tindak kriminal lintas batas Pe-

merintah Indonesia dengan negara

tetangga seperti Malaysia, Thailand,

Singapura, Filipina dan negara lain telah

membentuk Joint Border Committee

(JBC) untuk memecahkan masalah-

masalah yang terjadi di perbatasan.

Suatu hal yang mungkin sering meng-

hambat kita adalah koordinasi, karena ada

banyak teman kita dari berbagai ke-

menterian yang berada di daerah per-

batasan. Tadi Bapak sudah menyebut

BNPP (Badan Nasional Pengelola Perba-

tasan), lalu bagaimana koordinasinya?

BNPP ini dibentuk untuk mengurangi

miskoordinasi tadi, walaupun budgetnya

sendiri-sendiri. Koordinasinya di tingkat

pusat ada Badan Nasional Pengelola

Perbatasan, di daerah pun ada semacam

badan pengelola perbatasan tingkat

provinsi. Sebagai komandannya adalah

Menteri Dalam Negeri, karena dia juga

ada hubungan dengan Gubernur, Bupati

dan lain sebagainya sehingga ke bawah

itu dia yang akan menjadi focal point. Kita

berharap BNPP ini akan mengurangi

miskoordinasi dan inefisiensi.

Bagaimana dengan perencanaannya,

apakah ditentukan oleh BNPP?

Dalam perencanaan masing-masing in-

stansi kalau bisa berkoordinasi dengan

BNPP, demikian juga di daerah, sehingga

operasional daerah juga bisa bergerak

TNI tengah melakukan patroli rutin di salah satu pulau terdepan, yaitu P. Batek di Kabupaten Kupang, NTT. (Foto: Dok.)

Page 30: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH30

secara komprehensif, secara bersama-

sama.

Berarti ada pergeseran nilai dalam pe-

nanganan kawasan perbatasan ini?

Betul, kalau dulu perbatasan itu urusan-

nya Kementerian Pertahanan dan TNI,

sekarang paradigma tersebut tidak bisa

dipakai. Paradigmanya sekarang seperti

satu koin. Satu koin itu ada dua sisi mata

uang. Kamu tidak bisa mengurusi ke-

amanannya saja, tapi juga harus mengu-

rusi kesejahteraannya. Paradigmanya

berubah sekarang, apalagi sejak ada BNPP

ini.

Di PU sendiri, kita perlu memberikan

perhatian. Namun karena begitu luas

wilayah perbatasan ini, dan juga ada

hitung-hitungan jumlah orang yang akan

mendapat manfaatnya, sedangkan di sana

tidak terlalu banyak penduduknya sehing-

ga walaupun akhirnya tetap dibangun,

tapi tidak terlalu banyak fokusnya.

Bagaimana pendapat Bapak?

Ini kan ujung-ujungnya anggaran. Demi-

kian juga di PU. Kuenya terbatas, namun

pembagiannya yang perlu banyak. Untuk

pendidikan, perumahan rakyat, dan

macam-macam lagi.

Satu lagi Pak, kalau PU membangun

infrastruktur di wilayah padat penduduk,

katakanlah di Jawa, maka dampak eko-

nominya tinggi, sedang jika membangun

di kawasan perbatasan dampak ekono-

minya agak rendah. Lalu, bagaimana

justifikasi untuk pembangunan infra-

struktur di kawasan perbatasan ini?

Jadi begini, saya mau kasih contoh. Las

Vegas, Reno Nevada itu, zaman dulu

tidak ada orang yang mau tinggal di situ.

Reno Nevada itu gurun. Lalu apa yang

Amerika kerjakan? Mereka bangun

infrastruktur, pemerintahnya yang

membangun. Mereka bangun tempat

judi. Jangan dilihat judinya, tapi lihat

dibangun infrastrukturnya, entertain-

mentnya. Di sana juga ada lapangan

terbang untuk latihan perang-perangan

tentara Amerika. Top Gun itu di situ, di

Nellis Air Force Base. Bayangkan berapa

pilot di situ, akhirnya penerbangan

datang, semua datang, akhirnya terus

berkembang.

Guam, contohnya lagi, itu dulu tidak ada

yang mau tinggal di situ. Pulau kecil di

tengah Pasifik, tidak ada kegiatan. Lalu di

Guam dibangun pangkalan laut Amerika,

pangkalan AU, ditumpahkan pasukan AU,

AL, AD nya di situ. Apa yang terjadi? Ada

multiplier effectnya. Sekarang apa yang

terjadi? Kini Guam menjadi hub pener-

bangan dari arah Korea, China, Jepang

menuju Australia, New Zealand, juga

Filipina karena letaknya di tengah.

Sama seperti daerah perbatasan kita. Kita

kemarin dari Morotai, di sana prospeknya

bagus sekali. Morotai itu pulau luar namun

bukan terluar. Akan tetapi, di sana kita

sudah survei dan ada prospek. Di sana ada

landasan bukan hanya ratusan meter,

namun 3000 meter, jadi bisa untuk

mendarat pesawat-pesawat besar, juga

potensi pariwisatanya bagus. Ada lan-

dasan, lautnya bersih dan indah. Kita

undang Kementerian Pariwisata, undang

PU, undang yang lainnya untuk bangun

infrastrukturnya di sana. Ini juga salah satu

langkah, bagaimana pulau-pulau terluar itu

kita kembangkan tidak hanya dari segi

militer, namun juga pengembangan

pariwisata, untuk kegiatan ekonomi,

maka ketahanan nasional akan kuat.

Contoh lagi Nipa. Nipa itu ada 50 hektar,

sebagian besar mau dikembangkan

sebagai resort wisata, silahkan. Padahal

dulu tidak ada yang tertarik, hanya

pasukan marinir kita di situ. Tapi sekarang

ada yang tertarik, silahkan masuk ke situ,

hanya kita minta sebagian wilayah untuk

pengamanan.

My point is, kita jangan lihat ini daerah

perbatasan lalu susah dibangun, tapi

harus ada intervensi dari pemerintah,

pemerintah harus berani membangun

kawasan perbatasan ini. Nantinya ke

depan pasti akan ada multiplier effectnya.

Dengan demikian, kita sebagai birokrat

harus melihat jauh ke depan, apakah

misalnya kita taruh investasi infrastruktur

di sini ke depan selain return terhadap

investasi, bagaimana prospeknya ke

depan. Nah, paradigma berpikir seperti

ini yang terus terang saja, yang susah

didapat dari sebagian dari kita. Tetapi

tidak bisa kita semuanya terus bergantung

kepada pemerintah. Jadi, pemerintah itu

hanya intervensi di awal, selanjutnya dia

akan berkembang sendiri. (Wy)

Kapal TNI AL sedang mengawasi perairan Kepulauan Riau. (Foto: Lis)

LAPORANUTAMA

Page 31: KIPRAH • Volume 38

31KIPRAH • Volume 38

Kepala Balai BPJN VI Makassar,

Nurdin Samaila, bersama Kasie

Perencanaan, Nur Zaitun, belum

lama ini melakukan kunjungan ke Pulau

Talaud, Prov. Sulawesi Utara. Dalam

Arti Penting Pulau Talaudkunjungannya Ka. Balai didampingi oleh

Kasatker Pembangunan, Kasatker Preser-

vasi Satal, dan Kasatker P2JJ Sulut.

Kunjungan tersebut dimaksudkan untuk

memantau kondisi dan pelaksanaan

penanganan jalan nasional di pulau-pulau

terluar.

Selama di Pulau Talaud, Ka. Balai menin-

jau kondisi jalan dan jembatan dengan

melakukan perjalanan darat + 150 km.

Ka. Balai melihat secara langsung kondisi

jalan nasional yang masih memerlukan

penanganan intensif. Hal ini diperlukan

karena kondisi jalan mantap baru 40%

atau 60 km dan masih memerlukan

penanganan berkala sepanjang 80 km

untuk memenuhi kondisi jalan mantap

seratus persen. Selain penanganan

fungsional, diperlukan juga peningkatan

struktur dan kapasitas jalan, termasuk

penanganan jembatan bentang pendek.

Banyak jembatan yang mengalami perge-

seran pada abutment (struktur tumpuan

jembatan) akibat bencana gempa yang

intensitasnya cukup tinggi di Pulau

Talaud. Ka. Balai juga melakukan inspeksi

peralatan UPR (Unit Pemeliharaan Rutin)

yang dimiliki oleh Satker Preservasi

Sahinge-Talaud. Dari data yang didapat,

kondisi alat UPR secara umum rusak. Ka. Balai

mengharapkan adanya perhatian serius

untuk perbaikan peralatan yang rusak

sehingga kegiatan pemeliharaan rutin jalan

dan jembatan dapat terus berjalan. Di masa

mendatang diharapkan seluruh jaringan

jalan di Talaud dan Sahinge dapat ber-

fungsi secara maksimal, khususnya guna

mendukung pengembangan wilayah,

serta sebagai benteng terdepan dalam

menjaga kedaulatan RI. (Joe)

Nurdin Samaila (kedua dari kanan) bersamaKasie Perencanaan, Nur Zaitun, melakukan

kunjungan ke Pulau Talaud, Prov. Sulut.(Foto: Dok.)

Peristiwa persengketaan atas hak

milik Pulau Sipadan dan Ligitan

masih membekas di ingatan kita.

Perjuangan panjang melalui jalan diplo-

masi ternyata tidak membuahkan hasil

sebagaimana yang diharapkan. Kejadian

tersebut menunjukkan bahwa kepemi-

likan pulau-pulau kecil di perbatasan

ternyata harus diikuti pula dengan

berbagai kebijakan dan program yang

mendorong pembangunan di kawasan

tersebut sekaligus peningkatan kese-

jahteraan masyarakat sekitarnya, bukan

hanya sekedar mengandalkan pada bukti

sejarah dan hukum saja.

Belajar dari pengalaman pahit lepasnya

Pulau Sipadan dan Ligitan tersebut,

keberadaan pulau-pulau kecil di daerah

perbatasan kini semakin menjadi per-

hatian pemerintah, terutama dari segi

pemberdayaan ekonomi. Dalam struktur

organisasi Kementerian Kelautan dan

Memberdayakan Pulau-pulau KecilPerikanan, Direktorat Jenderal Kelautan,

Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil merupakan

institusi yang diserahi tanggung jawab

mengelola pulau-pulau kecil ini, yang salah

satu misinya adalah mendorong investasi

pulau-pulau kecil yang berkelanjutan dan

berbasis masyarakat. Program investasi

yang diupayakan oleh Kementerian

Kelautan dan Perikanan harus dilakukan

karena pengembangan pulau-pulau kecil

tersebut membutuhkan biaya besar dan

tidak bisa hanya bergantung pada pe-

merintah saja, melainkan perlu juga

dukungan sektor swasta. Sayangnya, pro-

gram ini sering disalahartikan sebagai

upaya terselubung untuk menjual kepe-

milikan pulau-pulau tersebut.

Padahal, seperti dikutip dari Sugiono,

mantan Kasubdit Akselerasi dan Akses

Investasi Departemen Kelautan dan

Perikanan sebelum berubah menjadi

Kementerian, yang terjadi tidak demikian.

Pihak swasta hanya diberikan hak untuk

mengusahakan, yang disebut dengan Hak

Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3),

sebagaimana tertera dalam UU No.27

tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang akan

berlaku pada tahun 2011.

Bisa dibilang penerbitan HP3 merupakan

salah satu terobosan dalam menstimulasi

pengembangan kawasan perbatasan.

khususnya di pulau-pulau kecil. Hal ter-

sebut juga berdampak pada peningkatan

kesejahteraan masyarakat di pulau-pulau

kecil kita, yang pada akhirnya dapat turut

menjaga keutuhan NKRI. Kini tinggal

kemauan investor lokal, apakah mereka

bersedia mengembangkannya (dengan

konsekuensi harus memperhatikan

keberlanjutan ekologi dan pengembalian

investasi yang lama) atau harus bersaing

dengan investor asing yang mau ber-

investasi terlebih dahulu? (Wy)

LAPORANUTAMA

Page 32: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH32

Pengelolaan wilayah perbatasan,

termasuk pulau-pulau kecil

terluar, selama ini belum ter-

integrasi dengan baik, dimana tiap

kementerian cenderung berjalan ber-

dasarkan kepentingannya masing-masing

dan sering kali mengabaikan keterpaduan.

Untuk percepatan pembangunan wilayah

perbatasan guna meningkatkan ke-

sejahteraan masayarakat dan ketahanan

nasional, dibutuhkan pengelolaan yang

lebih terpadu dan bersinergi satu sama

lainnya, dan Kementerian Pekerjaan

Umum melalui kebijakan dan pem-

bangunan infrastruktur pekerjaan umum

dan permukimannya dapat berperan aktif

dan signifikan untuk mendukungnya.

Dari 17.504 pulau di Indonesia, terdapat

92 pulau-pulau kecil yang dijadikan sebagai

titik dasar dan referensi untuk menarik

garis pangkal kepulauan yang berbatasan

langsung dengan 10 negara tetangga di

wilayah laut yang tersebar di 10 provinsi.

Dan dari data Strategi Nasional (Stranas)

Pembangunan Daerah Tertinggal ter-

dapat 26 kabupaten yang berbatasan

langsung dengan negara tetangga, baik

batas laut maupun darat.

Ancaman

• Kesenjangan sosial ekonomi antara

wilayah perbatasan Indonesia dengan

wilayah perbatasan negara lain seperti

Malaysia berpotensi menimbulkan hal-

hal, seperti blank post area, illegal log-

ging dan illegal entry;

• Kurangnya perhatian Pemerintah In-

Oleh: **Setia Budhy Algamar

Dukungan Kementerian Pekerjaan Umum

Dalam Pengelolaan TerpaduWilayah Perbatasan

donesia dalam mengelola kawasan

perbatasan sering menimbulkan ke-

rugian dalam penyelesaian sengketa;

• Klaim Malaysia atas blok Ambalat yang

belum terselesaikan hingga kini me-

nimbulkan ketegangan, baik politik

maupun hankam; dan

• Kerusakan lingkungan baik oleh alam

maupun sebagai akibat ulah manusia

berdampak terhadap berubahnya

batas negara di laut yang berpotensi

mengurangi luas wilayah.

Isu Dan Permasalahan Wilayah Per-

batasan

Berdasarkan Kajian PUSTRA Kemen-

terian PU Tahun 2006 dan dari berbagai

sumber, dapat diidentifikasi berbagai isu

dan permasalahan pengelolaan kawasan

perbatasan yang mencakup aspek-aspek

sebagai berikut:

• Kebijakan Pembangunan: (i) Kebijak-

an yang ada belum berpihak kepada

kawasan perbatasan dan daerah

terisolir; dan (ii) Belum adanya ke-

LAPORANUTAMA

Implementasi pelaksanaan layanan infrastruktur PU di kawasan perbatasan. (Foto: Dok.)

Page 33: KIPRAH • Volume 38

33KIPRAH • Volume 38

bijakan dan strategi nasional pe-

ngembangan kawasan perbatasan;

• Ekonomi dan Sosial Budaya: (i) Masih

adanya paradigma ‘kawasan per-

batasan sebagai halaman belakang’; (ii)

Terjadinya kesenjangan pembangunan

dengan negara tetangga; (iii) Sarana

dan prasarana masih minim; (iv) Ting-

ginya angka kemiskinan dan jumlah

keluarga pra-sejahtera; (v) Teriso-

prasarana; (iii) Terjadinya kegiatan-

kegiatan ilegal dan pelanggaran

hukum; dan (iv) Terbatasnya jumlah

sarana dan prasarana perbatasan (PLB,

PPLB, dan fasilitas Custom, Immigra-

tion, Quarantine, and Security/CIQS);

• Pengelolaan Sumber Daya Alam: (i)

Pemanfaatan potensi Sumber Daya

Alam belum optimal; dan (ii) Terjadinya

eksploitasi pemanfaatan Sumber Daya

Alam yang tidak terkendali dan ber-

kelanjutan;

• Kelembagaan dan Kewenangan Pe-

ngelolaan: (i) Belum adanya lembaga

yang efektif yang mengelola kawasan

perbatasan secara terpadu dan ber-

kelanjutan; dan ii) Belum jelasnya

kewenangan dalam pengelolaan

kawasan perbatasan;

• Kerja sama antarnegara: (i) Belum

optimalnya keterkaitan pengelolaan

perbatasan dengan kerjasama sub re-

gional, maupun regional; (ii) Belum

optimalnya kerja sama antarnegara

dalam penanggulangan pelanggaran

hukum di perbatasan; dan

• Kendala lain adalah: Sumber Daya

Manusia, Sumber Daya Buatan, pe-

nataan ruang dan pemanfaatan

sumber daya alam, penegasan status

daerah perbatasan, keterbatasan

sumber pendanaan, dan terbatasnya

kelembagaan dan aparat.

Dari berbagai kondisi dan masukan yang

ada, dapat disimpulkan hal-hal sebagai

berikut:

• Dibutuhkan kemauan politik (political

will) dan keberpihakan yang sangat

kuat dari pemerintah terhadap pem-

bangunan dan pengelolaan wilayah

perbatasan;

• Wilayah perbatasan harus dikelola

secara terpadu oleh satu badan yang

memiliki otoritas khusus yang di-

tetapkan dengan Peraturan Pe-

merintah/Undang-undang;

• Pembangunan wilayah perbatasan

harus direncanakan secara terintegrasi

antar berbagai bidang secara kom-

prehensif dalam suatu master plan

masing-masing wilayah perbatasan;

• Khusus wilayah perbatasan darat,

diutamakan pembangunan infra-

struktur sarana jalan horizontal dan

diikuti pembangunan sarana dan

prasarana lainya, yang akan me-

ningkatkan kesejahteraan masyarakat

karena lancarnya perputaran roda

ekonomi masyarakat;

• Mewujudkan wilayah perbatasan

menjadi sabuk pengaman yang me-

miliki daya tangkal tinggi terhadap

setiap bentuk ancaman di bidang

pertahanan dengan memadukan per-

tahanan nir-militer dan satuan TNI

sebagai komponen utama pertahanan

di wilayah perbatasan; dan

• Meningkatkan semangat kebangsaan

masyarakat wilayah perbatasan dan

pulau-pulau kecil terluar, dengan

memberdayakan mereka, karena

mereka merasakan hidup lebih baik,

merasakan kehadiran pemerintah

lebih dekat dan merasa bangga sebagai

bangsa Indonesia.

Visi yang diinginkan dalam membangun

wilayah perbatasan Negara adalah:

“Menjadikan Wilayah Perbatasan Negara

sebagai Halaman Depan NKRI yang Aman,

Tertib, Maju, dan Sejahtera yang Ber-

kelanjutan serta Antisipatif terhadap

lasinya kawasan perbatasan akibat

rendahnya aksesibilitas menuju

kawasan perbatasan; (vi) Rendahnya

kualitas SDM; (vii) Adanya aktivitas

pelintas batas tradisional; dan (viii)

Adanya tanah adat/ulayat masyarakat;

• Pertahanan dan Keamanan: (i) Belum

disepakatinya garis-garis batas dengan

negara tetangga secara menyeluruh

(Batas Zona Ekonomi Eksklusif/ZEE,

Batas Laut Teritorial/BLT, dan Batas

Landas Kontinen/ BLK); (ii) Terbatas-

nya jumlah aparat serta sarana dan

LAPORANUTAMA

Setia Budhy Algamar, Staf Ahli Menteri PUBidang Ekonomi dan Investasi. (Foto: Dok.)

Page 34: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH34

Perkembangan Dunia Guna Mening-

katkan Ketahanan Nasional.”

Misi yang diemban untuk mewujudkan visi

tersebut adalah: (i) memperjelas dan

mempertegas garis batas negara secara

yuridis dan fisik; (ii) mengembangkan dan

memberdayakan SDM setempat sebagai

modal utama pendorong pembangunan

wilayah perbatasan; (iii) menjadikan

wilayah perbatasan sebagai pusat per-

tumbuhan ekonomi, sinergis dengan

perekonomian wilayah tetangga; (iv)

membuka isolasi dan keterbelakangan

melalui pembangunan sarana dan pra-

sarana; (v) memfasilitasi arus lintas barang

dan manusia; dan (vi) meningkatkan

kapasitas pertahanan dan keamanan.

Dukungan yang Dapat Diberikan

Kementerian Pekerjaan Umum

Pemerintah pusat mempunyai komitmen

yang kuat untuk memperhatikan dan

membangun daerah perbatasan. Masa-

lahnya adalah bagaimana meneruskan

kemauan politik tersebut menjadi ke-

bijakan yang implementatif. Bappenas

dan Kementerian Pembangunan Daerah

Tertinggal (Kementerian PDT) meru-

pakan agen utama koordinasi dan sti-

mulan untuk pembangunan daerah per-

batasan.

Kebijakan pembangunan daerah per-

batasan ke depan hendaknya mencakup

3 (tiga) aspek pembangunan, yaitu

kesejahteraan (prosperity) dan keamanan

(security), serta aspek kelestarian

lingkungan (environment) yang ketiga-

tiganya haruslah mendapatkan porsi yang

seimbang.

Diperlukan kebijakan yang lebih berpihak,

konkrit, dan terukur dalam hal waktu dan

dana. Kebijakan umum dan strategi yang

dapat dilakukan oleh pemerintah adalah:

• Peningkatan peran sektor pekerjaan

umum dalam mendukung terciptanya

ketahanan nasional di wilayah per-

batasan, dengan kebijakan-kebijakan

khusus penyelenggaraan infrastruktur

dasar di wilayah perbatasan dan di-

dukung oleh penyediaan dana pem-

bangunan yang memadai;

• Pemenuhan kewajiban pemerintah

dalam pembinaan kawasan per-

batasan, dengan kebijakan khusus,

antara lain melalui penguatan ke-

lembagaan nasional dan integrasi

antarsektor.

• Untuk jangka pendek, rencana im-

plementasi pelaksanaan layanan

infrastruktur PU dan permukiman di

kawasan perbatasan sebaiknya di-

tekankan pada penyempurnaan UU

dan aturan turunannya yang bersifat

strategis, review perhitungan alokasi

DAK, dan koordinasi dengan pemda

untuk meningkatkan partisipasi BUMD

dan BUMN dalam penyelenggaraan

layanan infrastruktur PU dan per-

mukiman.

• Untuk jangka menengah, rencana

implementasi dapat ditekankan pada

tersedianya layanan infrastruktur

dasar yang memenuhi SPM berkoor-

dinasi dengan instansi terkait lain

seperti Bappenas, Kementerian PDT,

Kantor Menko Perekonomian, dan

Kementerian Keuangan.

• Walaupun Kementerian PU telah

memasukkan program pengem-

bangan wilayah perbatasan di dalam

Rencana Strategis (Renstra) Ke-

menterian PU 2010-2014, namun

masih perlu terus dilakukan koordinasi

dan keterpaduan yang lebih intensif

lagi dengan daerah dan sektor terkait

lainnya.

Kementerian PU perlu terus mendukung

sepenuhnya upaya Bappenas dan Ke-

menterian PDT dalam menyusun rencana

dan sasaran-sasaran jangka panjang dan

menengah yang memiliki kebijakan yang

berorientasikan pembangunan berbasis

wilayah dan pemberdayaan masyarakat

setempat. Hal ini penting mengingat

selama ini masing-masing sektor men-

jalankan kebijakan pembangunan ka-

wasan perbatasan tanpa koordinasi yang

optimal.

Dukungan kebijakan dan langkah-langkah

yang kiranya dapat dilakukan (dan di-

dukung sepenuhnya) oleh Kementerian

Pekerjaan Umum adalah:

• Menetapkan pembangunan dan

pengelolaan wilayah perbatasan secara

terpadu dalam satu atap, dikoor-

dinasikan oleh Menko yang ditetapkan

dengan Perpres (catatan: walaupun

telah dibentuk Badan Nasional Penge-

LAPORANUTAMA

12 Pulau-pulau terluar yang menjadi prioritas pembangunan. (Foto: Sugiono)

Page 35: KIPRAH • Volume 38

35KIPRAH • Volume 38

lola Perbatasan melalui Peraturan

Presiden Nomor 12 Tahun 2010, akan

tetapi badan ini sama sekali belum

efektif karena tidak terlalu tegasnya

tugas dan fungsinya, serta belum

didukung oleh penyediaan anggaran

yang memadai);

• Sehubungan dengan telah terbitnya

Peraturan Pemerintah Nomor 26

Tahun 2008 tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Nasional (RTRWN),

Kementerian PU perlu sesegera

mungkin menjabarkan RTRWN ter-

sebut ke dalam kebijakan dan sasaran

sektor-sektor di internal Kementerian

PU khususnya dalam upaya pengem-

bangan wilayah perbatasan.

• Menyusun rencana aksi terpadu per

wilayah perbatasan lintas instansi

pusat dan daerah;

• Memantapkan Rencana Tata Ruang

(RTR) 10 Kawasan Perbatasan lainnya

(di luar RTR Kawasan Perbatasan

Kasaba yang telah ditetapkan Perpres-

nya) dan segera menetapkannya

melalui Peraturan Presiden, yang

dilanjutkan dengan Rencana Detail

Tata Ruang (RDTR) wilayah per-

batasan;

• Mengembangkan wilayah perbatasan

dan pulau-pulau kecil terluar yang

memiliki potensi ekonomi yang tinggi

seperti pengembangan wisata bahari,

ekowisata, serta industri kelautan

yang terintegrasi dengan pengem-

bangan sistem kota-kota (bersama

dengan kementerian-kementerian

terkait);

• Memprioritaskan, membangun dan

meningkatkan infrastruktur dasar dan

penunjang di wilayah perbatasan;

• Memberdayakan masyarakat per-

batasan dengan meningkatkan kondisi

sosial ekonominya melalui pem-

bangunan sarana-prasarana dasar,

peningkatan kapasitas SDM, pem-

berdayaan aparat, dan peningkatan

keberpihakan pemerintah dalam

pembiayaan pembangunan;

• Mengembangkan wilayah perbatasan

dan pulau-pulau kecil terluar sebagai

pusat pertumbuhan berbasis sumber

daya alam lokal melalui pengem-

bangan sektor unggulan serta kerja-

sama ekonomi antarnegara; dan

LAPORANUTAMA

Pembangunan perkerasan jalan dan drainase di salah satu desa di perbatasan NTT. (Foto: Dok.)

Referensi:

1. Bahan-bahan/informasi dari beberapa studi/kajian Direktorat Jenderal Penataan

Ruang, 2009, Kementerian Pekerjaan Umum;

2. Departemen Pertahanan, 2008, “Kajian Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah

Perbatasan”;

3. Pusat Kajian Strategis Kementerian PU, 2006, “Penyusunan Kebijakan dan Strategi

PSPU dalam Mendukung Pengembangan Kawasan Perbatasan dan Pulau-pulau

Terpencil serta Terisolir Wilayah Barat Indonesia”;

4. Pusat Kajian Strategis, 2006, “Penyusunan Kebijakan dan Strategi PSPU dalam

Mendukung Pengembangan Kawasan Perbatasan dan Pulau-pulau Terpencil serta

Terisolir Wilayah Timur Indonesia”; dan

5. Makalah Utama Seminar Nasional: “Pemberdayaan Masyarakat Perbatasan Guna

Meningkatkan Ketahanan Nasional Dalam Rangka Tetap Tegaknya NKRI”, Ikatan

Alumni Lemhannas (IKAL) Angkatan 37, 30 Juni 2010.

• Memprioritaskan dan mengalokasikan

anggaran yang memadai untuk pem-

bangunan infrastruktur PU dan per-

mukiman di 12 pulau-pulau kecil terluar

yang berbatasan langsung dengan

negara tetangga.

**Staf Ahli Menteri PU Bidang Ekonomi dan

Investasi

Page 36: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH36

LAPORANUTAMA

Mazhab pembangunan ekonomi

kita sekarang sudah berubah.

Dulu yang dipakai adalah

pembangunan pada puncak-puncak

pertumbuhan yang diharapkan akan

menetes ke bawah atau yang sering

disebut sebagai trickle down effect,

namun sekarang sudah berbeda. Kini,

kekuatan ekonomi pusat tergantung

pada bagaimana daerah membangun

kekuatan ekonominya.

Persoalannya pengembangan kawasan di

daerah seperti di perbatasan agak

terhambat, karena beberapa faktor,

diantaranya persoalan bagaimana

mempertemukan kepentingan antara isu

keamanan dengan isu pembangunan

daerah juga dengan isu konservasi alam/

hutan.

“Karena itu saya mengharapkan agar

teman-teman di (Kementerian) Kehu-

tanan bisa memahami realita bahwa ada

kepentingan besar dalam penanganan

jalan di perbatasan, bukan hanya dari sisi

konservasi hutan, tetapi juga bagaimana

keselamatan dan kesejahteraan masya-

rakat yang ada di daerah perbatasan,”

tutur Danang Parikesit, Staf khusus

Menteri PU saat dimintai komentarnya.

Menurut Danang, persoalannya pem-

bangunan di kawasan perbatasan agak

terhambat karena proses perencanaan

penataan ruangnya belum terimple-

mentasikan dengan baik. Argumen dari

pemerintah daerah umunya adalah

menunggu infrastruktur jalan dibuat

terlebih dahulu, baru kemudian menyusul

perencanaan pengembangannya. Pada-

hal, kalau pendekatan tersebut yang

dipakai, dimana kita membangun infra-

Yang Terpenting Daerah Punya

Perencanaan Pembangunanstruktur kemudian mengharapkan

ekonomi akan tumbuh dengan sendirinya,

maka hanya akan menghasilkan per-

tumbuhan ekonomi yang absurd dan

tidak terkendali.

Hal tersebut tentu tidak bisa diterima

karena harus ada skenario interaksi dari

berbagai aspek. “Kalau jalannya dibuat,

maka nanti perkembangan daerahnya

akan seperti apa, di mana (letak) kawasan

lokasikan anggaran sesuai dengan ke-

butuhannya.”

Pada tataran kebijakan, kita sudah punya

affirmative policy (kebijakan afirmatif)

yang harus diterjemahkan ke dalam affir-

mative budget allocation dan akhirnya

menjadi affirmative action dan affirmative

program. “Demikian juga dalam meka-

nisme anggaran. Seharusnya kita punya

instrumen dan evaluasi alokasi anggaran

yang parameter benefit cost ratio(rasio

biaya manfaat)-nya lain untuk daerah

perbatasan, yang tujuan dan karak-

teristiknya berbeda dengan daerah yang

lain. Ini yang sampai sekarang belum

dibuat.”

Dalam proses perencanaan juga patut

dimaklumi apabila kapasitas dalam

pembuatan perencanaan di daerah-

daerah belum memadai. Kebanyakan

perencanaan dibuat untuk jangka pendek,

belum berorientasi ke depan atau dalam

jangka panjang. Menurut Danang, se-

harusnya kepala daerah memper-

timbangkan akan jadi apa daerahnya pada

10 tahun lagi atau 30 tahun lagi, serta mau

dibawa kemana,” kata Danang. Hal ini

terjadi akibat kurangnya komunikasi dan

sosialisasi antara pusat dan daerah. Hal

tersebut tentunya menjadi pekerjaan

rumah tersendiri bagi pemerintah pusat

untuk melakukan proses pembinaan dan

fasilitasi ke daerah.

Dengan demikian, peran pemerintah

daerah sangat menentukan sekali bagi

pengembangan wilayahnya karena

besaran kucuran dana ke daerah ter-

gantung pada inisiatif dan kapasitas para

pemangku kebijakan di daerah itu sendiri.

(Wy)

Danang Parikesit, Staf khusus Menteri PU.(Foto: Wy)

pertanian, kawasan permukiman, dan

lainnya. Jadi, yang terpenting daerah

harus punya perencanaan pembangunan,

karena yang paling mengerti akan ke-

butuhan daerahnya adalah daerah itu

sendiri,” jelas Danang lagi. “Kalau daerah

sudah memiliki konsep perencanaan

pembangunan yang jelas, (pemerintah)

pusat pun akan lebih mudah menga-

Page 37: KIPRAH • Volume 38

37KIPRAH • Volume 38

Indonesia

Pembangunan infrastruktur di

Kalimantan masih belum merata,

khususnya di daerah-daerah per

batasan di Kalimantan Barat (Kalbar).

Padahal, pembangunan infrastruktur di

kawasan ini sangatlah memegang pe-

ranan penting. Tidak saja bagi pertahanan

dan keamanan negara, melainkan juga

kesejahteraan masyarakat di daerah

perbatasan. Masih minimnya infrastruktur

di daerah-daerah perbatasan Kalbar

menjadi perhatian khusus bagi Dinas

Pekerjaan Umum Kalimantan Barat.

Daerah-daerah di perbatasan Kalbar

masih termasuk daerah tertinggal karena

hingga saat ini masih banyak yang terisolir.

Bagaimana tidak, jalan-jalan yang sudah

dibuat oleh Dinas PU Kalimantan,

khususnya Kalbar (dalam hal ini Bina

Marga), masih ada yang belum bisa

menghubungkan satu desa ke desa lain.

Jalan penghubung antara Kalbar dan

Kalteng juga masih belum tembus

(terhubung) dan sekitar 72 km lebih

masih berupa jalan tanah.

Jembatan satu-satunya yang bisa meng-

hubungkan jalan Trans Kalimantan dari

Kalbar haruslah melalui sungai di Tayan.

Akan tetapi, jembatan tersebut masih

belum jadi karena saat ini masih dalam

tahap pembebasan lahan. Entah kapan

diluncurkan dana sehingga jembatan

yang rencananya sepanjang 2 km itu bisa

terbangun.

Wacana mengenai hal ini sudah lama

dilakukan. Pemerintah Provinsi Kalbar

sendiri, dengan luasnya wilayah, merasa

kewalahan untuk menangani jalan peng-

hubung antarprovinsi dan antarkabu-

paten, sehingga memerlukan bantuan

dari pusat. Berdasarkan dana, Dinas PU

Kalbar dalam 1 tahunnya hanya dapat

mengerjakan kurang-lebih 5 km saja. Dinas

PU Kalbar saat ini hanya mampu me-

lakukan tambal sulam untuk mengatasi

jalan yang berlubang-lubang.

Adanya perbedaan pendekatan yang

digunakan dalam memandang pem-

bangunan daerah di perbatasan antara

pemerintah Malaysia dan Indonesia kini

menimbulkan masalah yang sangat gen-

ting. Pemerintah Malaysia lebih menitik-

beratkan pada kesejahteraan masyarakat

di perbatasan (prosperity) dimana

konsekuensinya adalah dengan mem-

prioritaskan perekonomian masyarakat-

nya di perbatasan. Sementara peme-

rintah Indonesia, karena yang diutamakan

adalah security (keamanan), maka pem-

bangunan infrastruktur dan sarana serta

prasarana yan dilakukan di daerah-daerah

perbatasannya seolah-olah sedapat

mungkin terisolir karena memang tidak

ada jalan penghubung di sana, hanya jalan-

jalan setapak yang banyak dibuat oleh para

penduduk setempat. Hal ini menyebabkan

ketergantungan mereka (masyarakat In-

donesia di perbatasan) ke Malaysia (yang

menyediakan kebutuhan hidup lebih baik

dan banyak).

Tujuan dibukanya PPLB di perbatasan

Aruk-Biawak dan Nanga Badau-Lubok

Antu adalah agar masyarakat di sana tidak

lagi terisolir dan sejahtera. Menurut data

dari bea & cukai, turis (dari berbagai

negara) yang datang ke Kuching Malaysia

diperkirakan sekitar 1 juta orang per tahun.

Target pemerintah Kalbar adalah menarik

30% dari jumlah tersebut. Akan tetapi,

meskipun nantinya pintu perbatasan Aruk

dan Nanga Badau telah dibuka, apabila

jalan-jalannya saja rusak dan tidak ter-

hubung dengan wilayah lain, apalagi yang

menuju ke tempat-tempat wisata (misal-

nya ke Danau Sintarum), maka tidak akan

ada turis yang mau datang. Dengan

demikian, tujuan penyejahteraan masya-

rakat di kawasan perbatasan pun tidak

akan tercapai. Namun jika jalan sudah

tersedia dan dalam kondisi bagus, lengkap

dengan ketersediaan listrik dan air bersih,

maka sektor ekonomi dan pariwisata akan

dapat berkembang dengan sendirinya.

Disitulah masyarakat bisa disejahterakan

karena banyak lapangan kerja akan

tersedia.

Ingat, suatu saat masyarakat di per-

batasan bisa lepas ke Malaysia, bukan

karena perang, melainkan dengan me-

rebut hati mereka. Ibarat orang yang

merasakan cinta tetapi bertepuk sebelah

tangan. Jangankan ada suatu perhatian

tercurahkan, hanya janji-janji semu yang

selalu didapat. Rasa cinta tersebut bisa

saja luntur, cinta bisa pula berpindah ke

lain hati, bahkan bisa berubah dari

kekecewaan menjadi dendam. Oleh

karena itulah, penanganan pembangunan

di daerah-daerah perbatasan yang ter-

tinggal haruslah segera dilakukan.

Janganlah sampai terjadi cinta para warga

di sana bertepuk sebelah tangan dan

berakhir dengan kekecewaan. Sudah

banyak para pejabat yang datang untuk

berkunjung, bahkan sampai Presiden dan

Menteri yang berjanji untuk memprio-

ritaskan pembangunan di daerah-daerah

pedalaman dan perbatasan. Namun

hingga kini, janji-janji tersebut tinggallah

janji. (Endah)

Penanganan Infrastruktur Kalbar

Arkan Yamri, PPK Pengembangan KawasanPerbatasan, Dinas Pekerjaan Umum Prov.

Kalbar. (Foto: Lis)

Bak Cinta Tak Berbalas

LAPORANUTAMA

Page 38: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH38

Penanganan pembangunan infra-

struktur di beberapa kawasan

perbatasan sampai saat ini masih

minim, belum menunjukkan tanda-tanda

yang menggembirakan, padahal kawasan

perbatasan merupakan simbol batas

negara. Hal ini dapat dilihat dari alokasi

anggaran tahunan yang dikucurkan di

kawasan tersebut masih relatif kecil.

Lasarus, anggota Komisi V DPR-RI dari

Fraksi PDIP, berpendapat bahwa yang

barangkali masih kurang adalah political

will untuk menganggarkan dana yang

memadai. Padahal, penganggaran yang

memadai penting agar bisa membangun

infrastruktur jalan sebagai infrastruktur

utama yang masih dibutuhkan di per-

batasan. Kondisi ini yang membuat

segalanya menjadi serba sulit di sana,

yaitu karena tidak tersedianya jalan untuk

mobilitas orang maupun barang. Dalam

hal ini, pemerintah harus lebih serius

untuk menangani kawasan perbatasan,

tidak lagi hanya sekedar janji-janji.

“Saya yang merasakan langsung setiap

rapat dengar pendapat dengan PU selalu

mengutarakan supaya kita mulai dari

sekarang lebih serius lagi dalam me-

nangani infrastruktur jalan di sepanjang

perbatasan itu. Kita lihat sendiri infra-

struktur di Malaysia yang rapi dan sudah

begitu tertata dengan baik. Ini yang

menimbulkan rasa kita sebagai bangsa

kadang-kadang terusik,” ujar politikus

asal Kalimantan Barat ini. “Kenapa ya

negara saya tidak bisa seperti itu,

sehingga masyarakat saya, saudara-

saudara saya, yang hidup di sepanjang

garis perbatasan bisa hidup lebih

mudah.”

Lasarus, Anggota Komisi V DPR-RI

Pembangunan Jalan Lintas Perbatasan:Jangan hanya sekedar janji-janji

Penanganan belum optimal

Lasarus berpendapat bahwa pola pe-

nanganan kawasan perbatasan yang

diperlukan sekarang adalah pola yang

berkesinambungan. Sebagai garis per-

batasan, jalan-jalan yang dibangun di

kawasan perbatasan seharusnya me-

rupakan salah satu jalan negara dengan

kualitas jalan negara sebab banyak aspek

yang dipertaruhkan di sana, termasuk

juga persoalan pertahanan keamanan.

Pola penanganan yang sekarang ini sifat

penanganannya hanya sementara saja

dan tidak berkesinambungan. Dengan

demikian, sudah waktunya kita memulai

menggunakan pola berkesinambungan,

seperti pembuatan Trans Kalimantan

Selatan. Kalau tidak salah, Kementerian

Pekerjaan Umum juga sudah mendesain

jalan di pulau Kalimantan akan menjadi

tiga poros, yaitu poros selatan, poros

tengah, dan poros utara.

Poros utara inilah yang memanjang di

sepanjang garis perbatasan. Lasarus

menambahkan, “Penyelesaian di bagian

selatan sudah mencapai 70-80%. Oleh

karena hanya tinggal 20-30% lagi yang akan

kita kerjakan, maka saya pikir sudah

waktunya untuk kita mulai membangun

poros utara. Ini kalau kita kepingin lebih

cepat (selesai).”

Dengan adanya jalan ini, diharapkan bisa

mempermudah arus orang dan arus

barang serta bisa memperingan beban

hidup masyarakat dalam roda pereko-

nomian mereka di sepanjang garis

perbatasan itu.

Dampak dari Ketidaktersediaan Infra-

struktur

Di sepanjang garis perbatasan antara In-

donesia dengan Malaysia, jalan-jalan di

Malaysia sudah tertata dengan rapi,

bahkan sudah melingkar sampai ke garis

pantai, bahkan sudah seperti jalan tol.

Jalan-jalan arteri maupun yang menuju ke

desa-desa atau kampung juga sudah di

bikin jalan aspal.

Dampak dari kondisi ketersediaan infra-

struktur itulah yang menyebabkan warga

Malaysia menjadi dominan secara per-

ekonomian daripada masyarakat Indone-

sia yang berada di kawasan perbatasan.

Semua berawal dari kondisi jalan. Sudah

banyak isu-isu tidak baik mengenai adanya

sebagian warga kita yang berpindah

kewarganegaraan ataupun menjadi ten-

tara di Malaysia. “Ini adalah sebuah fakta

dan realita yang ada di lapangan,” tegas

Lasarus. “Dan kita tidak bisa menyalahkan

siapapun, menurut saya. Kondisi ini tidak bisa

kita biarkan, ini sudah menyangkut harkat,

martabat, dan harga diri bangsa, yang

sebetulnya tidak bisa diukur dengan nilai uang.

Kalau kita berpikir demikian, barulah kita bisa

membangun kawasan perbatasannya dengan

lebih serius.” (Jons)

Lasarus, anggota Komisi V DPR-RI dari Fraksi PDIP. (Foto: Jon’s)

LAPORANUTAMA

Page 39: KIPRAH • Volume 38

39KIPRAH • Volume 38

LAPORANUTAMA

Ada perubahan paradigma dalam

penanganan kawasan perbatasan

oleh pemerintah. Demikian di-

kemukakan oleh peneliti dari Lembaga

Studi Pertahanan dan Studi Strategis

(Lesperssi), Beni Sukadis, kepada KIPRAH

(Jakarta, 8/7). Perubahan paradigma ini

dimulai sejak era pemerintahan Mega-

wati. Banyak hal yang melatar-belakangi

hal tersebut, seperti otonomi daerah,

perubahan konstelasi geoekonomi dan

politik dunia, serta lain sebagainya.

Bagaimana dengan kasus Sipadan dan

Ligitan? “Itu juga, sebagai salah satu

penyebab,” papar Beni, yang juga se-or-

ang pengamat bidang pertahanan dan

keamanan. Beni menjelaskan bahwa

Keputusan Mahkamah Internasional

mengenai jatuhnya kedua pulau tersebut

ke tangan Malaysia disebabkan karena

Malaysia telah menunjukkan eksis-

tensinya melalui aktivitas ekonomi di

pulau-pulau tersebut berupa investasi di

bidang pariwisata, sedangkan Indonesia

tidak melakukan apa-apa.

Preseden tersebut tentunya sedikit

banyak turut berpengaruh pada peng-

ambilan kebijakan di daerah perbatasan.

Jika Orde Baru lebih mengedepankan se-

curity approach (pendekatan keamanan),

maka kini mulai bergeser menjadi pros-

perity approach (pendekatan kesejah-

teraan).

“Setidaknya hal tersebut terlihat pada

tataran konsep dan kebijakan, sedangkan

implementasinya mungkin belum begitu

terlihat,” demikian argumentasi dari

Beni. Hal ini terlihat dari berbagai

Konsep Ada,

kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan

oleh pemerintah, seperti yang terbaru

berupa pembentukan Badan Nasional

Pengelola Perbatasan, buku putih per-

tahanan Indonesia, dan lain-lainnya.

Menurut Beni, kurang terlihatnya hasil

implementasi pembangunan yang bisa

dirasakan secara langsung oleh masya-

rakat di kawasan perbatasan disinyalir

akibat dari kurangnya kordinasi antar-

instansi. Sebetulnya di level pimpinan

sudah disepakati, namun masalahnya

terletak pada pelaksanaan di lapangan.

Sekedar ilustrasi, di negara kita banyak

sekali instansi yang menangani masalah

perbatasan. Ada TNI, kemudian Imigrasi

dan Bea Cukai, lalu Kementerian PU

maupun Kementerian Kehutanan, Polisi,

dan lain sebagainya. Beda dengan di

negara-negara Eropa yang penjagaan

perbatasannya hanya ditangani oleh polisi

penjaga perbatasan yang berfungsi

ganda, dari tugas menjaga, mengurusi hal-

hal berkaitan dengan keimigrasian,

sampai memeriksa bea cukai.

Masalah berikutnya adalah anggaran yang

terbilang minim, apalagi jika dibanding-

kan dengan panjang kawasan perbatasan

yang harus dikelola. Beni juga mengakui

masalah “kenakalan” oknum aparat di

daerah perbatasan sedikit banyak ter-

imbas masalah anggaran yang minim ini.

Dalam hal pembangunan infrastruktur,

kebutuhan tiap-tiap daerah perbatasan

tentunya berbeda dengan yang lainnya.

Daerah perbatasan di Kalimantan mi-

salnya, pembangunan infrastruktur yang

sangat dibutuhkan di sana adalah jalan,

permukiman, dan utilitas (listrik, air,

jaringan TV, dan sebagainya), sementara

di daerah perbatasan dengan Filipina

(utara Sulawesi dan Talaud) yang dibu-

tuhkan adalah pembangunan industri

perikanan, pelabuhan, sentra-sentra

ekonomi, dan pasar, khususnya floating

market (pasar terapung).

Tentunya pembangunan infrastruktur di

kawasan perbatasan harus melihat pada

beberapa hal, salah satunya jumlah pen-

duduk. Tidaklah perlu membangun infra-

struktur di kawasan yang tidak ada

penduduknya, misalkan di pulau-pulau

kecil yang tidak berpenghuni.

Meskipun demikian, dengan memandang

sisi stra-tegis bagi kedaulatan negara,

tetap ada pembangunan untuk menun-

jukkan bahwa pulau-pulau itu milik RI.

Contohnya, di Pulau Nipa dan Pulau

Berhala (Sumatera Utara) yang walaupun

tidak berpenghuni, namun kedua pulau

tersebut menjadi titik penetapan garis

perbatasan negara kita, sehingga tidak

heran tetap dibangun infrastrukturnya,

terutama untuk kepentingan militer.

Perlu diingat bahwa pendekatan ke-

sejahteraan ini tidak serta merta me-

ngecilkan keberadaan pendekatan ke-

amanan. Hal tersebut mutlak tetap di-

perlukan karena menyangkut kedaulatan

negara, juga berkaitan dengan penang-

gulangan masalah-masalah seperti ke-

jahatan trans nasional, penyelundupan,

terorisme dan pencurian kekayaan sum-

ber daya alam kita oleh pihak asing. (Wy)

Implementasi KurangBeni Sukadis. (Foto: Wy)

Page 40: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH40

SELINGAN

Kayu ulin (Eusideroxylon zwageri)

atau sebagian orang menye-

butnya kayu besi dan sebagian

orang lagi menyebutnya kayu belian

merupakan bahan utama pembuatan

sirap. Kayu jenis ini kini semakin sulit

diperoleh, karena penebangan hutan

Kalimantan yang tidak terkendali. Kalau

pun masih tersisa di hutan, hanya kayu

ulin berusia muda. Sedangkan budidaya

kayu ulin hampir tak pernah dilakukan

karena masa panen yang terlalu lama, di

atas 60 tahun. Jenisnya berbeda dengan

kayu ulin lainnya yang biasa digunakan

untuk fondasi atau rangka rumah.

Ulin sirap secara alamiah berupa pohon

yang batangnya seperti berlapis-lapis,

sehingga begitu dibelah langsung rata,

menyerupai triplek atau papan tipis,

beratnya pun relatif ringan. Langkah

selanjutnya tinggal memotong-motong

ulin sirap sesuai ukuran yang dikehendaki

biasanya (10 x 50 cm) dan ujungnya

dibuat sedikit runcing. Selanjutnya siap

digunakan untuk atap rumah dengan

susunan berlapis. Penyusunan seperti itu

dimaksudkan agar air hujan tidak me-

rembes ke bagian dalam rumah.

Penggunaan Atap SirapSemakin Lenyap

Secara tradisional pemasangan atap sirap

dilakukan dengan diikat satu persatu

menggunakan rotan pada kasau rumah.

Langkah ini masih digunakan pada atap

lamin atau rumah panjang khas suku

Dayak. “Namun sangat sedikikit tukang

kayu yang bisa memasang sirap dengan

cara seperti itu. Oleh karena itu, di

perkotaan biasanya atap sirap dipasang

dengan menggunakan paku khusus

supaya sirap tidak patah,” kata Arkan,

pejabat Dinas Cipta Karya, Provinsi Kalbar

kepada KIPRAH.

Sungguh disesalkan

penggunaan atap sirap

perlahan-lahan kini mulai

ditinggalkan. Bukan cuma di

Jakarta dan kota-kota di

Pulau Jawa, tetapi di daerah

penghasil sirap, seperti

Pulau Kalimantan, atap

sirap pun mulai lenyap.

Bukan berarti tidak suka

menggunakan atap sirap,

tetapi bahan bakunya

memang sudah sulit

diperoleh, karena hutannya

habis dibabat.

Kantor Dinas PU Prov. Kalteng yang masih menggunakan sirap sebagai atap bangunan.Langkanya kayu ulin sebagai bahan baku menyebabkan sirap semakin ditinggalkan. (Foto: Joe)

Page 41: KIPRAH • Volume 38

41KIPRAH • Volume 38

SELINGAN

sejuk, karena kayu sangat lambat me-

nyerap panas sinar matahari.

Pemasangan kayu yang harus disusun

secara berlapis-lapis, menyebabkan

“wuwungan” rumah juga harus dibuat

tinggi, sehingga sirkulasi udara di bagian

atap berlangsung baik dan kesejukan

udara pun terasa hingga bagian dalam

rumah. Tanpa mengunakan pendingin

udara (AC) pun, bagian dalam rumah

terasa sejuk, apalagi jika jendela rumah

dibuat lebar-lebar, dan di sekeliling rumah

ditanami pepohonan atau rumput hijau

yang terhampar luas.

Ringannya bahan kayu menyebabkan

kuda-kuda serta fondasi rumah tidak

mendapat beban seberat bahan atap

lainnya, seperti genting dan beton,

walaupun berat jenis kayu ulin l,04 yang

artinya bakal tenggelam jika diletakkan

di air. Selain itu karena atap terbuat dari

kayu, maka tidak akan berisik, meski hujan

lebat mengguyur rumah.

Kekuatannya pun tak diragukan lagi,

meski sudah berumur puluhan tahun,

lebih panjang daripada umur manusia,

sehingga tak bisa dipungkiri kayu jenis ini

bisa diwariskan ke anak cucu dan biasa

dipakai untuk bantalan kereta api.

Kesan pertama begitu melihat rumah

beratap sirap adalah sejuk, indah dan

berwibawa. Apalagi jika rumah tersebut

hasil rancangan tempo dulu yang ter-

golong modern pada zamannya. Tatapan

mata pun seakan tak akan pernah puas

untuk menikmati keindahan rumah

beratap sirap. Sayang keindahan semacam

ini sekarang sudah mulai sulit dinikmati.

Di Jakarta misalnya rumah-rumah pe-

ninggalan kolonial yang mentereng di

sekitar kawasan Menteng atau Kebayoran

Baru yang dulunya beratap sirap sekarang

sudah banyak diubah menjadi rumah

megah, ruko, dan bangunan perkantoran,

tetapi kaku. Atap pun bukan lagi sirap,

tetapi diganti genting, bahkan beton yang

kokoh. Rumah beratap sirap pun hilang

satu persatu. Hal yang sama juga terjadi

di Kalimantan, daerah penghasil atap

sirap, bangunan yang menggunakan sirap

pun perlahan-lahan mulai lenyap.

Begitulah perubahan. Nasib sirap yang

pernah “bergengsi” pada zamannya,

sekarang tergantikan dengan bahan lain

yang dirasa lebih maju dan modern. Di balik

itu, kerakusan mengekploitasi hutan

menyebabkan keindahan atap sirap tak

bisa dinikmati seperti dulu lagi. (Joe)

Ia mengatakan bahwa di kota-kota besar

di Kalimantan , seperti Samarinda, Banjar-

masin, Palangkaraya, dan Pontianak, sirap

biasanya dijual per ikat terdiri atas 100

lembar, bisa untuk membuat atap seluas

satu meter persegi.

SD Sirap. Kesan indah dannyaman langsung terasa begitu

memasuki sekolah dasar diPontianak, Kalimantan Barat

(Kalbar), yang atapnya terbuatdari sirap. Sejak dibangun padatahun 1918, seangkatan dengan

Gedung Kantor Pos Pontianak,kondisinya masih kuat. Namun

mulai langkanya pohon ulinsebagai bahan utama

pembuatan sirap, mengancamkeberadaan sekolah dasar yang

atapnya terbuat dari sirap.Sementara itu, di Kalbar dan

Kaltim pun rumah panjang ataulamin juga kesulitan

mendapatkan atap sirap yangterbuat dari kayu ulin akibatpenebangan hutan yang tak

terkendali. (Foto Heroe)

Keunggulan

Sejatinya menggunakan atap sirap untuk

rumah memiliki beberapa keunggulan

dibandingkan dengan bahan lainnya.

Keunggulan yang paling utama adalah

membuat bagian dalam rumah terasa

Page 42: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH42

GALERIFOTO

Volume 38 • KIPRAH42

1

2 3

89

Kawasan perbatasan sering diasosiasikan sebagai

daerah yang tertinggal dan terpencil.

Meskipun demikian, terdapat secercah harapan

di kawasan perbatasan karena daerah-daerah tersebut

memiliki potensi sumber daya alam yang tak hanya

indah, tetapi juga berlimpah.

Oleh karena itulah, walaupun masih terbatas,

pembangunan infrastruktur yang ada di daerah

perbatasan dan pulau terdepan dan terpencil terus

dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum,

diantaranya melalui pembangunan Pos Pemeriksaan

Lintas Batas (PPLB), Pos Lintas Batas (PLB), jalan,

dermaga, pasar, menara mercusuar, dan jembatan.10

Foto: Arkan

Foto: Istimewa

Foto: Ind

Foto: Joe Foto: Otorita Batam

Foto: Lis

Page 43: KIPRAH • Volume 38

43KIPRAH • Volume 38

GALERIFOTO

4343

5

67

Keterangan foto dari kiri ke kanan searah jarum jam:

Menara mercusuar di P. Berhala, Sumut;

Dermaga di salah satu pulau terpencil, P. Lemukutan, Kalbar;

Pasar di PPLB Entikong, Kalbar;

PPLB Nanga Badau, Kalbar;

PPLB Aruk, Kalbar;

Rusun Nunukan, Kaltim;

Suasana Pelabuhan Batam, Kepulauan Riau;

Jembatan Barelang di P. Batam, Kepulauan Riau;

Pos Lintas Batas Atapupu di Atambua, NTT;

PPLB di Keerom, Papua.

4

Pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh

Kementerian Pekerjaan Umum di kawasan perbatasan

tidak hanya bertujuan supaya wilayah perbatasan kian

kokoh menjaga kedaulatan negara, namun juga

menyejahterakan masyarakat setempat dan menarik

hati warga dunia untuk datang berkunjung. (Endah)

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

KIPRAH • Volume 38

Foto: Otorita Batam Foto: Lis

Foto: Lis

Foto: Dok.

Page 44: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH44

Bulan Juni lalu, tepatnya tanggal 22,

ibu kota negeri tercinta ini

merayakan hari jadinya yang ke

483. Lumayan tua juga. Mengingat hal

tersebut, KIPRAH kali ini mencoba

mengangkat sebuah daerah yang bisa

dibilang menjadi salah satu benteng

terakhir pelestarian budaya Betawi.

Tempat itu bukan daerah Condet di

Jakarta Timur atau daerah Kota Tua yang

tahun ini dijadikan pusat peringatan Hari

Ulang Tahun (HUT) Jakarta. Bukan pula

ke Pekan Raya Jakarta di Kemayoran,

tempat acara tahunan Jakarta Fair digelar.

Apabila anda bosan dengan acara Jakarta

Fair yang hanya itu-itu saja, kali ini KIPRAH

mengajak Anda menyusuri daerah selatan

Jakarta, tepatnya di Situ Babakan,

Situ Babakan:

Satu dari Benteng Terakhir

Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta

Selatan.

Di sini kita bisa menikmati suasana kehi-

dupan perkampungan Betawi asli dimana

arsitektur rumah tradisional, makanan

khas, hingga kesenian Betawi tersaji

lengkap. Ongkos masuknya? Gratis! Hanya

saja bagi pengendara sepeda motor

dikenakan biaya parkir seribu rupiah dan

bagi mobil dua ribu rupiah, sekedar untuk

ketertiban dan keamanan kendaraan plus

insentif bagi warga yang lahannya di-

jadikan areal parkir.

Situ Babakan sendiri merupakan daerah

cagar budaya seluas 165 hektar, terdiri dari

kebun rakyat, perkampungan masyarakat

Betawi, serta 2 (dua) danau yang me-

ngapit perkampungan ini. Untuk mencapai

tempat ini, dari Blok M anda bisa naik bus

Kopaja 616 jurusan Blok M–Pasar

Minggu–Cipedak. Bilang saja mau ke Situ

Babakan, maka Anda akan diturunkan

tepat di Gerbang Bang Pitung, gerbang

utama menuju ke Situ Babakan. Dari

Gerbang Bang Pitung masih ada sekitar

300 meter lagi sebelum sampai di Danau

Situ Babakan.

Dari jalan masuk, yang bisa ditemui

pertama adalah danau itu sendiri yang

cukup luas. Pepohonan dimana-mana,

membuat udara tidak terasa panas.

Apalagi danaunya cukup bersih dan enak

untuk dipandang sehingga suasana terasa

nyaman, bisa dibilang romantis. Tidak

heran KIPRAH banyak menemukan

pasangan-pasangan yang tengah duduk

santai menikmati keindahan danau.

Pelestarian Budaya Betawi

SELINGAN

Danau Situ Babakan yang banyak dikunjungai wisatawan. (Foto: Wy)

Page 45: KIPRAH • Volume 38

45KIPRAH • Volume 38

Suasana di sini cukup tenang, meski

terkadang terdengar lagu-lagu Betawi,

seperti “Kompor Mledug” dari pengeras

suara tukang kaset dan CD di pinggir

danau. Sesekali celoteh riang anak-anak

yang sedang bermain bola atau bermain

bebek air turut menimpali. Di sepanjang

sisi danau juga terdapat jalan untuk mobil

lengkap dengan orang-orang yang ber-

jualan makanan dan minuman.

Anda dapat berjalan sembari melihat-lihat

deretan rumah yang sebagian besar

berarsitektur Betawi di sekitar tepian

danau. Memang, ada semacam himbauan

kepada warga di sini untuk membangun

rumahnya dengan arsitektur Betawi,

terutama bagi warga yang mampu. Selain

itu, ada pula beberapa rumah bercorak

Betawi modern terletak di perkam-

pungan budaya ini. Gaya betawi tersebut

terlihat pada pola-pola ornamen dan

hiasan yang dipengaruhi beragam budaya,

dari Cina, Arab, Portugis, hingga Belanda.

Sifat terbuka dan keramahan khas budaya

Betawi bisa pula kita saksikan dari eks-

terior beranda/ruang tamu di rumah-

rumah tersebut. Tak jauh beda dengan

beranda rumah khas Betawi yang ada di

acara-acara lenong di televisi, selain

seperangkat meja kursi dan lampu antik

di beranda-beranda tersebut juga ter-

dapat semacam amben atau tempat tidur

bambu yang disebut “lincak”.

Kami pun sempat duduk selonjoran sejenak

di atas lincak ini. Kami jadi teringat bagaimana

almarhum Benyamin Sueb dulu juga sering

bersantai di lincak di sinetron “Si Doel Anak

Sekolah” yang pernah populer di tahun 90-

an. Sempat terpikir, jika saja ditemani sepiring

ketan cocol abon plus segelas besar kopi pahit,

wah……

Anda lapar? Tidak perlu jauh-jauh mencari

makanan. Hampir di sepanjang jalan Anda

bisa menemukan penjaja makanan khas

Betawi. Mau apa? Tinggal pilih. Ada kerak

telur, toge goreng, siomay, soto betawi,

kue ape, ketoprak, bakso, gulali, mie ayam,

ketupat sayur, nasi uduk, laksa, rujak

bebeg, otak-otak, bir pletok, dan masih

banyak lagi yang lain. Ngomong-ngomong

tentang bir pletok, meskipun namanya

bir pletok, tetapi bir yang satu ini tidak

mengandung alkohol karena bahan dasar

minuman ini dari jahe, serai, dan daun

pandan wangi yang cocok untuk meng-

hangatkan badan.

Di sekeliling perkampungan, terutama

halaman rumah bisa kita temukan ber-

bagai pepohonan khas Jakarta yang

mungkin sudah jarang dijumpai, seperti

rambutan rafia, gohok, jamblang, buni,

kecapi, menteng, jengkol, gandaria dan

masih banyak yang lainnya.

Bila Anda berjalan lebih jauh lagi ke dalam,

Anda bisa menjumpai perkampungan

budaya. Dari pintu masuk ke perkam-

pungan budaya ini, langsung terpampang

sebuah panggung terbuka tempat pe-

mentasan budaya betawi yang biasa

diadakan tiap akhir pekan. Menurut

beberapa warga yang kami temui, per-

tunjukan seni tanjidor, gambang kro-

mong, tari cokek, tari topeng, lenong,

maupun ondel-ondel sering dipentaskan

di sini. Kadangkala artis-artis lenong yang

kondang, seperti Bang Bolot, Mandra,

Mpok Nori, atau Ida Royani turut berga-

bung meramaikan pertunjukan di sini.

Tentu saja seperti umumnya lenong, kita

sebagai pengunjung bisa ikut bersahutan

bicara dengan para pemainnya.

Oh ya, bila ingin menikmati situ dari tengah

situnya bisa menggunakan sepeda air yang

berbentuk bebek-bebekan atau kuda laut.

Walaupun demikian, area berkeliling

dengan bebek-bebekan ini dibatasi. Anda

tidak bisa berkeliling ke seluruh area situ

karena di bagian lain area situ diper-

gunakan juga untuk kegiatan memancing

serta (kadang-kadang) latihan kayak di

sekitar situ.

Saat pulang, sempatkan diri Anda ber-

belanja cinderamata khas Betawi di sini,

seperti baju, celana, aksesoris, mainan,

sampai CD/DVD. Jangan heran bila rata-

rata souvenir yang dijual memasang

gambar Benyamin Sueb. Artis kawakan

Betawi ini memang sudah menjadi ikon

kebanggaan masyarakat Jakarta. Beberapa

pemuda berpakaian hitam-hitam plus peci

dengan berkalung kain sarung di leher ala

si Pitung kadang-kadang melintas, mem-

buat kita seakan terdampar ke sisi Jakarta

yang lebih “asli”. Sungguh tak terbayang-

kan bahwa kawasan ini hanyalah

“beberapa langkah” dari riuh rendahnya

kemacetan lalu lintas kota Jakarta.

Bagaimana? Anda tertarik? (Wy)

SELINGAN

Para pengunjung sedang menanti pementasan budaya khas Betawi . (Foto: Wy)

Page 46: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH46

INFOTEKNOLOGI

Banyak daerah mengalami

kesulitan penyediaan air baku

yang tidak lagi bisa diatasi dengan

penggunaan sumber air permukaan dan

air tanah yang ada, terutama untuk

daerah terpencil yang minim daerah

resapan air. Banyak cara ditempuh untuk

mengatasi persoalan ini, antara lain

pengiriman air menggunakan truk tangki

air. Selain memerlukan biaya transportasi

yang mahal, kadang-kadang pemba-

giannya tidak adil dan sering tidak tepat

waktu dan sasaran. Oleh karena itu, perlu

terobosan teknologi pemanenan air

hujan (rain water harvesting technique).

Ialah ABSAH, teknologi bangunan penye-

diaan air baku mandiri yang bersifat

berkesinambungan, efisien, efektif,

ramah lingkungan dengan biaya operasi

dan pemeliharaan yang rendah. Bangun-

an ini merupakan bangunan peman-

faatan air sekaligus berfungsi sebagai

sarana konservasi air. ABSAH bisa dibuat

di mana saja selama terdapat curah hujan

yang memadai dan luas atap bangunan

yang cukup.

ABSAH merupakan bangunan penyediaan

air baku mandiri di tingkat rumah tangga

sampai komunal. Penerapannya bersifat

luwes dan dapat disesuaikan dengan

ketersediaan lahan. ABSAH dapat di-

bangun di bawah bangunan tempat

tinggal atau dibuat terpisah. Air sebagai

hasil dari olahan ABSAH dapat diper-

gunakan sebagai air baku rumah tangga,

air irigasi pertanian skala kecil (peka-

rangan, hidroponik, aeroponik, irigasi

tetes untuk berbagai macam tanaman),

perikanan darat berskala hemat air (lele,

belut dan lain sebagainya), dan keperluan

lainnya. Untuk luas atap bangunan 100 m2

di perkotaan dengan pasok air harian

untuk tahun rata-rata sebesar 492,3 liter/

hari, maka ABSAH cukup untuk me-

Bangunan ABSAH(Akuifer Buatan dan Simpanan Air Hujan)

Oleh : **Bambang Soenarto

Bangunan ABSAH. (Foto: Dok. Balitbang)

Page 47: KIPRAH • Volume 38

47KIPRAH • Volume 38

INFOTEKNOLOGI

menuhi kebutuhan domestik dari satu

rumah yang beranggotakan 4 jiwa. Jika

luas atap lebih dari 100 m2, maka lebih

banyak lagi volume air yang bisa di-

manfaatkan. Ini merupakan sistem penye-

diaan air baku air minum individual yang

bisa dibuat tidak hanya di perkotaan

namun juga di perdesaan. Di daerah

perdesaan yang mengalami kelangkaan

air tawar (misalnya di daerah rawa, berair

gambut, daerah intrusi air laut dan di

pulau-pulau kecil), jika kebutuhan hanya

untuk memenuhi kebutuhan air minum

dan memasak dengan kriteria 20 liter/

kapita/hari, maka kebutuhan sehari-hari

untuk sebanyak 24 orang atau 6 rumah

tangga bisa dipenuhi, yaitu dengan

asumsi bahwa air untuk keperluan lainnya

cukup tersedia. Ini bisa digolongkan

sebagai tipe penyediaan air baku komunal

tingkat pedusunan. Kualitas air sebagai

hasil dari ABSAH ini tergolong dalam kelas

I berdasarkan PP No 82/ 2001.

ABSAH dapat dibangun dengan ukuran

panjang 13 m atau lebih, lebar 5 m, dan

kedalaman 2,5 m di mana antar bak

berturutan diberi panel berlubang-lubang

(rooster) dan ijuk untuk penghantaran

aliran air. Bangunan ini dipersyaratkan

tidak boleh bocor jika terisi air dan harus

dalam keadaan tertutup rapat, kecuali di

bagian tertentu yang bisa dibuka se-

waktu-waktu untuk pemeriksaan. Secara

proporsional, letak bangunan ini sebagian

berada di atas dan sebagian lagi di bawah

permukaan tanah (semi underground

structures). Material bangunan antara lain

batu bata dan beton bertulang untuk

dasar dan dinding-dinding luarnya, se-

dangkan dinding dan sekat bagian dalam

disarankan konstruksi batu bata. Pemi-

lihan konstruksi beton bertulang bisa

menjamin kekedapan terhadap air di-

bandingkan bahan yang lain. Agar air tidak

tumpah dari bak pemasukan air, maka

volume desain bak ini sekurang-kurang-

nya harus mampu menampung ¼ volu-

me panenan air hujan tertinggi pada atap

bangunan yang pernah terjadi (misalnya

untuk Indonesia boleh diambil angka 120

mm/jam dengan durasi 2 jam). Untuk luas

atap bangunan 100 m2, desain volume

sekurang-kurangnya sama dengan 0,12 x

2 x 100/4 m3 atau 6 m3. Jika kedalaman

bangunan ABSAH 2,5 m dan lebar bak

pemasukan air 1,25 m, maka panjang bak

pemasukan air ini adalah 6/(2,5 x 1,25) m

atau 2 m. Adapun di atas bak pemanfaatan

air, yaitu pada bagian sumur, bisa dipasang

pompa tangan biasa.

Pembersihan pada atap bangunan di-

kerjakan dengan cara membuang mate-

rial halus dan kasar sebelum musim hujan

tiba. Hujan yang pertama turun sebaiknya

tidak langsung dimasukkan ke dalam

bangunan, tetapi disimpan dan dipakai

untuk pembersihan atap bangunan.

Kemudian dilakukan pembersihan ter-

hadap kasa filter atau anyaman ijuk yang

ada di dalam bak pemasukan air. Pem-

bersihan selanjutnya dikerjakan secara

berkala, misal 1 bulan sekali atau menurut

keperluan. Pembersihan bak akuifer

buatan dan bak pemanfaatan air dilakukan

setidaknya 5 - 10 tahun sekali atau sesuai

keperluan. Talang dan pipa penghantar

harus sering diperiksa dan dibersihkan.

Mengingat biaya operasi dan pe-

meliharaan bangunan yang rendah, maka

ABSAH cocok untuk diterapkan di pe-

desaan.

Prototip bangunan ABSAH dengan bak

akuifer buatan tipe kiri-kanan telah

dibangun di Ekas, Kabupaten Lombok

Timur. Selain itu, dibangun pula di

Kabupaten Jepara, Pacitan, Gunung Kidul

dan Lampung Timur. Badan Pember-

dayaan Masyarakat Propinsi NTB telah

membangun dua bangunan tipe kiri-

kanan di Lombok dan Pulau Sumbawa.

Musium Volkanologi di Penelokan,

Kintamani, memanfaatkan tipe atas-

bawah untuk penyediaan air baku air

bersih bagi pengunjung museum. ABSAH

merupakan solusi jitu untuk kesulitan

perolehan air di daerah kering dan

gersang seperti di daerah Nusa Tenggara

Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku

Tenggara. Selain itu, pulau-pulau terluar

yang terpencil seperti Pulau Nipah juga

merupakan daerah potensial pengguna

ABSAH.

** Peneliti Pusat Litbang Sumber Daya Air

Sketsa bangunan ABDULAH (Akuifer Buatan Daur Ulang Air Hujan).

Page 48: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH48

TAHUKAHANDA

Abrasi : Hempasan atau penggerusan oleh gerakan air dan

butiran kasar yang terkandung di dalamnya.

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) : Alur laut yang ditetapkan

sebagai alur untuk pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan

berdasarkan hukum internasional. Alur ini merupakan alur untuk

pelayaran dan penerbangan yang dapat dimanfaatkan oleh kapal

atau pesawat udara asing di atas laut tersebut. Penetapan ALKI

dimaksudkan agar internasional dapat terselenggara secara

terus menerus, cepat, dan tidak terhalang oleh perairan dan

ruang udara teritorial Indonesia. ALKI ditetapkan untuk

menghubungkan dua perairan bebas, yaitu antara Samudera

Hindia dan Samudera Pasifik, meliputi :

- ALKI I melintasi Laut Cina Selatan – Selat Karimata – Laut

Jawa – Selat Sunda.

- ALKI II melintasi Laut Sulawesi – Selat Makasar – Laut Flores

– Selat Lombok.

- ALKI III melintasi Samudera Pasifik – Selat Maluku – Laut

Seram – Laut Banda.

Alur Migrasi : Alur perpindahan orang atau hewan dari suatu

tempat ke tempat yang lain.

Batas Teritorial : Batas kedaulatan suatu negara yang dimuat

dalam rencana tata ruang nasional yang ditetapkan dengan

undang-undang.

Batas Wilayah Negara : Garis batas pemisah kedaulatan suatu

negara berdasarkan hukum internasional.

BIMP – EAGA : Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia,

Philipines-East ASEAN Growth Area, merupakan inisiatif kerja sama

di antara keempat negara untuk meningkatkan perdagangan,

pariwisata, dan investasi dengan dan di luar sub regional Asia

Tenggara.

BNPP : Badan Nasional Pengelola Perbatasan.

Data Literal/Non Spasial/Numerik : Data berbentuk grafik dan

teks atau numerik, berwujud nomor (angka), bersifat angka/

sistem angka.

Data Spasial : Berkenaan dengan ruang dan tempat, dikenal

sebagai geospasial atau informasi geografi, terdiri dari lokasi

eksplisit suatu geografi yang diset ke dalam bentuk koordinat.

Deklarasi Djuanda : Deklarasi yang menyatakan kepada dunia

bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara

dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah

NKRI. Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia

Glossary menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State)

yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa

negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah

Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Deklarasi Djuanda

selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang

Perairan Indonesia. Dinamakan Djuanda karena dicetuskan pada

tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada

saat itu, Djuanda Kartawidjaja.

Hari Nusantara : 13 Desember, hari peringatan dikeluarkannya

Deklarasi Djuanda.

HPH : Hak Pengusahaan Hutan

Jalan Poros : Jalan yang menghubungkan setiap satuan

permukiman atau lingkungan perumahan.

Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)/Special Economic Zone (SEZ):

Wilayah geografis yang memiliki peraturan ekonomi khusus

yang lebih liberal dari peraturan ekonomi yang berlaku di suatu

negara. KEK memiliki jenis wilayah yang lebih khusus mencakup

Daerah Perdagangan Bebas (Free Trade Zones/FTZ), Daerah

Penanganan Ekspor (Export Processing Zones/EPZ), Daerah Bebas

(Free zones/Fz), Kawasan Industri (Industrial Estates/IE),

Pelabuhan Bebas (Free Ports) dan sebagainya.

Kawasan Pertahanan Negara : Wilayah yang ditetapkan secara

nasional yang digunakan untuk kepentingan pertahanan.

Kawasan Strategis Nasional : Wilayah yang penataan ruangnya

diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting

secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan

keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan

termasuk wilayah yang terlah ditetapkan sebagai warisan dunia.

Negara Kepulauan : Suatu negara yang seluruhnya terdiri dari

satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.

Kepulauan berarti suatu gugusan pulau termasuk bagian pulau,

perairan diantaranya, dan lain-lain wujud ilmiah yang

hubungannya satu sama lain sedemikian erat, sehingga pulau-

pulau, perairan, dan wujud alamiah lainnya itu merupakan satu

kesatuan geografi, ekonomi, dan politik yang hakiki atau yang

secara historis dianggap demikian.

PLB : Pos Lintas Batas.

PPLB : Pos Pemeriksaan Lintas Batas.

Pulau : Daratan yang terbentuk secara alami dan dikelilingi oleh

air, selalu di atas muka air pada saat pasang tertinggi.

Pulau Kecil : Pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan

2000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya.

Volume 38 • KIPRAH48

Page 49: KIPRAH • Volume 38

49KIPRAH • Volume 38

TAHUKAHANDA

Sudah selayaknya perhatian terhadap pulau-pulau kecil di

perbatasan menjadi kepedulian semua pihak. Salah satu

bentuk nyata dari perhatian ditunjukkan oleh PT. Pos In-

donesia melalui penerbitan prangko dan mini set seri Pulau-

pulau Kecil Terluar pada peringatan Hari Nusantara tanggal 13

Desember tahun 2008 lalu.

Pulau-pulau kecil terluar yang ditampilkan masing-masing adalah

prangko Pulau Damar (berbatasan dengan Malaysia), prangko

Pulau Sebatik (berbatasan dengan Malaysia), prangko Pulau

Batubawaikang (berbatasan dengan Filipina), dan prangko Pulau

Bras (berbatasan dengan Republik Palau).

Harga nominal prangko yang tertera untuk 1 (satu) set prangko

yang terdiri dari 4 keping prangko seharga @ Rp 1.500,- adalah

Rp 6.000,-., sedangkan untuk 1 (satu) fullsheet prangko bernilai

Rp 30.000,-, dan 1 (satu) minisheet prangko ialah Rp 24.000,-

Penerbitan prangko seri ini cukup unik karena biasanya tema

prangko merujuk pada gambar tokoh atau peristiwa tertentu.

Jadi, jika anda gemar mengumpulkan prangko alias hobi filateli,

jangan sampai terlewatkan untuk mendapatkan seri Pulau-pulau

Kecil Terluar ini. (Wy)

Yang Unik

Status Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di

dunia sering disalahartikan sebagai negara dengan pulau

terbanyak. Terbesar memang benar, dilihat dari luas

wilayahnya, namun bukan pulau terbanyak.

Indonesia hanya punya sekitar 17.504 pulau. Jumlah itu masih

kalah dengan jumlah pulau-pulau yang terdapat di Kanada, yang

Salah Kaprahwalaupun bukan berstatus negara kepulauan tetapi memiliki

50 ribu lebih pulau.

Lalu, negara mana yang memiliki pulau terbanyak? Sebagaimana

tercantum dalam situs wikipedia.org, negara dengan pulau

terbanyak di dunia adalah Finlandia yang memiliki 179.584 pulau.

(Wy)

Pulau Kecil Terluar : Pulau dengan luas lebih kecil atau sama

dengan 2000 km2 yang berbatasan langsung dengan Negara

tetangga dan atau laut lepas.

Sijori : Singapura – Johor – Riau Kepulauan.

Situ : Suatu wadah genangan air di atas permukaan tanah yang

terbentuk secara alami maupun buatan yang airnya berasal dari

anah atau air permukaan sebagai suatu siklus hidrologis yang

merupakan salah satu bentuk kawasan lindung.

Spillway/Jalur Limpasan : Sebuah jalur atau jalan air untuk

membuang kelebihan air dari suatu tampungan air yang bisa

berupa waduk, bendungan, atau situ.

Tetrapod : Salah satu jenis konstruksi pemecah gelombang

(break water).

TKI : Tenaga Kerja Indonesia.

TPI : Tempat Pemeriksaan Imigrasi.

UNCLOS : United Nations Convention on the Law of the Sea.

ZEE : Zona Ekonomi Eksklusif.

49KIPRAH • Volume 38

Page 50: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH50

Seiring dengan pertambahan

penduduk kota dan semakin

sempitnya lahan bagi area pe-

rumahan serta harga tanah yang kian

mahal, banyak masyarakat tak mampu

memenuhi kebutuhan mereka akan

tempat tinggal. Maka, kekumuhan pun

tak bisa dihindarkan. Wali Kota Sura-

karta, Joko Widodo, pun dibuat gerah

karenanya.

Kota Solo sebagai kota dagang, kota budaya, dan kota pendidikan, seperti tetangganya Yogyakarta yangsetiap hari ramai dikunjungi oleh wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Pesatnya pertumbuhan

dan perkembangan kota ini tak pelak mengundang para pendatang untuk datang mengadu nasib dengansegala konsekuensinya.

Bermula dari

Inisiatif pertama yang dia lakukan adalah

mengundang komunitas Masyarakat

Berpenghasilan Rendah (MBR) yang

tinggal di kawasan kumuh tersebut ke

gedung Loji Gandrung di Jalan Slamet

Riyadi dengan tujuan mengajak mereka

berbincang-bincang dan membahas

tentang keindahan kota. Berkat ke-

tekunan dan kesabarannya (lebih dari 50

kali pertemuan) akhirnya ratusan PKL

yang semula “keukeuh” menempati

kawasan kumuh Banjarsari bersedia

dipindahkan ke tempat yang baru di Pasar

Klitikan, Pasar Kliwon.

Keberhasilan Joko Widodo tidak saja

dalam hal menata PKL, tetapi juga dalam

menata permukiman kumuh perkotaan.

Kawasan permukiman liar di pinggir Kali

Pepe, Tirtonadi, Kampung Kestalan,

Loji Gandrung

JELAJAH

Penataan Kota Solo:

Loji Gandrung, Surakarta. (Foto: Joe)

Page 51: KIPRAH • Volume 38

51KIPRAH • Volume 38

Joyontakan, Demangan, Laweyan, Kraton-

an, Serengan, dan Semanggi, serta

pinggiran Bengawan Solo ia tata bersama

aparaturnya sekaligus diurus legalitas

surat-suratnya melalui program pe-

mutihan. Mereka (para PKL) bahkan

diberi subsidi sebesar Rp 2 juta untuk me-

rehabilitasi rumahnya. Masyarakat pun

dengan suka hati memperbaiki hunian

mereka sendiri beserta lingkungannya.

Program lain yang berhasil ia lakukan

adalah relokasi hunian warga sebanyak 571

KK ke tempat lain yang lebih manusiawi.

Prosesnya memang tidak mudah, butuh

waktu, dan berlangsung selama beberapa

tahun. Semua slum area di kota budaya

ini rencananya akan ditata ulang dengan

melibatkan masyarakat secara aktif

melalui kelompok-kelompok binaan.

Sampai saat ini, tidak kurang dari 4.225

rumah telah diperbaiki sehingga layak

huni, bersih, dan rapi.

Dulu, sebagaimana dikisahkan oleh

Suparno (50), warga Kampung Totogan,

pemandangan seperti itu sulit ditemukan.

Maklum, rumahnya terletak persis di

pinggiran Kali Pepe yang tergolong

permukiman kumuh. Rumah-rumah

dengan kondisi serba memprihatinkan

berimpit tidak beraturan. Satu-satunya

jalan keluar-masuk warga hanya tersisa

kurang dari satu meter. Itupun selalu

becek, terlebih saat musim penghujan.

Belum lagi fasilitas untuk mandi, cuci,

dan kakus (MCK) yang sangat minim.

Suparno bersama 41 KK lainnya me-

nempati kawasan itu sejak 30 tahun silam

dengan segala keterbatasannya. Be-

runtung sejak 2007 Pemerintah Kota Solo

memulai program rehabilitasi rumah

tidak layak huni. Rumah warga yang

dulunya hanya berdinding gedeg (anyam-

an bambu) atau tripleks, diganti dengan

dinding tembok yang kokoh. Begitu pula

fasilitas MCK sudah diganti dengan dua

kamar mandi umum berukuran besar,

dengan fasilitas air bersih. Keuntungan

lain yang cukup membuat lega warga

adalah tidak adanya kekhawatiran digusur

karena mereka sudah mengantongi

sertifikat.

Program tersebut tidak semata-mata

terfokus pada bangunan rumah, tetapi

juga penataan lingkungan permukiman

serta kelengkapan prasarana dasar

sanitasi (persampahan, drainase, limbah),

air minum, penyediaan ruang terbuka

hijau (RTH), dan seterusnya.

Perbaikan lingkungan permukiman itu

hanyalah salah satu dari sekian upaya

Pemerintah Kota Solo dalam menata

kawasan kumuh dengan wujud yang

berbeda-beda. Misalnya saja pembangun-

an rumah susun sewa bagi masyarakat

berpenghasilan rendah sebanyak 2 (dua)

unit di Kecamatan Laweyan, serta di Ke-

camatan Jebres dan Semanggi masing-

masing 1 (satu) unit.

Kepala Bappeda Pemkot Surakarta,

Anung Indro Susanto, didampingi Ruhban

Ruzzyanto, Kasi O&P pada Balai Besar

Wilayah Sungai (BBWS) Bengawan Solo,

menjelaskan bahwa pembangunan rusu-

nawa merupakan program pemerintah

yang secara substansi berupaya me-

ngatasi permasalahan penataan kawasan

permukiman kumuh dengan konsep

penyediaan hunian vertikal yang dapat

dijangkau oleh MBR.

Pembangunan rumah vertikal dipilih

untuk mengatasi masalah khas per-

kotaan. “Rusunawa bisa menjadi solusi

untuk mengatasi permukiman kumuh

dan kebutuhan permukiman. Jadi, me-

lalui pembangunan rusunawa, dua ma-

salah kota bisa mendapatkan solusi

sekaligus dalam mewujudkan impian

warga kota yang ingin menikmati ke-

nyamanan tinggal di apartemen seder-

hana,” kata Anung.

Selain rusunawa, pemkot juga mem-

bangun fasilitas sanitasi lingkungan

berbasis masyarakat, antara lain di

Kelurahan Kadipiro, Sangkrah, Sewu,

Purwodiningratan, Serengan, Kratonan,

dan Danukusuman. Pemkot juga me-

lakukan penataan kawasan di area pedes-

Joko Widodo, WalikotaSurakarta. (Foto: Joe)

Dialog Menteri PU dengan delegasi dari Iran membahas masalah permukiman dan sanitasiperkotaan. (Foto: Arief)

JELAJAH

Page 52: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH52

trian (pejalan kaki) dengan konsep city

walk.

Urban Forest

Ide cerdas lain dari pemkot berupa

rencana program urban forest, khususnya

penataan kawasan bantaran kali dan

tanggul Bengawan Solo yang terletak di

sekeliling kota Solo. Tanggul dan bantaran

kali tersebut selanjutnya akan difungsikan

sebagai akses jalan inspeksi dan ring road

kota sekaligus sarana pelayanan publik.

Bak gayung bersambut, gagasan ce-

merlang ini disambut baik oleh BBWS

Bengawan Solo.

Ruhban mengatakan bahwa sebagai

tahap pertama pihaknya akan meninggi-

kan dan melebarkan badan tanggul kiri

Bengawan Solo sekitar 1 meter dari 4

meter sebelumnya dan sepanjang 10 km,

yaitu mulai dari Semanggi (Jembatan

Mojo) hingga Kebun Binatang Jurug.

Sementara itu, daerah bantarannya akan

ditata ulang dan dimanfaatkan untuk

berbagai pelayanan fasum dan fasos

masyarakat (public area), seperti untuk

kegiatan olah raga, jogging track, ber-

kemah, dll.

Penghargaan

Usaha yang serius memang selalu mem-

buahkan hasil. Bahkan, prestasi pemkot

dalam menangani PKL ini menjadi refe-

rensi bagi banyak pemda. Atas prestasinya

itu pulalah Kota Bengawan Solo ini

meraih penghargaan PU Tahun 2008 Sub-

bidang Penanganan Permukiman Kumuh

Perkotaan pada kategori kota besar.

Kisah sukses ini tak lepas dari tangan

dingin Wali Kota Joko Widodo atau yang

sering disapa Jokowi dalam mengatasi

problem perkotaan, yakni dengan pe-

nerapan pendekatan manusiawi. Tidak

semata melalui program penertiban,

tetapi melalui konsep pelibatan masya-

rakat yang terangkum dalam kebijakan

pemkot. Penanganannya dilakukan se-

cara crash program dan diintegrasikan

dengan program berskala besar dari

pemerintah pusat.

Atas dasar itulah, kota Solo akhirnya

dipercaya sebagai tuan rumah Konfe-

rensi Menteri se-Asia Pasif ik tentang

Pengembangan Perumahan dan Pem-

bangunan Perkotaan (Asia Pacific

Ministerial Conference on Housing and

Urban Development, APMCHUD), pada

tanggal 22-24 Juni 2010 lalu. Belasan

menteri yang membidangi pemba-

ngunan perumahan, permukiman,

dan perkotaan serta pejabat senior

dan delegasi dari berbagai negara

hadir dalam kegiatan tersebut.

Peserta AMPCHUD saat berkunjung ke obyek perbaikan kampung dan pelayanan SANIMAS diKampung Serengan, Solo. (Foto: Arief)

JELAJAH

Konferensi ini juga dimanfaatkan sebagai

ajang tukar-menukar pengalaman antar-

negara peserta dalam mengatasi masalah

permukiman perkotaan. Oleh karena itu,

dalam pertemuan APMCHUD ketiga ini,

para peserta dijadwalkan melakukan

kunjungan lapangan ke sejumlah

tempat dimana program penataan

kawasan kumuh telah berhasi l

dilakukan Pemkot Solo. Mereka ingin

melihat dari dekat bukti efektivitas jurus

bersolek yang ramah ala kota budaya itu.

(Joe)

Page 53: KIPRAH • Volume 38

53KIPRAH • Volume 38

JELAJAH

Sebagai salah satu negara tropis

dengan kondisi geografis yang

banyak memiliki sungai, teluk,

mapun lembah pegunungan, Indonesia

banyak membutuhkan infrastruktur

jembatan bentang panjang untuk meng-

hubungkan wilayah-wilayah strategis.

Tujuannya untuk mendorong pengem-

bangan wilayah dan pertumbuhan eko-

nomi daerah menuju kesejahteraan rakyat

yang dicita-citakan.

Dengan latar belakang itulah, maka

Pemkab dan Pemprov Kalbar, Kalsel dan

Kaltim dalam waktu dekat berencana

membangun tiga buah jembatan bentang

panjang di wilayahnya. Ketiga jembatan

dimaksud adalah Jembatan Tayan di

Kalbar, Jembatan Kota Baru di Kabupaten

Tanah Bumbu, Kalsel, dan Jembatan Pulau

Balang di Penajam, Kabupaten Paser

Utara, Kaltim.

Belajar

Terkait dengan rencana besar itu Kepala

Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional

(BBPJN) VII, Kalimantan, Subagio me-

ngatakan, kita perlu belajar banyak

tentang teknik jembatan dari negara-

negara maju, agar ke depan aparat kita

mampu membangun jembatan bentang

panjang dengan kemampuan sendiri.

Demikian pula sarana dan prasarana

pendukungnya, seperti ketersediaan

material dan peralatannya, perlu

dipersiapkan dengan baik.

Subagio menilai ketiga jembatan kons-

truksi cable stayed tersebut mempunyai

Jembatan Bentang Panjang:

Penguasaan teknologi pembangunan jembatan bentang panjang, baik dari aspek peralatan, material, maupunperencanaannya mutlak dibutuhkan. Kompetensi SDM juga menjadi faktor penting dalam penguasaan

pembangunan bentang panjang di masa mendatang.

peran penting dan strategis dalam sistem

pengembangan jaringan jalan nasional,

karena merupakan bagian dari mata

rantai Lintas Selatan Kalimantan (3.500

km) yang juga termasuk sistem jaringan

jalan ASEAN Highway atau Borneo High-

way.

Oleh karenanya kendala dana jangan

sampai dijadikan penghambat atau alasan

untuk tidak melayani masyarakat. Besar

kecilnya dana sangat tergantung dari

perencanaan desainnya. Ia mencontoh-

kan, penetapan tinggi dan lebar jembatan

akan sangat berpengaruh terhadap

panjang bentang dan dana yang di-

butuhkan, apakah memilih model desain

diamond pylon seperti Jembatan-Batam-

Bintan, ataukah Suramadu yang berben-

tuk H dimana atas dan bawah vertikal.

Selain itu, perilaku dinamik jembatan

terhadap pengaruh angin, perlu penin-

jauan secara khusus untuk menghindari

terjadinya flutter (getaran). Demikian pula

final desainnya perlu diuji di laboratorium.

“Ibarat beli mobil kita mau Mercy atau

Honda, kedua-duanya layak fungsi sebagai

alat transportasi, tetapi harganya ber-

beda,” ujarnya.

Singkatnya, kata Subagio yang pernah

menangani jembatan Suramadu, pe-

nguasaan teknologi pembangunan

jembatan bentang panjang baik dari

aspek peralatan, material, maupun pe-

rencanaannya mutlak diperlukan. Dan,

yang paling utama adalah faktor

kompetensi SDM-nya.

Apalagi kita memiliki banyak sungai

lebar, teluk maupun lembah pegu-

nungan, jelas butuh infrastruktur

jembatan bentang panjang, guna men-

dorong pengembangan wilayah dan

pertumbuhan ekonomi masyarakat. (Joe)

Dari Penguasaan TeknologiHingga Kompetensi SDM

Jembatan Rumpiang, Kalimantan Tengah. (Foto: Dok.)

Page 54: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH54

Tak banyak orang mengenal dekat

Pulau Karimata, suatu pulau besar

di antara gugusan kepulauan Kari-

mata yang terdiri dari 53 pulau besar

(diantaranya Pulau Serutu, Bulu, dan

Surunggading) dan pulau-pulau kecil.

Akses menuju pulau yang berada di

pesisir Kalimantan Barat ini masih

terbatas dan promosi tentang Pulau

Karimata terbilang belum banyak. Hal ini

mungkin menjadi penyebab kurang

dikenalnya pulau itu. Padahal, pulau nan

indah itu memiliki ekosistem menakjub-

Membenahi Infrastruktur

kan, seperti mangrove (bakau) dan hutan

tropis. Oleh karena itu, Pulau Karimata

ditetapkan sebagai kawasan lindung oleh

pemerintah Indonesia. Di pulau itu juga

terdapat banyak populasi burung walet

sehingga menjadikan pulau ini sebagai

salah satu sumber pencarian sarang

burung walet. Menurut Kasatker Pe-

ngembangan Kawasan Perbatasan Dinas

Pekerjaan Umum Provinsi Kalimantan

Barat, Arkan Yamri, Pulau Karimata

menyimpan potensi laut yang sangat

menawan, misalnya keindahan terumbu

karang dan biota laut lainnya yang dapat

dilihat secara kasat mata. Belum lagi

jernihnya warna air nan biru semakin

memesona orang yang melihatnya.

Untuk menuju pulau tersebut dapat

menggunakan perahu yang ditempuh

selama sekitar delapan jam dari Sukadana

atau Ketapang. Selain perahu, kita dapat

juga menggunakan jasa kapal feri untuk

menyeberang dengan tarif Rp35.000,-

untuk mobil, Rp2.000,- untuk motor, dan

Rp4.000,- untuk orang. Untuk menye-

berang ke pulau terdekat lainnya, masya-

rakat di pulau itu terbiasa menggunakan

speed boat dengan bayaran Rp1.000,-

sekali jalan. Akan tetapi, kendala alam

seringkali menghambat akses menuju

pulau itu. Ketika musim angin selatan

tiba, masyarakat di gugusan Kepulauan

Karimata terisolasi dari Sukadana dan

Ketapang. Saat musim angin selatan, tak

ada perahu yang berani melintasi Selat

Karimata karena tinggi gelombang lebih

dari 3 meter. Masyarakat yang mata

pencahariannya sebagai nelayan pun

tidak bisa mencari ikan karena tingginya

gelombang. Tak hanya kendala di luar

pulau, di dalam pulau juga mengalami hal

yang sama. Jalan tanah masih meng-

hampar di pulau itu sehingga sangat sulit

untuk dilintasi kendaraan bermotor.

Menyadari keterbatasan akses di pulau

tersebut, maka Dinas PU Cipta Karya

Kalbar memulai programnya sejak tahun

2006 melalui dana APBN untuk mem-

bangun prasarana jalan poros desa di

pulau itu. Dengan adanya jalan itu,

diharapkan akan semakin memudahkan

akses masyarakat dan selanjutnya dapat

meningkatkan ekonomi di pulau itu.

Arkan menceritakan bahwa pada saat

membangun jalan poros di pulau itu, ada

JELAJAH

Pulau Karimata

Volume 38 • KIPRAH54

Jalan poros yang dibangun oleh Dinas PU Cipta Karya Kalbar . (Foto: Arkan)

Page 55: KIPRAH • Volume 38

55KIPRAH • Volume 38

60 kubik batu yang digunakan.

Pembangunan jalan dilakukan dengan

melibatkan masyarakat setempat. Selain

agar nantinya mereka mengerti cara

membangun jalan, juga menumbuhkan

rasa memiliki untuk memelihara jalan

tersebut. Saat membangun jalan poros

itu, masyarakat di Karimata mengangkut

dan memilah bebatuan yang digunakan

untuk membangun jalan tersebut. Jenis

jalan yang dibangun adalah rabat beton

dengan perbandingan adukan 1:3:5 dan

tidak memakai tulangan. Ketika jalan

poros selesai dibangun, Arkan meng-

gambarkan begitu suka citanya masya-

rakat menyambutnya. Kini sudah banyak

dari mereka yang memiliki kendaraan

roda dua sebagai sarana transportasi di

pulau itu.

Selain jalan, Dinas PU Kalbar juga mem-

bangun prasarana air minum bronkap-

tering, yakni bangunan penangkap air dari

mata air. Sumber air diambil dari air terjun

di pulau itu. Prasarana air minum itu

sangat penting, mengingat jumlah pen-

duduk Karimata kini semakin berkem-

bang. Pulau Karimata berpenduduk hampir

2000 KK yang tersebar di 3 (tiga) desa,

yakni Padang, Dusun Besar, dan Petok.

Potensi alam laut nan indah itu dan

kekayaan alam Pulau Karimata jika ke

depan ingin dikembangkan sebagai

kawasan wisata, maka masih banyak hal

JELAJAH

yang harus dilakukan. Sebelum ber-

kembang menjadi kawasan wisata, maka

prasarana dan sarana dalam pulau itu

sendiri perlu dibenahi untuk mening-

katkan perekonomian masyarakat.

Masyarakat Pulau Karimata yang sebagian

besar adalah nelayan sangat mendamba-

kan adanya listrik yang selalu mengalir

terus-menerus selama 24 jam. Selain itu,

warga Pulau Karimata yang menggan-

tungkan hidupnya dari hasil laut nelayan

berharap pemerintah menyediakan

pabrik es untuk menyimpan ikan se-

hingga ikan dapat diolah lebih lanjut.

Selama ini, karena tidak ada pabrik es,

maka nelayan tidak dapat menangkap ikan

dalam skala besar karena ikan harus

langsung dijual. Tempat penampungan

ikan sebagai wadah hasil tangkapan

mereka, juga sangat diharapkan warga.

Termasuk di dalamnya dermaga dengan

fasilitasnya. Program yang ada untuk

Pulau Karimata ini perlu didukung oleh

pemerintah untuk membuka keter-

isoliran dan memajukan masyarakat di

pulau-pulau kecil. Kiranya alasan dana

yang terbatas mestinya tidak jadi peng-

halang apabila kita memang ingin me-

majukan pulau-pulau itu, sebelum pihak

55KIPRAH • Volume 38

Peta Kepulauan Karimata Kab. Kayong Utara

Salah satu dermaga kampung nelayan di Pulau Karimata. (Foto: Arkan)

Peta lokasi P. Karimata. (Foto: Dok.)

Page 56: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH56

Preservasi dan Pembangunan Jalan

Infrastruktur jalan dan jembatan yang kurang memadai tetap menjadi fokus perhatian BalaiPelaksanaan Jalan Nasional VI Makassar dengan prioritas utama preservasi dan pembangunan

jalan dan jembatan. Wilayah kerjanya meliputi Lintas Barat, Lintas Tengah, Lintas Timur, dan LintasPenghubung, dengan total panjang jalan nasional 7,1 km yang mencakup 6 daerah provinsi (Sulsel,

Sulbar, Sultra, Sulteng, Gorontalo, dan Sulut).

infrastruktur, khususnya jalan dan

jembatan. Padahal, apabila digarap

dengan baik, hasilnya cukup berperan

dalam perolehan devisa yang memberi

kontribusi besar terhadap penerimaan

negara. Selain itu, hasil eksplorasi dan

pemanfaatan potensi sumber daya alam

yang melimpah tersebut juga belum

banyak pengaruhnya terhadap pe-

ningkatan kesejahteraan masyarakat

setempat. Lagi-lagi penyebabnya adalah

kondisi prasarana dan sarana infrastruktur

dasar, utamanya pelayanan jalan dan

jembatan, yang serba minim itulah

Sulawesi sesungguhnya punya

potensi sumber daya alam dan

hasil tambang luar biasa berupa

bijih nikel, emas, cokelat, kopra, karet, dan

kelapa sawit. Sayangnya, semua sumber

daya tersebut belum digarap secara

maksimal karena keterbatasan prasarana

Fokus Utama Sulawesi

Jalan Lintas Barat SulawesiPanjang : 2.107 kmRencana 2010 : Rp943,98 Miliar

Jalan Lintas Tengah SulawesiPanjang : 2.346 kmRencana 2010 : Rp495,03 Miliar

Jalan Lintas Timur SulawesiPanjang : 1.498 kmRencana 2009 : Rp228,93Miliar

Gorontalo

Palu

Mamuju

Makassar

Kendari

LAPORAN KHUSUS

Peta Trans Sulawesi. (Foto: Wy)

Page 57: KIPRAH • Volume 38

57KIPRAH • Volume 38

makanya kemajuan ekonomi masyarakat

Sulawesi kurang berkembang, bahkan

tertinggal dari daerah lain. “Padahal,

kelengkapan prasarana infrastruktur

menjadi salah satu prasyarat bagi inves-

tor untuk berinvestasi,” tegas Nurdin

Samaila, Kepala Balai Besar Pelaksanaan

Jalan Nasional (BBPJN) VI Makassar

kepada KIPRAH di kantornya awal Juni

lalu.

Nurdin memberikan contoh kondisi jalan

Trans Sulawesi yang secara umum masih

substandar, hanya sebatas kelas III B

dengan lebar 4,5 m dan batas tonase

kendaraan 8 ton dengan toleransi sekitar

10 persen. Padahal, jumlah dan volume

kendaraan yang lewat semakin ber-

tambah dengan muatan berlebih. Kondisi

tersebut mengakibatkan jalan menjadi

cepat rusak. “Dampak kerusakan jalan

sangat mengganggu distribusi barang,

orang, dan jasa yang berimbas pada

terpuruknya ekonomi masyarakat,” ujar

Nurdin.

Menurut pengamatan KIPRAH, belum

selesainya proyek pembangunan Trans

Sulawesi yang telah dikerjakan sejak

tahun 2008 itu umumnya terkendala

masalah pembebasan lahan yang belum

juga tuntas. Sebagai contoh, pembetonan

pada jalan poros Makassar-Maros-

Pangkep-Barru-Parepare sepanjang 120

km masih banyak yang terputus di

beberapa titik karena terkendala banyak-

nya lahan yang belum dibebaskan. Pihak

pemprov dan pemkab dalam waktu

singkat akan merumuskan solusi sebagai

pemecahan masalah yang terjadi, se-

bagaimana yang dijanjikan Sjahrul Yasin

Limpo, Gubernur Sulsel, pada suatu

kesempatan.

Faktor kecelakaan dan rusaknya jalan di

jalur lintas Barat Sulawesi selain di-

tengarai akibat ketidakdisiplinan para

pengguna jalan, juga disebabkan oleh

faktor alam, seperti banjir, longsor, dan

abrasi pantai. Umumnya banjir terjadi

karena fungsi drainase tak berjalan

maksimal ataupun adanya kendala mem-

buang air ke sungai terdekat. Peristiwa

seperti itu sering terjadi di sejumlah ruas

jalan nasional di Sulawesi, baik di Lintas

Barat, Tengah, maupun Timur, termasuk

Lintas Penghubung antarwilayah provinsi,

kabupaten, dan kota.

Permasalahan lain yang berkaitan dengan

lemahnya daya dukung jalan adalah akibat

kelebihan beban lalu lintas dan ter-

batasnya kapasitas jalan sehingga menye-

babkan jalan lebih cepat rusak dari umur

rencana. Selain itu, tingginya traffic den-

sity (kepadatan lalu lintas) pada suatu

segmen jalan juga turut andil dalam

memperparah kerusakan jalan. Terus

terang Nurdin meng-

akui bahwa ribuan ki-

lometer panjang ja-

lan nasional di wila-

yahnya butuh peme-

liharaan berkala

dengan biaya tidak

kecil, tidak sekedar

pemeliharaan rutin

yang sifatnya tambal

sulam yang selama ini

dilakukan. Akan te-

tapi, di sisi lain ia pun

menyadari bahwa

keterbatasan dana

yang dianggarkan,

baik dalam APBN,

APBD, maupun sum-

ber dana lain tidak

pernah mencukupi standar kebutuhan

minimal.

Prinsip pengembangan jaringan jalan di

Sulawesi saat ini sudah berkembang

seperti di Pulau Jawa dan Sumatera,

diantaranya dengan pembangunan jalan

lingkar, fly over, under pass, jalan arteri

primer, akses ke pelabuhan laut dan

bandara, serta jalan baru atau jalan tol.

Penegasan itu disampaikan Nur Zaitun,

Kasie Perencanaan Teknik BBPJN VI

Makassar. Ia mencontohkan pembangun-

an fly over Urip Sumohardjo yang me-

rupakan langkah awal pengembangan

jalan di Sulawesi. Begitu pula dengan

pembangunan jalan tol menuju Bandara

Sultan Hassanudin Makassar ataupun

rencana pembangunan jalan tol ruas

Bitung-Manado

Adapun kondisi jembatan di Sulawesi

secara keseluruhan masih relatif baik

untuk bisa dilewati,walaupun di beberapa

tempat masih terdapat jembatan semi

permanen yang perlu diduplikasi atau

direhabilitasi dan diganti dengan yang

baru. Ditinjau dari segi umur, sebagian

jembatan di sana sudah tua dan ke-

mampuan strukturnya kurang memadai.

Masih bisa didapati pula jembatan rangka

baja tipe CH (Callender Hamilton),

jembatan Bailey, maupun kayu yang

berfungsi baik. Terkait dengan pe-

manfaatan teknologi, Nurdin selalu

mendorong dilakukannya inovasi tekno-

logi disain, yang selain memperhatikanHasil peningkatan jalan nasional Lintas Timur Sulawesi telah

dimanfaatkan masyarakat. (Foto: Joe)

Nurdin Samaila, Kepala BalaiBesar Pelaksanaan Jalan Nasional

(BBPJN) VI Makassar. (Foto: Joe)

LAPORANKHUSUS

Page 58: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH58

kekuatan struktur, juga keindahan.

Program Kegiatan

Terkait pengembangan jalan di Sulawesi,

langkah pertama yang dilakukan oleh

pemerintah daerah adalah meng-

utamakan penanganan preservasi untuk

mempertahankan kinerja jalan dan

kondisi jalan yang ada agar tetap

berfungsi. Kedua, melakukan pem-

bangunan jalan melalui peningkatan,

pelebaran, perkuatan struktur dan

pembangunan jalan baru dengan tujuan

untuk memenuhi kebutuhan peningkatan

kapasitas yang diakibatkan perkem-

bangan lalu lintas, perkembangan

wilayah, dan menambah tingkat pela-

yanan aksesibilitas jaringan jalan.

Nurdin tetap bertekad untuk dapat

mendekatkan pelayanan publik ke

masyarakat, khususnya dalam penyediaan

infrastruktur jalan dan jembatan, antara

lain dengan meningkatkan kapasitas dan

struktur jalan dengan pelebaran dari rata-

rata 4,5 m menjadi 6 m. “Setidaknya dari

segi fungsinya, pada tahun 2014 seluruh

Lintas Barat Sulawesi, yaitu mulai dari

Makassar hingga Manado, sepanjang

2.000 km dalam kondisi mantap mulus

beraspal,” tuturnya meyakinkan. Tahun

ini saja hampir 50 persen telah selesai

dikerjakan sehingga masyarakat sudah

bisa merasakan jalan yang sudah mulus

dan beraspal lebar. Seperti halnya ruas

Mamuju-Palu yang sebelumnya harus

ditempuh selama 12 jam, kini perjalanan

dengan mobil hanya butuh waktu 6–7 jam.

Jalan poros ini sebelumnya dikenal

sebagai jalur maut karena seringnya

banjir dan longsor serta tidak aman.

Demikian pula dengan jalan poros empat

lajur Makassar-Parepare memiliki nilai

strategis karena tingkat kepadatan lalu

lintasnya sangat tinggi dan menjadi jalur

perlintasan kendaraan dari arah wilayah

utara Sulsel ke Makassar dan/atau

sebaliknya. Pihak Balai berketetapan

meningkatkan ruas ini menjadi dua jalur

empat lajur dengan pembetonan selebar

14 m, belum termasuk bahu dan median

jalan yang masing-masing selebar 1,5 m.

“Ruas ini nantinya akan menjadi jalan

empat lajur terpanjang di luar Pulau

Jawa,” tegas Nurdin. Diakuinya bahwa

untuk mewujudkan tekad tersebut

bukanlah perkara gampang. Banyak

kendala yang harus dihadapi, terutama

masalah pembebasan lahan.

Di samping terbatasnya dana, peralatan,

SDM, dan kelembagaan juga masih perlu

ditingkatkan. Sementara itu, peningkatan

kualitas struktur dan kapasitas jalan di

tingkat pelaksana perlu dilakukan sesuai

dengan Standar Pelayanan Minimum

(SPM) yang menitikberatkan pada

Lubang

jalan berdiameter

antara 50 cm dan 100

cm dengan kedalaman

hingga 30 cm

Jalanan tidak dilengkapi lampu

hingga menambah tingkat kerawanan

celaka di malam hari.

Sepanjang Jalan Raya Lintas Timur Sulawesi ,hanya

Kendari - Kolaka dan Poso - Palu yang mantap, selebihnya masih

memerlukan perbaikan rutin/berkala bahkan rekonstruksi.

Sebagian besar 30% kondisinya mantap, sisanya rusak berat,

sedang,dan ringan, bahkan sebagian berupa jalan kerikil dan tanah.

Sumber : Himpunan Pengembanagn Jalan Indonesia (HPJI)/Tim Kiprah

Panjang Jalan 1.498 kmKondisi baik 30% (449.4 km)Faktor penyebab kerusakan - Kelebihan beban (rata-rata kemampuan beban jalan adalah 10 ton, tetapi sehari-hari beban yang ada bisa mencapai 18-20 ton) sebesar 90%. - Faktor lain (longsor, banjir, pekerja- an yang tidak sempurna) sebesar 10%.Tindakan pemerintah berupapreservasi (perbaikan) danpembangunan jalan danjembatan.

LAPORAN KHUSUS

Page 59: KIPRAH • Volume 38

59KIPRAH • Volume 38

penanganan kerusakan sejak dini, selain

membatasi beban muatan kendaraan

sesuai daya dukung jalan. Upaya lain yang

dilakukan adalah meningkatkan ke-

mampuan SDM pengujian mutu dan

pengawas lapangan serta meningkatkan

tertib administrasi. Di pihak lain, ke-

mampuan teknis para kontraktor dan

konsultan juga perlu ditingkatkan melalui

akreditasi dan sertifikasi keahlian.

Untuk program kegiatan tahun 2010,

BBPJN VI Makassar mendapat kucuran

dana APBN sebesar Rp 1,9 trilliun, di-

samping bantuan dana pinjaman EINRIP

(Eastern Indonesia National Road Improve-

ment Project) dari Australia, ADB, dan

bantuan luar negeri lainnya. Agenda

utamanya adalah meneruskan beberapa

program dan kegiatan dari periode

sebelumnya yang masih belum selesai.

Program EINRIP yang dikerjakan saat ini

adalah peningkatan jalan dan jembatan

Tinangea-Kasaipute di Provinsi Sultra

sepanjang 33,77 km, tepatnya km 118,85

sampai ke km 152,62 melewati Taman

Nasional Rawa Aopa Watumohai (RAW)

sehingga menyulitkan perolehan bahan

galian batu. Pada ruas ini ada 21 jembatan

yang ditingkatkan kapasitasnya dengan

konstruksi box culvert dan 5 buah

jembatan yang perlu direhabilitasi. Nilai

kontraknya mencapai Rp115,73 miliar.

Bersamaan dengan itu, dikerjakan pula

ruas jalan Bambae-Simpang Kasipute

sepanjang 23,93 km dengan dana EINRIP

sebesar Rp96,60 miliar. Sementara itu,

program EINRIP di Sulsel menangani

peningkatan jalan sepanjang 26,88 km,

yaitu antara Bantaeng-Bulukumba,

berikut 5 buah jembatan baru dengan to-

tal bentang 89 m dan rehabilitasi dua

buah jembatan lama. Nilai paketnya

mencapai Rp124,60 miliar.

Program EINRIP masih menangani

sejumlah paket peningkatan jalan dan

jembatan di Pulau Sulawesi, yakni ruas

Sengkang-Impaimpa sepanjang 24,18 km

dengan meningkatkan struktur dan

kapasitas jalan melalui pelebran dari 4,5

m menjadi 6 m, berikut 6 buah bangunan

jembatan dengan panjang total 211 m.

Total nilai kontraknya mencapai Rp100,65

miliar. Paket lainnya adalah peningkatan

jalan dan jembatan di koridor Molibagu-

Taludaa di Provinsi Sulut yang mencakup

pengadaan material 5 buah jembatan

rangka baja dengan total panjang 480 m

dan peningkatan jalan sepanjang 2 km

dengan alokasi dana sebesar Rp42,66

milyar. Di wilayah ini sering terjadi banjir

dan tanah longsor yang menyebabkan

kerusakan infrastruktur jalan dan

jembatan.

Ada pun 4 paket pekerjaan yang masih

dalam persiapan tender di wilayah BBPJN

VI, masing-masing adalah ruas Lakuan-

Buol di Sulteng sepanjang 16,24 km

dengan 2 buah jembatan. Adapun untuk

pembangunan ruas jalan Jeneponto-

Banteang (25,83 km), ruas Ende-Aegela

(15,60 km) dan ruas Bulukumba-Tundong

(65,24 km), ketiganya di Provinsi Sulsel,

merupakan pekerjaan lanjutan. Selain

itu, masih banyak jalan dan jembatan lain

yang dibangun melalui dana APBN murni

yang letaknya tersebar.

Menurut Nurdin, pengelolaan infra-

struktur jalan sangat multidimensi dan

banyak melibatkan stakeholder di bidang

lain, seperti tata ruang, manajemen

transportasi, dinas-dinas terkait, pe-

merintah daerah, maupun masyarakat,

bahkan diperlukan juga rujukan antar-

kementerian. Banyak hal yang harus

menjadi urusan bersama dalam menjaga

komitmen, misalnya berkaitan dengan

dengan regulasi bobot maksimal ken-

daraan. Pihak-pihak terkait mestinya

menyiapkan berbagai regulasi dan lang-

kah nyata agar usia jalan dan jembatan

sesuai dengan berat muatan yang di-

anjurkan. Begitu juga ketika peningkatan

struktur dan kapasitas jalan dilakukan,

tetapi tidak disertai dengan komitmen

para pengguna jalan dalam mematuhi

perundang-undangan. Hal ini juga akan

mengulang pengalaman buruk selama

bertahun-tahun, yakni jalan sering di-

bangun atau diperbaiki tetapi juga sering

rusak. Diharapkan dengan penanganan

yang menyeluruh dan komprehensif

dapat disediakan infrastruktur jalan dan

jembatan yang handal, bermanfaat, dan

berkelanjutan. (Joe)

LAPORANKHUSUS

Peningkatan struktur dan kapasitas infrastruktur jalan di Sulawesi. (Foto: Joe)

Page 60: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH60

Sebulan lalu (Juni) selama satu

pekan KIPRAH melakukan

perjalanan ke wilayah Sulawesi

bagian timur. Kami menyusuri jalan lintas

timur mulai dari Makassar-Sinjai-Bajoe-

Kolaka-Kasipute-Kendari-Buton-Bungku-

Beteleme-Poso-Parigi hingga ke kota

Palu, ibu kota Sulteng. Menurut peng-

amatan KIPRAH, tidak seperti di Lintas

Barat, hampir 30 persen jalan nasional di

Penghasil Aspal,

Siapa yang tidak kenal Buton? Sebagai pulau penghasil aspal, tidak serta merta membuat daerah ini memilikijalan yang mulus. Bahkan sebaliknya, meski aspal identik dengan jalan yang mulus, namun tidak demikian

kondisi jalan di daerah-daerah di Sulawesi, terutama di Buton. Tidak sulit bagi warga untuk menemukan jalanrusak karena memang hampir seluruh bagian aspal jalan nasional selebar 4,5 meter itu sudah terkelupas dan

terlihat lapisan tanah di bawahnya.

Tetapi Miskin Jalan Beraspal

Lintas Timur Sulawesi kondisinya mantap,

70 persen sisanya rusak ringan, rusak

berat, bahkan sulit dilewati di kala musim

hujan karena masih berupa jalan ma-

kadam (pengerasan jalan dengan cara

memberi dua macam lapisan batu-batuan,

kasar dan halus, pada lapisan dasar batu

sungai), kerikil, dan sebagian tanah.

Kerusakan terparah justru terjadi di

Buton yang merupakan daerah utama

penghasil aspal, yaitu antara Kota Bau-

Bau dan Buton, tepatnya di Kelurahan

Gonda Baru, Kecamatan Sorawolio.

Demikian pula ruas jalan nasional yang

menghubungkan Kota Kolaka dengan

batas Sulsel; ataupun Kolaka dengan

Kendari (ibu kota Sultra) lewat jalan poros

selatan Kasipute, dan Kendari batas

Sulteng. Kami menyaksikan banyak badan

Arus lalu lintas barang dan jasa menjadi terganggu akibat buruknya jalan. (Foto: Joe)

LAPORAN KHUSUS

Page 61: KIPRAH • Volume 38

61KIPRAH • Volume 38

jalan yang hancur membentuk lubang-

lubang cukup besar sedalam lebih dari 10

sentimeter.

Pada musim hujan, lubang-lubang itu

menyerupai kolam berair keruh, sehingga

pengendara harus ekstra hati-hati dan

mengurangi laju kecepatannya hingga 20

km per jam. Sebagai contoh, jarak Pasar-

wajo, ibu kota Kabupaten Buton, dengan

Kota Bau-Bau sepanjang 48 km yang

semula dalam kondisi baik sehingga dulu

dapat ditempuh selama satu jam, namun

kini harus ditempuh selama dua jam.

Pelabuhan Bau-Bau merupakan andalan

Sultra. Kapal-kapal yang bersandar di

pelabuhan ini merupakan kapal nasional,

kapal rakyat, kapal perintis, hingga kapal-

kapal pelayaran luar negeri. Bau-Bau, yang

sejak abad ke-16 berfungsi sebagai kota

pelabuhan bagi Kasultanan Buton, di-

resmikan sebagai kota otonom pada

Oktober 2001. Kota berpenduduk 150.000

jiwa tersebut kini mulai menata diri.

Data dari Dinas Pekerjaan Umum Kota

Bau-Bau menunjukkan bahwa panjang

jalan nasional di wilayah Kota Bau-Bau

pada tahun 2009 adalah 62,076 km. Jalan

sepanjang 8,04 km diantaranya dalam

keadaan rusak berat. Tidak banyak terjadi

perubahan karena jalan nasional yang

rusak berat pada tahun 2008 tercatat

sepanjang 8,35 km.

Warga sekitar jalan itu tentu sangat

kecewa karena jalan tak kunjung

diperbaiki. Beragam kecelakaan terjadi di

sepanjang jalan rusak itu, terutama

dialami oleh pengendara sepeda motor.

Banyak pula mobil yang mogok karena

sumbu dan per roda patah. Akibatnya,

aktivitas perekonomian warga tersendat.

Sebagaimana yang diungkapkan Facrul

(34), sopir angkot jurusan Bau-Bau-

Pasarwajo yang harus mengeluarkan

biaya tambahan sekitar Rp500.000,- per

bulan untuk perawatan angkotnya.

Rasa kecewa itupun diekspresikan warga

dengan menanam sejumlah pohon

pisang dan nanas di badan jalan. Bukan

hendak mengganggu pengguna jalan lain,

tetapi tindakan ini merupakan simbol

protes warga atas buruknya pelayanan

pemerintah. Apapun statusnya, warga

hanya menginginkan jalan tersebut

segera diperbaiki. “Kami disuruh bayar

pajak tepat waktu, tapi kapan pemerintah

bisa membangun tepat waktu?” tuntut

Facrul.

Menurut Nasrun Nasiot, Kepala Satker

Preservasi Jalan dan Jembatan Provinsi

Sultra, ada tujuh tambang aspal di Buton,

yaitu Kabungka, Winto, Winil, Siantopina,

Ulale, Ereke, dan Lawele. Total deposit

aspalnya mencapai 660 juta ton, ter-

simpan di areal 70.000 hektar. Dengan

jumlah itu diperhitungkan bisa diproduksi

2 juta ton per tahun, namun produksi per

tahunnya masih terbatas hanya 200.000

ton dengan kualitas terbatas karena

teknologi pengolahannya masih tradi-

sional.

Produk akhirnya adalah aspal padat yang

masih kasar. Jenis ini bermutu rendah

karena jalan yang dihasilkan dari campur-

an aspal ini cepat rusak alias tidak tahan

lama karena daya rekatnya kurang, baik

untuk aspal curah maupun aspal butir

yang memerlukan pengolahan khusus.

Meski pemerintah berupaya meng-

galakkan pemakaian asbuton, tetapi

konsumen kurang berminat. Selain

masalah teknologi, modal dan pengadaan

juga menjadi kendala. Pasokannya sering

terlambat, sementara investor yang

diharapkan terjun ke industri ini juga

belum maksimal memainkan perannya.

Adapun perusahaan pemegang hak

eksplorasi dan pengolahan hingga saat ini

adalah PT Sarana Karya yang merupakan

Badan Usaha Milik Negara.

Sebagian besar usia jalan nasional di Bau-

Bau khususnya dan Sultra umumnya telah

lebih dari 10 tahun dan hingga kini belum

tersentuh penanganan berkala. Nasrun

berharap dana pemeliharaan dapat

ditambah, sehingga jalan yang rusak

cepat dapat ditangani secara berkala,

bukan hanya penanganan rutin yang

sifatnya tambal sulam semata. (Joe)

Hampir seluruh bagian aspal jalan nasional selebar 4,5 meter itu sudah terkelupas dan terlihatlapisan tanah dibawahnya. (Foto: Joe)

LAPORANKHUSUS

Page 62: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH62

Di sepanjang jalan raya Lintas Timur

Sulawesi mungkin hanya jalan di

Provinsi Sulawesi Tenggara (Sul-

tra) dan Sulawesi Tengah (Sulteng)

bagian timur yang sangat rusak serta

sedikit kerusakan di jalan ruas Kolaka-

Kendari (ibukota Sultra) dan Poso batas

Palu (ibu kota Sulteng). Jalan dari Kolaka

ke Lasusua misalnya, jaraknya memang

cukup jauh, sekitar 150 km. Meskipun

Jalan Lintas Timur Sulawesi

Kondisi jalan raya Pantura di Pulau Jawa yang rusak di beberapa bagian tidak jarang menjadi berita besar diberbagai media. Akan tetapi, kondisi jalan yang buruk di jalur itu masih jauh lebih baik apabila dibandingkan

dengan kondisi jalan yang memprihatinkan di Trans Sulawesi pada umumnya, terlebih di ruas Lintas TimurSulawesi.

begitu, suatu perjalanan akan terasa

nyaman dan menyenangkan apabila

kondisi jalan yang dilalui cukup baik.

Apalagi ditambah dengan pemandangan

alam yang indah di perjalanan. Namun

kenyataannya, jarak sejauh itu kini harus

ditempuh selama 4 jam melalui jalan yang

rusak, berkelok-kelok dan sempit, dengan

kondisi aspal tidak mulus. Jika pun jalan

sudah beraspal, di beberapa bagian jalan

tersebut terdapat lubang-lubang selebar

20-50 cm dengan kedalaman 5-10 cm.

Perjalanan pun menjadi terasa me-

lelahkan.

Dari Kolaka memasuki wilayah Kabupaten

Lasusua, ibukota Kolaka Utara, Provinsi

Sultra, transportasinya sangat sulit.

Lubang-lubang menganga di tengah jalan

seakan menjadi jebakan maut. “Daerah

Memprihatinkan

Ruas jalan Raya Nasional Bungku - Bahodopi, Sulteng setelah ditingkatkan. (Foto: Joe)

LAPORAN KHUSUS

Page 63: KIPRAH • Volume 38

63KIPRAH • Volume 38

ini juga dikenal sebagai daerah rawan

bencana alam, khususnya banjir dan

longsor. Padahal, jalur Kolaka-Lasusua

merupakan jalur Trans Sulawesi atau

Lintas T imur Sulawesi yang meng-

hubungkan dua provinsi, yakni Sulsel dan

Sultra,” ujar Amral, Kepala PPK (Pejabat

Pembuat Komitmen) Ruas Kolaka Utara,

kepada KIPRAH. Wilayah ini juga kaya

akan sumber daya alam berupa kakao,

kelapa dan cengkeh, serta ikan yang

dipasarkan melalui pelabuhan Lasusua.

Pelabuhan ini sekaligus menjadi peng-

hubung antara Kolaka Utara dengan Siwa,

Kabupaten Wajo di Provinsi Sulsel. Jika

saja kondisi jalan nasional ini bisa di-

perbaiki dan akses jalan menuju pela-

buhan bisa ditingkatkan, maka daerah ini

akan semakin berkembang maju sekaligus

dapat menjawab masalah keterisolasian

wilayah yang sampai saat ini masih

dirasakan.

Ketidak nyamanan juga dirasakan KIPRAH

ketika memasuki ruas selatan antara

Kolaka menuju Kendari lewat Simpang

Kasipute dimana hampir seluruh badan

jalan tidak beraspal. Tak jarang terlihat

aspal yang mengelupas dipenuhi batu-

batu sebesar bola tenis. Jarak sekitar 400

km harus ditempuh selama satu hari

penuh!

Sejak dari Pomalaa-Boepinang-Bambae-

Simpang Kasipute hingga Tinanggea, ibu

kota Kabupaten Tinanggea Selatan, kami

menempuh jalan negara yang ber-

gelombang penuh lubang menganga dan

kubangan lumpur dengan diameter 50 –

100 cm berkedalaman lebih dari 30 cm.

Akibatnya, kendaraan tidak bisa dipacu

penuh, hanya dengan kecepatan 20

hingga 30 km/jam. Pada saat musim hujan,

jalan ini kian sulit dilalui dan banyak

kendaraan terjebak kemacetan.

Bantuan EINRIP

Untuk mendekatkan pelayanan prasarana

jalan dengan masyarakat, saat ini pihak

balai sedang menangani peningkatan

jalan dan jembatan di wilayah Tinanggea

Selatan ke arah Simpang Kasipute hingga

batas Bambae. Menurut Kepala Satker

Pembangunan Jalan Nasional Provinsi

Sultra, Syaiful Rizal, pekerjaannya terbagi

dalam 2 paket, yakni paket jalur Tinang-

gea-Simpang Kasipute dan jalur Simpang

Kasipute-Bambae.

Konstruksi ruas jalan Tinaggea-Simpang

Kasipute sepanjang 33,77 km dikerjakan

sejak setahun lalu, namun kemajuannya

tergolong lambat karena terkendala

penyediaan bahan material batu. Proyek

ini mendapat bantuan EINRIP dari Aus-

tralia sebesar Rp115,73 miliar untuk

peningkatan jalan dan 21 jembatan

bentang pendek dengan konstruksi box

culvert serta 5 buah jembatan existing

dengan rehabilitasi.

Hampir sebagian besar jalan ini melewati

kawasan Taman Nasional Rawa Aopa

Batumohai (RAW). Karena wilayah di

sepanjang 20 km tidak boleh diganggu,

maka material batunya terpaksa harus

didatangkan dari luar daerah. Syaiful juga

mengatakan bahwa untuk melakukan hal

tersebut pun perlu rujukan dan izin

antarkementerian, khususnya Kemen-

terian Kehutanan, apabila SNVT (Satuan

Kerja Non Vertikal Tertentu) mau mem-

bangun atau meningkatkan struktur dan

kapasitas jaringan jalan yang ada. Bantuan

Gubernur Sultra juga sangat diharapkan

untuk memperlancar pekerjaan proyek.

Paket kedua adalah Bambae-Simpang

Kasipute sepanjang 23,93 km, dengan to-

tal dana sebesar Rp95,60 miliar. Kedua

paket bantuan EINRIP tersebut di-

harapkan dapat dirampungkan akhir

tahun 201l. Syaiful berharap selesainya

proyek ini tentu akan memperlancar

hubungan transportasi darat antara

Bambae-Simpang Kasipute-Tinanggea-

Kendari, yang selama ini terhambat akibat

banyaknya jalan yang rusak.

“Setidaknya dapat memfungsikan jalan

nasional serta menghilangkan segmen

yang rusak berat sehingga bisa menjadi

urat nadi perekonomian dan mendorong

pengembangan wilayah Sultra bagian

selatan,” ujar Syaiful.

Kendari - Batas Sulteng

Kondisi yang hampir sama juga ditemui

KIPRAH pada saat melewati ruas jalan

Kondisi jalan Kendari batas Sulteng 30 persen beraspal, sisanya jalan kerikil dan tanah yangsulit dilalui pada saat musim hujan. (Foto: Joe)

LAPORANKHUSUS

Page 64: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH64

nasional antara Kendari hingga batas

Sulteng. Dalam pantauan KIPRAH (11/6),

untuk ruas ini, kerusakan jalan mulai

terlihat saat keluar Kota Asera, ibu kota

Kabupaten Tinanggea Utara menuju

Landawe hingga batas Sulteng. Men-

jelang masuk ke daerah perbatasan,

kerusakan jalan makin parah karena

kondisi jalannya masih berupa kerikil dan

tanah serta licin tatkala disiram hujan.

Lubang-lubang besar makin sering di-

jumpai. Pengendara mobil harus meliuk

ke kanan dan ke kiri untuk menghindari

lubang. Lintasan ini lebih dikenal dengan

sebutan “jalur maut” karena seringnya

terjadi kecelakaan. Banyak kendaraan

terjebak kemacetan akibat buruknya

jalan, terlebih jika musim hujan hanya

kendaraan dobel gardan yang bisa lewat.

Padahal lintasan yang menghubungkan

Kabupaten Morowali dan Kendari ini

mulai ramai dilalui kendaraan bus dan

angkutan umum.

Seperti yang dialami Sofyan (35), kendara-

an truk yang dikemudikannya terbalik

akibat terperosok ke dalam kubangan di

tengah jalan. Ratusan bal karung barang

sembako seberat 2 ton yang dibawanya

dari Kendari berserakan di jalan raya itu.

Untung saja nyawa Sofyan tidak melayang.

Truk Fuso itu terbalik di tikungan tajam

pada pukul 02.00 WITA dini hari, sehingga

tak ada seorang pun yang menolong.

Apalagi pada malam hari karena jalan itu

tak dilengkapi dengan lampu penerang.

Kendati masih banyak jalan yang rusak,

daerah ini kian berkembang karena

potensi sumber daya alamya cukup besar.

Selain hasil tambang nikel, perikanan,

kopra, cengkeh dan coklat, perkebunan

kelapa sawit pun kini mulai dibuka,

namun sayang prasarana jalannya masih

kurang mendukung. Sementara bila

menggunakan transpotasi laut sering

terkendala cuaca, sehingga waktu tem-

puhnya tak pasti, meski fasilitas sarana

pelabuhan di Laweroro kini mulai di-

bangun. Terbatasnya infrastruktur dasar

seperti pelayanan listrik, pendidikan, air

bersih, kesehatan dan komunikasi juga

masih menjadi persoalan. Demikian pula

antara batas Sultra-Buleleng-Bahodopi-

Bungku ibu kota Kabupaten Morowali,

Provinsi Sulteng. Kondisi jalannya banyak

yang bopeng-bopeng, bahkan sebagian

masih berupa jalan kerikil dan tanah yang

sulit dilalui di kala musim hujan.

Berdasarkan pantauan KIPRAH di lokasi

ini, masih banyak didapati kondisi jalan

yang menanjak cukup terjal, tikungan

tajam, dan lebar jalan yang kurang

memadai, serta kiri-kanan tebing/jurang

yang memiliki andil besar atas terjadinya

kemacetan dan kecelakaan. Kondisi

tersebut diperparah lagi dengan sering

terjadinya bencana alam, seperti banjir,

tanah longsor dan abrasi pantai. Tebing

jalan yang longsor, disamping menutupi

badan jalan, acap kali juga merusak

strukturnya. Akibatnya, lalu lintas ken-

daraan menjadi macet dan harus antri

berjam-jam lamanya menunggu mobilitas

alat berat dan dilakukan pembersihan.

Perhitungan waktu untuk melintas men-

jadi sangat penting karena sarana hu-

bungan komunikasi sangat terbatas

sementara di sana sering tidak ada sinyal.

Di tingkat pengguna jalan, masih banyak

dijumpai kendaraan yang melebihi batas

muatan, seperti mobil pengangkut kelapa

sawit dan kendaraan berat milik pe-

ngusaha nikel setempat yang membawa

material dan BBM dari Kolonedale

menuju pelabuhan Bahodopi sejauh 160

km. Kondisi seperti ini menurut pe-

ngawas lapangan, Somad (37), me-

nyebabkan ruas dan titik tertentu ter-

kadang butuh penanganan khusus karena

kondisi tanahnya bersifat spesifik, seperti

tanah ekspansif, lapisan tanah mudah

bergerak, atau melewati tanah genangan

yang rawan longsor, dan lain sebagainya.

Padahal menurut Sompi, Kasatker Preser-

vasi Jalan Nasional Provinsi Sulteng,

kelebihan beban muatan sampai 2 kali

lipat dapat mengakibatkan kerusakan

jalan 16 kali lipat. Artinya, kapasitas

pelayanan jalan dalam kurun waktu

tertentu akan sangat cepat memerlukan

perbaikan. Sementara itu, untuk mem-

perbaiki jalan di lokasi-lokasi tersebut juga

tidaklah mudah dan murah. “Apalagi

dengan keterbatasan dana,” tegas Sompi.

Prasarana jalan di Kota Bungku sebagai

ibu kota Kabupten Morowali (hasil

pemekaran dari Kabupaten Poso) juga

banyak yang buruk, masih ditambah

dengan minimnya daya listrik dan sarana

komunikasi. Kapasitas listrik sangat

terbatas, hanya mampu berfungsi selama

12 jam–saat magrib hingga matahari

Jembatan konstruksi baja masih fungsional menghubungkan Kendari - Bungku, Sultra. (Foto: Joe)

LAPORAN KHUSUS

Page 65: KIPRAH • Volume 38

65KIPRAH • Volume 38

terbit. Hingga muncul kelakar masyarakat

tentang pelayanan listrik yang kurang

memadai bahwa kalau (jadwal) listrik di

sana bagaikan minum obat resep doker,

sehari nyala, tiga hari padam. Sementara

itu, kebutuhan listrik untuk siang hari di

perkantoran disuplai dari mesin genera-

tor disel milik sendiri.

Permukaan kerikil hampir mendominasi

seluruh jalan nasional Bungku-Poso

sepanjang 220 km. Ruas Bungku-

Beteleme misalnya, dari 120 km panjang

jalan yang ada, 50 persen diantaranya

dalam kondisi sedang, sisanya rusak

ringan dan berat. Demikian pula dengan

ruas jalan Beteleme hingga Tentena

Danau Poso yang memerlukan waktu

tempuh hingga 6 jam perjalanan.

Faktor lain yang menyebabkan jalan cepat

rusak adalah kondisi topografi daerah

pegunungan serta perbukitan berbatu,

terutama di wilayah jazirah Sulawesi, yang

sangat rawan terhadap bencana longsor

sehingga diperlukan penataan geometrik

jalan, selain perlu pula peningkatan

profesionalisme penyedia jasa konstruksi

dan konsultan. Meskipun begitu, ia juga

mengakui bahwa untuk mewujudkan

sasaran dan tujuan yang hendak dicapai

pihaknya terkendala dengan terbatasnya

alokasi dana yang tidak sebanding dengan

panjang jalan yang harus ditangani.

Penanganan

Sompi mengatakan bahwa pada umum-

nya ruas jalan yang ia tangani umurnya

sudah cukup tua sebab dibangun sejak 10

tahun silam sehingga perlu pemeliharaan

berkala, bukan penanganan rutin yang

sifatnya tambal sulam. Bahkan, di be-

berapa ruas menurutnya perlu dilakukan

rehabilitasi dan rekonstruksi.

Pihak balai Sulteng tahun ini menangani

peningkatan struktur dan kapasitas jalan

ruas Bungku-Beteleme sepanjang 30 km,

termasuk penggantian sejumlah jem-

batan. Pihak Dinas PU Bina Marga Ka-

bupaten juga mengerjakan jalan nasional

dari pusat kota menuju batas kota

sepanjang 9 km melalui dana stimulus. Hal

ini diungkapkan oleh Kepala Dinas PU

Kabupaten Morowali, Nyoman, kepada

KIPRAH. “Parahnya perhubungan darat

membuat Pemkab Morowali lebih

banyak mengalokasikan dana belanja

pembangunan untuk sektor transportasi

dibandingkan dengan 20 sektor lainnya,”

ujarnya.

Idris, Kepala Satker Pembangunan Jalan

dan Jembatan Provinsi Sulteng, yang

diwawancarai KIPRAH di tempat berbeda

mengatakan bahwa sebetulnya sejak dua

tahun terakhir pihaknya telah melakukan

peningkatan jalan pada ruas Bungku-

Bahodopi menuju batas Sultera se-

panjang 60 km, terbagi dalam 2 paket

pekerjaan. Menurut laporan, dari ke-

seluruhan panjang jalan nasional tersebut

(130 km), 40 persen diantaranya efektif

dalam kondisi mantap, sisanya masih

dalam tahap penyelesaian, termasuk

penggantian 2 jembatan, masing-masing

Jembatan Lapeu Cs dan Jembatan Tabaa

Cs, berikut 5 buah box culvert.

“Untuk penyelesaian proyek ini, kami

harus berpacu dengan waktu, bekerja

Buruknya kondisi jalan di Sultra membuat tergulingnya exavator sehingga mengganggu aruslalu lintas perjalanan darat antara Kendari dan Batas Sulteng . (Foto: Joe)

siang-malam, menghadapi cuaca yang

kurang bersahabat karena curah hujannya

relatif tinggi,” ujar Budi Hari Jaya,

karyawan dari perusahaan kontraktor

yang mengerjakan proyek tersebut. Ia

harus mengupas, memotong, dan me-

nurunkan bukit berbatu hingga 85.000

meter kubik selama hampir 1,5 bulan.

Apabila di Bungku-Tentena sebagian besar

jalannya rusak, lain halnya dengan kondisi

jalan raya antara Poso-Palu (220 km) yang

umumnya sudah mantap sehingga ken-

daraan dapat dipacu dengan kecepatan

penuh rata-rata 70-80 km/jam.

Idris berpendapat sudah seharusnya

jalan Lintas Sulawesi di daerah Sultra

dan Sulteng direhabilitasi, jangan

sampai istilah “jika masuk Lintas Timur

Sulawesi tandanya jalan pasti rusak”

jadi melekat di benak masyarakat.

Meski jalan Lintas T imur Sulawesi

belum menjadi prioritas, seperti di

Lintas Barat, tetapi dengan dukungan

dana APBN, APBD, dan bantuan luar

negeri yang kian meningkat, BBPJN

VI Makassar berharap pelayanannya

akan semakin meningkat. (Joe)

LAPORANKHUSUS

Page 66: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH66

Wilayah di sebelah timur

Semarang yang meliputi

Demak hingga Juwana selama

ini menghadapi persoalan banjir dan

kekurangan air secara silih berganti se-

panjang waktu seiring masa musim

penghujan dan musim kemarau. Berbagai

upaya telah dilakukan, namun belum

membuahkan hasil selayak diharapkan.

Penyikapan Hidrologis dengan Pendekatan Ekohidrologis

Oleh:** Budi Priyanto dan S. Budhi Raharjo

Wacana ini bisa menjadi jurus jitu bagi kepentingan konservasi SDA dan pemaksimalan pemanfaatan airsekaligus mengatasi persoalan banjir kawasan Demak-Juwana.

Hal itu niscaya akibat hal mendasar terkait

dengan karakter pengaliran air pada

wilayah tersebut yang belum didekati

dengan tepat, guna menyikapi aspek

hidrologi yang bermasalah.

Selama ini tampaknya kita menyikapi

penanganan hidrologis kawasan Demak-

Juwana, baik dalam aspek konservasi dan

pendayagunaan maupun pengendalian

daya rusak air, dengan tidak cukup

memerhatikan sejarah budaya kawasan

setempat yang erat kaitannya dengan

riwayat pengaliran air permukaan dan

karena itu perlu diantisipasi guna kepen-

tingan yang lebih luas.

Suatu ketika terjadi peristiwa pelum-

Konservasi SDA dan Pengendalian BanjirKawasan Demak-Juwana

WACANA

Aktivitas warga di kala banjir melanda. (Foto: Dok.)

Page 67: KIPRAH • Volume 38

67KIPRAH • Volume 38

puran (sedimentasi) sangat dahsyat

antara Semarang-Rembang. Fakta di masa

lalu (yang relatif belum lama) bahwa

Demak adalah pelabuhan dan dataran

antara Demak hingga Juwana adalah laut,

jelas harus menjadi dasar pertimbangan

utama dalam pengelolaan hidrologi pada

ka-wasan tersebut.

Sejak zaman dulu kala, kawasan Demak-

Juwana merupakan ruang akhir bagi

bertumpahnya air permukaan di musim

penghujan, baik dari Gunung Muria

maupun Pegunungan Kendeng, di-

tambah lagi dari Gunung Merbabu yang

berhubungan dengan hulu Sungai

Serang. Dahulu (yang relatif belum lama)

daerah tersebut merupakan laut,

sedangkan sekarang berupa daratan

akibat sedi-mentasi, itulah persoalannya.

Strategi konservasi SDA dan pengendali-

an banjir kawasan Demak-Juwana

Penyikapan terhadap pengelolaan hidro-

logi kawasan Demak-Juwana pun se-

baiknya dilakukan dengan pendekatan

yang berbeda apabila dibandingkan

dengan strategi pengantisipasian kon-

servasi SDA dan pengendalian daya rusak

air pada umumnya. Diperlukan pengin-

tegrasian upaya pada daerah hulu dan

daerah hilir, dengan kekhasan tersendiri.

Penanganan secara langsung daerah hilir,

yaitu kawasan Demak-Juwana, sangat

penting, selain perlunya dibangun se-

jumlah waduk di daerah hulu bagian

selatan maupun sebuah waduk di utara

pada kawasan Gunung Muria. Keseluruhan

infrastruktur tersebut dapat dipandang

sebagai satu paket penanganan. Per-

hitungan kelayakannya bisa disikapi

sebagai satu kesatuan pula. Maka, pem-

bangunan infrasturuktur yang dimaksud

pada bagian hilir (kawasan Demak-

Juwana) pun sebaiknya dipandang se-

bagai prioritas yang didahulukan dari satu

kesatuan paket penanganan tersebut.

Mengapa demikian? Karena dampak

kemanfaatannya niscaya bisa langsung

terjadi dengan bobot yang sangat berarti.

Karena kejadian banjir senantiasa me-

landa kawasan ini. Bahkan banjir besar,

seperti “Banjir Juwana” yang sangat

parah pada 2007 dan sempat menga-

caukan sistem distribusi barang gara-gara

ruas jalan Pantura tergenang hingga 21

hari, bisa langsung diatasi. Persoalannya,

mungkin belum-belum sudah terba-yang

kalau jangan-jangan perlu biaya yang

besar karena pembangunan infrastruktur

di dataran rendah tanpa adanya cekungan

harus dilakukan penggalian dan pe-

nanggulan.

Namun sesungguhnya, bila dikaitkan

dengan terbebasnya ruas jalan Pantura

dari banjir yang selalu mengancam, maka

dapat diperhitungkan berapa besar

pengembalian biaya pembangunan itu

dari kemanfaatan dan juga ditambah

dengan pemanfaatannya pada kegiatan

lain, misalnya kegiatan sektor air minum.

Apalagi pembangunan infrastruktur di

kawasan Demak-Juwana itu pun di-

pandang sebagai satu paket penanganan

dengan sejumlah infrastruktur SDA pada

bagian hulu.

Distribusi barang yang terhambat akibat

jalan arteri tergenang banjir, jelas

menimbulkan kerugian rangkai-berangkai

yang sangat besar. Belum lagi kerusakan

jalan yang terjadi akibat tergenang dan

dilalui kendaraan-kendaraan berat

dengan laju merayap-rayap atau bahkan

diam total, diperlukan biaya perbaikan

yang sangat besar pula. Dengan adanya

infrastruktur konservasi dan pengen-

dalian banjir langsung pada kawasan

Demak-Juwana, kerugian-kerugian yang

besar tersebut dapat terhindarkan.

Demikian pula penderitaan penduduk

akibat banjir, bisa dikurangi sebanyak

mungkin.

Pemanfaatan Sungai Kritis

Kondisi sungai-sungai Serang dan Juwana

bukan lagi kritis, melainkan boleh dibilang

sudah sungguh sangat kritis. Sungai

disebut kritis apabila Qmax/Qmin di atas

50, sementara Qmax Sungai Serang 100

dan Qmin-nya 0,1. Itu berarti, Qmax/Qmin

Sungai Serang adalah 1.000. Sedangkan

Sungai Juwana lebih tinggi lagi, yaitu 110

dan 0,1 atau Qmax/Qmin Sungai Juwana

= 1.100.

Kondisi kesulitan air bagi warga di Demak

dan sekitarnya sudah berlangsung lama.

Sungai yang melewatinya di musim

penghujan hanya bisa memberikan banjir,

WACANA

Jeritan hati para korban banjir. (Foto: Dok.)

Page 68: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH68

WACANA

Runtuhnya rumah warga akibat terjangan banjir. (Foto: Dok.)

dan di musim kemarau tak memberikan

apa-apa. Banjir dan kekeringan bagi warga

di daerah Welahan dan sekitarnya misal-

nya, niscaya sangat tak enak dirasakannya

silih berganti bertahun-tahun. Ketinggian

dataran di Welahan hampir 0 m dpl.

Sungai Serang, yang juga disebut Sungai

Welahan pada bagian hilirnya, yang

melewati daerah tersebut, ya itu tadi,

cuma bisa menimbulkan kesengsaraan

baik di musim penghujan maupun di

musim kemarau.

atas daerah Welahan. Dalam hal ini kita

wacanakan, infrastruktur tersebut berupa

waduk buatan, dengan penggalian (pal-

ing tidak sedalam dasar sungai) dan

penanggulan tentunya, yang menerus

pada bagian tertentu Sungai Serang yang

difungsikan juga sebagai longstorage.

Dengan demikian, air Sungai Serang

tidak sia-sia dan tidak menyia-nyiakan

kehidupan. Dengan demikian pula,

kejadian banjir yang biasa berlangsung

Longstorage Pencegah Banjir Juwana

Infrastruktur kedua adalah longstorage

penampung guyuran air yang dahsyat dari

Gunung Muria yang dulu nyemplung ke

laut di lokasi yang (kini) akan jadi tempat

longstorage itu berada. Dengan demikian,

Sungai Juwana terbebas dari “serbuan

dari utara” yang sangat menekan daya

tampungnya. Meski begitu, ada baiknya

Sungai Juwana pun dikoneksikan dengan

longstorage tersebut pada bagian hilirnya.

Sebuah longstorage dengan penggalian

paling tidak sedalam dasar Kali Juwana

disertai penanggulan pula, dan lebar 200-

300 meter dengan pelimpasan ke laut di

daerah Juwana.

Jelas sekali bahwa untuk menghindarkan

jalan dari bahaya banjir Juwana yang pal-

ing baik adalah tidak hanya dengan

memindahkan lokasi banjir dengan me-

ninggikannya sampai “enggak kira-kira”

tingginya, karena pasti menimbulkan

masalah baru yang belum tentu tak lebih

besar dampak kerugiannya; melainkan

dengan mengenali lingkungan secara

baik. Dengan longstorage itulah diantara

solusinya.

Sama juga dengan waduk hilir di daerah

Demak, longstorage Kudus-Juwana pun

dengan sistem pengoperasian air “habis”

di akhir musim kemarau dan terisi kembali

mulai awal musim penghujan.

Nilai “balik modal” dari pembangunan

infrastruktur SDA yang ini pun dalam

bentuk investasi sikap dan penyikapan

terhadap permasalahan secara kom-

prehensif-integralistik, yang niscaya jauh

lebih tinggi nilainya dibanding “nilai

politis” apa pun.

Semoga wacana ini juga bisa menjadi

inspirasi baru bagi banyak kepentingan,

serta upaya mewujudkannya dapat di-

perjuangkan bersama-sama sebagai

prioritas nasional.

** PK SDA Pemali Juwana dan Pemerhati

Infrastruktur SDA.

Air Sungai Serang di musim penghujan

sebaiknya diberi ruang untuk singgah

pada bagian dataran yang dahulu me-

rupakan laut, namun pada bagian daratan

kini yang secara geografis memung-

kinkan dibangun infrastruktur dengan

penanggulan yang tak perlu “tinggi-

tinggi amat” tetapi yang juga secara

grafitatif dapat menimbulkan dampak

penabungan air bawah permukaan

melalui peresapan terus-menerus dalam

radius yang relatif luas sehingga sumur-

sumur penduduk di musim kemarau bisa

masih ada airnya. Posisi infrastruktur

yang kita maksudkan itu pastilah di

hingga tujuh hari umpamanya, berkat

waduk hilir tersebut bisa menjadi

hanya dua hari saja, atau bahkan sama

sekali tidak terjadi banjir kalau tingkat

curah hujan tak terlalu tinggi. Peman-

faatan air bisa dilakukan di kala musim

kemarau dengan, tentu saja, makin

mengalami penyusutan. Justru peng-

operasiannya memang dirancangkan

pada akhir musim kemarau air “habis”

untuk kemudian terisi kembali sejak mulai

awal musim penghujan. Pemeliharaan

bagi waduk ini pasti relatif murah, sebab

pengerukan sedimen dilakukan di saat tak

tergenang air.

Page 69: KIPRAH • Volume 38

69KIPRAH • Volume 38

WACANA

Pulau Bintan adalah salah satu pulau

dari sekitar 1.400 pulau kecil yang

ada di Provinsi Kepri. Pulau ini

berbatasan langsung dengan Singapura

dan P. Batam sehingga tak heran bila

menjadi salah satu pulau di Kepulauan

Riau yang menjadi tujuan wisata

internasional.

Oleh karena itulah, Pemprov. Kepri saat

ini tengah mengusulkan pembangunan

jembatan antarpulau yang menghu-

bungkan P. Batam dengan P. Bintan

dalam upaya pengembangan wilayah Free

Trade Zone (FTZ) di kawasan ini. Keinginan

Pemprov. Kepri untuk membangun

jembatan antarpulau tersebut membu-

tuhkan biaya lebih dari Rp3 trilyun.

Rencana pembangunan untuk jem-

batannya sendiri terdiri dari 3 (tiga) paket

di 3 (tiga) lokasi, yakni P. Batam–P. Tanjung

Sauh; P. Tanjung Sauh–P. Bau; dan P. Bau–

P. Bintan. Apabila impian jembatan

antarpulau tersebut terwujud, P. Bintan

akan memiliki jembatan sepanjang 13,2 km

Jembatan Impian Bintan

Pembangunan jembatan antarpulau di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) adalah impian lama di awal tahun90-an, yakni dibangunnya jembatan dari P. Bintan ke Dumai dan terus menyambung sampai ke NTT.

dengan total panjang bentang jembatan

6,97 km dan jalan akses dan jalan utama

sepanjang 6,23 km.

Sementara itu, jalan akses dan jalan

utama yang hendak dibangun terdiri atas

4 (empat) paket di 4 (empat) lokasi, yakni

jalan di P. Bintan, P. Bau, P.Tanjung Sauh,

dan di P. Batam sendiri. Berdasarkan

perhitungan tahun 2005, biaya

investasinya sekitar Rp 3,17 trilyun yang

sudah termasuk jalan tambahan untuk

mengakomodir kendaraan roda dua.

Pembangunan jembatan antarpulau ini

merupakan impian lama, bagian dari

upaya Pemprov. Kepri mewujudkan Trans

Asia Highway. Wacana ini pernah muncul

di dekade awal tahun 90-an, kemudian

memudar seiring dengan perjalanan

waktu dan perkembangan sosial politik di

negeri ini.(Ew)

Pelabuhan Tanjung Pinang di P. Bintan . (Foto: Dok.)

Jembatan Kangboi, salah satu dari 6 (enam) jembatan yang sedang dibangun di P. Bintan. (Foto: Ind.)

Page 70: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH70

UU RI No. 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang, salah satunya

menyebutkan persentase luas

minimum Ruang Terbuka Hijau (RTH)

sebesar 30% dari luas wilayah kota, terdiri

dari 20% di ruang publik dan 10% di ruang

privat. Ketentuan ini mempunyai impli-

kasi yang tidak mudah untuk diterapkan

di kota-kota besar di Indonesia (khususnya

di pulau Jawa).

Sebagian besar kota-kota sudah meng-

alami kekurangan luas RTH. Salah satu

penyebabnya adalah urbanisasi. Urbani-

sasi dalam sisi perkembangan fisik kota

dipengaruhi oleh pertambahan pen-

duduk alami dan migrasi desa-kota.

Semakin banyak penduduk akan mening-

katkan kebutuhan akan berbagai macam

fasilitas dan sarana pelayanan, yang pada

akhirnya meningkatkan kebutuhan lahan.

Harga lahan yang tinggi menjadikan

fungsi RTH menjadi tidak ekonomis dan

menimbulkan pilihan pengembangan fisik

kota ke daerah periferi (pinggiran kota),

dimana harga lahan lebih rendah. Pe-

ngembangan wilayah ke periferi ternyata

tidak menurunkan populasi di pusat kota,

bahkan spekulasi harga lahan terjadi pada

lahan-lahan yang ditinggalkan.

Dampak lebih serius dari pengembangan kota

ke periferi adalah masalah ekologis, yaitu

perubahan penutup permukaan tanah alami.

Hal tersebut berpengaruh kepada potensi

munculnya radiasi panas dan peningkatan

pemakaian energi untuk transportasi (akibat

kegiatan komuter) sehingga menimbulkan

emisi bahan bakar fosil yang menghasilkan gas

CO2.

Salah satu solusi untuk mengurangi dampak

ekologis dan juga perluasan wilayah atau

pembukaan wilayah baru tersebut adalah

dengan intensifikasi lahan di perkotaan.

Pengembangan ini merupakan respons dari

terus mening-katnya jumlah penduduk dan

keter-batasan lahan, di samping juga untuk

mengurangi perubahan guna lahan di daerah

periferi.

Oleh: **Mochamad Yarkasih

Pada Kawasan Berdensitas Tinggi

WACANA

Konsep Hijau

Page 71: KIPRAH • Volume 38

71KIPRAH • Volume 38

Kembali pada UU RI No.26 Tahun 2007,

penentuan proporsi luas minimal RTH

sebesar 30% persen terkait dengan luas

wilayah, bukan dengan jumlah penduduk.

Adapun yang menjadi isu utama urba-

nisasi adalah pertambahan penduduk.

Penentuan luas RTH yang lebih rinci

seharusnya berdasarkan kepada ke-

mampuan dan peran RTH untuk me-

nunjang kegiatan penduduk. Bila diumpa-

makan, lahan tidak akan bertambah,

tetapi jumlah penduduk terus ber-

tambah, maka angka 30% menjadi kurang

relevan.

Pembentukan RTH pada lahan yang

terbatas perlu dilakukan untuk me-

ngendalikan keberadaan luas RTH yang

memadai sebagai faktor penentu kualitas

lingkungan kota, sehingga bertambahnya

jumlah penduduk masih dapat diimbangi

oleh kualitas lingkungan hidup yang baik

walaupun pada lahan yang terbatas.

Green Space Factor sebagai sebuah

Pendekatan RTH pada Lahan Terbatas

Ketentuan dan pedoman tentang RTH di

Indonesia hampir sebagian besar me-

rupakan penerapan RTH pada permukaan

tanah dasar. Hanya satu bentuk RTH yang

tidak berada pada permukaan tanah

dasar, yaitu RTH Roof Garden atau taman

atap. Kebutuhan luas RTH di kawasan per-

kotaan memerlukan penanganan dan

ketentuan khusus, tidak hanya pada

permukaan tanah dasar saja (terkait

dengan kendala keterbatasan lahan dan

nilai ekonomis lahan). Salah satu pen-

dekatan sebagai solusi dari masalah ini

adalah Green Space Factor (Faktor Ruang

Hijau/FRH).

Prinsip dasar dari pendekatan ini adalah

membuat pembobotan untuk setiap jenis

kondisi penutup permukaan dan pe-

nanaman vegetasi pada kondisi-kondisi

tertentu, seperti pada tanah dasar,

bidang dingin, bidang atap, dll. Pem-

bobotan dilakukan dengan sistem indeks

sehingga ruang hijau tetap dapat dibuat

lebih besar pada lahan yang terbatas

karena memanfaatkan seluruh potensi

bidang-bidang penutup permukaan tanah

dan bangunan.

Sebagai contoh, untuk permukaan ter-

tutup dengan perkerasan beton 100%

memiliki nilai indeks 0, untuk permukaan

tertutup dengan perkerasan berlubang

adalah 0,5, dan untuk permukaan tanah

alami dengan pohon diatasnya adalah

sebesar 1.

Penerapan pendekatan ini dilakukan pada

tahap perencanaan kawasan. Nilai indeks

menjadi salah satu pengendali pem-

bangunan, sama halnya dengan nilai

Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan

Koefisien Lantai Bangunan (KLB).

Contoh sederhana adalah sebuah tapak

memiliki target dari nilai indeks hijau

sebesar 0,4. Pada tapak seluas 135 m2

terdapat bangunan seluas 72 m2, per-

kerasan beton 27 m2, dan RTH 36 m2. Pada

kondisi ini, tapak hanya menghasilkan nilai

indeks 0,27 (perhitungan 36/135). Pen-

dekatan Faktor Ruang Hijau memung-

kinkan untuk melakukan variasi per-

hitungan yang menghasilkan nilai indeks

0,4. Salah satu caranya adalah dengan

mengganti penutup perkerasan beton

menjadi perkerasan yang memiliki rongga

(faktor 0,5 x 27 m2) dan membuat atap

hijau seluas 10% dari bangunan (faktor 0,7

x 10% x 72 m2). Nilai indeks hijau dijumlah-

kan menjadi 0,4 sehingga luas bangunan

tidak berkurang, tetapi ketentuan nilai

indeks hijau dapat tercapai.

Diagram Konsep Faktor Ruang Hijau

Ruang terbuka hijau di kawasan kota. (Foto: M. Yarkasih)

WACANA

Page 72: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH72

Pengendalian Ruang Hijau pada Beberapa

Kota di Dunia.

Pendekatan FRH mulai dilakukan pada

tahun 1994 di kota Berlin dengan istilah

Biotope Area Factor (BAF). BAF kemudian

diadopsi oleh beberapa kota di dunia,

diantaranya adalah kota Malmo’s di

Swedia dengan nama Malmo’s Green Space

Factor System (GSF) pada tahun 2004 dan

kota Seattle di Amerika dengan nama Se-

attle Green Factor (SGF) di tahun 2007.

Tujuan BAF adalah untuk melindungi

ekosistem, biotope, dan spesies. Latar

belakang pendekatan ini lahir karena

adanya dampak dari pengembangan pusat

kota dengan densitas tinggi. Lahan

menjadi terbatas dan kehilangan fungsi

alaminya, seperti daya serap, kelembaban,

dan sebagai media hidup tanaman dan

binatang.

GSF memiliki tujuan yang hampir sama

dengan BAF, yaitu menjaga nilai minimum

dari kualitas biotope. Hal ini dikarenakan

Swedia memiliki sejarah yang panjang

untuk melindungi alam dan struktur alam

pada kawasan kota, sehingga dalam

pengembangan baru akan dipastikan

bahwa pengembang mencapai standar

dalam kaitannya dengan solusi desain dan

Nilai Indeks Hijau sebelum dan setelah perubahan jenis permukaan

manajemen yang mendukung tercapai-

nya tingkat keanekaragaman hayati.

SGF memiliki tujuan yang berbeda, yaitu

menciptakan cara baru dalam strategi

lanskap yang dibutuhkan untuk pem-

bangunan baru pada distrik bisnis. SGF

dibuat untuk pengembangan baru

dengan tingkat fleksibilitas tinggi se-

hingga fungsi ekologis dan kualitas estetis

lanskap dapat ditingkatkan. Strategi

terpilih adalah mendorong lapisan vege-

tasi dan meningkatkan infiltrasi mana-

jemen air untuk mencapai fungsi ekologis

pada lanskap kota seperti kondisi sebelum

adanya pembangunan.

Aplikasi pendekatan FRH pada kota Ber-

lin mencakup keseluruhan bagian pusat

kota untuk penambahan/ perubahan/

perbaikan/pembangunan baru pada

fungsi residensial, komersial, dan infra-

struktural. Aplikasi di kota Malmo mulai

diterapkan pada pembangunan kembali

distrik Vastra Hamnen dengan fungsi

dominan adalah residensial dan GSF

dintegrasikan dengan konsep sistem

stormwater. Aplikasi di kota Seattle lebih

spesifik, yaitu pada distrik bisnis dengan

ketentuan yaitu pembangunan baru lebih

dari 4 hunian, atau 4.000 kaki persegi atau

20 unit ruang parkir. Fungsi yang ter-

masuk di dalamnya adalah komersial dan

residensial untuk multikeluarga.

Semua ruang yang berpotensi menjadi

ruang hijau dapat digunakan dalam

penerapan pendekatan ini, mencakup

ruang publik dan privat. Ruang-ruang

tersebut diantaranya adalah courtyard,

bidang atap bangunan, bidang dinding

bangunan, permukaan bervegetasi,

permukaan air, fasilitas bioretensi, dan

bidang-bidang infrastruktur dengan nilai

indeks yang berbeda-beda.

** Mahasiswa Pascasarjana Sekolah

Arsitektur ITB, Bandung.

Ruang terbuka hijau pada bidang dinding. (Foto: M. Yarkasih)

WACANA

Page 73: KIPRAH • Volume 38

73KIPRAH • Volume 38

WACANA

Padat, kumuh, dan miskin menjadi

jamak jika kita melihat potret

lingkungan permukiman perkam-

pungan di perkotaan. Lingkungan kumuh

senantiasa dipenuhi permasalahan kualitas

lingkungan yang rendah, kesehatan yang

buruk, hingga minimnya tingkat kese-

jahteraan masyarakatnya (kemiskinan).

Hal ini menjadi masalah sosial di Indone-

sia yang tidak mudah untuk diatasi. Meski

berbagai program sudah dilakukan, tetapi

tetap saja permukiman kumuh miskin

masih saja kita jumpai hampir di setiap

sudut kota. Akhir-akhir ini sering pula kita

Permukiman Padat

Oleh : **Ade Syaiful. R.

Tidak Selalu Kumuh

dengar adanya penggusuran permu-

kiman kumuh untuk diganti menjadi

prasarana-sarana perkotaan yang lebih

menguntungkan. Cara ini sepintas ter-

kesan dapat menghilangkan permukiman

kumuh, akan tetapi hal ini bukanlah upaya

berkelanjutan yang dapat menghilangkan

kemiskinan dan kekumuhan seutuhnya

dari perkotaan. Kemiskinan dan kualitas

lingkungan yang rendah adalah hal yang

mesti dihilangkan tetapi tidak (mesti)

digusur, karena penggusuran kerap hanya

memindahkan kemiskinan dari lokasi lama

ke lokasi baru dan tak jarang lokasi

permukiman yang baru menimbulkan

kesulitan beradaptasi bagi masyarakat

yang tergusur, terutama akses terhadap

lapangan pekerjaan.

Perlu dilakukan terobosan dan upaya-

upaya alternatif yang lebih “mema-

nusiakan” penghuni permukiman padat

dan miskin yang identik dengan kumuh,

kotor, tidak sehat, gersang, dan be-

rantakan menjadi lingkungan yang bersih,

sehat, dan asri, sehingga mereka dapat

secara sadar berperan aktif dalam mem-

benahi lingkungan permukimannya

Suasana permukiman padat di Kelurahan Mampang Prapatan, Jakarta, yang kini berubah menjadi bersih dan hijau. (Foto: Dok.)

Page 74: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH74

WACANA

sekaligus dapat memperbaiki kehidupan

ekonomi mereka. Tulisan ini mencoba

untuk memberikan gambaran upaya

memperbaiki dan meningkatkan kualitas

lingkungan permukiman miskin dan padat

penduduk.

Mengubah Kumuh Menjadi Hijau dan Asri

Terinspirasi oleh keberhasilan warga

Jakarta di Kampung Banjar Sari, Cilandak,

dan Kampung Rawajati, Kalibata, yang

berhasil memperbaiki lingkungan

Mampang Prapatan, Kecamatan

Mampang Prapatan, Jakarta Selatan

merupakan salah satu potret lompleks

perumahan TNI di wilayah Jakarta.

Permukiman dengan penduduk sekitar

500 jiwa atau ± 100 KK itu tampak kurang

tertata rapi, kotor, gersang, dan kurang

hijau. Sampah pun tidak tertangani

dengan baik.

Warga komplek tersebut pada umumnya

masih belum mau tahu mengenai pengu-

rangan volume sampah, pemilahan, serta

dari PKK, Aparat Kelurahan Mampang

Prapatan, serta Aparat Kecamatan Mam-

pang Prapatan, yang didukung pula oleh

PT. Unilever (sejalan dengan Penca-

nangan Program Jakarta Green and Clean

oleh PT. Unilever). Pembelajaran ini mulai

dirintis sejak awal tahun 2006 dengan

prioritas pengelolaan sampah rumah

tangga yang dilakukan melalui proses

pemberdayaan masyarakat.

Kebutuhan untuk meningkatkan kesa-

daran masyarakat untuk peduli terhadap

permukimannya yang semula kumuh

menjadi apik, para warga RT.04/RW.03 di

Kompleks Zeni TNI-AD, Kelurahan

Mampang Prapatan, Kecamatan

Mampang Prapatan, Kodya Jakarta

Selatan, juga tertarik untuk ikut

mengembangkan replikasi pola edukasi

pengelolaan sampah terpadu yang

meliputi pemilahan sampah, pembuatan

kompos, pembuatan produk daur ulang,

mengembangkan tanaman obat keluarga

(TOGA), dan sebagainya dengan tujuan

mewujudkan lingkungan permukiman

yang hijau dan lestari. Hal ini sejalan

dengan program perwujudan Kota

Jakarta sebagai Kota Hijau dan Bersih

(Jakarta Green and Clean).

Kondisi Awal

Kondisi di RT.04/RW.03 yang terletak di

Kompleks Zeni TNI-AD, Kelurahan

pengolahan sampah rumah tangga.

Akibatnya, pembuangan sampah warga

masih sangat mengandalkan truk sampah

dari Dinas Kebersihan dan sebagian masih

membuang sampah secara semba-

rangan. Mereka juga tidak pernah memi-

kirkan bagaimana dan kemana sampah-

sampah itu akan diangkut dan dibuang.

Kondisi tersebut diperburuk dengan

belum adanya pemilahan dan pemisahan

antara sampah organik dan non organik.

Warga belum menyadari bahwa sampah-

sampah yang tak terurai dapat akan

mengotori lingkungan dan bila terbuang

di badan air akan mengakibatkan banjir

dan pencemaran lingkungan.

Belajar Mengelola Sampah

Upaya awal yang dilakukan oleh warga

setempat berupa proses pembelajaran,

bimbingan, pengarahan, dan dukungan

lingkungan, terutama dalam hal me-

nangani sampah rumah tangga, menye-

babkan warga perlu diajari bagaimana

menjadikan sampah rumah tangga ber-

nilai dan tidak mencemari lingkungan.

Upaya itu dilakukan melalui pendekatan

satu persatu orang di kampung tersebut

serta melalui kegiatan arisan dan PKK.

Upaya ini ditujukan untuk menyadarkan

masyarakat agar peduli terhadap keber-

sihan lingkungannya serta menciptakan

kampung yang bersih dan asri. Sebagai

langkah awal, warga secara swadaya

menyediakan tong sampah terpisah

untuk pemilahan 2 jenis sampah (basah

dan kering) serta pengolahan sampah

basah menjadi kompos yang dapat di-

gunakan untuk kegiatan penghijauan.

Untuk sampah yang masih dapat diman-

faatkan kembali, oleh warga digunakan

sebagai wadah tanaman hias dan tanaman

obat keluarga (TOGA) yang bernilai

PEMILAHAN SEDERHANA DAN PENGOMPOSAN DENGAN KOMPOSTER SKALA RUMAH TANGGA

Page 75: KIPRAH • Volume 38

75KIPRAH • Volume 38

WACANA

ekonomis, sedangkan sampah yang dapat

didaur ulang mereka manfaatkan untuk

kerajinan suvenir yang juga bernilai

ekonomis.

Hasil yang didapat dari kegiatan penya-

daran masyarakat melalui proses edukasi

pengelolaan sampah terpadu ini antara

lain:

a. Terciptanya peran aktif masyarakat

yang didasari kesadaran tinggi untuk

meningkatkan kualitas lingkungan

permukimannya, dari yang semula

kotor dan kurang tertata rapi menjadi

lingkungan yang cukup asri dan hijau.

b. Pada tahun 2006 sampai tahun 2008,

RW.03 Kelurahan Mampang Prapatan

berhasil meraih predikat Kampung

Idola dan beberapa kali menjadi

nominasi juara dalam Lomba peng-

hijauan dan kebersihan tingkat RT di

Jakarta Selatan. Bahkan, pada tahun

2009 wialyah ini berhasil masuk

nominasi sebagai Kampung Kalpataru

dan kawasan ini pun tercatat sebagai

kawasan hijau dalam Peta Hijau

Provinsi DKI Jakarta.

c. Dengan terciptanya pola pengelolaan

sampah terpadu yang mengede-

pankan program 3 R (Reduce, Reuse &

Recycle), kawasan ini juga mampu

mengurangi volume sampah yang

harus dibuang ke TPA sampai 50%. Hal

ini tentu saja dapat membantu me-

ringankan beban pemerintah DKI

Jakarta dalam pengangkutan dan

pembuangan sampah yang saat ini

terkendala oleh keterbatasan lahan

TPA.

d. Adanya peluang bagi masyarakat un-

tuk meningkatkan penghasilan dari

hasil penjualan kompos, tanaman hias,

tanaman obat, dan produk kreatif

kertas daur ulang dari plastik, kertas,

dan bahan daur ulang lainnya.

e. Teknologi yang diterapkan cukup

sederhana sehingga mudah dilakukan

oleh masyarakat. Pilihan teknologi

pembuatan kompos yang sederhana

ini sesuai dengan komposisi dan

karakteristik sampah di Indonesia

yang memiliki kandungan organik

tinggi (70–80%), kadar air tinggi

(60%), dan nilai kalori rendah (< 1300

k.cal/kg).

Kondisi Saat Ini

Kini lingkungan RT.04/RW.03 Kompleks

Zeni TNI-AD, Kelurahan Mampang Pra-

patan telah menjadi daerah hijau dan

telah ditetapkan sebagai Kampung Hijau

dan menjadi daerah percontohan bagi

warga lain yang ingin lingkungan per-

mukimannya bersih, sehat, hijau dan asri.

Hingga saat ini kawasan permukiman

tersebut menjadi kawasan percontohan

di wilayah Provinsi DKI Jakarta dan kerap

dikunjungi oleh banyak masyarakat yang

ingin menerapkan pola edukasi per-

baikan lingkungan permukiman melalui

pengelolaan sampah terpadu 3R dan

penghijauan ini di lingkungannya masing-

masing. Keberhasilan kegiatan yang

mengedepankan pemanfaatan sampah

sebagai sumber daya sekaligus mengu-

rangi volume sampah sejak dari sumber-

nya ini merupakan langkah penting dalam

rangka meningkatkan efisiensi penge-

lolaan sampah secara keseluruhan. Untuk

itu, diperlukan replikasi pengelolaan

serupa yang berbasis masyarakat di

wilayah lain dengan fasilitasi atau pen-

dampingan dari pemerintah DKI Jakarta

mencakup upaya penyiapan masyarakat,

dukungan stimulan dana investasi, dan

sosialisasi, serta dukungan kebijakan

dalam menerapkan program 3R secara

utuh dan menyeluruh.

** Kepala Sub Bidang Penyiapan

Pelaporan Puskom PU

UPAYA REUSE DAN RECYCLE SAMPAH PLASTIK UNTUK PENGHIJAUAN

Page 76: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH76

WACANA

Busway merupakan sebuah sistem

Bus Rapid Transit (BRT) atau

sistem transportasi bus cepat yang

mulai resmi dioperasikan oleh peme-

rintah DKI Jakarta pada tanggal 15 Januari

2004. Busway adalah sebuah solusi

alternatif angkutan umum massal yang

ditawarkan oleh pemerintah di kota-kota

besar agar warganya dapat menikmati

jasa angkutan umum yang cepat, nyaman,

dan aman. Selain di Jakarta, busway juga

telah diterapkan di kota-kota besar lain-

nya di Indonesia, yaitu Yogyakarta (Trans

Jogja), Bandung (Trans Metro Bandung),

Busway,

Busway. Kata ini kian akrab terdengar dan terlontar dari mulut masyarakat Indonesia, terutama wargaDKI Jakarta. Ya, bus Transjakarta atau yang lebih terkenal dengan sebutan busway ini, merupakan salah

satu transportasi umum andalan pemerintah DKI yang mulai menjadi primadona.

Bogor (Trans Pakuan), Pekanbaru (Trans

Metro Pekanbaru), Palembang (Trans

Musi), dan Manado (Trans Kawanua).

Selama 6 tahun ini, busway di DKI Jakarta

telah melayani 8 koridor dengan armada

bus sebanyak 426 unit yang melewati to-

tal panjang lintasan 123,35 km (lintasan

terpanjang di dunia dalam sistem BRT)

dan memiliki 141 halte. Meskipun sempat

menimbulkan pro dan kontra, nyatanya

busway mulai jadi primadona dilihat dari

jumlah penumpangnya yang kian hari kian

meningkat.

Busway tidak sekedar menjadi sarana

transportasi angkutan massal semata,

tetapi juga berfungsi sebagai bus pari-

wisata kota karena melewati berbagai

fasilitas pemerintah pusat, seperti Jalan

M.H. Thamrin, Monumen Nasional (Mo-

nas), kantor pemerintah DKI Jakarta,

Gedung Kesenian Jakarta, Stasiun Gambir,

dan lain sebagainya. Maka tak heran,

berdasarkan data dari situs resmi

Transjakarta (www.transjakarta.co.id),

busway di Jakarta hingga bulan April 2010

telah mengangkut penumpang rata-rata

250.000 orang per hari. Pengoperasian

Primadona yang Mulai Memudar

Bus Trans jakarta. (Foto: Endah)

Page 77: KIPRAH • Volume 38

77KIPRAH • Volume 38

WACANA

busway juga menjadi strategi pemerintah

daerah untuk mengurangi kemacetan di

jalan-jalan utama di kota-kota besar,

terutama ibu kota. Oleh karena itulah,

busway dilengkapi dengan sarana dan

prasarana khusus, diantaranya shelter

(halte khusus untuk busway), sistem tiket

elektronik, bahkan sengaja diberi jalur

khusus yang (sebenarnya) tidak boleh

dilewati oleh kendaraan lainnya.

Ada 4 alasan utama kenapa warga DKI

memang lebih memilih menggunakan

busway dibandingkan kendaraan umum

lainnya, yakni tarif murah, dapat meng-

hubungkan berbagai tempat di Jakarta

dengan cepat, lebih nyaman dibanding-

kan dengan angkutan umum lainnya, dan

juga keamanan yang lebih terjamin.

Tarif bus ber-AC (Air Conditioning)

sebesar Rp3.500,- per perjalanan ini

dianggap warga cukup terjangkau,

terutama untuk tujuan jarak jauh karena

penumpang yang pindah jalur maupun

transit di halte busway manapun tidak

perlu membayar lagi, asalkan tidak keluar

dari halte. Sayangnya, selama 6 tahun ini

pengembangan dan pengelolaan busway

tidak sesuai dengan harapan para peng-

gunanya.

Keluhan yang paling sering diutarakan

para penumpang setia busway saat ini

adalah lama dan panjangnya antrian di

halte maupun shelter, terutama pada jam-

jam padat (khususnya jam masuk dan

keluar kantor). Penumpang juga harus

rela berdesak-desakan di dalam bus.

Penyebab utamanya adalah jumlah ar-

mada busway dan kapasitas angkut yang

tidak dapat mengimbangi jumlah pe-

numpangnya sehingga terjadi penumpuk-

an penumpang.

Kondisi ini diperparah dengan penye-

robotan pengguna jalan lainnya yang

masuk ke jalur busway sehingga semakin

menghambat laju busway untuk bisa

tepat waktu sampai ke halte. Akibatnya,

antrian panjang dan aksi berebut masuk

dengan saling dorong begitu bus berhenti

di halte pun tak terelakkan.

Kurang optimalnya pelayanan juga dirasa-

kan cukup mengganggu bagi para pe-

numpang busway. Oknum sopir yang

terkadang suka ugal-ugalan atau yang

tidak menyalakan pemberitahuan tujuan

halte sehingga penjaga pintulah yang

meneriakkan tujuan halte membuat

penumpang busway merasa layaknya naik

metromini. Apalagi tidak adanya gambar

peta di dalam bus membuat penumpang

yang tidak familiar dengan rute-rute

busway, terutama wisatawan asing,

menjadi kebingungan. Adapun peta yang

dipajang di halte-halte busway tidak

jarang huruf dan gambarnya terlalu kecil

atau letaknya terlalu tinggi, sehingga

penumpang tetap harus bertanya kepada

petugas penjaga pintu.

Penumpang busway juga mengeluhkan

semakin buruknya fasilitas, sarana, dan

prasarana yang ada. Terkadang para

penumpang harus menghindari tetesan-

tetesan air yang jatuh dari atap halte yang

bocor saat hujan atau dari atap bus gara-

gara AC yang rusak. Jembatan penye-

berangan yang terlalu panjang, jauh, dan

tinggi, bahkan kadang-kadang bolong,

sangatlah tidak ramah terhadap anak-

anak, perempuan hamil, orang lanjut usia

(lansia), apalagi bagi penyandang cacat.

Meski di beberapa jembatan terdapat lift,

namun kondisinya sudah rusak dan tak

layak pakai. Belum lagi sekarang semakin

banyak para pedagang kaki lima yang

menggelar dagangannya di atas jembatan

busway. Suasana halte yang panas,

pengap, terkadang tidak terawat dan

kumuh juga membuat penumpang kian

tidak nyaman. Belum lagi halte-halte dan

jembatan yang terlantar karena masih

belum terpakai meski sudah lama di-

bangun, sebagaimana yang terjadi pada

infrastruktur di sepanjang Prumpung ke

arah Tanjung Priok maupun dari Cawang

ke arah Grogol.

Berkaitan dengan keamanan, sampai saat

ini kasus tindak kriminal di dalam busway

bisa dibilang masih jarang terjadi,

sedangkan kasus kecelakaanlah yang

justru kerap terjadi. Kasus kecelakaan

yang paling banyak terjadi terutama

diakibatkan karena masih kurangnya

disiplin masyarakat, dalam hal ini para

pengguna jalan dalam berlalu lintas,

misalnya aksi serobot kendaraan lain

maupun orang-orang yang sembarangan

menyeberang. Kebanyakan dari mereka

masih sering mengabaikan peraturan

yang berlaku dengan menyerobot jalur

khusus bus Transjakarta. T indakan

penyerobotan jalur ini tidak hanya

berpotensi menyebabkan kecelakaan,

Lift menuju jembatan penyeberangan Busway yang tidak berfungsi dan tak terawat.(Foto: Endah)

Page 78: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH78

tetapi juga membuat kemacetan.

Sementara itu, kasus busway yang ter-

bakar dan meledak adalah akibat adanya

gangguan elektrik pada kabel dinamo

amper AC. Kadang-kadang ada juga sopir

busway yang memarkirkan busnya di pintu

halte dengan jarak yang cukup lebar,

sehingga apabila halte penuh dan penum-

pang saling dorong, resiko jatuh dari bibir

pintu yang tinggi sangat besar. Sebagai

sebuah solusi, keberadaan busway,

khususnya di DKI Jakarta, kini malah

dianggap menjadi penyebab kemacetan

dan kecelakaan.

Memang, operator busway dan pe-

merintah daerah telah dan sedang ber-

usaha untuk memberikan pelayanan yang

lebih baik, khususnya untuk mengurangi

penumpukan dan antrian penumpang.

Misalnya, adanya penambahan unit ar-

mada Transjakarta, feeder bus (bus

pengumpan yang menghubungkan be-

berapa daerah ke halte-halte busway

terdekat), maupun pembangunan shelter

dan stasiun pengisian bahan bakar gas

(SPBBG) yang dilakukan secara bertahap.

Selain itu, di beberapa wilayah dibangun

pula portal elektronik dan manual untuk

mengantisipasi penyerobotan jalur bus-

way. Fasilitas jembatan, shelter, maupun

bus yang rusak juga berusaha diperbaiki.

Akan tetapi, akar dari semua permasalah-

an di atas sebenarnya bukan semata

karena kurang ma-

tangnya konsep pe-

rencanaan, pem-

bangunan, serta pe-

ngelolaan infrastruk-

tur, fasilitas, sarana,

dan prasarana bus-

way, melainkan pem-

bangunan tanpa

sumber daya manu-

sia berkualitas se-

hingga pengem-

bangan dan penge-

lolaannya menjadi

amburadul. Oleh

karena itulah, sangat

penting dilakukan

kegiatan pening-

katan sumber daya

manusia serta adanya

kerja sama antara

pemerintah, opera-

tor dan pekerja bus-

way, serta masya-

rakat sebagai peng-

guna busway.

Salah satu kegiatan

peningkatan sumber

daya manusia yang

bisa dilakukan adalah

diadakannya pela-

tihan-pelatihan bagi

para operator dan

supir busway se-

hingga memiliki ke-

sadaran untuk memberikan pelayanan

publik sebaik-baiknya kepada masyarakat,

terutama pelatihan bagi para supir.

Dengan demikian, dapat dihasilkan supir

yang patuh pada peraturan lalu lintas dan

mementingkan keselamatan serta ke-

nyamanan penumpang. Di sisi lain, pe-

merintah daerah selaku pembuat se-

kaligus pelaksana kebijakan juga harus

memiliki kepekaan untuk mengakomodir

kebutuhan warganya, terutama bagi yang

memiliki kebutuhan khusus, ke dalam

rancangan maupun pembangunan sarana

dan prasarana transportasi, khususnya

busway. Pemerintah juga harus mampu

bertindak tegas terhadap pelanggaran-

pelanggaran yang dilakukan para peng-

guna jalan, misalnya yang menyerobot

jalur busway maupun yang menyeberang

jalan sembarangan.

Solusi lain untuk mengurangi kemacetan

dan antrian panjang di halte-halte busway

saat jam sibuk ialah peningkatan kemam-

puan pemerintah dalam mengatur dan

meningkatkan kualitas sarana trans-

portasi umum lainnya, seperti metromini,

bajaj, mikrolet, dan lain sebagainya.

Peningkatan kesadaran masyarakat untuk

tertib berlalu lintas mutlak diperlukan.

Selain itu, kepedulian masyarakat untuk

ikut terlibat dalam menjaga kebersihan

dan memelihara fasilitas, sarana, maupun

prasana angkutan umum, juga tak kalah

pentingnya.

Dengan masih banyaknya keluhan-keluhan

dari penggunannya, tampaknya kebera-

daan busway saat ini belum berhasil

mewujudkan visinya, yakni menjadikan

busway sebagai angkutan umum yang

mampu memberikan pelayanan publik

yang cepat, aman, nyaman, manusiawi,

efisien, berbudaya, dan bertaraf inter-

nasional. Busway hanya satu dari sekian

banyak contoh sebuah solusi yang malah

dianggap sebagai masalah baru. Oleh

karena itu, kita semua masih perlu banyak

berbenah agar busway tidak menjadi

contoh dari primadona yang begitu cepat

memudar pamornya akibat kurangnya

kesadaran dan kualitas sumber daya

manusia bangsa kita. (Endah)

WACANA WACANA

Atap tangga terminal busway yang kurang pemeliharaan(Foto: Endah)

Page 79: KIPRAH • Volume 38

79KIPRAH • Volume 38

HUMANIKAHUMANIKA

Kehangatan matahari di Kota

Pahlawan tak sehangat sambutan

dari Masduki, Ketua RW Rumah

Susun (Rusun) Urip Sumoharjo kepada

tim Kiprah yang berkunjung ke rumahnya.

“Ono opo tho’ rek (ada apa ini-red.)?” sapa

Masduki. Ucapan bersahabat khas

Surabaya tersebut mencairkan kecang-

gungan di antara kami. Dengan meng-

gunakan kaus singlet warna putih dan

celana pendek, beliau mempersilahkan

kami masuk kedalam rumah susunnya yang

terkesan sempit.

“Ora opo-opo yo ndek kene (tidak apa-apa

ya di sini-red.),” ucapnya. Memang, selain

sebagai tempat tinggal, rumah susun

tersebut juga dijadikan tempat usaha

menjahit oleh Masduki. “Beginilah usaha

saya, demi dapur tetap ngebul dan anak

tetap sekolah,” selorohnya.

Pembicaraan kami berawal dari sejarah

dibangunnya rusun tersebut, yang beliau

ceritakan dengan penuh semangat.

Maklum, Masduki termasuk penghuni

awal dan dianggap sesepuh warga.

Masduki juga menjelaskan bahwa peker-

jaan para penghuni rusun ini beragam.

Ada yang menjadi tukang becak, tukang

sayur, buruh bangunan, dan lain-lain,

tetapi mayoritas adalah pekerja non for-

mal yang berpenghasilan rendah.

Saat ditanya berapa uang sewa per bulan,

raut muka Masduki berubah. Dengan lirih

beliau mengatakan bahwa uang sewa

sebesar 104.000 rupiah per bulan masih

terasa berat bagi mereka dan berharap

uang sewa rusun tidak naik tiap tahunnya.

“Terus terang kami sulit memenuhinya.

Lha wong untuk makan saja kami kem-

bang-kempis,” ujarnya. Tetapi asa mereka

tak pernah redup. Walau kerja serabutan,

uang sewa dan iuran kebersihan tetap

mereka penuhi. Semboyan mereka, yang

penting halal.

Meski didera himpitan ekonomi, hu-

bungan kekeluargaan para penghuni

rusun sangat erat terlihat. Mungkin

karena dulunya mereka tinggal di satu

kampung. Anak-anak bermain di ruang

kumpul warga, ibu-ibu bersenda gurau di

salah satu pojok blok, bapak-bapak

berkumpul di salah satu warung sambil

berkelakar dan menyeruput secangkir

kopi. Rusun ini didesain saling berhadapan

antara blok satu dengan yang lainnya dan di

tengahnya terdapat lapangan serta tempat

parkir motor untuk penghuni, yang juga dapat

dimanfaatkan oleh warga untuk bersosialisasi.

Menurut Masduki, rusunnya tidak pernah

tidur karena setiap malam ada saja penghuni

yang berkumpul, ngobrol ngalor-ngidul

sampai pagi. “Di sini aman. Lha wong

satpamnya banyak dan melek terus,” kelakar

Masduki mengakhiri pembicaraan kami. (Nld)

Asa Penghuni Rusun

Masduki, Ketua RW Rusun UripSumoharjo, Surabaya. (Foto: Nld)

Rusun Urip Sumoharjo, Surabaya. (Foto: Nld)

Urip Sumoharjo

Page 80: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH80

JENDELAJENDELA

Bagi gadis manis berjilbab ini, pembangunan infrastruktur

di Indonesia dirasakan kurang merata. Pembangunan di

daerah-daerah terpencil, rawan bencana, dan yang

berbatasan dengan negara lain kurang diperhatikan. Apa yang

dikemukakan oleh dara kelahiran 13 Januari 1989 ini bukannya

tidak beralasan.

“Kebetulan saya juga anak daerah, jadi saya tahu betul

bagaimana kondisi daerah. Seperti daerah saya (Batam). Di

sana mungkin karena berdekatan dengan negara tetangga dan

Oki Setiana Dewi :

InfrastrukturKurang Merata

juga sebagai salah satu pintu gerbang ke luar (negeri), hanya

45 menit dari Singapura, (maka) perkembangan infrastruktur

(di sana) cepat sekali, sehingga kalau saya pulang, sudah pasti

banyak perubahan, namun di pulau-pulau kecil lainnya di sekitar

Kepulauan Riau (pembangunannya) agak kurang.”

Demikian jelasnya ketika ditemui oleh Kiprah di sela-sela acara

Malam Penghargaan Dompet Dhuafa di Bentara Budaya, Taman

Ismail Marzuki, Jakarta, pada Jumat malam (2/7).

Lebih jauh lagi, Oki yang baru-baru ini menyabet gelar sebagai

Artis Pendatang Baru Wanita Terfavorit pilihan masyarakat di

ajang Indonesian Movie Awards (IMA) 2010, membandingkan

infrastruktur di Indonesia dengan keadaan di luar negeri.

“Saya sangat terkagum-kagum dengan infrastruktur di

Hongkong, misalnya transportasinya. Transportasi umum di

Hongkong, Singapura, Malaysia sangat tertib, makanya mereka

lebih memilih transportasi umum dibanding (milik) pribadi,

karena aman, mudah, nyaman, dan bersih,” paparnya.

Artis yang namanya berkibar lewat peran sebagai Anna di film

dan sinetron “Ketika Cinta Bertasbih” (KCB) ini menambahkan

bahwa jalan yang ia lewati ketika berada di Malaysia, Hongkong,

maupun Singapura selalu mulus. “Sementara kalau di sini, jalan-

jalan kecilnya sudah mulai banyak yang berlubang.”

Dara yang juga terpilih sebagai Artis Pendatang Baru Wanita

Terbaik pilihan juri di IMA 2010 ini merasa prihatin pula dengan

keadaan bangunan dan gedung bersejarah yang ada. Ia melihat

bahwa bangunan bersejarah di Mesir terawat dengan sangat

baik, sedangkan di sini entah diganti mall atau tidak terawat

sama sekali, jadi terkesan kumuh dan kotor.

Sebagai masyarakat awam, Oki mengharapkan di masa

mendatang diadakan pendataan daerah-daerah terpencil di

perbatasan sehingga sasaran pembangunan lebih merata. Oki

juga berharap infrastruktur-infrastruktur yang ada juga terus

dievaluasi, dipantau, dan dipelihara agar senantiasa terjaga

kualitasnya. (Wy)

Page 81: KIPRAH • Volume 38

81KIPRAH • Volume 38

INFOBUKUINFOBUKU

Pulau-pulau di kawasan perbatasan mungkin jarang

mendapat perhatian kita atau bahkan mungkin

terlupakan. Akan tetapi, sejak terjadinya “tragedi

Sipadan–Ligitan” serta kehebohan kasus Ambalat, sontak

banyak perhatian tertuju ke pulau-pulau terdepan di perbatasan

kita, termasuk kawasan Sangihe, Talaud, dan Sitaro (SaTaS).

Sebagaimana Pulau Sabang yang sering dikira sebagai batas

wilayah paling barat negeri ini, demikian juga dengan Pulau

Talaud sering pula disalahpahami sebagai batas wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) paling utara. Padahal, batas

paling barat yang benar adalah Pulau Rondo, sedang batas pa-

ling utara adalah di Pulau Miangas. Untuk kasus Miangas,

anggapan ini tidak terlalu salah karena pulau ini memang berada

di Kabupaten Talaud. Sempat muncul kekhawatiran kalau

tragedi Sipadan– Ligitan akan terulang kembali. Walaupun

Filipina pada tahun 2003 sudah mengakui kedaulatan Indonesia

atas Pulau Miangas, namun akibat masih tumpang-tindihnya

klaim atas wilayah di kawasan ini, kekhawatiran tersebut

bukanlah tidak beralasan.

Buku Daerah Perbatasan, Keterbatasan, Pembatasan: Kawasan

Sangihe–Talaud–Sitaro ini ditulis oleh dua orang dengan latar

belakang berbeda yang diharapkan bisa memperkaya sudut

pandang penulisan buku ini. Winsulangi Salindeho adalah

seorang bupati sebuah daerah di kawasan perbatasan utara In-

donesia, sedangkan Pitres Sombowadile adalah seorang aktivis

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta seorang wartawan.

Pembahasan buku ini dimulai dengan pemaparan kondisi

geografis dan sejarah kawasan SaTaS dari masa Majapahit, masa

penjajahan kolonial, hingga masa pergerakan kemerdekaan.

Buku ini juga membahas mengenai flora dan fauna yang

menghuni kawasan tersebut. Kemudian, penulis menguraikan

segala macam potensi dan keterbatasan kawasan SaTaS, seperti

potensi perikanan, budaya bahari, sampai bahaya laten geologis

Daerah Perbatasan,

berupa ancaman gempa tektonik dan gunung berapi. Pada bab

selanjutnya, yang dapat disebut sebagi inti dari buku ini, penulis

menjelaskan mengenai ihwal masalah persengketaan per-

batasan antara Indonesia-Filipina, diikuti sedikit gambaran

singkat mengenai pasang-surut hubungan kedua negara,

terutama situasi masyarakat di daerah tersebut.

Buku Daerah Perbatasan, Keterbatasan, Pembatasan: Kawasan

Sangihe–Talaud–Sitaro membahas juga mengenai situasi dan

kondisi terkini yang tengah berlangsung di kawasan perbatasan

tersebut, khususnya menyangkut pergerakan orang dan barang,

baik yang legal maupun ilegal. Dari segi keamanan, buku ini

membahas masalah kejahatan transnasional, seperti pe-

nyelundupan senjata, perdagangan obat-obatan terlarang,

peredaran uang (dolar Amerika) palsu, trafficking (perdagangan

manusia), pembajakan kapal, dan terorisme. Masih menyangkut

keamanan dan pertahanan, tentu tak bisa dilepaskan dari isu

separatisme Bangsa Moro yang menuntut kemerdekaan di

selatan Filipina serta kondisi orang Sangil yang tersebar di daerah

tersebut, baik di Filipina maupun Indonesia. Penulis tak lupa

pula mengangkat isu kemiskinan yang dialami penduduk di

sekitar kawasan perbatasan.

Bagi yang tertarik pada studi mengenai kawasan perbatasan,

buku ini bisa sebagai bahan rujukan karena isinya cukup

komprehensif dan menggambarkan keadaan nyata di lapangan.

Suatu nilai lebih karena penulisnya merupakan orang yang

kesehariannya menggeluti langsung permasalahan di sana.

Beberapa data pendukung seperti tabel dan gambar turut

tersedia, meski sayangnya tidak semua gambar berwarna.

Semoga saja buku ini, sebagaimana harapan penulisnya, bisa

menjadi masukan berharga dalam usaha mengangkat dan

memperbaiki kehidupan masyarakat di kawasan perbatasan,

terutama di SaTaS. (Wy)

Judul

PengarangImpressumKolasi

Keterbatasan, Pembatasan

: Daerah Perbatasan, Keterbatasan, Pembatasan: Kawasan Sangihe–Talaud–Sitaro

: Winsulangi Salindeho & Pitres Sombowadile: Jogja: FuSpAD, 2008: 272 hlm.; 27, 5 cm

Page 82: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH82

KARIKATURKARIKATUR

Page 83: KIPRAH • Volume 38

83KIPRAH • Volume 38

Page 84: KIPRAH • Volume 38

Volume 38 • KIPRAH84