Vol IV No 14 II P3DI Juli 2012

20
Peran Whistleblower dalam Pengungkapan Kasus Suap Pegawai Pajak Lidya Suryani Widayati *) Abstrak Untuk kesekian kalinya pegawai pajak ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disingkat KPK), karena menerima suap. Penegakan hukum atas kasus-kasus suap pajak sepertinya tidak membuat jera pegawai pajak dalam menyalahgunakan kewenangannya. Selain lebih memperberat hukuman, diperlukan langkah revolutif dalam membenahi dan membersihkan pegawai pajak yang “nakal,” antara lain melalui sistem Whistleblowing. H U K U M A. Pendahuluan KPK pada tanggal 13 Juli 2012 menangkap Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Bogor, Jawa Barat, Anggrah Suryo, yang tertangkap tangan oleh tim KPK saat menerima suap Rp. 300 juta dari utusan wajib pajak Endang Dyah. Endang Dyah merupakan wakil dari PT Gunung Emas Abadi, sebuah perusahaan tambang batu bara di Bogor. Sebelumnya KPK telah menangkap Kepala Seksi Konsultasi KPP Sidoarjo, Tommy Hindratno, karena menerima suap terkait kepengurusan pajak di PT Bhakti Investama Tbk senilai Rp 280 juta dari James Gunardjo. James merupakan orang kepercayaan dari Antonius Tonbeng, komisaris indenden Bhakti Investama. Dari pihak Bhakti Investama sendiri sudah membantah keras jika James adalah karyawan ataupun konsultan di perusahaan tersebut. Agustinus Pohan, pakar hukum pidana Universitas Katolik Parahyangan menyatakan bahwa kasus penggelapan dan manipulasi pajak yang dilakukan oleh oknum pegawai Ditjen Pajak merupakan persoalan sejak lama dan bukan rahasia umum lagi bahwa besaran pajak dapat “diatur.” Kasus penggelapan pajak terjadi karena para pegawai Ditjen Pajak sudah terbiasa mendapatkan uang lebih dari permainan kotor perpajakan. Kasus suap pajak telah melibatkan Gayus Tambunan dan terus berulang seiring terungkapnya kasus Bahasyim Assifie, Dhana Widyatmika, Tommy Hindratno hingga terakhir menimpa Anggrah Suryo. B. Penanganan Kasus Suap Ditjen Pajak Menurut Danang Widoyoko, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), hal terpenting yang harus dilakukan Menteri Keuangan adalah mengeluarkan kebijakan menyeluruh memeriksa semua harta (pegawai pajak) dan yang dicurigai *) Peneliti Madya bidang Hukum Pidana pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected] Vol. IV, No. 14/II/P3DI/Juli/2012 - 1 -

description

Peran Whistleblower dalam Pengungkapan Kasus Suap Pegawai Pajak (Lidya Suryani Widayati) Peran Penting Parlemen dalam Mencapai Drug-free ASEAN 2015 (Rizki Roza) Urgensi Perlindungan bagi Anak (Lukman Nul Hakim) Defisit Anggaran dan Kebijakan Penanggulangannya (I z z a t y ) Pemilukada DKI Jakarta Dua Putaran 17 (Indra Pahlevi)

Transcript of Vol IV No 14 II P3DI Juli 2012

Page 1: Vol IV No 14 II P3DI Juli 2012

Peran Whistleblower dalam Pengungkapan Kasus Suap Pegawai Pajak

Lidya Suryani Widayati*)

Abstrak

Untuk kesekian kalinya pegawai pajak ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disingkat KPK), karena menerima suap. Penegakan hukum atas kasus-kasus suap pajak sepertinya tidak membuat jera pegawai pajak dalam menyalahgunakan kewenangannya. Selain lebih memperberat hukuman, diperlukan langkah revolutif dalam membenahi dan membersihkan pegawai pajak yang “nakal,” antara lain melalui sistem Whistleblowing.

H U K U M

A. Pendahuluan

KPK pada tanggal 13 Juli 2012 menangkap Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Bogor, Jawa Barat, Anggrah Suryo, yang tertangkap tangan oleh tim KPK saat menerima suap Rp. 300 juta dari utusan wajib pajak Endang Dyah. Endang Dyah merupakan wakil dari PT Gunung Emas Abadi, sebuah perusahaan tambang batu bara di Bogor. Sebelumnya KPK telah menangkap Kepala Seksi Konsultasi KPP Sidoarjo, Tommy Hindratno, karena menerima suap terkait kepengurusan pajak di PT Bhakti Investama Tbk senilai Rp 280 juta dari James Gunardjo. James merupakan orang kepercayaan dari Antonius Tonbeng, komisaris indenden Bhakti Investama. Dari pihak Bhakti Investama sendiri sudah membantah keras jika James adalah karyawan ataupun konsultan di perusahaan tersebut.

Agustinus Pohan, pakar hukum pidana Universitas Katolik Parahyangan

menyatakan bahwa kasus penggelapan dan manipulasi pajak yang dilakukan oleh oknum pegawai Ditjen Pajak merupakan persoalan sejak lama dan bukan rahasia umum lagi bahwa besaran pajak dapat “diatur.” Kasus penggelapan pajak terjadi karena para pegawai Ditjen Pajak sudah terbiasa mendapatkan uang lebih dari permainan kotor perpajakan. Kasus suap pajak telah melibatkan Gayus Tambunan dan terus berulang seiring terungkapnya kasus Bahasyim Assifie, Dhana Widyatmika, Tommy Hindratno hingga terakhir menimpa Anggrah Suryo.

B. Penanganan Kasus Suap Ditjen Pajak

Menurut Danang Widoyoko, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), hal terpenting yang harus dilakukan Menteri Keuangan adalah mengeluarkan kebijakan menyeluruh memeriksa semua harta (pegawai pajak) dan yang dicurigai

*) Peneliti Madya bidang Hukum Pidana pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Vol. IV, No. 14/II/P3DI/Juli/2012

- 1 -

Page 2: Vol IV No 14 II P3DI Juli 2012

- 2 -

langsung disita. Kasus suap pajak harus dilihat sebagai masalah besar. Tampaknya, selama ini Menteri Keuangan lebih fokus pada persoalan ekonomi makro. Padahal permasalahan di Kementerian Keuangan tidak hanya persoalan tersebut, melainkan juga permasalahan birokrasi yang buruk.

Menurut Wakil Ketua KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean, sistem pengawasan di Ditjen Pajak belum sempurna meskipun sudah terjadi reformasi di Ditjen Pajak dan adanya remunerasi. Pola reformasi yang dilakukan Ditjen Pajak belum benar-benar menyentuh secara keseluruhan hingga para pegawai pajak. Selain itu, menurut Tumpak hukuman yang dijatuhkan kepada aparatur pajak yang terbukti menerima suap masih terlalu ringan sehingga sama sekali tidak menimbulkan rasa takut aparat pajak untuk menyalahgunakan kewenangannya.

Menurut Agustinus Pohan, sanksi internal di Ditjen Pajak sangat tidak cukup untuk membuat jera para pegawainya yang berlaku curang. Sedang menurut Direktur Humas dan Penyuluhan Ditjen Pajak, Dedi Rudaedi, semakin bertambahnya pegawai pajak yang ditangkap KPK bukan berarti pengawasan dalam Ditjen Pajak tidak berjalan, tetapi justeru sebaliknya. Hal tersebut terjadi berkat kerjasama yang baik antara petugas KPK dengan pihak Ditjen Pajak. Ditjen Pajak telah menerapkan sistem whistleblowers. Sistem ini pun dinyatakannya sebagai bagian dari reformasi Dirjen Pajak.

Tanpa peran whistleblowers (pengungkap fakta, peniup pluit), tidak mudah bagi penegak hukum mengungkap mafia pajak yang lebih besar. Sebagai contoh kasus Gayus Tambunan, sampai sekarang aparat penegak hukum belum mampu mengusut siapa yang memberi suap kepada Gayus.

Whistleblowing system mulai diberlakukan tahun 2012 melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-11/PJ/2011. Sistem yang revolusioner ini dibuat untuk membangun budaya korektif dan peduli pada masyarakat luar dan pegawai Dirjen Pajak, agar bersama-sama mengawal proses reformasi birokrasi. Masyarakat diberi kesempatan untuk melaporkan pelanggaran yang diketahuinya melalui saluran yang telah

disediakan. Bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan seluruh pegawai Ditjen Pajak dapat mengadukan peyimpangan yang dilakukan atasannya, bawahannya, maupun sesama koleganya. Untuk memudahkan pegawainya, pimpinan Dirjen Pajak telah menyediakan instrumen yang mendukung antara lain dengan adanya aplikasi di intranet Kepegawaian yang memungkinkan setiap pegawai untuk mengadukan penyimpangan yang dilakukan pegawai lainnya. Setiap pegawai dapat melakukan login dengan jaminan identitasnya akan dirahasiakan. Pengaduan itu kemudian akan ditindaklanjuti Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (Kitsda), sebuah Direktorat yang berfungsi semacam provost. Kerjasama antara KPK dan Kitsda inilah yang akhirnya telah menangkap basah AS dan TH.

Whistleblowing system harus terus ditingkatkan karena dapat sekaligus membuktikan keinginan dari dalam Dirjen Pajak untuk melakukan reformasi. Selain itu, informasi dari “orang dalam“ merupakan unsur yang signifikan dalam pengungkapan kasus pajak. Sebuah studi terhadap kasus manipulasi perusahaan di Amerika Serikat menunjukkan terungkapnya kasus sebagian besar berasal dari informasi pegawai (19,2%), melebihi peran media dan regulator (16%) serta auditor (14,1%).

Namun demikian, menurut ekonom Dradjad Wibowo, penanganan kasus suap ditjen pajak tidak dapat mengandalkan Whistleblowing system dan operasi tangkap tangan KPK karena hal itu hanya menjerat pelanggar kecil. Seharusnya Ditjen pajak mengandalkan dokumen dan penelusuran forensik. Hasilnya akan lebih besar jika dibandingkan dengan operasi tangkap tangan.

C. Peran Whistleblower dalam Mengungkap Kasus Suap Pajak

Kasus penangkapan Mulyana W Kusumah mengejutkan banyak pihak. Banyak kalangan tidak menyangka jika anggota Komisi Pemilihan Umum sekaliber Mulyana ternyata tertangkap tangan melakukan aksi penyuapan terhadap anggota BPK untuk merekayasa hasil audit

Page 3: Vol IV No 14 II P3DI Juli 2012

- 3 -

terhadap KPU. Satu hal menarik dicermati dalam kasus ini adalah munculnya whistleblower dengan keberanian dan kesadarannya mengungkap tindak kriminal. Hal ini merupakan indikasi positif untuk mewujudkan slogan pemberantasan korupsi yang selama ini gencar dikampanyekan pemerintah.

Istilah whistleblower diadopsi melalui sistem hukum common law pada umumnya. Menurut Bakman, “a whistleblower is an employee who makes an unauthorised disclosure of information about criminal or irregular conduct, along avenues that are not specified.” Sedangkan menurut Whistleblower Protection Act 1989 United States, “A whistleblower is a present or former employee or member of an organization who reports misconduct.”

Semula istilah whistleblower berasal dari kebiasaan polisi Inggris membunyikan peluit sebagai tanda terjadinya suatu kejahatan. Namun belakangan, whistleblower dipakai untuk menyebut seseorang yang menginformasikan ihwal praktek suatu kejahatan, termasuk tindak manipulasi dan praktek korupsi. Istilah whistleblower sering digunakan untuk merujuk seseorang yang berupaya mengungkap ketidakjujuran dan penyimpangan anggaran yang terjadi di mana ia bekerja. Risiko yang harus ditanggung para pengungkap fakta sangat berat, mulai dari ancaman kehilangan pekerjaan sampai kemungkinan munculnya intimidasi terhadap mereka dan keluarganya.

Berdasarkan kasus yang terjadi di beberapa negara, yang menjadi perhatian dalam konteks whistleblower adalah terkait dengan perbuatan yang melanggar hukum, perbuatan yang tidak pantas dan kelalaian yang mempengaruhi kepentingan umum, bahaya terhadap kesehatan dan keselamatan umum dan bahaya terhadap lingkungan.

Di Amerika telah muncul berbagai institusi, baik dari kalangan pemerintah maupun profesional, yang memperjuangkan nasib para pengungkap fakta. Salah satu institusi yang cukup lama memperjuangkan hak-hak para pengungkap fakta adalah GAP (Government Accountability Project) yang bermarkas di Washington DC. Kiprah GAP sebagai institusi independen cukup

membantu para pengungkap fakta dalam menghadapi tingginya risiko yang harus mereka bayar, bahkan tidak sedikit para pengungkap fakta akhirnya memperoleh insentif dari kasus korupsi yang terungkap dan mendapat kembali pekerjaan yang sebelumnya harus mereka tinggalkan.

Pemerintah seharusnya dapat menerapkan sistem whistleblower secara lebih agresif. Apalagi kisah buram sering dialami pengungkap fakta di Indonesia. Endin Wahyudin, pelapor kasus penyuapan tiga hakim agung, dipenjara karena dianggap mencemarkan nama baik. Khairiansyah Salman, mantan auditor Badan Pemeriksa Keuangan, yang melaporkan kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum, dijadikan tersangka dengan tuduhan korupsi atas Dana Abadi Umat Rp 10 juta.

Lebih ironis lagi nasib Vincentius Amin Sutanto, Pelapor dugaan megaskandal pajak Asian Agri Group milik taipan Sukanto Tanoto senilai Rp 1,3 triliun ini justeru dijerat dengan dakwaan pencucian uang. Ia divonis 11 tahun penjara dan tidak ada pengurangan keringanan hukuman, seperti yang dijanjikan dalam undang-undang.

Lebih jauh, untuk mengoptimalkan peran para pengungkap fakta dalam mewujudkan pemberantasan korupsi diperlukan adanya peraturan atau institusi independen yang memiliki kewenangan untuk memberi advokasi maksimal bagi para pengungkap fakta sehingga risiko-risiko yang harus ditanggung bisa diminimalisasi sedemikian rupa. Hadirnya UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK) menjadi harapan banyak orang, bahwa perlindungan terhadap saksi dan korban akan mampu menjadi pendorong terungkapnya tabir kejahatan yang selama ini susah untuk ditembus. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah UU PSK mengatur mengenai perlindungan hukum terhadap whistleblower?

Secara definisi, whistleblower lebih mendekati pengertian “pelapor.” Dalam Pasal 10 ayat (1) UU PSK, yang dimaksud dengan “pelapor“ adalah orang yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana.” Dengan demikian maka pengertian pelapor bisa siapa saja yang mengajukan laporan, sedangkan whistleblower lebih

Page 4: Vol IV No 14 II P3DI Juli 2012

- 4 -

mengarah pada terminologi yang diletakkan pada seseorang yang pernah ataupun masih bekerja kepada suatu badan hukum.

Pasal 5 UU PSK memberikan perlindungan hukum hanya kepada saksi dan korban. Pasal 10 ayat (1) memberikan perlindungan hukum terhadap pelapor hanya terbatas pada “tidak dapat dituntut secara hukum baik secara pidana dan perdata, namun perlindungan hukum terhadap Pelapor pun dibatasi dengan adanya syarat bahwa perlindungan hukum hanya diberikan kepada Pelapor yang melaporkan tindak pidana dengan adanya itikad baik.

Dalam perkembangan terakhir, Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah (SEMA) RI tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama di Dalam Tindak Pidana Tertentu. Surat edaran ini menjadi pemecah “gunung es“ sementara untuk memberikan arahan bagi aparat penegak hukum dalam memberikan perlakuan khusus atau reward terhadap whistleblower. SEMA tersebut memberikan terjemahan whistleblower sebagai pelapor tindak pidana yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Selanjutnya SEMA menegaskan, apabila pelapor dilaporkan balik oleh terlapor, maka perkara yang dilaporkan pelapor didahulukan.

D. Penutup

Meskipun peran whistleblower sangat dibutuhkan dalam penegakan hukum, namun sistem dan kondisi hukum di Indonesia ternyata belum memberikan jaminan pelindungan yang semestinya terhadap keamanan dan keselamatan mereka. Seiring perkembangan penegakan hukum yang semakin kompleks, maka UU No. 13 Tahun 2006 perlu direvisi. UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban belum memberikan pelindungan hukum yang ideal dan proporsional bagi keberadaan whistleblower. Apabila pelindungan atas keamanan dan keselamatan para whistleblower benar-benar dapat dijalankan, maka potensi untuk mengungkapkan berbagai kasus korupsi di negeri ini tinggal persoalan waktu.

Rujukan:1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006

tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

2. “Periksa Harta Pegawai Pajak,” Suara Pembaruan, Selasa, 17 Juli 2012.

3. “Korupsi Pajak: KPK Harus Tangkap Ikan Besar,” Kompas, Selasa, 17 Juli 2012.

4. “Fuad Rahmany Nilai Anggrah Pegawai Pajak Yang Jujur,” Media Indonesia, Senin, 16 Juli 2012.

5. “Mafia Pajak, Korupsi Telah Menjadi Budaya“ Kompas, Minggu, 15 Juli 2012.

6. “Mafia Pajak Bercokol, KPK Menangkap Pegawai Pajak,” Kompas, Sabtu 14 Juli 2012.

7. “Kasus Suap Pegawai Pajak, KPK Periksa 2 Pegawai PT Agis,” http://news.detik.com/read/2012/06/22/125617/1948173/10/kasus-suap-pegawai-pajak-kpk-periksa-2-pegawai-pt-agis, diakses tanggal 18 Juli 2012.

8. “Suap Pajak: Waduh, KPK Kembali Tangkap Pegawai Pajak,” http://www.solopos.com/2012/patroli/korupsi-pajak-waduh-kpk-kembali-tangkap-pegawai-pajak-201250, diakses tanggal 18 Juli 2012.

9. “Kasus Suap Pajak: Penyuap As Dari Perusahaan Batu Bara,” http://www.solopos.com/2012/patroli/kasus-suap-pajak-penyuap-as-dari-perusahaan-batu-bara-201481, diakses tanggal 18 Juli 2012.

10. “Suap Pajak dan Kutukan Sisifus,” http://www.pajak.go.id/content/article/suap-pajak-dan-kutukan-sisifus, diakses tanggal 18 Juli 2012.

11. “Tertangkapnya AS Bukti Efektifnya Whistle Blower di Pajak,” http://www.pajak.go.id/content/article/tertangkapnya-bukti-efektifnya-whistle-blower-di-pajak, diakses tanggal 18 Juli 2012.

12. “Whistleblower,” http://arifinzain.wordpress.com/2008/01/31/korupsi/, diakses tanggal 20 Juli 2012.

13. Rabu, 20 Juni 2012, Peniup Peluit dan Suap Pajak, http://www.tempo.co/read/kolom/2012/06/20/607/Peniup-Peluit-dan-Suap-Pajak, diakses tanggal 20 Juli 2012.

Page 5: Vol IV No 14 II P3DI Juli 2012

Peran Penting Parlemen dalam Mencapai Drug-free ASEAN 2015

Rizki Roza*)

Abstrak

Peredaran gelap narkotika masih merupakan ancaman serius bagi keamanan dan stabilitas kawasan Asia Tenggara, bahkan semakin memburuk. Negara-negara anggota ASEAN telah berkomitmen untuk mengupayakan Drug-Free ASEAN 2015, dan mengembangkan berbagai langkah untuk mencapai tujuan tersebut. Akan tetapi, upaya-upaya regional seringkali terhambat oleh legislasi nasional. Untuk itu dibutuhkan peran kerjasama parlemen negara-negara anggota ASEAN untuk mengupayakan harmonisasi legislasi yang berkaitan dengan peredaran narkotika.

HUBUNGAN INTERNASIONAL

A. Pendahuluan

Dewasa ini, kejahatan lintas negara (transnational crime) dengan karakteristiknya yang sangat kompleks terus mengalami perkembangan pesat, sehingga menjadi salah satu ancaman serius terhadap keamanan global. Besarnya keuntungan ekonomis yang dapat diperoleh dari aktivitas peredaran gelap narkotika, serta keterkaitannya dengan aktivitas kejahatan transnasional lainnya, seperti perdagangan senjata, korupsi, dan pencucian uang, telah menempatkan peredaran gelap narkotika sebagai ancaman nyata terhadap keamanan di berbagai kawasan, tidak terkecuali kawasan Asia Tenggara.

Untuk merespon persoalan peredaran gelap narkotika, negara-negara Asia Tenggara melalui forum kerjasama ASEAN telah melakukan berbagai upaya bersama

sejak organisasi regional tersebut baru berdiri. Berbagai kemajuan signifikan telah dicapai, terutama sejak tahun 2000, ketika para menlu ASEAN mendeklarasikan komitmen negara-negara anggota ASEAN untuk menghapuskan produksi, pengolahan, perdagangan, dan konsumsi narkotika sebelum tahun 2015, atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Drug-Free ASEAN 2015. Di tengah upaya pemerintah negara-negara anggota ASEAN untuk mencapai Drug-Free ASEAN 2015, yang diikuti pula dengan berkembang pesatnya kompleksitas ancaman peredaran gelap narkotika, bagaimanakah peran parlemen negara-negara ASEAN dalam mendukung upaya pencapaian target tersebut? Peran penting apa yang telah dan perlu diupayakan guna mendukung pencapaian Drug-Free ASEAN 2015?

*) Peneliti Masalah-masalah Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

- 5 -

Vol. IV, No. 14/II/P3DI/Juli/2012

Page 6: Vol IV No 14 II P3DI Juli 2012

- 6 -

B. Ancaman Peredaran Gelap Narkotika di Kawasan

Persoalan produksi dan peredaran gelap narkotika telah sejak lama menjadi masalah di kawasan Asia Tenggara. The Golden Triangle, yang menghubungkan Thailand Utara, Myanmar Timur, dan Laos Barat, merupakan salah satu dari dua kawasan yang dikenal sebagai pusat penanaman, produksi, dan perdagangan opium dunia. Selama tahun 1970-an dan 1980-an, kawasan ini dianggap sebagai produsen opium terbesar di dunia. Selama tahun 1980-an, Myanmar merupakan penghasil opium terbesar, mencapai 700 metrik ton per tahun antara tahun 1981-1987. Diperkirakan pada akhir 1990an, 2/3 opium poppies dunia (yang kemudian diolah menjadi heroin) ditanam di Asia Tenggara. Sejak Perang Afghanistan pada Oktober 2001 dan keruntuhan rezim Taliban, Afghanistan kembali menjadi produsen opium poppies di dunia. Laos merupakan produsen opium terbesar ketiga di dunia setelah Afghanistan dan Myanmar. Hasil survei mengenai opium di Asia Tenggara yang dirilis pada Desember 2010 menunjukkan bahwa telah terjadi gelombang budidaya opium di kawasan tersebut. Terjadi kenaikan tingkat budidaya opium di Laos, Myanmar, dan Thailand.

Pelaku perdangan narkotika di Golden Triangle melakukan diversifikasi aktvitas mereka untuk memenuhi peningkatan permintaan pada synthetic drugs. Sejak awal 1990-an, mereka meningkatkan keterlibatan dalam perdagangan heroin dengan membuat ATS. Myanmar kemudian menjadi produsen ATS terbesar di Asia dan masih menjadi penanam opium poppies terbesar kedua di dunia. Myanmar saat ini merupakan negara penghasil methamphetamine di kawasan, di mana pil-pil tersebut diedarkan ke berbagai negara, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Sementara heroin yang diproduksi di Golden Triangle sebagian besar untuk ekspor ke luar kawasan, konsumsi synthetic drugs di Asia Tenggara dalam beberapa tahun terakhir masih menjadi persoalan, khususnya di Thailand. Sebaliknya, produksi, perdagangan, dan konsumsi ganja dan kokain masih terbatas di kawasan dan tidak dianggap sebagai perhatian utama.

Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk menghadapi ancaman peredaran gelap narkotika, dan sejumlah keberhasilan pun telah dicapai dalam beberapa tahun terakhir, tidak dapat dipungkiri bahwa persoalan ini masih menjadi ancaman serius bagi kesehatan, keamanan, keselamatan, dan kesejahteraan masyarakat kawasan Asia Tenggara. Trend peredaran gelap narkotika menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan secara kualitatif maupun kuantitatif, serta menimbulkan lebih banyak korban terutama kaum muda. Kondisi yang memburuk ini juga terjadi di Indonesia. Laporan PBB mengenai narkotika yang disampaikan pada tahun 2009 menyatakan bahwa Indonesia sudah menjadi produsen sekaligus pengekspor narkoba. Kantor PBB urusan Obat Terlarang dan Kejahatan (UNODC) mengingatkan agar semua pemangku kepentingan di Indonesia untuk meningkatkan kewaspadaan tentang bahaya narkoba. UNODC mengungkapkan bahwa produksi ganja dan sabu di Indonesia cenderung meningkat, dan bahwa barang-barang tersebut diekspor ke sejumlah negara di kawasan Asia Pasifik.

Kemudahan dalam proses produksi narkotika sintetis, telah mendorong terjadinya perubahan trend peredaran gelap narkotika. Peredaran narkotika jenis tanaman seperti heroin, kokain, dan ganja yang sebelumnya lebih dominan, telah digantikan oleh narkotika dari bahan sintetis seperti sabu-sabu dan ekstasi yang mengalami peningkatan pesat dalam peredarannya. Perubahan ini terjadi hampir di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Indonesia yang sebelumnya hanya menjadi negara transit, dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi produsen sekaligus pengekspor sabu. Sementara itu, di tengah penurunan trend luasan tanaman ganja di kawasan Asia Pasifik tahun 1998-2007, justru terjadi peningkatan produksi ganja di Indonesia bersama dengan beberapa negara lain di Asia Tenggara, seperti Thailand, Laos, Nepal, dan Vietnam. Produksi ganja Indonesia tahun 2007 diperkirakan mencapai 32 ton, mengalami lonjakan 18 ton dari tahun sebelumnya. Sementara Thailand memproduksi 15 ton, Nepal dan Laos masing-masing 8 ton, dan beberapa negara lainnya sejumlah 11 ton.

Page 7: Vol IV No 14 II P3DI Juli 2012

- 7 -

Kondisi ini mempertegas bahwa peredaran gelap narkotika masih merupakan ancaman nyata bagi negara-negara di kawasan.

C. ASEAN Drug-Free 2015

Persoalan peredaran gelap narkotika telah menjadi perhatian ASEAN sejak tahun 1972. Prinsip-prinsip dan prosedur yang menjadi landasan bagaimana negara-negara anggota ASEAN akan bekerjasama menangani persoalan narkoba untuk pertama kali dibicarakan pada pertemuan tingkat tinggi ASEAN Pertama yang diselenggarakan di Bali pada Februari 1976, dan kemudian disebutkan di dalam the ASEAN Concord. Perkembangan penting selanjutnya dalam upaya ASEAN menghadapi ancaman peredaran gelap narkotika adalah pembentukan the ASEAN Senior Officials on Drug Matters (ASOD) pada tahun 1984, serta pengadopsian ASEAN Regional Policy and Strategy in the Prevention and Control of Drug Abuse and Illicit Trafficking. Kerjasama pun semakin terinstitusionalisasi ketika ASEAN mengalami perluasan keanggotaan, yang diikuti dengan pengadopsian ASEAN mengadopsi the ASEAN Plan of Action on Drug Abuse and Control, pada bulan Oktober 1994 sebagai arahan baru bagi ASEAN untuk mengatasi persoalan narkotika.

Kemudian, sebagai bagian dari ASEAN Vision 2020 yang disampaikan dalam pertemuan informal pada tahun 1997, para kepala negara dan kepala pemerintahan negara anggota ASEAN untuk pertama kalinya menyampaikan gagasan mereka mengenai “a Southeast Asia free of illicit drugs, free of their production, processing, trafficking and use.” Untuk mewujudkan sasaran tersebut, pada ASEAN Ministerial Meeting ke-31 tahun 1998, para menteri luar negeri ASEAN menandatangani deklarasi bersama mengenai Drug-Free ASEAN 2020 yang menegaskan komitmen organisasi tersebut untuk menghapuskan produksi, pengolahan, perdagangan, dan konsumsi narkoba pada tahun 2020. Ketika berlangsung AMM pada tahun 2000 di Bangkok, target kawasan Asia Tenggara bebas narkoba kemudian dipercepat menjadi tahun 2015, Drug-Free ASEAN 2015.

Sebagai suatu komitmen kawasan, setiap negara anggota ASEAN berkontribusi dalam upaya pencapaian sasaran Drug-Free ASEAN 2015, memberikan dukungan politik secara penuh untuk bersama-sama menghadapi ancaman peredaran gelap narkotika demi keamanan dan stabilitas kawasan. Pemimpin masing-masing negara telah menggerakkan pemerintahannya untuk turut berupaya mencapai sasaran tersebut. Kerjasama operasional pun terus ditingkatkan. Sebagai bagian dari kerjasama transnasional, kawasan Asia Tenggara juga telah mengalami peningkatan signifikan untuk bersama-sama merespon sindikat kejahatan internasional. Di samping perkembangan positif tersebut, terdapat pula kerangka kerjasama kawasan yang perlu dikaji ulang, termasuk yang terkait dengan legislasi nasional. Berbagai kerangka pendekatan regional telah disusun oleh ASEAN agar dapat bekerja bersama-sama secara lebih optimal. Namun dalam pelaksanaannya, pendekatan regional tersebut seringkali berbenturan dengan legislasi nasional, misalnya dalam penerapan kerangka regional mengenai Mutual Legal Assistance (MLA). Sebagian negara di kawasan telah menandatangani MLA secara bilateral dan menunjukkan hasil yang baik, namun penerapan pendekatan regional MLA belum dapat diwujudkan karena selalu berbenturan dengan legislasi nasional. Dibutuhkan penyelarasan legislasi nasional negara-negara anggota ASEAN demi terlaksananya pendekatan regional yang lebih menyeluruh, bukan bilateral semata sebagaimana yang masih terlaksana hingga saat ini. Penyelarasan legislasi nasional tidak hanya yang berkaitan dengan MLA, tetapi juga berkaitan dengan upaya penegakan hukum lainnya seperti kontrol prekursor, pencucian uang, dan sebagainya.

D. Peran Parlemen ASEAN

Persoalan peredaran gelap narkotika telah secara rutin dibicarakan oleh parlemen negara-negara anggota ASEAN melalui forum AIPA, khususnya melalui sidang-sidang AIFOCOM (the AIPA Fact Finding Committee) to Combate the Drug Menace yang dilaksanakan setiap tahun. Sidang AIFOCOM membahas upaya-

Page 8: Vol IV No 14 II P3DI Juli 2012

- 8 -

upaya yang perlu dilakukan oleh parlemen negara-negara ASEAN berkaitan dengan pemberantasan peredaran gelap narkotika di kawasan Asia Tenggara. Sidang-sidang AIFOCOM telah menghasilkan berbagai draf resolusi yang kemudian akan dibahas kembali dan diadopsi pada Sidang Umum AIPA. Draf resolusi yang dihasilkan melalui sidang-sidang AIFOCOM diarahkan agar dapat memperbesar kontribusi parlemen negara-negara anggota ASEAN dalam mendukung upaya mewujudkan Drug-Free ASEAN 2015, yang tentunya tidak terlepas dari fungsi legislasi yang dipegang oleh parlemen, misalnya draf resolusi yang dihasilkan Sidang AIFOCOM ke-8 pada Mei 2011 di Phnom Penh, Kamboja.

Draft resolusi yang dihasilkan Sidang AIFOCOM ke-8 kemudian diadopsi pada Sidang Umum AIPA ke-32 di Kamboja menjadi Resolution on The Harmonization of Illegal Drug Laws on the Capture and Seizure of Assets Used in or Possessed from Drug-Related Cases; the Control of Reactants and Precursors and on Demand Reduction Interventions; and The Creation of a Technical Working Group. Salah satu butir resolusi tersebut mendorong parlemen negara-negara ASEAN untuk mempertimbangkan perubahan atas legislasi nasional yang ada atau menetapkan legislasi yang baru demi terciptanya harmonisasi legislasi yang berkaitan dengan peredaran gelap narkotika. Implementasi resolusi tersebut akan memperkuat kerjasama di bidang hukum, memungkinkan terlaksananya mutual legal asssistance serta berbagi informasi intelijen, dan penerapan berbagai pendekatan regional lainnya. Menindaklanjuti resolusi tersebut, Sidang AIFOCOM ke-9 yang dilaksanakan pada Juli 2012 di Yogyakarta, menghasilkan “Draft Resolution on the Role of Parliaments in Drug Demand and Supply Reduction and the Plan of Action to Combat the Drug Menace Consistent with the ASEAN Vision“ dan “Draft Resolution on the Establishment of Technical Working Group (TWG) of AIFOCOM.” Draf resolusi ini memiliki arti penting bagi penerapan pendekatan regional, di antaranya berkaitan dengan mandat yang diberikan kepada TWG yaitu salah satunya “to study ways and means to harmonize laws on illegal drugs in ASEAN Member States.” Dengan kondisi demikian,

maka kerjasama parlemen negara-negara anggota ASEAN memiliki peran yang cukup vital dalam upaya mewujudkan Drug-Free ASEAN 2015.

E. Penutup

Ada empat hal penting yang perlu dicatat: (1) Peredaran gelap narkotika masih merupakan ancaman nyata bagi keamanan dan stabilitas kawasan Asia Tenggara, bahkan memiliki kecenderungan meningkat; (2) Persoalan peredaran gelap narkotika telah sejak lama menjadi perhatian negara-negara anggota ASEAN, dan berbagai upaya telah dikembangkan untuk memeranginya, terutama sejak dideklarasikannya Drug-Free ASEAN 2015; (3) Upaya yang dijalankan ASEAN telah mengalami kemajuan signifikan, akan tetapi masih mengalami sejumlah kendala termasuk dalam penerapan pendekatan regional yang seringkali menghadapi hambatan legislasi nasional; (4) Kerjasama parlemen negara-negara anggota ASEAN memiliki peran vital dalam upaya mewujudkan Drug-Free ASEAN 2015. Karena itu, DPR RI perlu mendorong parlemen negara-negara ASEAN lainnya untuk secara bersama-sama berkomitmen penuh mengimplementasikan resolusi-resolusi yang telah mereka hasilkan.

Rujukan:1. “ASEAN Declaration of Principles to

Combat the Abuse of Nacotic Drugs,” http://www.aseansec.org/1446.htm, diakses tanggal 22 Juli 2012.

2. “Bangkok Political Declaration in Pursuit of A Drug-Free ASEAN 2015,” http://www.asean.org/644.htm, diakses tanggal 22 Juli 2012.

3. Emmers, Ralf, “International Regime Building in Southeast Asia: ASEAN Cooperation against the Illicit Trafficking and Abuse of Drugs,” IDSS Working Paper, Singapore, 2006.

4. UNODC, “Drug-Free ASEAN: Status and Recommendations,” 2008.

5. UNODC, “World Drug Report 2011,” June 2011, http://www.u n o d c . o r g / d o c u m e n t s / d a t a -andanalysis/WDR2011/World_Drug_Report_2011_ebook.pdf

Page 9: Vol IV No 14 II P3DI Juli 2012

Urgensi Perlindungan bagi AnakLukman Nul Hakim*)

Abstrak

Indonesia termasuk negara yang serius mengatur perlindungan terhadap anak. Hal ini terlihat dari telah adanya UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selain itu, pada 30 Mei 2012 Indonesia juga telah mengetuk palu pengesahan Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai Perdagangan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak. Pada tingkat provinsi juga telah disahkan peraturan-peraturan daerah dan peraturan gubernur yang mendukung terwujudnya perlindungan terhadap anak. Akan tetapi masih terdapat kesenjangan antara regulasi dan operasional di lapangan. Kenyataannya di lapangan masih banyak ditemukan kasus pelanggaran terhadap anak. Sebuah upaya yang sistematis dan komprehensif diperlukan untuk memperkecil angka kekerasan dan pelanggaran terhadap hak anak.

K E S E J A H T E R A A N S O S I A L

A. Pendahuluan

Setiap tanggal 23 Juli dirayakan sebagai Hari Anak Nasional (selanjutnya disingkat HAN). Perayaan tahun ini diprakarsai oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia dengan menggalakkan kegiatan One Day for Children atau Sehari bersama Anak. Penulis menjadikan momen HAN ini untuk mengevaluasi kembali sejauh mana komitmen negara terhadap perlindungan anak di Indonesia. Kita perlu melihat kembali sejauh mana keberadaan regulasi perlindungan anak berkontribusi terhadap peningkatan rasa aman dan terlindungi anak-anak Indonesia. Terutama pasca-dilahirkannya undang-undang yang mengatur tentang perlindungan anak sepuluh tahun yang lalu.

Indonesia termasuk negara yang sangat peduli dalam hal pengaturan perlindungan anak. Pada 30 Mei 2012

Indonesia telah mengesahkan dua Protokol Opsional Konvensi. Pertama, Protokol Opsional mengenai Perdagangan Anak, Pelacuran Anak, dan Pornografi Anak. Dengan ratifikasi ini maka negara-negara anggota disyaratkan untuk menutup semua bangunan yang digunakan untuk prostitusi anak, pornografi anak, serta menyita dan merampas hasil-hasil dari kegiatan ini. Kedua, Protokol Opsional mengenai Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata dan mewajibkan negara-negara anggota untuk memberikan dukungan kepada anak yang telah berpartisipasi dalam konflik bersenjata agar mereka berintegrasi kembali ke dalam masyarakat.

Menurut Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, keberadaan UU Protokol Opsional memberikan berbagai manfaat nyata bagi Indonesia. Pertama, kehadiran UU Protokol Opsional ini akan memperkuat kerangka hukum nasional dan memberikan

*) Peneliti Pertama bidang Kesejahteraan Sosial pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

- 9 -

Vol. IV, No. 14/II/P3DI/Juli/2012

Page 10: Vol IV No 14 II P3DI Juli 2012

- 10 -

landasan lebih tegas bagi kebijakan memerangi tindak pidana perdagangan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak. Kedua, ratifikasi ini akan membuka peluang untuk pemanfaatan kerangka kerja sama internasional, terutama untuk pengaturan ekstradisi dan mutual legal assistance untuk memerangi tindak kejahatan di atas. Selain itu, protokol ini juga mengatur penerapan yurisdiksi atas delik perdagangan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak, yang diharapkan dapat memberikan dampak pencegahan dan efek jera atas tindak kejahatan ini. Dengan kata lain, pelaku kejahatan terhadap anak yang berada di luar negeri dan melakukan kejahatan di Indonesia, maka mereka bisa diekstradisi dan dihukum di Indonesia. Sebaliknya jika ada pelaku kejahatan anak yang berasal dari luar negeri dan masuk ke Indonesia maka Indonesia harus melakukan ekstradisi ke negara yang bersangkutan. Ketiga, tindakan ratifikasi ini tentunya semakin menegaskan komitmen Indonesia dalam hal perlindungan anak di tingkat nasional dan global.

B. Regulasi di Tingkat Provinsi

Perhatian Indonesia dalam upaya perlindungan anak tidak hanya tercermin di tingkat nasional tetapi juga di tingkat daerah. Sebelum UU ratifikasi protokol opsional konvensi hak-hak anak tersebut disahkan, beberapa daerah sudah terlebih dahulu membuat peraturan-peraturan terkait perlindungan anak. Beberapa daerah telah mempunyai Peraturan Daerah (selanjutnya disingkat Perda) dan Peraturan Gubernur (selanjutnya disingkat Pergub), sebagai contoh Provinsi Nusa Tenggara Barat yang telah mempunyai dua Peraturan Daerah dan tiga Peraturan Gubernur, yaitu: • Perda No. 10 Tahun 2008 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Orang;

• Perda No. 2 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pencegahan dan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan;

• Pergub No. 28 Tahun 2009 tentang

Mekanisme Penyelenggaraan Pencegahan, Penanganganan dan Standar Operasional Prosedur (SOP) Pelayanan pada Pusat Pelayanan Terpadu dan Pendampingan Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan di Provinsi Nusa Tenggara Barat;

• Pergub No. 9 Tahun 2009 tentang Gugus Tugas, Susunan Organisasi Pusat Pelayanan Terpadu, Peran Serta Masyarakat dan Tata Cara Pengawasan Pencegahan Perdagangan Orang;

• Pergub No. 30 Tahun 2009 tentang Pelaksanaan Pemotongan Gaji untuk Nafkah Anak dan Mantan Istri di Lingkungan Pemerintah Provinsi NTB.

Sementara Jawa Timur telah mempunyai tiga peraturan daerah dan satu peraturan gubernur, yaitu:• Keputusan Gubernur Nomor: 188/145/

KPTS/031/2003 tentang Pembentukan Komisi Perlindungan Anak dengan Tiga Komite;

• Perda No. 9 Tahun 2005 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, Surat Keputusan Gubernur terkini adalah Nomor 188/85/KPTS/013/2010 tentang Pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu;

• Perda No. 5 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Jawa Timur;

• Perda No. 11 Tahun 2005 tanggal 6 Desember 2005 tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur.

Sedangkan Provinsi Sulawesi Selatan telah mempunyai antara lain:• Perda No. 9 Tahun 2007 tentang

Trafficking; • Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan

Nomor 1412/IV/TH 2010 tentang Pembentukan Tim Terpadu Penanganan Anak Korban Kekerasan (TPAK) di Provinsi Sulawesi Selatan;

• Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 1427/VI/TH 2010 tentang Pembentukkan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Eksploitasi Seksual Anak Provinsi Sulawesi Selatan; serta

• Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 14 tahun 2011 tentang Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan

Page 11: Vol IV No 14 II P3DI Juli 2012

- 11 -

Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Sulawesi Selatan.

C. Fenomena Gunung Es Kasus Kekerasan terhadap Anak

Kekerasan terhadap anak dapat berupa perlakuan yang salah terhadap anak secara fisik, psikis, seksual maupun sosial. Sutanto (2006) mendefinisikan kekerasan anak sebagai perlakuan orang dewasa atau anak yang lebih tua dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tidak berdaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab pengasuhnya yang berakibat penderitaan, kesengsaraan, cacat atau kematian. Di Indonesia upaya menekan angka kekerasan terhadap anak pada tataran regulasi masih memberikan dampak yang minim terhadap pelaksanaan di lapangan. Berdasarkan data dari 30 provinsi, Komisi Nasional Perlindungan Anak (selanjutnya disingkat Komnas PA) mencatat, pada tahun 2006 telah terjadi 13.447.921 kasus pelanggaran hak anak, dan angka tersebut melonjak pada tahun 2007 menjadi 40.398.625 kasus.

Kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia makin lama juga semakin bertambah. Menurut laporan Komnas PA, pada tahun 2010 telah terjadi 2.335 kasus. Angka ini menunjukkan adanya peningkatan sebanyak 17% dibandingkan tahun 2009. Lebih jauh lagi Komnas PA menemukan bahwa 62,7% dari seluruh kasus kekerasan anak pada tahun 2010 yang berhasil didata itu berupa kekerasan seksual, seperti sodomi, perkosaan, pencabulan, serta incest (hubungan intim sedarah). Secara nasional jenis kekerasan yang ditemukan bervariasi, mulai dari penelantaran anak, kekerasan anak di sekolah, bunuh diri lantaran menunggak uang sekolah, sampai anak putus sekolah.

Kumpulan temuan kasus pada anak di daerah Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur dan Makassar, mengungkap beberapa kasus seperti anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), anak korban kekerasan fisik, anak korban kekerasan seksual, anak yang tereksploitasi, pernikahan dini, maraknya bayi yang dibuang di pinggir jalan ataupun

ditinggal di rumah sakit, korban narkotika, dan lain-lain.

Berikut adalah permasalahan dan kendala yang dirangkum dari dokumen laporan Tim Pengumpulan Data RUU Perlindungan Anak dari daerah NTB, Jawa Timur, dan Makassar terkait pelaksanaan perlindungan anak. Berbagai permasalahan yang telah dirangkum di bawah ini dapat menjadi catatan untuk dijadikan landasan upaya perbaikan, yaitu:1. Koordinasi antar-pihak penyelenggara

perlindungan anak masih belum padu terutama disebabkan oleh mutasi pejabat yang sering terjadi.

2. Belum tersedianya fasilitas seperti rumah aman, peralatan penunjang pelayanan terutama untuk layanan kesehatan dan rehabilitasi sosial.

3. Isu anak belum menjadi prioritas dari partai politik, serta pembuat dan pengambil kebijakan dalam penyusunan anggaran daerah.

4. Pemahaman dan kepedulian aparat dan masyarakat luas tentang perlindungan oleh orang tua/keluarga masih lemah.

5. Adanya pemahaman budaya yang keliru bagi tumbuhnya penghormatan terhadap hak anak, bahkan budaya yang justru melanggengkan pelanggaran dan pelecehan hak anak.

6. Disfungsi keluarga karena berbagai sebab misalnya faktor ekonomi.

7. Tayangan televisi maupun media-media lainnya yang berkontribusi terhadap perilaku kekerasan.

8. Rendahnya kompetensi pendamping dan kurangnya program penguatan keluarga..

9. Implementasi UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada masing-masing lembaga pemerintah belum satu alur. Hal ini dikarenakan pertama, minimnya peralatan penunjang (shelter, pengadilan, dan lain-lain). Kedua beberapa pasal yang multi interpretasi dan kurang definitif, sehingga masing-masing instansi selalu menyerahkan tugas pada instansi lain.

10. Pengetahuan pemerintah terutama aparat penegak hukum menyangkut hak anak yang diatur dalam konvensi internasional dan hukum positif tentang hak anak masih sangat kurang.

Page 12: Vol IV No 14 II P3DI Juli 2012

- 12 -

11. Masih sangat minimnya anggaran yang dialokasikan masing-masing pemerintah daerah untuk perlindungan anak.

D. Penutup

Upaya-upaya yang sistematis dan komprehensif diperlukan untuk memperkecil angka kekerasan dan pelanggaran terhadap hak anak. Dalam rangka menjalankan fungsi legislatif DPR, saat ini DPR sedang merumuskan RUU Perlindungan Anak. Diharapkan RUU Perlindungan Anak dapat menjadi pendorong terhadap kebijakan-kebijakan yang lebih konkrit di daerah dalam upaya melindungi hak anak. Mulai dari anggaran yang lebih memadai, pengaturan tanggung jawab masing-masing lembaga yang terlibat, sampai dengan tata laksana di lapangan.

Rujukan:1. Buku Panduan Bagi Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat: Menghapuskan Kekerasan terhadap Anak, Jakarta: UNICEF.

2. Laporan Pengumpulan Data Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak di Nusa

Tenggara Barat pada 21 November – 25 November 2011.

3. Laporan Pengumpulan Data Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak di Jawa Timur pada 21 November – 25 November 2011.

4. Laporan Pengumpulan Data Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak di Makassar pada 21 November – 25 November 2011.

5. “Kekerasan Pada Anak, Tindakan Biadab!,” http://potret-online.com/index. php/sorotan/544-kekerasan-pada-anak-tindakan-biadab, diakses tanggal 20 Juli 2012.

6. “DPR Ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak,” http://www.kemlu.go.id/asean-ptri/Pages/News.aspx?IDP=5669&l=id, diakses tanggal 20 Juli 2012.

7. “LSM gelar Hari Anak Nasional 2012,” http://waspada.co.id/i n d e x . p h p ? o p t i o n = c o m _ c o n te n t & v i e w = a r t i c l e & i d = 2 5 4 3 8 0: l sm-ge la r-ha r i - anak -nas iona l -2012&catid=13:aceh&Itemid=26, diakses tanggal 20 Juli 2012.

8. “Masyarakat Sipil Gelar Hari Anak Nasional 2012,” http://theglobejournal.com/sosial/masyarakat-sipil-gelar-hari-anak-nasional-2012/index.php, diakses tanggal 20 Juli 2012.

Page 13: Vol IV No 14 II P3DI Juli 2012

Defisit Anggaran dan Kebijakan Penanggulangannya

I z z a t y *)

Abstrak

Pelaksanaan APBN semester I/2012 tercatat mengalami defisit sebesar 36 triliun. Pemerintah memperkirakan defisit anggaran akhir tahun 2012 akan mencapai kisaran 2,3% sampai 2,4%. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi defisit dapat dilakukan dengan memaksimalkan sisi penerimaan perpajakan. Dari sisi pengeluaran perlu adanya kebijakan yang komprehensif dan terintegrasi dalam pengendalian defisit anggaran melalui penghematan subsidi, pemotongan belanja kementerian/lembaga, serta stimulus fiskal untuk mengantisipasi krisis melalui pemanfaatan sisa anggaran lebih (SAL). Sedangkan untuk menutupi defisit, pemerintah menerbitkan surat berharga negara (SBN).

EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK

A. Pendahuluan

Salah satu tantangan yang tengah dihadapi pemerintah saat ini adalah menjaga agar rasio defisit anggaran tetap berada dalam koridor yang sehat dan aman. Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan bahwa rasio defisit anggaran tahun 2012 diperkirakan berada pada kisaran 2,3-2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Perkiraan defisit anggaran tersebut disebabkan adanya beberapa perubahan harga minyak, lifting, nilai tukar dan kondisi makro lainnya dalam APBN-P 2012. Kisaran ini masih di bawah 3% sebagai batas aman sebagaimana disepakati oleh OECD (Organisation of Economy and Cooperation Development). Investor internasional juga menganggap batas tersebut sebagai batas kehati-hatian dari suatu kebijakan fiskal.

Besaran defisit ini juga masih sesuai dengan UU Nomor 17 tahun 2003 tentang

Keuangan Negara, pada penjelasan Pasal 12 ayat 3 yang menyebutkan bahwa defisit anggaran dibatasi maksimal 3% dan besaran utang maksimal 60% dari PDB (produk domestik bruto). Ketaatan pada peraturan ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya risiko-risiko fiskal yang dapat menimbulkan beban berat bagi anggaran negara dan menghambat pertumbuhan ekonomi. Penetapan besaran defisit anggaran diupayakan sesuai dengan kemampuan sumber pembiayaan dan kebutuhan belanja prioritas, dengan mempertimbangkan perkembangan kondisi perekonomian pada tahun bersangkutan.

Pada dasarnya defisit dalam APBN akan menimbulkan efek ekspansi dalam perekonomian. Dalam hal defisit APBN dibiayai dengan pinjaman luar negeri, maka hal ini tidak menimbulkan tekanan inflasi jika pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barang-barang impor. Akan tetapi bila pinjaman

*) Peneliti bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

- 13 -

Vol. IV, No. 14/II/P3DI/Juli/2012

Page 14: Vol IV No 14 II P3DI Juli 2012

- 14 -

luar negeri tersebut digunakan untuk membeli barang dan jasa di dalam negeri, maka pembiayaan defisit dengan memakai pinjaman luar negeri tersebut akan menimbulkan tekanan inflasi. Di lain pihak, pembiayaan defisit APBN dengan penerbitan obligasi negara akan menambah jumlah uang yang beredar dan akan menimbulkan tekanan inflasi.

B. Perkembangan Defisit Anggaran

Kebijakan pemberian stimulus fiskal bagi perekonomian dilakukan oleh Indonesia, sebagai respon dalam menyelamatkan perekonomian nasional, dan sekaligus meminimalisasi dampak krisis ekonomi dan keuangan global. Hal ini dilakukan dengan menerapkan kebijakan anggaran defisit yang dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, sebagaimana tercermin dalam APBN-P tahun 2008 dan tahun 2009 yang relatif lebih tinggi, yaitu berada pada kisaran 2,1% dan 2,4% terhadap PDB.

Namun demikian, peningkatan defisit yang dimaksudkan untuk memberikan stimulus fiskal tidak sepenuhnya dapat terealisasi sebagaimana yang direncanakan. Hal ini ditunjukkan melalui realisasi defisit tahun 2008 dan 2009 yang lebih rendah dari yang ditargetkan, yaitu sebesar 0,1% dan 1,6% terhadap PDB. Hal ini terutama disebabkan oleh beberapa komponen pendapatan negara yang diperkirakan akan mengalami penurunan akibat krisis global

justru menunjukan peningkatan, sehingga melampaui target, sementara di sisi belanja negara, beberapa pos pengeluaran tidak dapat diserap seluruhnya sebagaimana yang dianggarkan.

Defisit APBN pada semester 1 tahun 2012 sebesar 2,23% terhadap PDB. Peningkatan defisit terjadi karena melemahnya nilai tukar rupiah, tidak tercapainya lifting minyak, pembengkakan volume subsidi BBM, melonjaknya harga ICP dan penyerapan belanja pegawai karena realisasi gaji dan pensiun ke-13 yang tepat waktu.

Peningkatan defisit anggaran ini juga salah satunya dipicu kondisi realisasi subsidi energi hingga semester 1 tahun 2012 yang mencapai 124,4 triliun, yang berarti telah menyerap 61,5% dari pagu anggaran subsidi energi sebesar Rp 202,4 triliun. Sedangkan realisasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) hingga semester 1 tahun 2012 telah mencapai Rp 88,9 triliun. Jumlah tersebut merupakan 64,7% dari pagu anggaran belanja subsidi BBM sebesar Rp 137,4 triliun pada APBN-P 2012.

C. Kebijakan Penanggulangan Defisit

Salah satu kebijakan penanggulangan defisit adalah dengan menstimulasi penerimaan. Upaya menstimulasi penerimaan negara merupakan salah satu komitmen pemerintah memaksimalkan potensi pendapatan untuk memenuhi kebutuhan belanja negara. Idealnya semua pengeluaran pemerintah dibiayai oleh pajak. Peningkatan penerimaan pajak akan meningkatkan total penerimaan pemerintah, sehingga defisit akan berkurang. Penerimaan negara untuk menutup defisit anggaran tahun 2012 dianggarkan sebesar 1,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sekitar 125,6 triliun.

Di sisi lain, Pemerintah harus mengendalikan tingginya konsumsi masyarakat atas sejumlah komponen yang disubsidi karena merupakan faktor utama terjadinya defisit anggaran. Anna Setiawaty, kontributor finance vibizmanagement menyatakan bahwa masalah subsidi BBM benar-benar masalah yang harus secepatnya

Tabel Target dan Realisasi Defisit APBN Tahun 2008 – Semester I

APBN-P Tahun 2012(dalam % terhadap PDB)

TahunTarget Defisit

Realisasi Defisit

2008 2,1 0,1

2009 2,4 1,6

2010 2,1 0,62

2011 1,8 1,27

Semester 1 2012 2,4 2,23 Sumber: Kementrian Keuangan

Page 15: Vol IV No 14 II P3DI Juli 2012

- 15 -

ditangani, karena berdampak terhadap defisit APBN yang sangat berpengaruh buruk bagi perekonomian. Sedangkan pengamat perminyakan ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan bahwa kenaikan harga minyak mengancam ketahanan fiskal dan moneter. Defisit yang terjadi saat ini tidak terlepas dari buruknya manajemen subsidi BBM.

Harga minyak dunia yang tinggi memang memberi tekanan terhadap APBN 2012. Instrumen yang menentukan yaitu harga minyak, nilai tukar rupiah dan volume konsumsi BBM saling bersinergi mengarah kepada peningkatan defisit anggaran. Saat ini harga ICP lebih tinggi dari asumsi, nilai tukar melemah dan volume konsumsi BBM melampaui target

Terkait dengan upaya efisiensi yang akan dilakukan pemerintah, sebenarnya belanja pegawai masih dapat dihemat hingga 30% dari total anggaran yang ditetapkan setelah menghitung semua gaji dan renumerasi. Oleh karena itu, pemerintah sangat dimungkinkan mengurangi belanja pegawai yang boros. Pengurangan belanja ini bukan ditujukan pada gaji dan tunjangan, melainkan kegiatan-kegiatan penunjang yang bersifat seremonial.

Sementara itu untuk menutupi defisit Anggaran yang terjadi pemerintah melakukannya melalui instrumen utang. Pemerintah memproyeksikan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 42 triliun sepanjang semester II/2012 guna menutup defisit APBN-P 2012 yang mencapai Rp 190,8 triliun. Berdasarkan data Kementrian Keuangan, sepanjang semester I/2012 pemerintah telah menarik pembiayaan dari penerbitan SBN (neto) sebesar Rp 117,6 triliun atau 73,68% dari target APBN-P 2012 Rp 159,6 triliun. Selain penerbitan SBN di pasar domestik, pemerintah juga berencana untuk menerbitkan sukuk global dan samurai bond serta pinjaman luar negeri (bruto) sebesar Rp 42,8 triliun pada semester II/2012.

Menurut Lana Soelistianingsih, Kepala Ekonom PT. Samuel Sekuritas Indonesia, implikasi dari bertambahnya defisit akan membuat utang baru yang lebih banyak dengan penerbitan SBN

lebih banyak. Ketergantungan akan utang sebagai sumber pembiayaan APBN masih akan terus berlanjut sampai dicapainya kebijakan lain yang lebih efektif.

Dalam perkembangannya, realisasi besaran defisit dan realisasi besaran pembiayaan tidak selalu sama besar nilainya dengan rencana semula, sehingga mendorong timbulnya sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA) dalam hal terjadi kelebihan pembiayaan atas kebutuhan untuk menutup defisit, atau sisa kurang pembiayan anggaran (SiKPA) dalam hal terjadi kekurangan pembiayaan atas kebutuhan untuk menutup defisit

Direktur Utama Economic and Finance Indonesia (Indef) Eni Srihartati menyatakan bahwa saat ekonomi undercapacity, Namun, di sisi lain negara justru mencatat sisa lebih pembayaran anggaran (SILPA) yang berimplikasi tidak efektifnya penambahan defisit yang diajukan. Selama ini anggaran SiLPA selalu besar, karena bermasalah pada pola penyerapan anggaran yang selalu membesar di triwulan IV setiap tahunnya.

D. Penutup

Defisit anggaran memang masih diperlukan dalam upaya untuk melakukan ekspansi dalam perekonomian. Perkembangan defisit APBN selama ini masih berada dalam batas 3% sebagaimana yang diamanatkan UU Keuangan Negara, artinya bahwa defisit dalam APBN 2012 masih dalam tingkat yang aman.

Faktor utama yang membuat defisit APBN 2012 terus meningkat adalah karena harga minyak dunia dan melemahnya nilai tukar rupiah.

Agar postur APBN-P 2012 lebih baik maka perlu kebijakan yang komprehensif dan terintegrasi dalam pengendalian defisit anggaran melalui penghematan subsidi, pemotongan belanja kementerian/lembaga, serta stimulus fiskal untuk antisipasi krisis melalui pemanfaatan Sisa Anggaran Lebih (SAL) untuk membiayai pembangunan infrastruktur

Melihat kondisi ini, DPR RI melalui tugas konstitusionalnya perlu terus mengawal agar defisit APBN 2012 tetap berada dalam koridor yang sehat dan aman

Page 16: Vol IV No 14 II P3DI Juli 2012

- 16 -

sehingga pengelolaan APBN dapat semakin efisien, dan tidak membebani anggaran pada masa yang akan datang

Rujukan:1. “Defisit Anggaran Akhir Tahun Mencapai

2,4 Persen,” http://www.republika. co.id/berita/ekonomi/makro/12/07/05/m6p5g2-defisit-anggaran-akhir-tahun-mencapai-24-persen, diakses tanggal 8 Juli 2012.

2. “Cegah Defisit Bengkak, Ekonom: Perbaiki Manajemen Likuiditas APBN,” ht tp: / /ekonomi. ini lah.com/read/detail/1880070/ekonom-perbaiki-manajemen-liku iditas-apbn, diakses tanggal 10 Juli 2012.

3. “Per Juni, defisit anggaran capai 31,5 % dari target,” http://nasional.kontan.co.id/news/per-juni-defisit-anggaran-capai-315-dari-target/2012/07/03, diakses tanggal 13 Juli 2012.

4. “Penerimaan Negara Dipacu,” http://www.anggaran.depkeu.go.id/web-

content-list.asp?ContentId=879, diakses tanggal 14 Juli 2012.

5. “Sulitnya Membendung Pembengkakan Defisit Anggaran,” http://www.mediaindonesia .com/webtor ia l /tanahair/?bar_id=MzMwOTQw, diakses tanggal 14 Juli 2012.

6. “Surat Berharga Negara: Pemerintah akan Terbitkan SBN Rp 42 Triliun,” http://www.bisnis.com/articles/surat-berharga-negara-pemerintah-akan-terbitkan-sbn-rp42-triliun, diakses tanggal 16 Juli 2012.

7. Kuncoro, Haryo. April 2011. “Ketangguhan APBN dalam Pembayaran Utang. Buletin Ekonomi dan Perbankan.”

8. Laporan Pemerintah tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Semester Pertama Tahun Anggaran 2012, http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/acontent/Laporan%20Semester%202012.pdf, diakses tanggal 17 Juli 2012

Page 17: Vol IV No 14 II P3DI Juli 2012

Pemilukada DKI Jakarta Dua Putaran Indra Pahlevi*)

Abstrak

Pemilihan Umum Kepala Daerah (selanjutnya disingkat Pemilukada) DKI Jakarta 11 Juli 2012 lalu harus dilanjutkan ke putaran kedua karena belum ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% sebagaimaan ditentukan UU No. 29 Tahun 2007. Oleh karena itu, harus dilakukan perbaikan atas berbagai persoalan yang muncul di putaran pertama seperti akurasi DPT, kampanye, masa tenang, pencoblosan, dan penghitungan serta rekapitulasi suara. KPU Pusat harus benar-benar mensupervisi pelaksanaan putaran kedua ini serta Komisi II DPR RI melakukan pengawasan dan monitoring terhadap penyelenggaraan pemilukada DKI ini. Harapannya, dapat terpilih pemimpin yang amanah dan legitimate.

PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

A. Pengantar

Tanggal 11 Juli 2012 lalu telah diselenggarakan pemilukada untuk memilih pasangan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta periode 2012 – 2017. Ada 6 (enam) pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang ikut berkompetisi dan 2 (dua) di antaranya berasal dari jalur perseorangan yakni pasangan Hendardji Supandji – A. Riza Patria dan Faisal Basri – Biem Benjamin. Secara lengkap keenam pasangan calon gubernur dan wakil gubernur tersebut adalah:1. Fauzi Bowo – Nachrowi Ramli2. Hendardji Supandji – A. Riza Patria3. Joko Widodo – Basuki Tjahaja

Purnama4. Hidayat Nurwahid – Didik J. Rachbini5. Faisal Basri Batubara – Biem Benjamin6. Alex Noerdin – Nono Sampono

Dari hasil penghitungan KPU DKI Jakarta tanggal 19 Juli 2012 lalu diperoleh hasil sebagai berikut:

Dari hasil di atas, maka harus dilakukan putaran kedua karena belum ada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur mencapai lebih dari 50% suara sebagaimana ketentuan perundang-undangan yaitu pasangan calon No. 3 Joko Widodo – Basuki T. Purnama dan pasangan calon No. 1 Fauzi Bowo – Nachrowi Ramli.

*) Peneliti Madya bidang Politik dan Pemerintahan Indonesia pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]/[email protected]

- 17 -

Vol. IV, No. 14/II/P3DI/Juli/2012

Tabel Hasil Perhitungan KPU DKI

No. Nama Pasangan Suara Persentase

1. Fauzi Bowo – Nachrowi Ramli 1.476.648 34,05

2. Hendardji Supandji – A. Riza Patria 85.990 1,98

3. Joko Widodo – Basuki Tjahaja Purnama 1.847.157 42,60

4. Hidayat Nurwahid – Didik J. Rachbini 508.113 11,72

5. Faisal B. Batubara – Biem Benjamin 215.935 4,98

6. Alex Noerdin – Nono Sampono 202.643 4,67

Page 18: Vol IV No 14 II P3DI Juli 2012

- 18 -

Selanjutnya yang perlu dicermati juga adalah pemilih yang terdaftar dalam DPT tetapi tidak menggunakan hak memilihnya dan jumlahnya melebihi perolehan suara pasangan calon gubernur dan wakil gubernur nomor 3 (Jokowi – Basuki) yaitu sebanyak 2.555.207 pemilih atau sekitar 37,7% dari total jumlah pemilh yang terdaftar dalam DPT yaitu sebanyak 6.962.348 pemilih.

B. Ketentuan UU No. 29 Tahun 2007

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia mengatur tentang Susunan Pemerintahan yang di dalamnya mengatur tentang mekanisme pemilihan gubernur dan wakil gubernur sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah otonom di tingkat provinsi.

Pasal 10 UU No. 29 Tahun 2007 menyatakan: “Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dipimpin oleh satu orang Gubernur dibantu oleh satu orang Wakil Gubernur yang dipilih secara langsung melalui pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.” Ketentuan tersebut menegaskan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dipimpin oleh gubernur yang dipilih secara langsung sebagaimana pemilihan gubernur di provinsi lain yang mengacu kepada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang masih berlaku hingga saat ini. Namun demikian, sebagai ibukota negara, DKI Jakarta memiliki kekhususan yang salah satunya diaplikasikan dalam proses pemilihan gubernurnya yang kemudian diatur dalam Pasal 11 UU No. 29 Tahun 2007 yang berbunyi secara lengkap sebagai berikut:

Pasal 11

(1) Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih.

(2) Dalam hal tidak ada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diadakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.

(3) Penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan menurut persyaratan dan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 11 UU No. 29 Tahun 2007 di atas, maka pelaksanaan pemilihan gubernur di DKI Jakarta harus memenuhi perolehan suara lebih dari 50% dari suara sah dalam pemilukada sebagaimana sudah berlaku pada Pemilukada tahun 2007 lalu di mana Pasangan Fauzi Bowo – Prijanto memenangkan lebih dari 50% dan mengalahkan Pasangan Adang Dorodjatun – Dani Anwar. Pada penyelenggaraan pemilukada tahun 2012 ini, ketentuan tersebut tetap berlaku karena belum ada perubahan UU No. 27 Tahun 2007 tentang angka persentase kemenangan suatu calon terpilih untuk menjadi gubernur DKI Jakarta.

Sebagaimana diketahui, bersamaan dengan pengumunan hasil rekapitulasi pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta 19 Juli 2012 lalu oleh KPU DKI Jakarta, terdapat gugatan ke Mahkamah Konstitusi terkait ketentuan Pasal 11 UU No. 29 Tahun 2007 yang pada intinya bahwa ketentuan angka minimal lebih dari 50% itu dinilai bertentangan dengan dengan Pasal 27 ayat (1), 28 D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pada 19 Juli 2012 lalu Mahkamah Konstitusi mengelar sidang uji materi Pasal 11 ayat 2 UU No. 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, terkait penetapan pemenang Pemilukada DKI Jakarta, yang harus mendapat dukungan

Page 19: Vol IV No 14 II P3DI Juli 2012

- 19 -

suara sebanyak 50 persen plus satu. Agenda sidang hari itu adalah pemeriksaan pendahuluan terhadap permohonan uji materiil Pasal 11 ayat 2 UU No. 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Majelis Hakim meminta tiga pemohon yang mengajukan uji materi, yakni Abdul Havid Permana, Mohammad Huda, Satrio Fauzia Damardjati, menjelaskan kerugian kontitusi, kedudukan atau legal standing pemohon, hubungan Pemohon dengan salah satu pasangan Calon Gubernur DKI Jakarta serta struktur dan sistematika penyusunan permohonan.

Atas hal tersebut di atas, terdapat pihak meskipun bersifat perseorangan yang mempersoalkan ketentuan Pasal 11 tersebut. Oleh karena itu Majelis Hakim MK meminta apa yang menyebabkan ketiganya mengajukan permohonan. Sebab, salah satu syarat bagi pemohon yang mengajukan adalah adanya kerugian yang menimpa pemohon dari substansi judicial review Pasal yang diajukan tersebut. Secara rasional, seharusnya pihak yang mengajukan permohonan ke MK adalah pasangan calon yang terkena dampak langsung dari ketentuan tersebut. Persidangan tersebut masih akan dilanjutkan meskipun KPU DKI Jakarta sudah memutuskan tanggal 20 September 2012 sebagai waktu pelaksanaan pemilukada putaran kedua.

C. Putaran Kedua

Sesuai ketentuan Pasal 11 UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka pemilukada DKI Jakarta tahun 2012 harus dilakukan dua putaran, karena belum ada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang mencapai perolehan suara lebih dari 50%. Dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua berhak melaju ke putaran kedua yaitu Pasangan Joko Widodo – Basuki yang memperoleh 42,60% dan Pasangan Fauzi Bowo – Nachrowi Ramli yang memperoleh 34,05%

yang direncanakan akan berlangsung pada tanggal 20 September 2012 mendatang.

Penyelenggaraan putaran kedua ini sesungguhnya merupakan wujud dari pentingnya proses yang lebih baik dan menghasilkan pemimpin yang lebih legitimate. Dalam proses pembahasan UU No. 29 Tahun 2007 lalu, usulan ini muncul dengan melihat kekhususan DKI Jakarta sekaligus dinilai sebagai barometer kondisi sosial politik tingkat nasional. Oleh karena itu berkaca kepada pemilihan presiden dan wakil presiden yang diatur dalam Pasal 6A UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, maka pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta harus dapat merefleksikan kondisi nasional tersebut. Apalagi Jakarta memiliki kompleksitas permasalahan yang tinggi. Usulan tersebut diakomdasi, sehingga menjadi berbeda dengan pemilukada di provinsi lain yang hanya mensyaratkan 30% saja dapat menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih.

Aspek terpenting dari pelaksanaan putaran kedua pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta ini adalah selain harus terselenggara secara lebih baik, fair, transparan, dan akuntabel serta menghasilkan pemimpin yang legitimate, juga harus merefleksikan situasi sosial politik yang kondusif. Setiap pasangan harus siap menang dan siap kalah dengan cara-cara pendekatan yang elegan dan menghindari kampanye “hitam“ satu sama lain. Siap menang artinya berjanji dan membuktikan menjadi pemimpin yang amanah, siap kalah juga berarti bahwa akan menerima kekalahan tersebut secara lapang dada dan tidak mencari-cari kekurangan dan kesalahan. Namun demikian jika terbukti bahwa penyelenggaraannya tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka semua pihak yang terlibat harus bertanggung jawab dan diproses baik oleh internal Penyelenggara Pemilu melalui DKPP (jika terkait dengan etik), maupun diproses secara pidana jika terkait dengan pelanggaran ketentuan pidana.

Beberapa perbaikan yang harus dilakukan adalah yang terkait dengan data Daftar Pemilih tetap (DPT) yang harus divalidasi ulang, mekanisme kampanye

Page 20: Vol IV No 14 II P3DI Juli 2012

- 20 -

termasuk pemasangan alat peraga yang harus menjaga estetika dan etika, masa tenang, proses pencoblosan, dan proses penghitungan serta rekapitulasi suara. Kesemua hal tersebut belum cukup baik pada penyelenggaraan putaran pertama. Oleh karena itu, KPU Pusat harus mensupervisi KPU Jakarta dalam melaksanakan putaran kedua. Supervisi tersebut dilakukan dengan cara memberikan panduan dan pendampingan dalam proses penyelenggaraannya di setiap tahapan. Apalagi DKPP sudah memberikan sanksi teguran kepada Ketua KPU Jakarta, Dahlia Umar atas persoalan DPT. Selanjutnya bagi seluruh komisioner KPU DKI Jakarta harus melakukan yang terbaik serta bersikap profesional dan imparsial demi penyelenggaraan pemilukada DKI Jakarta yang langsung, umum, bebas, dan rahasia serta akuntabel. Tidak boleh ada intervensi dalam bentuk apapun dan dari pihak manapun. Di sinilah kredibilitas KPU DKI Jakarta diuji dan akan dilihat oleh masyarakat secara keseluruhan. Sesuai dengan tugas, fungsi, dan wewenangnya, KPU DKI Jakarta harus menjalankan amanah sebagai penyelenggara dengan sikap tanggung jawab dan memiliki sifat mandiri. Satu hal yang patut dilakukan oleh KPU DKI Jakarta adalah sosialisasi bagi warga Jakarta agar jumlah Golput tidak sebanyak pada putaran pertama. Dengan hal demikian, diharapkan akan berlangsung pemilukada DKI Jakarta putaran kedua yang lebih baik.

D. Penutup

Penyelanggaraan pemilukada DKI Jakarta tanggal 11 Juli 2012 lalu harus berlanjut ke putaran kedua karena belum ada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50%. Berdasarkan ketentuan Pasal 11 UU No. 29 Tahun 2007, maka pasangan calon gubernur dan wakil gubernur terpilih harus mencapai lebih dari 50% suara untuk dapat ditetapkan menjadi pasangan gubernur dan wakil gubernur terpilih.

Penyelenggaraan putaran kedua harus lebih baik dari putaran pertama dari semua aspek baik teknis maupun substansi. Peran KPU Pusat juga menentukan berhasil tidaknya pemilukada DKI Jakarta ini dalam bentuk supervisi sesuai tugas dan kewenangannya sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. DPR RI melalui Komisi II DPR RI yang membidangi pemerintahan daerah seharusnya ikut mengawasi baik secara kelembagaan melalui pengawasan terhadap KPU dan jajarannya, maupun turun langsung dalam bentuk monitoring pemilukada sebagaimana yang dilakukan Komisi II DPR RI pada pemilukada-pemilukada lainnya. Dengan demikian, diharapkan dapat meminimalkan persoalan yang terjadi pada pemilukada DKI Jakarta.

Rujukan:1. Undang Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun

2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.

5. “Golput Masih Merajai Pilkada Jakarta,” http:/ /megapoli tan.kompas.com/read/2012/07/20/05532688/Golput.Masih.Merajai.Pilkada.DKI.Jakarta, diakses tanggal 22 Juli 2012.

6. “Hasil Rekapitulasi Pilkada DKI Jakarta 2012, Jokowi-Ahok memenangi Putaran Pertama,” http://sidomi.com/112803/hasil-rekapitulasi-pilkada-dki-jakarta-2012- jokowi-ahok-memenangi -putaran-pertama/, diakses tanggal 22 Juli 2012.

7. “MK Gelar Sidang Gugatan Pemilukada DKI Jakarta,” http://metropolitan.inilah.com/read/detail/1884768/mk-gelar-sidang-gugatan-pemilukada-dki-jakarta, diakses tanggal 22 Juli 2012.