ASPEK YURIDIS PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING ... · Aspek Yuridis Pemisahan..... (Hana...

13
Aspek Yuridis Pemisahan........... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil) SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011 15 ASPEK YURIDIS PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) TERHADAP PEMBUKTIAN DI MUKA SIDANG PENGADILAN (Studi Kasus Perkara Pidana Pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen Iskandar) Oleh: Hana Krisnamurti, Sri Mulyati Chalil Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana Bandung ABSTRAK Pasal 142 KUHAP memberikan hak kepada Penuntut Umum untuk melakukan penuntutan dengan jalan pemisahan perkara (Splitsing). Pemisahan ini dapat dilakukan jika Penuntut Umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan beberapa orang tersangka dan peran masing- masing tersangka berbeda. Konsekuensi dari splitsing, yaitu bahwa satu perkara pelaku memiliki dua kedudukan, baik sebagai saksi maupun terdakwa. Akibatnya timbul istilah saksi mahkota (kroongetuide). Secara normatif penggunaan dan pengajuan „saksi mahkota‟ merupakan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial) dan juga merupakan pelanggaran terhadap kaidah HAM yakni bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dan mengabaikan hak ingkar yang dimiliki terdakwa karena terikat oleh sumpah dalam kedudukannya sebagai saksi. Kata kunci: Splitsing, Presumption of Innocence, Saksi Mahkota, dan Hak Ingkar ABSTRACT Criminal justice can be interpreted as a process of working of some law enforcement agencies. Criminal justice mechanisms include activities that gradually starting from the investigation, prosecution, examination before the court, and execution of a court decision which held in a correctional institution with a common goal that is desired in order to seek, find and get the accuracy of which are specifically regulated in the Act Law No. 8 / 1981 on Criminal Proceedings. The development of criminal procedure have been related to the scope of many things that must be learned one of them is about authority as Prosecutor Attorney General for prosecution action by the indictment. Article 142 Criminal Procedure Code gives a right to the Public Prosecutor to prosecute the case by way of separation (Splitsing). Consequences of splitsing, namely that the perpetrators must testify together in each case. In one case the perpetrator has two positions, either as witnesses or defendants. As a result, the term arising crown witness (kroongetuide). Normatively use and filing of 'crown witnesses' are contrary to the principles of fair trial and impartial (fair trial) and also a violation of human rights principles as known in the Criminal Code and the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). What is needed is a

Transcript of ASPEK YURIDIS PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING ... · Aspek Yuridis Pemisahan..... (Hana...

Page 1: ASPEK YURIDIS PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING ... · Aspek Yuridis Pemisahan..... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil) SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011 15 ASPEK YURIDIS PEMISAHAN

Aspek Yuridis Pemisahan........... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil)

SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011

15

ASPEK YURIDIS PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING)

TERHADAP PEMBUKTIAN DI MUKA SIDANG PENGADILAN

(Studi Kasus Perkara Pidana Pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen Iskandar)

Oleh:

Hana Krisnamurti, Sri Mulyati Chalil

Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana Bandung

ABSTRAK

Pasal 142 KUHAP memberikan hak kepada Penuntut Umum untuk melakukan

penuntutan dengan jalan pemisahan perkara (Splitsing). Pemisahan ini dapat

dilakukan jika Penuntut Umum menerima satu berkas perkara yang memuat

beberapa tindak pidana yang dilakukan beberapa orang tersangka dan peran masing-

masing tersangka berbeda. Konsekuensi dari splitsing, yaitu bahwa satu perkara

pelaku memiliki dua kedudukan, baik sebagai saksi maupun terdakwa. Akibatnya

timbul istilah saksi mahkota (kroongetuide). Secara normatif penggunaan dan

pengajuan „saksi mahkota‟ merupakan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip

peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial) dan juga merupakan pelanggaran

terhadap kaidah HAM yakni bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah

(presumption of innocence) dan mengabaikan hak ingkar yang dimiliki terdakwa

karena terikat oleh sumpah dalam kedudukannya sebagai saksi.

Kata kunci: Splitsing, Presumption of Innocence, Saksi Mahkota, dan Hak Ingkar

ABSTRACT

Criminal justice can be interpreted as a process of working of some law enforcement

agencies. Criminal justice mechanisms include activities that gradually starting

from the investigation, prosecution, examination before the court, and execution of a

court decision which held in a correctional institution with a common goal that is

desired in order to seek, find and get the accuracy of which are specifically regulated

in the Act Law No. 8 / 1981 on Criminal Proceedings. The development of criminal

procedure have been related to the scope of many things that must be learned one of

them is about authority as Prosecutor Attorney General for prosecution action by the

indictment. Article 142 Criminal Procedure Code gives a right to the Public

Prosecutor to prosecute the case by way of separation (Splitsing). Consequences of

splitsing, namely that the perpetrators must testify together in each case. In one case

the perpetrator has two positions, either as witnesses or defendants. As a result, the

term arising crown witness (kroongetuide). Normatively use and filing of 'crown

witnesses' are contrary to the principles of fair trial and impartial (fair trial) and

also a violation of human rights principles as known in the Criminal Code and the

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). What is needed is a

Page 2: ASPEK YURIDIS PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING ... · Aspek Yuridis Pemisahan..... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil) SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011 15 ASPEK YURIDIS PEMISAHAN

Aspek Yuridis Pemisahan........... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil)

SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011

16

thoroughness and wisdom of law enforcement, especially prosecutors and judges in

the use of crown witnesses as evidence so as to maintain the balance of protecting

the interests of either country's interest, the public, as well as individual interests

including the interests of criminals and victims of crime, so it will create certainty

law is expected by the community.

Keywords: Splitsing, Presumption of Innocence, Kroongetuide.

PENDAHULUAN

Kejahatan merupakan masalah

sosial yang tidak hanya dihadapi oleh

Indonesia atau masyarakat dan negara

tertentu, tetapi merupakan masalah

yang dihadapi oleh seluruh masyarakat

di dunia. Kejahatan ditemukan atau

ada di semua kultur atau budaya, dan

setiap masyarakat menghasilkan

mekanisme atau cara untuk

mengendalikan kejahatan.

Mekanisme tersebut meliputi

proses yang bertahap dimulai dari

penyidikan, penuntutan, pemeriksaan

di sidang pengadilan, dan pelaksanaan

putusan hakim yang dilaksanakan di

lembaga pemasyarakatan.

Keseluruhan proses itu bekerja di

dalam suatu sistem, sehingga masing-

masing lembaga itu merupakan

subsistem yang saling berhubungan

dan saling mempengaruhi antara satu

dengan yang lain.

Mulyadi (1996) mengatakan

bahwa Hukum Acara Pidana merupa

kan peraturan yang mengatur,

menyelenggarakan dan memper-

tahankan eksistensi ketentuan

Hukum Pidana (Materieel

Strafrecht) guna mencari, menemu-

kan dan mendapatkan kebenaran

materi atau yang sesungguhnya.

Perkembangan hukum acara

pidana telah menyangkut ruang

lingkup banyak hal yang harus

dipelajari yakni meliputi aturan

hukum tentang wewenang alat

negara penegak hukum, tindakan

penyidikan untuk mengumpulkan

bahan-bahan bukti, wewenang

melakukan penangkapan/penahanan,

tindakan penuntutan dengan surat

dakwaan, pemeriksaan sidang untuk

pembuktian sebagai bahan

keputusan, penerapan hukum dengan

penetapan/putusan, berbagai upaya

Page 3: ASPEK YURIDIS PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING ... · Aspek Yuridis Pemisahan..... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil) SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011 15 ASPEK YURIDIS PEMISAHAN

Aspek Yuridis Pemisahan........... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil)

SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011

17

hukum dan pelaksanaan putusan

yang mempunyai kekuatan tetap.

Tindakan penuntutan dengan

surat dakwaan merupakan

kewenangan dari jaksa (Pasal 1

angka 6 huruf a KUHAP). Pasal 142

KUHAP memberikan hak kepada

Penuntut Umum untuk melakukan

penuntutan dengan jalan pemisahan

perkara (Splitsing). Pada prinsipnya,

menurut hukum acara pidana splitsing

kasus adalah hak Penuntut Umum.

Pemisahan itu dapat dilakukan jika

Penuntut Umum menerima satu berkas

perkara yang memuat beberapa tindak

pidana. Kejahatan itu juga melibatkan

beberapa orang tersangka. Dengan

kata lain, lebih dari satu perbuatan dan

pelaku. Splitsing bisa dilakukan

karena peran masing-masing tersangka

berbeda.

Konsekuensi dari splitsing, yaitu

bahwa para pelaku harus saling

bersaksi dalam perkara masing-

masing. Dalam satu perkara pelaku

memiliki dua kedudukan, baik sebagai

saksi maupun terdakwa. Akibatnya

timbul istilah saksi mahkota

(kroongetuide).

Hal ini dapat dilihat dalam

proses perkara pidana pembunuhan

terhadap Nasrudin Zulkarnaen

Iskandar. Secara garis besar para

pelaku dalam perkara pidana ini

terbagi dalam beberapa unsur, yaitu

eksekutor (Edo Cs), penyandang dana

(Sigid Haryo Wibisono) dan yang

menyuruh (Williardi Wizard), serta

Antasari Azhar sebagai pelaku turut

serta (yang membujuk).

Dalam satu perkara yang

menjadi terdakwa adalah kelompok

eksekutor sedangkan kelompok

penyandang dana, yang menyuruh,

serta yang membujuk berkedudukan

sebagai saksi demikian sebaliknya

dalam perkara yang lain penyandang

dana sebagai terdakwa sedangkan

eksekutor, yang menyuruh dan yang

membujuk berkedudukan sebagai

saksi.

Secara normatif penggunaan dan

pengajuan „saksi mahkota‟ merupakan

hal yang bertentangan dengan prinsip-

prinsip peradilan yang adil dan tidak

memihak (fair trial) dan juga

merupakan pelanggaran terhadap

kaidah HAM sebagaimana dikenal

dalam KUHAP maupun International

Covenant on Civil and Political Rights

(ICCPR).

Page 4: ASPEK YURIDIS PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING ... · Aspek Yuridis Pemisahan..... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil) SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011 15 ASPEK YURIDIS PEMISAHAN

Aspek Yuridis Pemisahan........... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil)

SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011

18

Berdasarkan u raian tersebut

diatas peneliti tertarik untuk mengada-

kan penelitian mengenai aspek yuridis

pemisahan berkas perkara (splitsing)

terhadap pembuktian di muka sidang

Pengadilan (Studi Kasus Perkara

Pidana Pembunuhan Nasrudin

Zulkarnaen Iskandar). Oleh karena itu

penulis membatasi analisis dalam dua

permasalahan yaitu bagaimanakah

aspek yuridis pemisahan berkas

perkara (splitsing) terhadap pem-

buktian di muka sidang pengadilan

(Studi Kasus Perkara Pidana

Pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen

Iskandar)? Dan bagaimanakah

kepastian hukum saksi mahkota

dalam pemeriksaan perkara pidana?

TINJAUAN PUSTAKA

Istilah Sistem Peradilan Pidana

(Criminal Justice System) telah men-

jadi suatu istilah yang menunjukkan

mekanisme kerja dalam penang-

gulangan kejahatan dengan memper-

gunakan dasar pendekatan sistem. Arti

sistem itu sendiri adalah susunan

kesatuan dari bagian-bagian yang

saling bergantung.

Remington dan Ohlin dalam

Atmasasmita (1996) mengemukakan

bahwa Criminal Justice System dapat

diartikan sebagai pemakaian pen-

dekatan sistem terhadap mekanisme

administrasi peradilan pidana, dan

peradilan pidana sebagai suatu sistem

merupakan hasil interaksi antara

peraturan perundang-undangan praktik

administrasi dan sikap atau tingkah

laku sosial. Pengertian sistem itu

sendiri mengandung implikasi suatu

proses interaksi yang dipersiapkan

secara rasional dan dengan cara efisien

untuk memberikan hasil tertentu

dengan segala keterbatasannya.

Dalam konteks inilah selanjut-

nya dibicarakan tentang mekanisme

peradilan pidana sebagai suatu proses,

atau disebut “Criminal Justice

Process”. Criminal Justice Process ini

dimulai dari proses penangkapan,

penggeledahan, penahanan,

penuntutan, dan pemeriksaan di muka

sidang pengadilan, serta diakhiri

dengan pelaksanaan pidana di lembaga

pemasyarakatan.

Sistem peradilan pidana dalam

operasionalisasinya melibatkan

manusia, baik sebagai subjek hukum

maupun sebagai sasaran atau objek

hukum, sehingga persyaratan utama

supaya sistem peradilan pidana itu

Page 5: ASPEK YURIDIS PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING ... · Aspek Yuridis Pemisahan..... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil) SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011 15 ASPEK YURIDIS PEMISAHAN

Aspek Yuridis Pemisahan........... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil)

SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011

19

bersifat rasional, harus dapat

memahami dan memperhitungkan

dampaknya terhadap manusia dan

masyarakat manusia, baik yang berada

dalam kerangka sistem maupun yang

berada di luar sistem.

Mengkaji KUHAP Tahun 1981

sebagai dasar hukum terselenggaranya

sistem peradilan pidana di Indonesia,

maka akan tampak subsistem-

subsistem sebagai berikut :

a. Subsistem Penyidikan

b. Subsistem Penuntutan

c. Subsistem Pengadilan

Dilihat secara umum, menurut

sistem KUHAP, hakim memiliki

posisi yang sentral dan sangat

menentukan, karena hakimlah yang

menetapkan tentang terbukti atau

tidaknya kesalahan terdakwa.

Kegiatan pengumpulan bukti-bukti

dilakukan oleh penyidik, pemanfaatan

alat-alat bukti menjadi tanggung jawab

penuntut umum karena penuntut

umum yang berkewajiban membuat

dakwaan dan membuktikannya

melalui alat-alat bukti yang dikumpul-

kan oleh penyidik.

Hakim tidak boleh menjatuh-

kan pidana kepada seseorang berdasar-

kan hanya atas keyakinannya melain-

kan harus dengan adanya sekurang-

kurangnya dua alat bukti yang sah

(Pasal 183 KUHAP). Pengertian

tersebut merupakan pencerminan dari

sistem pembuktian negatif (asas

negative wettelijke).

Hamzah (1990) mengatakan,

bahwa Sistem pembuktian negatif

merupakan gabungan dari teori atau

sistem pembuktian berdasar keyakinan

secara positif dengan sistem

pembuktian berdasar keyakinan hakim

melulu, sehingga dalam sistem ini

hakim hanyalah menghukum terdakwa

kalau bukti-bukti yang sah menurut

hakim, ia berkeyakinan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukan

tindak pidana.

Alat bukti adalah alat yang ada

hubungannya dengan suatu tindak

pidana, yang dapat dipergunakan

sebagai bahan pembuktian guna

menimbulkan keyakinan hakim atas

kebenaran akan adanya tindak pidana

yang telah dilakukan oleh terdakwa.

Sedangkan alat bukti yang sah artinya

alat bukti yang telah ditentukan oleh

undang-undang, yaitu yang tercantum

dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP,

yakni: Keterangan saksi, Keterangan

Page 6: ASPEK YURIDIS PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING ... · Aspek Yuridis Pemisahan..... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil) SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011 15 ASPEK YURIDIS PEMISAHAN

Aspek Yuridis Pemisahan........... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil)

SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011

20

ahli, Surat, Petunjuk,dan Keterangan

terdakwa.

Keterangan saksi merupakan

faktor penting dalam segala kegiatan

pelaksanaan proses peradilan dan

sebagai alat bukti yang dapat mem-

beratkan atau meringankan terdakwa.

Kesaksian adalah kepastian yang

diberikan kepada hakim di per-

sidangan tentang peristiwa yang

disengketakan dengan jalan pem-

beritahuan secara lisan dan pribadi

oleh orang yang bukan salah satu

pihak dalam perkara yang dipanggil di

persidangan.

Pasal 1 angka 26 menentukan:

"Saksi adalah orang yang dapat

memberikan keterangan guna

kepentingan penyidikan, penuntutan,

dan peradilan tentang suatu perkara

pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat

sendiri, dan ia alami sendiri dengan

menyebut alasan dari pengetahuan

itu". Demikian halnya dengan Pasal 1

butir 1 Undang-undang Nomor 13

Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban, menyatakan “Saksi

adalah orang yang dapat memberikan

keterangan guna kepentingan

penyelidikan, penyidikan, penuntutan,

dan pemeriksaan di sidang pengadilan

tentang suatu perkara pidana yang ia

dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/

atau ia alami sendiri”.

Pengertian umum dari

keterangan saksi tercantum dalam

Pasal 1 butir 27 KUHAP, yaitu: “salah

satu alat bukti dalam perkara pidana

yang berupa keterangan dari saksi

mengenai suatu peristiwa pidana yang

ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia

alami sendiri dengan menyebut alasan

dari pengetahuannya itu.”

Penilaian terhadap keterangan

yang diberikan oleh seorang saksi

adalah bebas, artinya seorang hakim

bebas untuk menerima atau menolak

isi keterangan seorang saksi yang

diberikan di persidangan. Keadaan

tersebut ada benarnya, karena

seringkali seorang saksi di dalam

memberikan keterangan dilandasi

suatu motivasi tertentu.

Dalam mempertimbangkan nilai

suatu kesaksian, hakim harus

memberikan perhatian khusus pada

persamaan kesaksian-kesaksian satu

sama lain, pada persamaan antara

kesaksian-kesaksian itu dengan apa

yang diketahui dari sumber lain

tentang hal yang menjadi perkara,

pada alasan-alasan yang kiranya telah

Page 7: ASPEK YURIDIS PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING ... · Aspek Yuridis Pemisahan..... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil) SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011 15 ASPEK YURIDIS PEMISAHAN

Aspek Yuridis Pemisahan........... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil)

SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011

21

mendorong seorang saksi untuk

mengutarakan perkaranya secara

begini begitu, pada cara hidup,

kesusilaan, dan kedudukan para saksi,

serta pada segala apa yang mungkin

ada pengaruhnya terhadap lebih atau

kurang dapat dipercayainya para saksi

itu.

Dalam banyak kasus tampak

bahwa tidak setiap kejadian atau

keadaan yang terjadi di tempat

kejadian perkara disaksikan oleh

seorang saksi yang berdiri sendiri-

sendiri, dapat dipergunakan sebagai

alat bukti yang sah, jika keterangan

saksi itu ada hubungannya yang satu

dengan yang lain sedemikian rupa,

hingga dapat membenarkan adanya

suatu kejadian. Dalam antara seorang

terdakwa dengan terdakwa lain yang

bersama-sama melakukan tindak

pidana, bisa dijadikan saksi antara

yang satu dengan yang lain. Hal inilah

yang kemudian dikenal sebagai „saksi

mahkota‟ (kroongetuide).

Meskipun tidak diberikan

definisi otentik dalam KUHAP,

namun berdasarkan kenyataan, „saksi

mahkota‟ didefinisikan sebagai saksi

yang berasal atau diambil dari salah

seorang tersangka atau terdakwa

lainnya yang bersama-sama melaku-

kan tindak pidana. Adapun mahkota

yang diberikan kepada saksi yang

berstatus terdakwa adalah dalam

bentuk ditiadakannya penuntutan

terhadap perkaranya atau diberikannya

suatu tuntutan yang sangat ringan

apabila perkaranya dilimpahkan ke

pengadilan atau dimaafkan atas

kesalahan yang pernah dilakukan.

Saksi mahkota hanya ada dalam

perkara pidana yang merupakan delik

penyertaan.

Hamzah (1996) berpendapat

bahwa: “saksi mahkota adalah salah

seorang terdakwa biasanya yang

paling ringan kesalahannya dijadikan

(dilantik) sebagai saksi. Jadi terdakwa

ini seperti diberi mahkota yang tidak

akan dijadikan terdakwa lagi.

Pengaturan mengenai ‟saksi

mahkota‟ ini pada awalnya diatur di

dalam Pasal 168 KUHAP, yang

prinsipnya menjelaskan bahwa pihak

yang bersama-sama sebagai terdakwa

tidak dapat didengar keterangannya

dan dapat mengundurkan diri sebagai

saksi. Kemudian dalam perkembangan

nya, maka tinjauan pemahaman

tentang saksi mahkota sebagai alat

bukti dalam perkara pidana diatur

Page 8: ASPEK YURIDIS PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING ... · Aspek Yuridis Pemisahan..... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil) SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011 15 ASPEK YURIDIS PEMISAHAN

Aspek Yuridis Pemisahan........... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil)

SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011

22

dalam Yurisprudensi Mahkamah

Agung RI Nomor: 1986 K/Pid/1989

tanggal 21 Maret 1990.

Dalam Yurisprudensi tersebut

dijelaskan bahwa Mahkamah Agung

RI tidak melarang apabila Jaksa/

Penuntut Umum mengajukan saksi

mahkota dengan syarat bahwa saksi

ini dalam kedudukannya sebagai

terdakwa tidak termasuk dalam satu

berkas perkara dengan terdakwa yang

diberikan kesaksian.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian dilakukan

dengan cara menggunakan metode

pendekatan yuridis normatif, yaitu

suatu penelitian yang menekankan

pada peraturan perundang-undangan

untuk mengkaji permasalahan dengan

menemukan peraturan hukumnya yang

bertujuan untuk menemukan asas dan

teori hukum (Soekanto, 1986).

Spesifikasi penelitian yang

digunakan adalah deskriptif analitis,

yaitu mendeskripsikan atau meng-

gambarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku sebagai hukum

positif (ius constitutum) dikaitkan

dengan teori-teori hukum dan praktik

pelaksanaan hukum positif seputar

permasalahan yang akan dibahas

(Soemitro, 1985).

Objek yang diteliti yaitu

mengenai putusan pengadilan terhadap

para pelaku pembunuhan Nasrudin

Zulkarnaen Iskandar. Data dalam

penelitian ini diperoleh melalui studi

kepustakaan yang berkaitan dengan

data sekunder di bidang hukum

kemudian dianalisis dengan mengguna

kan metode analisis yuridis kualitatif,

yaitu data yang diperoleh disusun

secara sistematis, kemudian diuraikan

dalam bentuk narasi. Sehingga akan

diperoleh suatu interpretasi hukum

dengan menggunakan cara penafsiran

hukum.

PEMBAHASAN

Pada prinsipnya, menurut

hukum acara pidana splitsing kasus

adalah hak Penuntut Umum.

Pemisahan itu dapat dilakukan jika

Penuntut Umum menerima satu berkas

perkara yang memuat beberapa tindak

pidana. Kejahatan itu juga melibatkan

beberapa orang tersangka. Dengan

kata lain, lebih dari satu perbuatan dan

pelaku. Splitsing bisa dilakukan

karena peran masing-masing terdakwa

berbeda.

Page 9: ASPEK YURIDIS PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING ... · Aspek Yuridis Pemisahan..... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil) SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011 15 ASPEK YURIDIS PEMISAHAN

Aspek Yuridis Pemisahan........... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil)

SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011

23

Konsekuensi dari splitsing, yaitu

bahwa para pelaku harus saling

bersaksi dalam perkara masing-

masing. Dalam satu perkara pelaku

memiliki dua kedudukan, baik sebagai

saksi maupun terdakwa. Akibatnya

timbul istilah saksi mahkota

(kroongetuide).

Dalam perkara pembunuhan

berencana terhadap Nasrudin

Zulkarnaen ini, secara garis besar para

pelaku terbagi dalam beberapa unsur,

yaitu eksekutor (Edo Cs), penyandang

dana (Sigid Haryo Wibisono) dan

yang menyuruh (Williardi Wizard),

serta Antasari Azhar sebagai pelaku

turut serta (yang membujuk).

Peneliti berpendapat mengapa

Jaksa Penuntut Umum harus melaku-

kan Splitsing terhadap para pelaku,

karena menurut peneliti Splitsing itu

akan mengakibatkan kaburnya Unsur

Penyertaan (Deelneming).

Penyertaan (Deelneming) adalah

apabila dalam suatu peristiwa pidana

terdapat lebih dari satu orang,

sehingga harus dicari pertanggung-

jawaban dan peranan masing-masing

peserta dalam persitiwa tersebut.

Splitsing dapat menyulitkan

jaksa penuntut umum dalam

membuktikan hubungan pelaku satu

dengan pelaku lainnya. karena, dalam

tindak pidana yang dilakukan oleh

beberapa orang otomatis diperlukan

pembuktian antara pelaku, kalau

perkaranya di-split bagaimana bisa

mengetahui hubungan antar pelaku.

Padahal tidak mungkin terbukti

unsur penyertaan jika tindak pidana

yang dilakukan berbeda. Semua atau

salah satu unsur yang ada dalam

dakwaan harus dilaksanakan secara

bersama-sama. Kalau pelaku didakwa

sendiri bagaimana membuktikan unsur

“bersama-samanya”. Terdakwa

tunggal itu tidak mungkin terbukti

melakukan tindak pidana bersama-

sama orang lain. Pemisahan perkara

menyebabkan unsur penyertaan tidak

terbukti. karena, penentuan siapa

pelaku (pleger) dan medepleger (turut

serta) tidak jelas, pelaku (pleger)

justru berada dalam berkas perkara

yang berbeda. Akibat penentuan

kualitas deelneming (penyertaan) yang

tidak jelas mengakibatkan perbedaan

penerapan hukum.

Hal ini dapat dilihat dari vonis

hakim dalam putusan pengadilan ter-

hadap para pelaku tersebut yaitu Sigid

Haryo Wibisono hakim menjatuhkan

Page 10: ASPEK YURIDIS PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING ... · Aspek Yuridis Pemisahan..... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil) SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011 15 ASPEK YURIDIS PEMISAHAN

Aspek Yuridis Pemisahan........... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil)

SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011

24

pidana penjara selama 15 (lima belas)

tahun, Williardi Wizard hakim

menjatuhkan pidana penjara selama 12

(dua belas) tahun, dan terhadap

Antasari Azhar hakim menjatuhkan

pidana penjara selama 18 (delapan

belas) tahun.

Inkonsitensi penerapan pasal

menunjukan adanya dua delik yang

berbeda. Padahal didakwa melakukan

penyertaan (deelneming). Hal ini

menunjukan ketidaktepatan dalam

menerapkan pasal.

Selain hal tersebut diatas

splitsing dianggap telah melanggar

asas praduga tidak bersalah. Asas

Praduga Tidak Bersalah merupakan

perlindungan terhadap harkat dan

martabat manusia yang fundamental.

Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM

menyatakan bahwa: “setiap orang

yang ditangkap, dan dituntut karena

disangka melakukan suatu tindak

pidana berhak dianggap tidak ber-

salah, sampai dibuktikan kesalahannya

secara sah dalam suatu sidang

pengadilan dan diberikan segala

jaminan hukum yang diperlukan untuk

pembelaannya sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-

undangan”.

Splitsing dianggap telah

melanggar asas praduga tidak bersalah

karena pemeriksaan di muka

persidangan belum selesai namun

dengan adanya putusan terdakwa lain

ia sudah dinyatakan bersalah. Artinya

pemeriksaan itu hanya formalitas saja.

Contoh konkrit ketika vonis

terhadap Antasari diputuskan maka

secara logika bahwa Sigit dan

Williardi dapat dinyatakan bersalah

juga karena terkait Pasal 55 ayat (1)

tentang penyertaan sedangkan pada

saat itu perkara Sigit dan Williardi

belum diputuskan.

Penggunaan saksi mahkota

sebagai alat bukti dalam perkara

pidana tentunya akan menimbulkan

berbagai permasalahan yuridik.

Munculnya alasan untuk memenuhi

dan mencapai rasa keadilan

masyarakat sebagai dasar argumentasi

diajukannya saksi mahkota bukan

merupakan hal yang menjustifikasi

penggunaan saksi mahkota itu sebagai

alat bukti dalam pemeriksaan perkara

pidana.

Saksi mahkota pada esensinya

adalah berstatus sebagai terdakwa.

Page 11: ASPEK YURIDIS PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING ... · Aspek Yuridis Pemisahan..... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil) SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011 15 ASPEK YURIDIS PEMISAHAN

Aspek Yuridis Pemisahan........... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil)

SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011

25

Oleh karena itu, sebagai terdakwa ia

mempunyai hak untuk diam atau

bahkan hak untuk memberikan

jawaban yang bersifat ingkar atau

bohong. Hal ini sebagai konsekuensi

yang melekat akibat tidak diwajib-

kannya terdakwa untuk bersumpah

dalam memberikan keterangan. Pasal

66 KUHAP juga mengatur bahwa

terdakwa tidak dibebani pembuktian

karena beban pembuktian ada pada

Jaksa Penuntut Umum. Karena ter-

dakwa tidak dikenakan kewajiban

untuk bersumpah maka terdakwa

bebas untuk memberikan keterangan-

nya di persidangan.

Sebagai subjek dalam

pemeriksaan, maka tersangka atau

terdakwa diberikan kebebasan untuk

melakukan pembelaan diri terhadap

dakwaan yang ditujukan kepada

dirinya (sesuai dengan ketentuan

dalam Pasal 52 KUHAP). Dengan kata

lain terdakwa mempunyai hak untuk

ingkar, yakni berhak untuk meng-

ingkari setiap keterangan ataupun

kesaksian yang memberatkan dirinya

serta berhak untuk mengingkari

terhadap dakwaan yang didakwakan

kepadanya karena dilindungi oleh asas

praduga tak bersalah (presumption of

innocence).

Dalam hal terdakwa diajukan

sebagai saksi mahkota tentunya

terdakwa tidak dapat memberikan

keterangan secara bebas karena terikat

dengan sumpah. Kosekuensi terhadap

pelanggaran sumpah ini adalah ia bisa

diancam melanggar Pasal 242 KUHP

tentang sumpah palsu dan keterangan

palsu. Adanya keterikatan dengan

sumpah tersebut tentunya akan

menimbulkan tekanan psikologis bagi

terdakwa karena ia tidak dapat

menggunakan haknya untuk ingkar

atau berbohong.

Oleh karena itu, pada hakikatnya

kesaksian yang diberikan saksi

mahkota tersebut disamakan dengan

pengakuan yang didapat dengan

menggunakan kekerasan dalam hal ini

kekerasan psikis. Hal ini jelas

bertentangan dengan prinsip-prinsip

peradilan yang adil dan tidak memihak

(fair trial) dan juga merupakan

pelanggaran terhadap kaidah HAM

sebagaimana dikenal dalam KUHAP

maupun International Covenant on

Civil and Political Rights (ICCPR).

Pada dasarnya, ketentuan Pasal

14 ayat (3) huruf g ICCPR bertujuan

Page 12: ASPEK YURIDIS PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING ... · Aspek Yuridis Pemisahan..... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil) SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011 15 ASPEK YURIDIS PEMISAHAN

Aspek Yuridis Pemisahan........... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil)

SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011

26

untuk melarang paksaan dalam bentuk

apapun. Selain itu, diamnya tersangka

atau terdakwa tidak dapat digunakan

sebagai bukti untuk menyatakan

kesalahannya.

Terdakwa tidak boleh dipersalah

kan atas keterangannya. Kondisi ini,

sangat tidak adil bagi terdakwa.

Sementara, tujuan dari penegakan

hukum, tidak hanya menegakan

hukum, tetapi juga keadilan baik untuk

korban maupun terdakwa. Apalagi,

keterangan yang diberikan besar

kemungkinan menunjukan kesalahan

terdakwa dalam kasus tersebut.

PENUTUP

Kesimpulan

Splitsing bisa dilakukan karena

peran masing-masing terdakwa ber-

beda. Namun pada kenyataannya

splitsing dapat menimbulkan masalah,

yaitu kaburnya unsur penyertaan

(deelneming) yang mengakibatkan

perbedaan penerapan hukum, pelang-

garan asas non self incrimination dan

bertentangan dengan asas praduga tak

bersalah (presumption of innocence).

Penggunaan saksi mahkota dianggap

suatu pelanggaran terhadap kaidah

HAM yakni hak ingkar yang dimiliki

terdakwa karena terikat oleh sumpah

dalam kedudukannya sebagai saksi.

Sehingga akan lebih menjamin

kepastian hukum apabila eksistensi

saksi mahkota diatur dengan ketentuan

hukum yang jelas demi mewujudkan

proses peradilan yang sesuai dengan

kaidah-kaidah yang terdapat dalam

KUHAP dan mewujudkan rasa

keadilan bagi masyarakat luas.

Saran

a. Dalam menyusun surat dakwaan

terhadap perkara yang di-split

sebaiknya jaksa memahami unsur

penyertaan, sehingga jelas

hubungan antar pelaku dan

penentuan siapa pelaku (pleger)

dan medepleger (turut serta) serta

memahami tentang kualitas

perkara yang perlu diadakan

splitsing.

b. Penggunaan saksi mahkota sebagai

alat bukti dalam perkara pidana

perlu ditinjau ulang karena ber-

tentangan dengan esensi hak asasi

manusia, khususnya hak asasi

terdakwa.

Page 13: ASPEK YURIDIS PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING ... · Aspek Yuridis Pemisahan..... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil) SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011 15 ASPEK YURIDIS PEMISAHAN

Aspek Yuridis Pemisahan........... (Hana Krisnamurti & Sri M. Cholil)

SOSIOHUMANITAS, XIII (1), Maret 2011

27

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:

Atmasasmita R., (1996), Sistem

Peradilan Pidana (Perspektif,

Eksistensialisme, dan

Abolisionisme, Putra A. Bardin,

Bandung.

Hamzah, A., (1990), Pengantar

Hukum Acara Pidana Indonesia,

Ghalia, Jakarta.

Hamzah, A., (1996), Hukum Acara

Pidana Indonesia, C.V. Bapta

Arta Jaya, Jakarta.

Mulyadi L., (1996), Hukum Acara

Pidana Suatu Tinjauan Khusus

Terhadap Surat Dakwaan,

Eksepsi dan Putusan Peradilan,

Citra Aditya Bakti, Bandung.

Soekanto S., (1986), Pengantar

Penelitian Hukum, UI Press,

Jakarta.

Soemitro R.H., (1985), Metodologi

Penelitian Hukum dan Jurimetri,

Ghalia Indonesia, Jakarta.

Sumber Perundang-undangan:

Afnil G.S.S., (2008), KUHAP dan

Penjelasan, Asa Mandiri,.

Kuffal H.M.A., (2005), Undang-

Undang Kejaksaan RI.,

Kekuasaan Kehakiman,

Kepolisian Negara RI,

Mahkamah Agung, Umm

Press.

Moeljatno, (1999), Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana, Bumi

Aksara, Jakarta.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi

Manusia, Departemen Hukum

dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia.