Isolasi Saponin Daun Petai Cina (Leucaena Leucocephala ...€¦ · aureus dengan diameter hambatan...

23
1 ISOLASI SAPONIN DAUN PETAI CINA (Leucaena leucocephala (Lam.) De Wit.) DAN APLIKASINYA SEBAGAI PEMBUSA ALAMI SERTA AGENSIA ANTIBAKTERI DALAM SHAMPO ISOLATION OF SAPONINS FROM WHITE POPINAC (Leucaena leucocephala (Lam.) De Wit.) LEAF EXTRACT AND THE UTILIZATION AS NATURAL FOAM BOOSTER AND ANTIBACTERIA AGENT IN SHAMPOO Mega Pertiwi*, Hartati Soetjipto**, Sri Hartini** *Mahasiswa Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Matematika **Dosen Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Matematika Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga Jl. Diponegoro no 52-60 Salatiga 50711 Jawa Tengah Indonesia [email protected] ABSTRACT Isolation of saponins from white popinac ((Leucaena leucocephala) was done in this study. Except to saponins, antibacterial activity of the extract also was detected. Saponins is going to aplicate for the shampoo formulation and compare the result with SNI 06-2692-1992. The last aims is to measure the stability of the saponins foam of shampoo. The soxhlet method was used to obtain saponins and follow by TLC and Liberman-Burchard test. Antibacterial activity was tested by the disk diffusion method against gram positive and negative bacterials. Data were analized by Randomized Completely Block Design (RCBD), 7 treatments and 4 replications. the average Minimum Inhibitor Concentration (MIC) and foam stability will compared with the test Honestly Significant Difference (HSD) with significance level of 5%. The result showed that the yield of white popinac leaf saponins is 6,74%. Minimum Inhibitor Concentration (MIC) of white popinac leaf saponins for B.subtilis are 2000 ppm and shampoo is 10%. Respectively, MIC of white popinac leaf saponins for E. coli is 4000 ppm and MIC of shampoo is 20%. The Average of the highest foam stability of 15% (95.01 ± 0.58%) and the shampoo white popinac extract was fulfilled SNI 06-2692- 1992. Keywords: Antibacterial activity, foam stability, saponin,, shampoo, white popinac PENDAHULUAN Shampo merupakan salah satu kosmetik yang paling banyak digunakan oleh masyarakat, karena berfungsi sebagai pembersih serta perawatan rambut dan kulit kepala dari segala macam kotoran, baik yang berupa minyak, debu, maupun sel- sel yang sudah mati (Tranggono dan Latifaf, 2010). Bahan yang terkandung dalam shampo salah satunya adalah surfaktan. Surfaktan (surface active agent) merupakan senyawa aktif yang mampu menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antarmuka suatu cairan (Aisyah, 2011). Sifat tersebut terkait dengan struktur molekulnya memiliki dua gugus yang berbeda kepolarannya, yaitu gugus hidrofilik dan gugus hidrofobik.

Transcript of Isolasi Saponin Daun Petai Cina (Leucaena Leucocephala ...€¦ · aureus dengan diameter hambatan...

  • 1

    ISOLASI SAPONIN DAUN PETAI CINA (Leucaena leucocephala (Lam.) De

    Wit.) DAN APLIKASINYA SEBAGAI PEMBUSA ALAMI SERTA AGENSIA

    ANTIBAKTERI DALAM SHAMPO

    ISOLATION OF SAPONINS FROM WHITE POPINAC (Leucaena leucocephala

    (Lam.) De Wit.) LEAF EXTRACT AND THE UTILIZATION AS NATURAL

    FOAM BOOSTER AND ANTIBACTERIA AGENT IN SHAMPOO

    Mega Pertiwi*, Hartati Soetjipto**, Sri Hartini**

    *Mahasiswa Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Matematika

    **Dosen Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Matematika

    Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga

    Jl. Diponegoro no 52-60 Salatiga 50711 Jawa Tengah – Indonesia

    [email protected]

    ABSTRACT

    Isolation of saponins from white popinac ((Leucaena leucocephala) was done in

    this study. Except to saponins, antibacterial activity of the extract also was detected.

    Saponins is going to aplicate for the shampoo formulation and compare the result with

    SNI 06-2692-1992. The last aims is to measure the stability of the saponins foam of

    shampoo. The soxhlet method was used to obtain saponins and follow by TLC and

    Liberman-Burchard test. Antibacterial activity was tested by the disk diffusion method

    against gram positive and negative bacterials. Data were analized by Randomized

    Completely Block Design (RCBD), 7 treatments and 4 replications. the average

    Minimum Inhibitor Concentration (MIC) and foam stability will compared with the test

    Honestly Significant Difference (HSD) with significance level of 5%. The result

    showed that the yield of white popinac leaf saponins is 6,74%. Minimum Inhibitor

    Concentration (MIC) of white popinac leaf saponins for B.subtilis are 2000 ppm and

    shampoo is 10%. Respectively, MIC of white popinac leaf saponins for E. coli is 4000

    ppm and MIC of shampoo is 20%. The Average of the highest foam stability of 15%

    (95.01 ± 0.58%) and the shampoo white popinac extract was fulfilled SNI 06-2692-

    1992.

    Keywords: Antibacterial activity, foam stability, saponin,, shampoo, white popinac

    PENDAHULUAN

    Shampo merupakan salah satu kosmetik yang paling banyak digunakan oleh

    masyarakat, karena berfungsi sebagai pembersih serta perawatan rambut dan kulit

    kepala dari segala macam kotoran, baik yang berupa minyak, debu, maupun sel- sel

    yang sudah mati (Tranggono dan Latifaf, 2010). Bahan yang terkandung dalam shampo

    salah satunya adalah surfaktan. Surfaktan (surface active agent) merupakan senyawa

    aktif yang mampu menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antarmuka suatu

    cairan (Aisyah, 2011). Sifat tersebut terkait dengan struktur molekulnya memiliki dua

    gugus yang berbeda kepolarannya, yaitu gugus hidrofilik dan gugus hidrofobik.

    mailto:[email protected]

  • 2

    Masyarakat menganggap shampo yang menghasilkan busa banyak, lebih efektif

    dalam membersihkan kotoran. Sedangkan pada umumnya, bahan pembusa atau foam

    booster yang digunakan dalam shampo berupa bahan sintentik. Penggunaan agensia

    pembusa sintetik dalam dosis yang berlebih dapat menyebabkan iritasi kulit, karena

    dapat masuk ke dalam jaringan kulit (Aisyah, 2011).

    Sebenarnya alam juga menyediakan bahan yang dapat berbusa yang dikenal

    dengan nama saponin. Saponin dapat menimbulkan busa dikarenakan adanya kombinasi

    struktur senyawa penyusunnya, yaitu rantai sapogenin nonpolar dan rantai samping

    polar yang larut dalam air. Menurut Chen dkk. (2010) surfaktan yang berasal dari alam,

    memiliki kestabilan busa cukup besar dan menunjukkan sifat pembusa yang berbeda-

    beda. Surfaktan yang berasal dari alam seperti saponin dapat digunakan sebagai

    pembusa alami dalam berbagai produk kosmetik. Selain itu saponin juga bersifat

    antibakteri (Mandal, 2005).

    Petai cina (Leucaena leucocephala) merupakan tanaman pelindung berasal dari

    Amerika Tengah dan India. Petai cina digunakan untuk pupuk hijau dan sering ditanam

    sebagai tanaman pagar sedangkan daun muda, tunas bunga, dan biji bisa dimakan

    sebagai lalap mentah ataupun dimasak terlebih dahulu. Menurut Sartinah (2010), daun

    Petai cina memiliki kandungan alkaloid, saponin, flavonoid, dan tanin. Saponin dalam

    daun petai cina dapat dimanfaatkan sebagai surfaktan alami yang membentuk busa bila

    dilarutkan dalam air dan lebih ramah lingkungan. Selain itu, dilaporkan bahwa ekstrak

    daun petai cina menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus

    aureus dengan diameter hambatan rata-rata sebesar 11,4 mm dan 12,8 mm.

    Dalam penelitian ini ingin diketahui potensi saponin daun petai cina serta

    kemungkinan diaplikasikan pada produk shampo. Maka dari itu, tujuan dari penelitian

    ini adalah

    1. Mengisolasi dan menentukan rendemen senyawa saponin dari daun petai cina

    (Leucaena leucocephala).

    2. Menentukan kadar isolat saponin daun petai cina (Leucaena leucocephala) yang

    tepat dalam pembuatan shampo dan membandingkan hasil shampo dengan SNI 06-

    2692-1992 serta mengukur kestabilan busa dari shampoo.

    3. Menentukan aktivitas antibakteri isolat dan shampo daun petai cina (Leucaena

    leucocephala) terhadap bakteri Bacillus subtilis dan Escherichia coli

  • 3

    WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

    Penelitian ini dilaksanakan selama 8 bulan yaitu dari bulan September 2013

    sampai dengan bulan April 2014, di Laboratorium Fakultas Sains dan Matematika,

    Universitas Kristen Satya Wacana.

    METODOLOGI

    Bahan dan Piranti

    Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu daun petai cina (Leucaena

    leucocephala) yang diperoleh dari Salatiga dan sekitarnya, sedangkan bahan kimiawi

    yang digunakan adalah akuades, heksana (derajat teknis), metanol (derajat teknis), dietil

    eter (derajat teknis), n-butanol (derajat PA,), kloroform (derajat PA) ,asam asetat, Asam

    klorida, asam sulfat (derajat PA). indikator fenolftalin, indikator biru metilen, NaOH

    (derajat teknis), H2SO4 (derajat teknis), natrium klorida, sodium lauryl sulfate, coco

    amido propyl betaine, Pearl concentrate, ethylene diamine tetra acetic acid, asam

    benzoat dan nipagin (Merck).

    Piranti yang digunakan antara lain: neraca analitis 4 digit (Mettler H 80, Mettler

    Instrument Corp., USA), neraca analitis 2 digit (Ohaus TAJ602, Ohaus Corp., USA),

    soxhlet, penangas air (Memmert), rotary evaporator, plat silica gel G/UV 254 nm

    (10x10cm), pH meter (Hanna H19812, Romania), dan peralatan gelas.

    Metode Penelitian

    Preparasi Sampel

    Daun petai cina dikering anginkan, lalu dihaluskan menggunakan grinder

    Uji Busa (Faradisa, 2008)

    Sebanyak 0,5 gram sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi

    akuades secukupnya kemudian dikocok kuat-kuat selama 5 menit dan diamati busa yang

    timbul sampai stabil dan diukur tinggi busanya (ketinggian busa 1-3 cm). Sebelum busa

    hilang ditetesi HCl 1 M bila busa stabil menunjukkan reaksi positif.

    Uji Liberman-Burchard (LB) (Jaya, 2010)

    0,5 gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi I, 5 ml

    CHCl3 ditambahkan kemudian dipanaskan 5 menit di atas penangas air sambil dikocok-

    kocok lalu didinginkan. 1 ml campuran dari tabung reaksi I diambil dan dimasukkan ke

    dalam tabung reaksi II. Ke dalam tabung reaksi II diteteskan peraksi (LB) (1 ml

  • 4

    asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat), kemudian diamati perubahan

    warna yang timbul sampai kira-kira 30 menit. Bila muncul warna coklat atau violet

    pada perbatasan 2 pelarut maka saponin yang terkandung didalamnya dari jenis

    triterpenoid, sedangkan bila muncul warna hijau kebiruan maka saponin yang

    terkandung termasuk jenis saponin steroid.

    Ekstraksi Sampel Metode Soxhlet dengan Defatisasi (Sartinah, 2010 Yang

    Termodifikasi)

    Lima puluh gram serbuk kering sampel di ekstraksi dengan menggunakan

    sokhlet dengan 500 mL n-heksan selama 24 jam. Kemudian Filtrat ditampung dan

    ampasnya diangin-anginkan sampai terbebas dari bau n-heksan. Kemudian ampas yang

    telah terbebas dari bau n-heksan, disokhlet kembali dengan menggunakan 500 mL

    metanol sampai pelarutnya tampak jernih. Filtrat diuapkan dengan rotary evaporator

    Isolasi Saponin (Jaya, 2010)

    Ekstrak pekat dari daun petai cina dimasukkan dalam corong pisah 250mL.

    Disuspensikan dengan 35 mL akuades, dan dicuci dengan dietil eter 1:1, dikocok dan

    dibiarkan sampai terbentuk dua lapisan. Lapisan air diambil dan diekstraksi dengan n-

    butanol 1:1. Kemudian lapisan n-butanol diambil dan dipekatkan dengan rotary

    evaporator.

    Identifikasi Saponin dengan Kromatografi Lapis Tipis (Kristianingsih, 2005).

    Identifikasi saponin dilakukan dengan Kromatografi Lapis Tipis. Fase gerak

    yang digunakan adalah klorofom: metanol: akuades (v/v/v) dengan variasi kosentrasi

    (6,5:2,5:1), (6,5;5:1), (2:6:4), (2:6:1), (5,5:3,5:1), (4,5:4,5:1). Pengamatan menggunakan

    lampu UV pada λ254 nm dan λ366 nm.

    Uji Aktifitas Antibakteri (Faradisa, 2008)

    Larutan Plate Count Agar (PCA) dimasukkan dalam cawan petri dan

    masing-masing dicampur dengan 0,1 mL suspensi bakteri B. subtilis (ATCC 6051)

    dan E. coli (ATCC 0091IFO) dengan jumlah bakteri yaitu Mc Farland sebesar 6 x108

    CFU/ml, kemudian dihomogenkan. Kertas cakram diteteskan 20 µl ekstrak dengan

    berbagai konsentrasi selama 15 menit, selanjutnya diinkubasi pada suhu 370C selama

    24 jam sampai muncul daerah hambatan. Pengukuran zona hambatan dilakukan

  • 5

    dengan mengukur diameter daerah jernih menggunakan jangka sorong. Langkah-

    langkah ini diulangi untuk pengujian antibakteri pada shampo.

    Pembuatan Shampo (Soetjipto, 2010)

    4,8 gram natrium klorida dilarutkan dalam 10 ml akuades, diambil setengah

    bagian dan dimasukkan dalam 14,4 gram sodium lauryl sulfate diaduk sampai homogen.

    2,4 mL coco amido propyl betaine, 2,4 gram pearl concentrate dan 0,3 gram nipagin

    ditambahkan ke dalamnya sambil terus diaduk sampai homogen. Kemudian, asam

    kaboksilat 0,048 gram dalam 6 ml akuades dan 0,036 gram ethylene diamine tetra

    acetic acid (EDTA) dalam 24 ml air ditambahkan. 60 mL liter air beserta sisa larutan

    garam dimasukkan perlahan sambil terus diaduk sampai cairan mengental, selanjutnya

    larutan ekstrak daun petai cina (Leucaena leucocephala) ditambahkan dengan

    konsentrasi 0% (kontrol), 0% (tanpa penambahan coco amido propyl betaine ) , 5%,

    7,5%, 10%, 15%, dan 20%, kemudian diaduk sampai homogen.

    Pengukuran Kestabilan Busa (Ratnawulan, 2009)

    Larutan shampo 1%,dimasukkan ke dalam tabung reaksi bertutup. Selama 20

    detik dikocok dengan cara membalikan gelas ukur secara beraturan. Tinggi busa yang

    terbentuk diukur, kemudian setelah 5 menit diamati kembali dan diukur kestabilan

    busanya.

    Pengujian Standar Mutu Shampo Menurut SNI 06-2692-1992

    Penentuan Kadar Surfaktan Non Ionik Menurut SNI (2005)

    100 mL larutan baku surfaktan non ionik 1% dimasukkan ke dalam corong

    pemisah 250 mL, kemudian ditambahkan 3 tetes indikator fenoltalin. Larutan NaOH

    1N ditambahkan tetes demi tetes. Kemudian, larutan biru metilen sebanyak 25 mL

    ditambahkan dalam corong pisah. 10 mL kloroform juga ditambahkan, dan dibiarkan

    hingga terjadi pemisahan fasa. Lapisan bawah dipisahkan dan ditampung dalam

    corong pemisah yang lain. Fasa air diekstraksi kembali dalam corong pisah dengan

    menambahkan 10 mL kloroform dan fase klorofom yang terbentuk ditampung.

    Ekstraksi diulangi sekali lagi, kemudian 50 mL larutan pencuci ( 4,1 ml H2SO4 6M + 50

    mL akuades + 5 gr NaH2PO42H2O + akuades sampai batas tera dalam labu ukur 100

    mL) ditambahkan ke dalam fasa kloroform gabungan dan dikocok kuat-kuat selama 30

    detik, dibiarkan terjadi pemisahan fasa. Lapisan bawah, fasa kloroform dipisahkan dan

    di tampung. 10 mL kloroform ditambahkan ke dalam fasa air. dan dikocok kuat-kuat

  • 6

    sampai terjadi pemisahan fasa, lapisan bawah dikeluarkan. Setelah itu di ekstraksi

    kembali fasa air dalam corong pisah dan disatukan semua fasa kloroform dalam labu

    ukur. Isi labu ukur ditepatkan hingga tanda tera dengan kloroform. Kemudian diukur

    absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 652 nm dan dicatat

    serapannya.

    Langkah di atas diulangi dengan mengganti larutan baku surfaktan dengan

    larutan shampo 1%.

    Pengukuran pH (Standar Nasional Indonesia, SNI 06-2692-1992)

    Larutan shampo 10% diukur pH nya dengan menggunakan pH meter digital.

    Pengukuran Kadar Air Shampo (Standar Nasional Indonesia, SNI 06-2692-

    1992)

    1 gram sampel ditimbang dalam cawan petri yang telah diketahui massa awalnya

    (triplo). Sampel dan cawan petri dipanaskan dalam oven pada suhu 103-105°C selama

    24 jam kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Setelah dingin, sampel

    dipanaskan selama 2 jam dan ditimbang kembali. Langkah ini dilakukan sampai

    diperoleh berat yang konstan.

    Analisa Data

    Kestabilan busa dan diameter daya hambat dianalisis dengan menggunakan

    rancangan dasar RAK (Rancangan Acak Kelompok) dengan 7 perlakuan dan 4 ulangan.

    Sebagai perlakuan adalah konsentrasi ekstrak saponin daun Petai Cina yaitu: 0%

    (kontrol); 0% (tanpa penambahan coco amido propyl betaine); 5%; 7,5%; 10%;15%;

    dan 20%. Sebagai kelompok adalah waktu uji. Pengujian antar rataan perlakuan

    dilakukan dengan menggunakan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) dengan tingkat

    kebermaknaan 5% (Steel dan Torrie, 1980).

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Rendemen isolat saponin daun petai cina sebesar 16,50 gram atau 6,74%, jika

    dibandingkan dengan rendemen saponin daun akasia sebesar 3,42% (Anidya

    dkk.,2013), dan rendemen saponin akar putri malu sebesar 1% (Jaya, 2010) maka

    rendemen isolat saponin daun petai cina relatif lebih besar. Nampaknya kandungan

    saponin pada tumbuhan bervariasi jumlahnya. Ekstrak saponin yang diperoleh berupa

    pasta berwarna coklat. Uji busa dilakukan sebagai uji pendahuluan, busa yang terbentuk

    tidak hilang selama 30 detik dengan ketinggian 1cm. Hasil uji Liberman-Burchard

  • 7

    menunjukkan adanya cincin coklat sehingga saponin ini termasuk saponin jenis

    triterpenoid.

    Identifikasi senyawa saponin daun petai cina dilakukan dengan metode

    Kromatografi Lapis Tipis dengan menggunakan fase gerak klorofom: metanol: akuades.

    Hasil optimasi konsentrasi fase gerak diperoleh perbandingan 2:6:1 (v/v/v) sebagai

    eluen terbaik untuk identifikasi senyawa saponin daun petai cina. Hasil uji KLT ekstrak

    saponin daun petai cina menunjukan bercak coklat pada Rf 0,512.

    Aktivitas Antibakteri Ekstrak Saponin dan Shampo

    Uji antibakteri pada ekstrak saponin dan shampo daun petai cina dilakukan

    dengan menggunakan metode standar Mc Farland, yaitu dengan kerapatan bakteri 9.108

    CFU/ml. Bakteri yang digunakan adalah bakteri gram positif yaitu B. subtilis dan gram

    negatif yaitu E. coli. Penggunaan bakteri gram positif dan gram negatif bertujuan untuk

    mengetahui daya hambat pada ekstrak saponin dan shampo daun petai cina, di mana

    dikatakan berspektrum luas jika dapat menghambat pertumbuhan kedua jenis bakteri,

    dan dikatakan berspektrum sempit bila hanya mampu menghambat pertumbuhan dari

    salah satu bakteri saja (Pelezar dan Chan,1998). Uji antibakteri positif, jika terbentuk

    daerah bening atau transparan di sekitar paper disc yang berisi sampel. Kemudian,

    diukur diameter daya hambat senyawa tersebut, semakin besar diameter yang dibentuk

    maka semakin aktif senyawa tersebut sebagai antibakteri.

    Hasil uji antibakteri dari ekstrak dan shampo saponin daun petai cina terhadap

    kedua bakteri menunjukkan adanya aktivitas antibakteri, dibuktikan dengan adanya

    zona terang di daerah sekitar paper disc yang berisi ekstrak dan shampo saponin daun

    petai cina. (Tabel 1 dan Tabel 2).

  • 8

    Tabel 1. Rataan Diameter Daya Hambat (mm±SE) Ekstrak Daun Petai Cina (Leucaena

    Leucocephala) Terhadap Bakteri B.subtilis Dan E. coli.

    Keterangan : *SE = Simpangan Baku Taksiran

    *W = BNJ 5 %

    *Angka yang diikuti huruf yang tidak sama menunjukkan berbeda nyata sedangkan angka

    yang diikuti huruf yang sama menunjukkan antar perlakuan tidak berbeda nyata.

    Keterangan berlaku juga untuk Tabel 2 dan Tabel 3

    Hasil uji antibakteri untuk shampo dari saponin daun petai cina disajikan pada

    Tabel 2.

    Tabel 2. Rataan Diameter Daya Hambat (mm±SE) Shampo Ekstrak Daun Petai Cina

    (Leucaena Leucocephala) Terhadap Bakteri B.subtilis Dan E. coli.

    Hasil uji antibakteri baik untuk ekstrak saponin daun petai cina maupun shampo

    daun petai cina menunjukkan hasil yang bervariasi terkait dengan konsentrasi saponin

    dan jenis bakteri yang digunakan. Untuk ekstrak saponin daun petai cina, diameter daya

    hambat dari konsentrasi 500-4000 ppm berkisar 6 mm sampai 12 mm. Sedangkan untuk

    shampo diameter daya hambat yang dihasilkan dari konsentrasi 0% sampai 20%

    berkisar 7 mm sampai 12 mm untuk bakteri gram positif B.subtilis, sedangkan untuk

    bakteri gram negatif E.coli baik untuk shampo maupun ekstrak saponin berkisar 6 mm

    Bakteri Konsentrasi (ppm)

    500 750 1000 1500 2000 3000 4000

    B.subtilis

    SE (6,80±0,20) (7,75±0,13) (8,58±0,52) (9,07±0,43) (10,20±0,42) (11,85±0.12) (12,70±0,28)

    W = 0,59 a b c c d e f

    Kategori Sedang Sedang Sedang Sedang Kuat Kuat Kuat

    E. coli

    SE (6,12±0,16) (6,41±045) (6.64±0,88) (7.23±0.1,56) (7.92±0,48) (9,45±4,56) (10,51±5,99)

    W = 0,22 a b c d e f g

    Kategori Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Kuat

    Bakteri

    Konsentrasi (%)

    Kontrol

    (dengan

    betain)

    0% 5% 7,5% 10% 15% 20%

    B.subtilis

    SE (7,04±0,20) (7,45±0,34) (8,33±0,50) (9,50±1,62) (10,28±0,18) (11,53±0.23) (12,19±0,13)

    W = 0,557 a a b c d e f

    Kategori Sedang Sedang Sedang Sedang Kuat Kuat Kuat

    E. coli

    SE (6,04±0,09) (6,10±0,08) (7.0±0,01) (7.61±0.38) (8,31±0,31) (9,38±0,24) (10,78±0,12)

    W = 1,809 a a a a b b c

    Kategori Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang kuat

  • 9

    sampai 10 mm. Hasil ini menunjukkan bahwa ekstrak saponin daun petai cina lebih

    efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri gram positif B.subtilis dibandingkan

    dengan bakteri gram negatif E.coli. Hal ini diduga terkait dengan struktur dinding sel

    bakteri E. coli yang relatif lebih tebal dari bakteri B. subtilis karena tersusun dari lapisan

    peptidoglikan dan lipid dengan kadar yang tinggi (11-22 %), sehingga ekstrak saponin

    daun petai cina lebih sulit menembus dinding sel bakteri ini (Lathifah, 2008).

    Davis and Stout (1971), membagi kriteria kekuatan daya hambat antibakteri

    sebagai berikut; daya hambat lemah, jika daerah daya hambatnya berkisar 5 mm,

    tergolong sedang jika diameter daya hambat 5-10 mm, tergolong kuat jika diameter

    daya hambat 10-20 mm, dan tergolong sangat kuat jika diameter daya hambat lebih dari

    20 mm. Berdasarkan kriteria tersebut, ekstrak saponin daun petai cina terhadap bakteri

    gram positif B.subtilis pada konsentrasi 2000 ppm sudah menunjukkan daya hambat

    kuat, sedangkan untuk bakteri gram negatif E.coli menunjukkan daya hambat kuat pada

    konsentrasi 4000 ppm. Hasil uji antibakteri pada shampo untuk bakteri B.subtilis

    menunjukkan daya hambat kuat pada konsentrasi 10%, dan untuk bakteri gram negatif

    menunjukkan daya hambat kuat pada konsentrasi 20%.

    Menurut Jaya (2010), mekanisme kerja saponin dalam menghambat

    pertumbuhan bakteri dengan cara merusak membran sitoplasma pada bakteri yang

    menyebabkan bocornya metabolit yang menonaktifkan sistem enzim bakteri. Membran

    sitoplasma yang rusak dapat mencegah masuknya nutrisi yang diperlukan bakteri untuk

    menghasilkan energi. Hal ini menyebabkan bakteri mengalami hambatan pertumbuhan

    bahkan menyebabkan kematian bakteri.

    Kesetabilan Busa Shampo

    Hasil rata-rata kestabilan busa shampo dengan berbagai konsentrasi ekstrak

    saponin daun petai cina dapat dilihat pada tabel 3.

    Tabel 3. Kestabilan Busa (%) Shampo pada Berbagai Konsentrasi Ekstrak Saponin

    Daun Petai Cina (Leucaena leucocephala (Lam.) De Wit.

    Konsentrasi (%)

    Kontrol 0 5 7.5 10 15 20

    ± SE 94,62±2,51 82,51±1,51 88,05±0,33 89,67±0,74 92,27±0,71 95,01±0,58 95,89±0,17

    W=

    2,187 d a b b c d d

  • 10

    Semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang ditambahkan, semakin banyak dan

    stabil pula busa yang terbentuk. Pada konsentrasi 15% dan 20% busa yang dihasilkan

    banyak dan stabil. Peningkatan kestabilan busa pada konsentrasi 15% dan 20% sudah

    mampu menyamai kestabilan busa shampo yang menggunakan foam booster (kontrol).

    Nampaknya, saponin daun petai cina mampu menghasilkan busa yang kestabilannya

    sama dengan foam booster sintetik, sehingga saponin daun petai cina dapat digunakan

    sebagai alternatif pembusa alami menggantikan foam booster sintetik. Kemampuan

    saponin sebagai agensia pembusa alami tidak terlepas dari gugus hidrofilik dan

    hidrofobik yang dimiliki. Kombinasi struktur senyawa penyusun saponin, berupa

    fragmen sapogenin nonpolar dan rantai samping polar yang larut dalam air. Tabel 3

    menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak saponin yang optimal dalam pembuatan

    shampo adalah 15% dengan kestabilan busa 95,01±0,58%

    Hasil pengukuran tinggi busa mencerminkan kemampuan suatu deterjen untuk

    menghasilkan busa (Liliyana, 2008). Pengukuran tinggi busa merupakan salah satu cara

    untuk pengendalian mutu suatu produk deterjen agar sediaan memiliki kemampuan

    yang sesuai dalam menghasilkan busa.

    Pengujian SNI 06-2692-1992

    Hasil pengujian sifat fisika-kimiawi shampo ekstrak saponin daun petai cina

    berdasarkan SNI 06-2692-1992 mengenai shampo ditampilkan pada tabel 4.

    Tabel 4. Perbandingan Mutu Shampo Ekstrak Saponin Dengan SNI 06-2692-1992

    Shampo

    Kriteria uji

    Bentuk

    (cair) Warna

    Kadar

    surfaktan non

    ionik

    pH Kadar air

    SNI

    Kontrol (dgn

    betain)

    0% (tanpa betain)

    5%

    7.5%

    10%

    15%

    20%

    Homogen

    Homogen

    Homogen

    Homogen

    Homogen

    Homogen

    Homogen

    Homogen

    -

    Putih mengkilat

    Putih mengkilat

    Coklat muda

    Coklat

    Coklat +

    Coklat tua

    Coklat tua +

    Min 4,5%

    6.2±0.07

    6.1±0.18

    6.1±0.17

    5.9±0.07

    5.9±0.08

    5.9±0.06

    5.8±0.05

    5,0-9,0

    7.36±0.05

    7.35±0.06

    7.08±0.06

    6.93±0.11

    6.75±0.07

    6.48±0.06

    6.35±0.12

    Maks 95%

    89.01 ±1.60

    87.89±0.67

    86.57±2.20

    85.13±0.72

    85.04±3.84

    84.48±1.57

    84.72±1.33

  • 11

    Semakin besar penambahan konsentrasi ekstrak saponin semakin coklat warna

    yang dihasilkan, karena pengaruh warna dari ekstrak saponin berwarna coklat. Untuk

    hasil uji kadar surfaktan non ionik dalam shampo terjadi penurunan yang tidak begitu

    besar dari 6.2% hingga 5.8%. Hasil uji ini menunjukkan shampo dengan ekstrak

    saponin daun petai cina masuk dalam standar SNI yaitu minimal 4,5%.

    Nilai pH shampo, terjadi penurunan seiring dengan besarnya penambahan

    konsentrasi saponin yang ditambahkan. Penurunan nilai pH berkisar 7.36 hingga 6.35.

    Nilai pH ini masih sesuai dengan kisaran syarat mutu yang ditetapkan menurut Standar

    Nasional Indonesia (SNI), yaitu antara 5,0 – 9,0. Untuk hasil analisa kadar air pada

    shampo ekstrak saponin daun petai cina, semua shampo yang dibuat masuk dalam

    syarat mutu kadar air menurut SNI. Menurut Standar Nasional Indonesia (1992), kadar

    air shampo maksimum sebesar 95%. Nilai kadar air sangat penting untuk diketahui

    dalam sebuah produk shampo, karena kadar air terkait dengan fisik shampo serta

    mempengaruhi daya simpan suatu produk shampo.

  • 12

    KESIMPULAN

    Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa:

    1) Rendemen hasil isolasi ekstrak saponin daun petai cina yang diperoleh adalah

    sebesar 6,74%

    2) Aktivitas antibakteri isolat saponin daun petai cina terhadap B.subtilis tergolong

    kuat pada konsentrasi 2000 ppm dan untuk shampo daun petai cina tergolong

    kuat pada konsentrasi 10%, sedangkan terhadap E. coli untuk isolat saponin

    daun petai cina tergolong kuat 4000 ppm dan untuk shampo pada konsentrasi

    20%.

    3) Konsentrasi isolat saponin daun petai cina yang optimal dalam pembuatan

    shampo adalah 15% dan shampo memenuhi SNI 06-2692-1992. Serta

    kesetabilan busa shampo petai cina tertinggi pada konsentrasi 15% sebesar

    (95.01 ± 0.58%)

  • 13

    DAFTAR PUSTAKA

    Aisyah, S. (2011). Produksi Surfaktan Alkil Poliglikosida (Apg) Dan Aplikasinya Pada

    Sabun Cuci Tangan Cair. Tesis Institut Pertanian Bogor .

    Ariani, A., Hartati.S., dan Yohanes. M. (2013). Pemanfaatan Saponin Daun Akasia

    (Acacia auriculiformis A.Cunn) Sebagai Pembusa Alami Dan Agensia

    Antibakteri Dalam Sabun Cair. Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA.

    Universitas Negeri Yogyakarta.

    Badan Standarisasi Nasional Indonesia. SNI 06-2692-1992: Shampoo.Jakarta: Badan

    Standarisasi Nasional Indonesia

    Badan Standarisasi Nasional Indonesia. SNI 06-6989-51-2005: Penentuan Kadar

    Surfaktan Anionik. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional Indonesia

    Chen, Y.F., Chao, H.Y., Ming, S.C., Yong. P.C., and Yu.C.H., (2010). Foam Properties

    and Detergent Abilities of the Saponins from Camellia oleifera. Int. J. Mol. Sci.

    2010, 11, 4417-4425; doi:10.3390/ijms11114417

    Davis, W.W and Stout, T.R. (1971). Disc Plate Methods of Microbiological Antibiotic

    Assay. Microbiology. 22(4): 659-665.

    Faizatun, Kartiningsih, dan Liliyana., (2008). Formulasi Sediaan Shampo Ekstrak

    Bunga Chamomile dengan Hidroksi Propil Metil Selulosa sebagai Pengental.

    Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia

    Faradisa, M. (2008). Uji Efektifitas Antimikroba Senyawa Saponin Dari Tanaman

    Blimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi Linn). Skripsi-UIN Malang, Malang

    Jaya, M.A. (2010). Isolasi Dan Uji Efektivitas Antibakteri Senyawa Saponin Dari Akar

    Putri Malu (Mimosa Pudica). Universitas Islam Negeri, Malang.

    Kristianingsih. (2005). Isolasi dan Identifikasi Senyawa Triterpenoid dari Akar

    Tanaman Kedongdong Laut (Polyscias Fruticosa), Skripsi Mahasiswa Jurusan

    Kimia, F-MIPA, Universitas Brawijaya

    Mandal, P. (2005). Antimicrobial activity of saponins from Acacia auriculiformis.

    Fitoterapia, (76), 462-465.

    Pelezer, M.J., S.Chan. (1998). Dasar-dasar Mikrobiologi 2. Jakarta. UI-Press.

    Ratnawulan, S. (2009). Pengembangan Ekstrak Etanol Kubis (Brassica oleracea var.

    Capitata l. )Asal Kabupaten Bandung Barat dalam Bentuk Sampo Antiketombe

    terhadap Jamur Malassezia furfur. Universitas Padjajaran.

    Sartinah, A., Astuti, P., dan Wahyuono, S. (2010). Isolasi Dan Identifikasi Senyawa

    Antibakteri Dari Daun Petai Cina (Leucaena leucocephala (Lam.) De Wit.).

    Majalah Obat Tradisional

    Soetjipto, Hartati. (2010). Petunjuk Praktikum Produk Kosmetika. Universitas Kristen

    Satya wacana, Salatiga.

    Surendar. M, S. (2011). Extraction, Isolation and Purification of Saponins from Herbal

    Plants. Herbal Tech Industry

  • 14

    Steel, R.G.D and James,H.T.(1980). Prinsip dan Prosedur Statistika suatu Pendekatan

    Biometrik. Jakarta:Gramedia.

    Tranggono, R.I.S, dan Latifah, F. (2007). Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik.

    Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 7-8, 93-96.

  • 15

    Lampiran

    Makalah yang telah

    diseminarkan dalam

    SNKPK-VI UNS

    Solo, 21 Juni 2014

  • 16

  • 17

    dalam daun petai cina relatif tinggi

    sehingga, bermanfaat sebagai surfaktan

    alami yang mampu membentuk busa bila

    dilarutkan dalam air. Kandungan saponin

    yang tinggi pada daun petai cina,

    nampaknya berpotensi untuk

    dimanfaatkan sebagai agensia pembusa

    alami pada produk-produk kosmetika.

    Maka dari itu, dalam penelitian ini daun

    petai cina digunakan sebagai salah satu

    sumber saponin alami.

    Berdasarkan latar belakang diatas

    maka, tujuan dari penelitian ini adalah

    mengisolasi senyawa saponin dari daun

    petai cina, menentukan konsentrasi

    ekstrak saponin yang optimal dalam

    pembuatan sampo dengan variasi

    konsentrasi kontrol (dengan betain);

    0%(tanpa betain); 5%;7,5%;10%;15%;

    dan 20%, serta mengukur kestabilan busa

    dari sampo, serta membandingkan hasil

    sampo dengan SNI 06-2692-1992.

    METODE PENELITIAN

    Alat dan bahan

    Alat-alat yang digunakan dalam

    penelitian ini adalah: rotary evaporator

    (Buchi R1 14), plat silica gel G/UV 254 nm

    (10x10cm), pH meter (Hanna H19812,

    Romania), shaker (Kika Labortechnik

    KS501 digital),

    Bahan kimia yang digunakan adalah

    Akuades, heksana (derajat teknis),

    metanol (drajat teknis), dietil eter (drajat

    teknis) n-butanol (derajat PA, Merck),

    kloroform (derajat PA) ,asam asetat

    (Merck), Asam Klorida (Merck), Asam

    Sulfat (derajat PA). indikator fenolftalin,

    indikator biru metilen, NaOH (derajat

    teknis), H2SO4 (derajat teknis), natrium

    klorida (Merck), sodium lauryl sulfat

    (Merck), Coco amido propyl betaine (Merck),

    Pearl concentrate (Merck), ethylene diamine

    tetra acetic acid (Merck), asam karboksilat

    (Merck) dan nipagin (Merck).

    Metode

    Preparasi Sampel

    Sampel dikering anginkan, lalu

    dihaluskan menggunaan grinder

    Uji Busa [3]

    Sebanyak 0,5 mg sampel dimasukkan

    ke dalam tabung reaksi yang berisi akuades

    secukupnya kemudian dikocok kuat-kuat

    selama 5 menit dan diamati busa yang

    timbul sampai stabil dan diukur tinggi

    busanya (ketinggian busa 1-3 cm). Sebelum

    busa hilang ditetesi HCl 1 N bila busa stabil

    menunjukkan reaksi positif.

    Uji Liberman-Burchard (LB) [4]

    Sampel ditimbang 0,5 mg dan

    dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang

    berisi 5 ml CHCl3, kemudian tabung

    dipanaskan 5 menit di atas pemangas air

    sambil dikocok-kocok lalu didinginkan. 1 ml

    campuran dari tabung reaksi I diambil dan

    dimasukkan ke dalam tabung reaksi II.

    Ke dalam tabung reaksi II diteteskan

    peraksi (LB) (1 ml asam asetat anhidrat

    dan 1 tetes asam sulfat pekat).

    Kemudian diamati perubahan warna yang

    timbul sampai kira-kira 30 menit. Bila

    muncul warna coklat atau violet pada

    perbatasan 2 pelarut maka saponin yang

    terkandung didalamnya dari jenis

    triterpenoid, sedangkan bila muncul warna

    hijau kebiruan maka saponin yang

    terkandung termasuk jenis saponin steroid.

    Ekstraksi Sampel Metode Soxhlet dengan

    Defatisasi [5]

  • 18

    Sampel 50 gr serbuk kering disokhlet

    dengan 500 mL n-heksan selama 24 jam.

    Kemudian Filtrat ditampung dan

    ampasnya diangin-anginkan sampai

    terbebas dari bau n-heksan. Selanjutnya,

    disokhlet kembali dengan menggunakan

    500 mL metanol sampai pelarutnya

    tampak jernih. Filtrat diuapkan dengan

    rotary evaporator

    Ekstraksi Saponin [4]

    Ekstrak pekat dari daun petai cina

    dimasukan dalam corong pisah 250mL,

    kemudian dilarutkan dengan 35 mL

    akuades. Selanjutnya, dicuci dengan dietil

    eter 1:1, dikocok dan dibiarkan sampai

    terbentuk dua lapisan. Lapisan air diambil

    dan diekstraksi dengan n-butanol 1:1.

    Kemudian lapisan n-butanol diambil dan

    dipekatkan dengan rotary evaporator.

    Identifikasi Saponin dengan KLT [6]

    Identifikasi saponin dilakukan dengan

    Kromatografi Lapis Tipis. Fase gerak yang

    digunakan adalah klorofom: metanol:

    akuades dengan variasi kosentrasi

    (65:25:10),(65;50:10),(20:60:4),(20:60:10),

    (55:35:10),(45:45:10). Pengamatan

    menggunakan lampu UV pada λ256 nm

    dan λ366 nm.

    Pembuatan Sampo [7]

    4,8 gram natrium klorida dilarutkan

    dalam 10 ml akuades, diambil setengah

    bagian dan dimasukkan dalam 14,4 gram

    sodium lauril sulfat diaduk sampai

    homogen. 2,4 mL coco amido propyl

    betaine, 2,4 gram pearl concentrate dan

    0,3 gram nipagin ditambahkan

    kedalamnya sambil terus diaduk sampai

    homogen. selanjutnya, ditambahkan

    campuran 0,048 gram asam karboksilat

    dalam 6 ml akuades dan 0,036 ethylene

    diamine tetra acetic acid (EDTA) dalam 24

    ml air. 60 mL liter air beserta sisa larutan

    garam dimasukkan perlahan sambil terus

    diaduk sampai cairan mengental,

    selanjutnya larutan ekstrak daun petai cina

    (Leucaena leucocephala) ditambahkan

    dengan konsentrasi 0% (kontrol), 0% (tanpa

    penambahan coco amido propyl betaine ) ,

    5%, 7,5%, 10%, 15%, dan 20%, kemudian

    diaduk sampai homogen.

    Pengukuran Kestabilan Busa [8]

    Larutan sampo 1%,dimasukan

    kedalam tabung reaksi bertutup. Selama 20

    detik dikocok dengan cara membalikan

    gelas ukur secara beraturan. Tinggi busa

    yang terbentuk diukur,kemudian setelah 5

    menit diamati kembali dan diukur kestabilan

    busanya.

    Pengujian Standar Mutu Sampo Menurut

    SNI (1992) [9]

    Penentuan Kadar Surfaktan Non Ionik

    Menurut SNI (2005)

    100 mL larutan baku surfaktan non ionik 1%

    dimasukkan ke dalam corong pemisah 250

    mL, kemudian ditambahkan 3 tetes indikator

    fenoltalin. Larutan NaOH 1N ditambahkan

    tetes demi tetes. Kemudian, larutan biru

    metilen sebanyak 25 mL ditambahkan

    dalam corong pisah. 10 mL kloroform juga

    ditambahkan, dan dibiarkan hingga terjadi

    pemisahan fasa. Lapisan bawah dipisahkan

    dan ditampung dalam corong pemisah

    yang lain. Fasa air diekstraksi kembali

    dalam corong pisah dengan menambahkan

    10 mL kloroform dan fase klorofom yang

  • 19

    terbentuk ditampung. Ekstraksi diulangi

    sekali lagi, kemudian 50 mL larutan

    pencuci ( 4,1 ml H2SO4 6N + 50 mL

    akuades + 5 gr NaH2PO42H2O + akuades

    sampai tera dalam labu ukur 100 mL)

    ditambahkan ke dalam fasa kloroform

    gabungan dan dikocok kuat-kuat selama

    30 detik, dibiarkan terjadi pemisahan fasa.

    Lapisan bawah, fasa kloroform

    dipisahkan dan di tampung. 10 mL

    kloroform ditambahkan ke dalam fasa air.

    dan dikocok kuat-kuat sampai terjadi

    pemisahan fasa, lapisan bawah

    dikeluarkan. Setelah itu di ekstraksi

    kembali fasa air dalam corong pisah dan

    disatukan semua fasa kloroform dalam

    labu ukur. Isi labu ukur ditepatkan hingga

    tanda tera dengan kloroform. Kemudian

    diukur absorbansinya dengan

    spektrofotometer pada panjang

    gelombang 652 nm dan dicatat

    serapannya.

    Langkah diatas diulangi dengan

    mengganti larutan baku surfaktan dengan

    larutan sampo 1%.

    Pengukuran pH [9]

    Larutan sampo 10% diukur pH nya

    dengan menggunakan pH meter digital.

    Pengukuran Kadar Air Sampo [9]

    1 gram sampel ditimbang dalam

    cawan petri yang telah diketahui massa

    awalnya (triplo). Sampel dan cawan petri

    dipanaskan dalam oven pada suhu Oven

    103-105°C selama 24 jam kemudian

    didinginkan dalam desikator dan

    ditimbang. Setelah dingin, sampel

    dipanaskan selama 2 jam dan ditimbang

    kembali. Langkah ini dilakukan sampai

    diperoleh berat yang konstan.

    Analisa Data [10]

    Kestabilan busa dan parameter

    fisiko-kimiawi menurut SNI dianalisis dengan

    menggunakan rancangan dasar RAK

    (Rancangan Acak Kelompok) dengan 7

    perlakuan dan 4 ulangan. Sebagai

    perlakuan adalah konsentrasi ekstrak

    saponin daun Petai Cina yaitu: 0% (kontrol);

    0% (tanpa penambahan coco amido propyl

    betaine); 5%; 7,5%; 10%;15%; dan 20%.

    Sebagai kelompok adalah waktu uji.

    Pengujian antar rataan perlakuan dilakukan

    dengan menggunakan uji Beda Nyata Jujur

    (BNJ) dengan tingkat kebermaknaan 5%

    (Steel dan Torrie, 1980).

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Dari 300 gram daun petai cina yang

    diekstrak, diperoleh ekstrak saponin

    16,5045 gram atau rendemen sebesar

    6,74%. Ekstrak saponin yang diperoleh

    berupa pasta berwarna coklat. Uji busa

    dilakukan sebagai uji pendahuluan, busa

    yang terbentuk tidak hilang selama 30 detik

    dengan ketinggian 1cm. Untuk hasil uji

    Liberman-Burchard menunjukan adanya

    cincin coklat sehingga saponin ini termasuk

    saponin jenis triterpenoid.

    Identifikasi senyawa saponin daun

    petai cina dilakukan dengan metode

    Kromatografi Lapis Tipis dengan

    menggunakan fase gerak klorofom: metanol:

    akuades.

    Hasil optimasi konsentrasi fase gerak

    diperoleh perbandingan 20:60:10 sebagai

    eluen terbaik untuk identifikasi senyawa

    saponin daun petai cina.

    Kesetabilan Busa Sampo

  • 20

    Hasil rata-rata kestabilan busa

    sampo dengan berbagai konsentrasi

    ekstrak saponin daun petai cina dapat

    dilihat pada tabel 1 (lampiran 1).

    Semakin tinggi konsentrasi ekstrak

    yang ditambahkan, semakin banyak dan

    stabil pula busa yang terbentuk. Pada

    konsentrasi 15% busa yang dihasilkan

    banyak dan stabil, sedangkan pada

    konsentrasi 20%, kestabilan busa tidak

    berbeda jauh dari konsentrasi 15%.

    Peningkatan kestabilan busa pada

    konsentrasi 15% dan 20% sudah mampu

    melampaui kestabilan busa sampo yang

    menggunakan foam booster (kontrol).

    Nampaknya, saponin daun petai cina

    mampu menghasilkan busa yang

    kestabilannya lebih tinggi dibandingkan

    dengan foam booster sintetik.

    Kemampuan saponin sebagai agensia

    pembusa alami tidak terlepas dari gugus

    hidrofilik dan hidrofibik yang dimiliki.

    Kombinasi struktur senyawa penyusun

    saponin, berupa fragmen sapogenin

    nonpolar dan rantai samping polar yang

    larut dalam air.

    Tabel 1 menunjukan bahwa

    konsentrasi ekstrak saponin yang optimal

    dalam pembuatan sampo adalah 15%

    dengan kestabilan busa 95,01±0,58%

    Hasil pengukuran tinggi busa

    mencerminkan kemampuan suatu

    deterjen untuk menghasilkan busa [11].

    Pengukuran tinggi busa merupakan salah

    satu cara untuk pengendalian mutu suatu

    produk deterjen agar sediaan memiliki

    kemampuan yang sesuai dalam

    menghasilkan busa.

    Pengujian SNI 06-2692-1992

    Hasil pengujian sifat fisika-kimiawi

    sampo ekstrak saponin daun petai cina

    berdasarkan SNI 06-2692-1992 mengenai

    sampo ditampilkan pada tabel 2 (lampiran

    1).

    Semakin besar penambahan

    konsentrasi ekstrak saponin semakin coklat

    warna yang dihasilkan, karena pengaruh

    warna dari ekstrak saponin berwarna coklat.

    Untuk hasil uji kadar surfaktan non ionik

    dalam sampo terjadi penurunan yang tidak

    begitu besar dari 6.2% hingga 5.8%. Hasil

    uji ini menunjukan sampo dengan ekstrak

    saponin daun petai cina masuk dalam

    standar SNI yaitu minimal 4,5%.

    Untuk nilai pH sampo, terjadi

    penurunan seiring dengan besarnya

    penambahan konsentrasi saponin yang

    ditambahkan. Penurunan nilai pH berkisar

    7.36 hingga 6.35. Nilai pH ini masih sesuai

    dengan kisaran syarat mutu yang ditetapkan

    menurut Standar Nasional Indonesia (SNI),

    yaitu antara 5,0 – 9,0.

    Untuk hasil analisa kadar air pada

    sampo ekstrak saponin daun petai cina,

    semua sampo yang dibuat masuk dalam

    syarat mutu kadar air menurut SNI. Menurut

    Standar Nasional Indonesia (1992), kadar

    air sampo maksimum sebesar 95%. Nilai

    kadar air sangat penting untuk diketahui

    dalam sebuah produk sampo, karena kadar

    air terkait dengan fisik sampo serta

    mempengaruhi daya simpan suatu produk

    sampo.

    KESIMPULAN

    Rendemen ekstrak saponin yang

    diperoleh adalah sebesar 6,74%.

    Konsentrasi ekstrak saponin daun petai cina

    yang optimal dalam pem buatan sampo

  • 21

    adalah 15%, dan kestabilan busa sampo

    yang paling besar adalah pada

    penambahan ekstrak saponin dengan

    konsentrasi 15%, serta sampo ekstrak

    saponin daun petai cina memenuhi syarat

    mutu SNI 06-2692-1992.

    DAFTAR RUJUKAN

    [1] Tranggono, R.I.S, dan Latifah, F., Buku

    Pegangan Ilmu Pengetahuan

    Kosmetik. Jakarta: Gramedia

    Pustaka Utama. 2007, 7-8, 93-96.

    [2] Aisyah, S., 2011. Produksi Surfaktan

    Alkil Poliglikosida (Apg) Dan

    Aplikasinya Pada Sabun Cuci

    Tangan Cair. Tesis Institut Pertanian

    Bogor

    [3] Faradisa, Maria., 2008. Uji Efektifitas

    Antimikroba Senyawa Saponin Dari

    Tanaman Blimbing Wuluh (Averrhoa

    Bilimbi Linn). Skripsi-UIN Malang,

    Malang

    [4] Jaya, Miko Ara., 2010. Isolasi Dan Uji

    Efektivitas Antibakteri Senyawa

    Saponin Dari Akar Putri Malu

    (Mimosa Pudica). Universitas Islam

    Negeri, Malang.

    [5] Sartinah, A., Astuti, P., & Wahyuono,

    S., 2010. Isolasi Dan Identifikasi

    Senyawa Antibakteri Dari Daun

    Petai Cina (Leucaena leucocephala

    (Lam.) De Wit.).

    [6] Kristianingsih.,2005. Isolasi dan

    Identifikasi Senyawa Triterpenoid dari

    Akar Tanaman Kedongdong Laut

    (Polyscias Fruticosa), Skripsi

    Mahasiswa Jurusan Kimia, F-MIPA,

    Universitas Brawijaya

    [7] Soetjipto, Hartati., 2010. Petunjuk

    Praktikum Produk Kosmetika.

    Universitas Kristen Satyawacana,

    Salatiga

    [8] Ratnawulan, Soraya., 2009.

    Pengembangan Ekstrak Etanol Kubis

    (Brassica oleracea var.Capitata l. )

    Asal Kabupaten Bandung Barat dalam

    Bentuk Sampo Antiketombe terhadap

    Jamur Malassezia furfur. Universitas

    Padjajaran.

    [9] SNI. 1992. Shampoo. Badan

    Standarisasi Nasional Indonesia SNI

    No. 06-2692-1992, Jakarta.

    [10] Steel, R.G.D dan JH.Torrie.,1980.

    Prinsip dan Prosedur Statistika suatu

    Pendekatan Biometrik. Gramedia,

    Jakarta.

    [11] Faizatun, Kartiningsih, dan Liliyana.,

    2008. Formulasi Sediaan Sampo

    Ekstrak Bunga Chamomile dengan

    Hidroksi Propil Metil Selulosa

    sebagai Pengental. Jurnal Ilmu

    Kefarmasian Indonesia

  • 22

    Lampiran 1

    Tabel 1. Kestabilan Busa Sampo Pada Berbagai Konsentrasi Ekstrak Saponin daun Petai Cina (Leucaena leucocephala (Lam.) De Wit.

    Konsentrasi (%)

    Kontrol 0% 5% 7.5% 10% 15% 20%

    ±

    SE

    94,62±2

    ,51

    82,51±

    1,51

    88,05±0,3

    3

    89,67±0,7

    4

    92,27±0,7

    1

    95,01±0,5

    8

    95,89±0,1

    7

    W=

    2,187 cd a b B c d d

    Keterangan : *SE : Simpangan Baku Taksiran * Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan antar perlakuan

    tidak berbeda secara bermakna, sebaliknya angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama menunjukkan antar perlakuan berbeda bermakna.

    Tabel 2. Perbandingan Mutu Sampo Ekstrak Saponin Dengan SNI 06-4085-1996 Sampo

    Kriteria uji

    Bentuk

    (cair) Warna

    Kadar

    surfaktan non

    ionik

    pH Kadar air

    SNI

    Kontrol (dgn betain)

    0% (tanpa betain)

    5%

    7,5%

    10%

    15%

    20%

    Homogen

    Homogen

    Homogen

    Homogen

    Homogen

    Homogen

    Homogen

    Homogen

    -

    Putih mengkilat

    Putih mengkilat

    Coklat muda

    Coklat

    Coklat +

    Coklat tua

    Coklat tua +

    Min 4,5%

    6.2±0.07

    6.1±0.18

    6.1±0.17

    5.9±0.07

    5.9±0.08

    5.9±0.06

    5.8±0.05

    5,0-9,0

    7.36±0.05

    7.35±0.06

    7.08±0.06

    6.93±0.11

    6.75±0.07

    6.48±0.06

    6.35±0.12

    Maks 95%

    89.01 ±1.60

    87.89±0.67

    86.57±2.20

    85.13±0.72

    85.04±3.84

    84.48±1.57

    84.72±1.33

    Keterangan : *SE : Simpangan Baku Taksiran * Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan antar perlakuan tidak berbeda secara bermakna, sebaliknya angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama

    menunjukkan antar perlakuan berbeda bermakna

  • 1