UJI RESISTENSI INSEKTISIDA MALATHION DAN TEMEPHOS TERHADAP AEDES...

79
UJI RESISTENSI INSEKTISIDA MALATHION DAN TEMEPHOS TERHADAP AEDES AEGYPTI BERDASARKAN ENDEMISITAS DBD DI TORAJA UTARA RESISTENCY OF MALATHION INSECTICIDES AND TEMEPHOS AEDES AEGYPTI BASED ON ENDEMISITY DENGUE FEVER IN NORTH TORAJA SEPRI PONNO P1801215013 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017

Transcript of UJI RESISTENSI INSEKTISIDA MALATHION DAN TEMEPHOS TERHADAP AEDES...

  • UJI RESISTENSI INSEKTISIDA MALATHION DAN TEMEPHOS

    TERHADAP AEDES AEGYPTI BERDASARKAN

    ENDEMISITAS DBD DI TORAJA UTARA

    RESISTENCY OF MALATHION INSECTICIDES AND TEMEPHOS AEDES AEGYPTI BASED ON

    ENDEMISITY DENGUE FEVER IN NORTH TORAJA

    SEPRI PONNO

    P1801215013

    PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

    MAKASSAR 2017

  • UJI RESISTENSI INSEKTISIDA MALATHION DAN TEMEPHOS

    TERHADAP AEDES AEGYPTI BERDASARKAN

    ENDEMISITAS DBD DI TORAJA UTARA

    Tesis

    Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

    Program Studi

    Kesehatan Masyarakat

    Disusun dan diajukan oleh

    SEPRI PONNO

    Kepada

    PROGRAM PASCASARJANA

    UNIVERSITAS HASANUDDIN

    MAKASSAR

    2017

  • PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

    Yang bertanda tangan di bawah ini :

    Nama : Sepri Ponno

    Nim : P1801215013

    Program Studi : Kesehatan Masyarakat

    Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini adalah

    benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan

    pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari

    terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini

    adalah hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan

    tersebut.

    Makassar,

    SEPRI PONNO

  • PRAKATA

    Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan

    berkatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis berjudul “Uji

    Resistensi Insektisida Malathion Dan Temephos Terhadap Aedes

    Aegypti Berdasarkan Endemisitas Dbd Di Toraja Utara”. Tesis ini penulis

    ajukan sebagai syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Program Studi

    Magister Kesehatan Masyarakat Sekolah Pasca Sarjana Universitas

    Hasanuddin Makassar.

    Ucapan terima kasih kepada Ayahanda Joni S.Pd dan Ibunda tercinta

    Ludia S.Pd beserta saudaraku Aprianus Ponno S.Hut., MM dan Selfrin J

    Ponno S.T serta semua keluarga yang secara tulus dan ikhlas mendoakan,

    memotivasi serta memberikan perhatian, semangat dan bantuan dalam

    menyelesaikan pendidikan ini. Di samping itu penulis mengucapkan terima

    kasih kepada :

    1. dr. Hasanuddin Ishak, M.Sc., Ph.D selaku Pembimbing I dengan

    kesabaran dan sikap yang bersahaja telah memberikan bimbingan dan

    arahan dalam penyusunan Tesis ini.

    2. Prof. Dr. drg. Andi Zulkifli, M.Kes selaku Dekan Fakultas Ilmu

    Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar dan sebagai

  • Pembimbing II dengan kesabaran dan ketekunan telah membimbing

    dalam penyusunan Tesis ini.

    3. Anwar, SKM., M.Sc., Ph.D., Dr. Hasnawati Amqam, SKM., M.Sc dan

    Dr. Atjo Wahyu, SKM., M.Kes., selaku penilai yang telah memberi

    koreksi dan saran demi penyempurnaan Tesis ini.

    4. Dr. Ridwan M. Thaha, M.Sc, selaku ketua program Studi Kesehatan

    Masyarakat Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

    5. Semua Dosen di program studi kesehatan masyarakat Sekolah

    pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar, yang telah memberikan

    ilmu selama penulis menjalani pendidikan.

    6. Staf Konsentrasi Kesehatan Lingkungan: ibu Mustika, SE yang sangat

    kooperatif melayani kami selama menjalani pendidikan.

    7. Dinas Kesehatan Kab. Tanah Toraja yang telah memberi izin kepada

    peneliti untuk melaksanakan penelitian ini di lapangan.

    8. Kepala Laboratorium Bapak dr. Isra Wahid, Ph.D, para staf dan

    rekanrekan terkhusus Kak Nana, Laboratorium Entomologi Fakultas

    Kedokteran Universitas Hasanuddin atas izin, bimbingan dan bantuannya

    selama penelitian ini.

    9. Sisilia Ira Lobo beserta Keluarga terkhusus Ibunda yang telah

    memberikan bantuan fasilitas selama berada di Kab. Toraja Utara.

    10. Abd. Haris H Muhammad yang telah memberikan banyak bantuan

    selama penelitian ini berjalan di Laboratorium Entomologi.

  • 11. Palfrisda dan Virginia ivonela yang selalu memimjamkan buku-bukunya

    dan Teman – teman di Konsentrasi Kesling angkatan 2015

    sesungguhnya kebersamaan dengan kalian adalah pengalaman yang tak

    terlupakan.

    12. Accink, Elyeser Tandilino, Nio Matana dan Meilson Sallata yang telah

    memberikan bantuan selama penelitian di Kab. Tanah Toraja.

    Walaupun penulis berusaha semaksimal mungkin mewujudkan karya

    terbaik, namun pada akhirnya tetap terdapat kekurangan-kekurangan

    didalamnya sebagai akibat keterbatasan penulis. Penulis sangat

    mengharapkan saran dan kritik konstruktif demi penyempurnaan tesis ini.

    Kiranya tesis ini dapat memberikan kontribusi bermanfaat bagi siapa saja

    yang membacanya.

    Makassar, Agustus 2017

    Sepri Ponno

  • ii

    DAFTAR ISI

    ABSTRAK ………………………………………………………………............... i

    DAFTAR ISI................................................................................................... ii

    DAFTAR TABEL ........................................................................................... iv

    DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………… vi

    LAMPIRAN ………………………………………………………………………. viii

    BAB I : PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang …………………………………………………….. 1

    B. Rumusan Masalah ………………………………………………… 7

    C. Tujuan Penelitian ………………………………………………….. 9

    D. Manfaat Penelitian ………………………………………………… 10

    E. Ruang Lingkup Penelitian ………………………………………… 11

    BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

    A. Tinjauan Umum Nyamuk Aedes aegypti …................................... 12

    B. Tinjauan Pengendalian Nyamuk Aedes aegypti ........................... 25

    C. Tinjauan Faktor Endemisitas DBD …………………….................. 32

    D. Tinjauan Tentang Malathion dan Temephos ……………………... 39

    E. Tinjauan Umum Resistensi …………………………………………. 43

    F. Penentuan / Uji Resistensi ……………………………………….. 50

    G. Kerangka Teori …………………………………………………….. 58

  • iii

    H. Kerangka Konsep …………………………………………………. 59

    I. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif ………………………… 60

    J. Hipotesis Penelitian …………………………………………………. 63

    BAB III : METODE PENELITIAN

    A. Jenis dan Desain Penelitian .......................................................... 64

    B. Waktu dan Lokasi Penelitian ………………………………………. 66

    C. Populasi dan Sampel ………………………………………………. 67

    D. Prosedur Penelitian …………………………………………………. 69

    E. Pengumpulan Data ………………………………………………….. 73

    F. Metode Analisis ……………………………………………………… 73

    G. Kontrol Kualitas ……………………………………………………… 75

    BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

    A. Hasil Penelitian ............................................................................ 76

    B. Pembahasan ................................................................................ 92

    C. Keterbatasan Penelitian ............................................................... 106

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan................................................................................... 107

    B. Saran ............................................................................................ 107

    Daftar Pustaka

  • iv

    DAFTAR TABEL

    No Halaman

    1 Sintesa penelitian yang relevan dengan

    pengendalian vector DBD

    37

    2 Sintesa penelitian yang relevan dengan uji

    kerentanan nyamuk

    55

    3 Jumlah mortalitas nyamuk Aedes aegypti pada

    paparan malathion konsentrasi 0,8 % menurut

    lama kontak di daerah endemis tinggi

    Kabupaten Toraja Utara.

    78

    4 Jumlah mortalitas nyamuk Aedes aegypti pada

    paparan malathion konsentrasi 5% menurut

    lama kontak di daerah endemis tinggi

    Kabupaten Toraja Utara.

    79

    5 Jumlah mortalitas nyamuk Aedes aegypti pada paparan malathion konsentrasi 0,8 % menurut lama kontak di daerah tidak endemis Kabupaten Toraja Utara.

    80

    6 Jumlah mortalitas nyamuk Aedes aegypti pada 81

  • v

    paparan malathion konsentrasi 5 % menurut

    lama kontak di daerah tidak endemis Kabupaten

    Toraja Utara.

    7 Jumlah mortalitas larva Aedes aegypti pada

    paparan temephos 1% menurut lama kontak di

    daerah endemis tinggi Kabupaten Toraja Utara.

    84

    8 Jumlah mortalitas larva Aedes aegypti pada

    paparan temephos 1% menurut lama kontak di

    daerah tidak endemis Kabupaten Toraja Utara.

    84

    9 Nilai Kolmogorov-Smirnov konsentrasi malathion

    dan temephos terhadap mortalitas Aedes

    aegypti di endemis tinggi dan tidak endemis.

    86

    11 Hasil uji One way anova perbedaan mortalitas

    Ae. aegypti paparan insektisida malathion dan

    temephos di daerah endemis tinggi dan tidak

    endemis.

    87

    12 Status resistensi nyamuk Aedes aegypti

    terhadap insektisida malathion pada daerah

    endemis tinggi dan tidak endemis, Toraja Utara.

    91

    13 Status resistensi larva Aedes aegypti terhadap

    insektisida temephos pada daerah endemis

    tinggi dan tidak endemis, Toraja Utara.

    92

  • vi

    DAFTAR GAMBAR

    No Halaman

    1 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti 14

    2 Telur Aedes aegypti 15

    3 Larva Aedes aegypti 16

    4 Pupa Aedes aegypti 17

    5 Mesonotum Aedes aegypti 18

    6 Mesepimeron Aedes aegypti 19

    7 Skema mekanisme resistensi serangga 48

    8 Kerangka teori penelitian 58

    9 Kerangka konsep penelitian 59

    10

    11

    Skema desain penelitian uji insektisida

    malathion

    Skema desain penelitian uji insektisida

    temephos

    64

    65

    12 Persentase perbandingan rata-rata mortalitas

    nyamuk Aedes aegypty paparan insektisida

    malathion di daerah endemis tinggi dan tidak

    endemis di Toraja Utara.

    82

    13 Persentase perbandingan rata-rata mortalitas

    larva Aedes aegypti paparan insektisida

    temephos 1% di daerah endemis tinggi dan

    tidak endemis di Toraja Utara.

    85

  • vii

    14 Nilai lethal time (LT50, LT90, LT95, dan LT99)

    untuk konsentrasi 0,8% di daerah endemis tinggi

    dan tidak endemis, Toraja Utara.

    88

    15 Nilai lethal time (LT50, LT90, LT95, dan LT99)

    untuk konsentrasi 5% di daerah endemis tinggi

    dan tidak endemis, Toraja Utara.

    89

    16 Nilai lethal time (LT50, LT90, LT95, dan LT99)

    insektisida Temephos 1% di daerah endemis

    tinggi dan tidak endemis, Toraja Utara.

    90

  • viii

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran 1 Peta lokasi penelitian

    Lampiran 2 Output hasil uji

    Lampiran 3 Data kasus DBD Kab. Toraja Utara

    Lampiran 4 Fogging dan Abatisasi Kab. Toraja Utara

    Lampiran 5 Permohonan Izin Penelitian

    Lampiran 6 Surat pengambilan data awal.

    Lampiran 7 Surat Izin Penelitian dari Dinas Penanaman Modal dan

    Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pemerintah Provinsi

    Sulawesi Selatan

    Lampiran 8 Rekomendasi Penelitian Dinas Penanaman Modal dan

    Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pemerintah Kab. Toraja

    Utara.

    Lampiran 9 Komisi Etik Penelitian Kesehatan

    Lampiran 10 Surat Keterangan Selesai Penelitian dari Dinas Kesehatan

    Kab. Toraja Utara.

    Lampiran 11 Surat Keterangan Selesai Penelitian dari Laboratorium

    Entomologi Fakultas Kedokteran UNHAS

    Lampiran 12 Lembar Observasi Uji Kerentanan

    Lampiran 13 Dokumentasi Penelitian

  • 1

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    A. LATAR BELAKANG

    Aedes aegypti merupakan vektor utama dalam penyebaran virus

    dengue. Penularan virus dengue kepada manusia dapat terjadi melalui

    gigitan nyamuk yang infektif. Penyakit DBD dapat muncul sepanjang tahun

    dan dapat menyerang seluruh kelompok umur (Kemenkes RI. 2015).

    Kejadian DBD di dunia meningkat secara drastis. Dalam 50 tahun terakhir

    terjadi 30 kali lipat peningkatan kasus DBD (WHO, 2013).

    Data dari WHO, diperkirakan jumlah kasus insiden DBD sebanyak 390

    juta pertahun, dimana 96 juta kasus dinyatakan kasus yang berat. Amerika,

    Asia Tenggara dan Pasifik Barat merupakan wilayah endemis DBD yang

    tinggi dimana terdapat 2,5 miliar orang atau dua perlima dari populasi dunia

    beresiko untuk tertular DBD. Di Asia Tenggara, Indonesia merupakan salah

    satu negara yang endemis DBD. Diperkirakan 500.000 orang dengan insiden

    DBD memerlukan rawat inap setiap tahun dan sekitar 2,5 % dari mereka

    mengalami kematian ( WHO. 2016).

    Insiden DBD di indonesia pertama kali di laporkan pada tahun 1968,

    tercatat ada 58 kasus DBD dengan 24 kasus diantaranya meninggal. Insiden

    DBD terus meningkat, sehingga WHO (2009) menetapkan Indonesia sebagai

    salah satu negara hiperendemik dengan jumlah provinsi yang terkena DBD

  • 2

    sebanyak 32 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia dan 355 kabupaten/kota

    dari 444 kota terkena DBD. Setiap hari dilaporkan, sebanyak 380 kasus DBD

    dan 1-2 orang meninggal setiap hari (Arsin, A. 2013)

    Akhir tahun 2014, tercatat sebanyak 433 kabupaten/Kota dari total 508

    Kabupaten/kota (sekitar 85,2%) di 34 Provinsi telah terjangkit DBD. Dimana

    terdapat 907 kasus yang meninggal akibat DBD dari sekitar 100.347 Kasus.

    Akhir Juni 2015 tercatat ada 48.480 kasus dengan 872 kematian. Pada akhir

    Januari Tahun 2016, Kementerian Kesehatan melaporkan tejadi kejadian luar

    biasa DBD di sembilan kabupaten dan 2 kota dari 7 Provinsi. Tercatat

    sepanjang bulan januari sebanyak 25 kasus kematian dari 492 kasus DBD

    (DPR-RI, 2016).

    Angka kematian (AK) / Case fatality rate ( CFR ) pada tahun awal

    kasus DBD merebak di Indonesia cukup tinggi. Kemudian dari tahun ke tahun

    mulai menurun dari 41,4 % pada tahun 1968 terus menurun sampai menjadi

    0,89% pada tahun 2009 (Arsin, A. 2013 ). Pada Tahun 2015, provinsi dengan

    CFR DBD tertinggi adalah Gorontalo (6,06%), Maluku (6%) dan Papua Barat

    (4,55%). Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi dari 13 provinsi

    yang dinyatakan dengan CFR yang masih cukup Tinggi (di atas 1%)

    (Kemenkes RI, 2016).

    Data dari Dinas kesehatan kota menunjukan pada tahun 2013 insiden

    DBD di Sulawesi selatan sebanyak 5.030 kasus (IR= 50,89%) (Dinkes prov.

    Sulsel. 2014). Pada tahun 2014 berdasarkan laporan P2PL insiden rate DBD

  • 3

    sebesar 3517%. Rata-rata angka insiden rate di Provinsi Sulawesi Selatan

    cenderung mengalami penurunan bila dibandingkan dengan target Nasional

    (IR=36%) (Dinkes prov. Sulsel. 2015).

    Toraja utara merupakan Kabupaten yang endemis DBD di Provinsi

    Sulawesi Selatan. Data dari Dinas Kesehatan Toraja Utara mencatat pada

    tahun 2014 sebanyak 31 kasus (IR= 13,84%) meningkat pada tahun 2015

    sebanyak 39 kasus (17,29%) dan meningkat sangat drastis pada tahun 2016

    dengan jumlah kasus sebanyak 96 (Dinkes Toraja Utara, 2017).

    Pengendalian vektor DBD di hampir di semua negara dan daerah

    endemis tidak tepat sasaran, tidak berkesinambungan dan belum mampu

    memutus rantai penularan (Depkes RI, 2010). Menurut Hadi (2006),

    pengendalian vector DBD yang efisien dan efektif adalah memutuskan rantai

    penularan dengan membunuh vektornya dengan berbagai cara yaitu dapat

    secara mekanis, yaitu membunuh secara langsung nyamuk, dapat secara

    biologis, misalnya dengan memasukkan ikan pemakan jentik nyamuk ke

    dalam tempat perindukannya, dan penggunaan insektisida. Insektisida ini ada

    yang di taburkan di air dan ada yang berupa asap melalui penyemprotan

    untuk membunuh nyamuk dewasa (Sembiring, 2009).

    Pengendalian vektor menggunakan insektisida merupakan salah satu

    strategi dalam pemberantasan nyamuk yang dianggap lebih efektif, cepat dan

    mudah pemakaiannya. Penggunaan insektisida dalam menentukan ukuran

    dosis yang tepat merupakan salah satu faktor yang penting dalam

  • 4

    menentukan keberhasilan pengendalian vektor. (Tosepu, R, 2010).

    Penggunaan jenis insektisida golongan organofosfat telah lama digunakan di

    Kabupaten Toraja Utara. Hingga saat ini, bahan kimia yang digunakan yaitu

    malahtion (95%) untuk fogging dengan konsentrasi 5% dan temephos untuk

    abatisasi konsentasi 1% (Dinkes Toraja Utara. 2016). Penggunaan

    insektisida dalam jangka waktu tertentu akan menimbulkan resistensi vektor

    DBD (Depkes RI. 2010).

    World Health Organization (WHO) mendefinisikan resistensi sebagai

    kemampuan berkembangnya toleransi suatu spesies serangga terhadap

    dosis toksik insektisida yang mematikan sebagian besar populasi. Resistensi

    terhadap malathion dan temephos terjadi apabila vektor tidak dapat dibunuh

    oleh dosis standar atau vektor berhasil menghindari kontak dengan

    insektisida (Prasetyowati, H, dkk. 2016). Daniel (2010) menyebutkan bahwa

    ketika dilakukan penyemprotan insektisida di lokasi, nyamuk yang peka akan

    mati, sebaliknya yang tidak peka akan tetap melangsungkan hidupnya.

    Paparan insektisida yang terus menerus menyebabkan nyamuk beradaptasi

    sehingga jumlah nyamuk yang kebal bertambah banyak. Nyamuk yang kebal

    tersebut dapat membawa sifat resistensi ke keturunannya (Ridha, M, R.

    2011).

    Laporan resistensi Larva Ae. aegypti terhadap temephos sudah

    ditemukan di beberapa negara seperti Brazil, Bolivia, Argentina, Venezuela,

    Kuba, French Polynesia, Karibia, dan Thailand (Gafur, A. 2006). Selain itu

  • 5

    juga telah dilaporkan resistensi larva Aedes aegypti terhadap abate

    (temephos) di Surabaya (Nugroho, A. 2011). Penelitian yang dilakukan

    Rocha et al di Pulau Santiago, Cabo Verde pada tahun 2015 menunjukkan

    awal munculnya resistensi terhadap temephos pada populasi Aedes aegypti.

    Laporan adanya resistensi Ae. aegypti terhadap organofosfat juga pernah

    dilaporkan di wilayah DKI Jakarta, namun tidak semua tempat resisten,

    mengingat masih ditemukan tempat yang toleran terhadap organofosfat

    (Prasetyowati, H, dkk. 2016).

    Untuk penggunaan temephos 1% dalam bentuk bubuk abate

    dimaksudkan untuk membunuh larva nyamuk sebelum berkembang menjadi

    nyamuk dewasa. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengujinya.

    Penelitian yang dilakukan Prasetyowati, H, dkk,( 2016 ) di tiga Kotamadya

    DKI Jakarta menunjukan bahwa Status kerentanan Ae. aegypti pada semua

    wilayah penelitian telah resisten terhadap insektisida temephos 1%. Hal yang

    sama terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Handayani, N (2016) di

    Semarang bahwa larva Ae. Aegypti di pelabuhan tanjung emas di wilayah

    perimeter sudah toleran dan wilayah buffer telah resisten terhadap temephos.

    Di Guadeloupe dan Sain Martin populasi Ae. Aegypti resisten terhadap

    temephos (Goindin, et al. 2017).

    Secara khusus untuk malathion, beberapa penelitian telah dilakukan

    untuk mengujinya. Penelitian yang di lakukan oleh Salim, M, dkk, (2009) di

  • 6

    kota Palembang, pada stadium dewasa nyamuk Aedes aegypti masih rentan

    terhadap malathion dosis 5% . hal yang sama terjadi pada penelitian yang

    dilakukan oleh Suwito (2010) di Kota Surabaya, pada lokasi dengan kasus

    tinggi DBD sudah ada populasi nyamuk yang toleran terhadap insektisida

    malahion dosis 5%. Penelitian juga dilakukan di Koderma (Jharkhand), India

    menunjukkan bahwa nyamuk Ae. aegypti di lokasi tersebut masih rentan

    terhadap malathion (Singh, 2011). Penelitian di Sri Lanka di temukan nyamuk

    Aedes aegypti masih rentan terhadap paparan insektisida malathion

    (Karunaratne, et al. 2013).

    Di Kabupaten Toraja Utara pengendalian vektor DBD mengunakan

    insektisida masih merupakan pilihan yang utama. Program pemberantasan

    vektor DBD menggunakan insektisida malathion melalui pengasapan/ fogging

    dengan dosis 5% dan penggunaan temephos 1% dalam betuk bubuk abate

    dinilai belum memberi hasil yang maksimal. Dari data Dinas Kesehatan

    Toraja Utara, frekuensi fogging dan penggunaan bubuk abate masih

    berbanding lurus dengan kejadian DBD (Dinkes Toraja Utara. 2016).

    Dari uraian di atas, maka dipandang perlu melakukan deteksi dini

    resistensi Ae. aegypti terhadap insektisida malathion 5% dan temephos 1%.

    Selain resistensi terhadap dosis aplikasi malathion 5% juga diperlukan data

    dosis 0,8% yang masih mungkin dilakukan berdasarkan daerah endemisitas.

    Dengan demikian dapat menjadi referensi untuk penentuan dosis yang efektif

    dalam fogging serta aman terhadap lingkungan karena efek residu yang kecil.

  • 7

    Dengan adanya informasi mengenai status resistensi Ae. aegypti

    dapat diketahui apakah program pemberantasan vektor menggunakan

    malathion 5% dan temephos 1% masih layak digunakan atau perlu direvisi

    sehingga pengendalian vektor demam berdarah dengue dapat memberi hasil

    yang positif dalam menekan peningkatan insiden demam berdarah dengue di

    Kabupaten Toraja Utara.

    B. Rumusan Masalah

    Tingginya insiden DBD di beberapa kecamatan di Toraja Utara

    menunjukan bahwa program pengendalian vektor DBD mutlak tetap

    dilakukan. Hingga saat ini, Toraja utara masih tergolong daerah yang

    endemis di provinsi sulawesi selatan. Terdapat 2 kecamatan yang endemis

    tinggi, 6 kecamatan sebagai sporadis dan 11 kecamatan belum ada kasus

    DBD (Dinkes Toraja Utara. 2017).

    Program pengendalian vektor DBD di Toraja Utara dengan

    menggunakan insektisida malathion untuk memberantas nyamuk dewasa

    dengan cara pengasapan (fogging) dan penggunaan temephos dalam bentuk

    bubuk abate merupakan cara yang cukup diandalkan. Meskipun dianggap

    cepat dan praktis, cara ini dapat menimbulkan resistensi terhadap vektor

    DBD. Sehingga upanya pemberantasan tidak efektif serta dapat

    menimbulkan pemborosan dan masalah lingkungan terkait residunya.

    Terjadinya resistensi berkaitan dengan intensitas paparan

    penggunaan dosis insektisida yang digunakan. Penggunaan malathion dalam

  • 8

    fogging dengan konsentrasi 5% dan temephos 1% telah bertahun-tahun

    digunakan di Toraja Utara. Adapun frekuensinya berdasarkan pada status

    endemisitas. Daerah dengan endemisitas tinggi memiliki frekuensi fogging

    dan abatisasi yang tinggi begitupula daerah yang tidak endemis memiliki

    frekuensi fogging dan abatisasi yang rendah atau tidak dilakukan. Data data

    dari dinas kesehatan Toraja Utara menunjukan daerah yang memiliki

    frekuensi fogging yang tinggi, masih memiliki angka insiden DBD yang masih

    tinggi.

    Daerah yang memiliki frekuensi fogging dan abatisasi yang tinggi yaitu

    Kecamatan Rantepao. Data dari dinas kesehatan tercatat pada tahun 2016

    frekuensi fogging sebanyak 30 kali dan abatisasi sebanyak 10 kali. Adapun

    daerah yang tidak endemis yaitu Kecamatan Sanggalangi. Pada tahun 2016

    di Kecamatan Sanggalangi tidak dilakukan fogging dan abatisasi.

    Dengan mengetahui status resistensi Ae. aegypti dapat mencapai

    fogging dan abatisasi yang efektif serta dapat mencegah pemborosan

    insektisida dan meminimalkan dampak terhadap lingkungan. Untuk itu, perlu

    mengetahui status resistensi dari dosis yang di aplikasikan dalam program

    pengendalian vektor DBD. Terkait dengan hal itu, yang menjadi

    permasalahan dalam penelitian ini yaitu bagaimana tingkat resistensi nyamuk

    Ae. aegypti terhadap insektisida malathion dan temephos di daerah endemis

    tinggi dan tidak endemis di Toraja Utara? Apakah konsentrasi itu efektif atau

    tidak?

  • 9

    Berdasarkan hal tersebut, maka penulis merumuskan masalah

    penelitian ini dalam beberapa pertanyaan yaitu sebagai berikut :

    a. Bagaimanakah perbedaan jumlah mortalitas nyamuk Aedes aegypti

    menurut paparan konsentrasi malathion pada daerah endemis tinggi dan

    tidak endemis?

    b. Bagaimanakah perbedaan jumlah mortalitas Larva Aedes menurut

    paparan konsentrasi temephos pada daerah endemis tinggi dan tidak

    endemis?

    c. Bagaimanakah LT50, LT90, LT95 dan LT99 berdasarkan paparan konsentrasi

    malathion dan temephos pada daerah endemis tinggi dan tidak endemis?

    C. Tujuan Penelitian

    1. Tujuan Umum

    Untuk menganalisis tingkat resistensi Aedes aegypti terhadap dosis

    aplikasi insektisida malathion dan temephos di daerah endemisitas di

    Kabupaten Toraja Utara.

    2. Tujuan Khusus.

    a. Untuk menganalisis perbedaan jumlah mortalitas nyamuk Aedes aegypti

    menurut paparan konsentrasi malathion pada daerah endemis tinggi dan

    tidak endemis.

  • 10

    b. Untuk menganalisis perbedaan jumlah mortalitas Larva Aedes aegypti

    menurut paparan konsentrasi temephos 1% pada daerah endemis tinggi

    dan tidak endemis.

    c. Untuk menganalisis LT50, LT90, LT95 dan LT99 berdasarkan paparan

    konsentrasi malathion dan temephos pada daerah endemis tinggi dan

    tidak endemis.

    D. Manfaat Penelitian

    1. Manfaat Institusi

    Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan

    masukan dan rujukan dalam merevisi penerapan dan pelaksanaan

    penggunaan insektisida malathion dan temephos sehingga tercapainya

    program pengendalian vektor demam berdarah dengue yang efektif dan

    ramah lingkungan di Kabupaten Toraja Utara.

    2. Manfaat ilmiah

    Penelitian ini diharapkan akan dapat memberi sumbangan

    perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam pengendalian vektor

    demam berdarah dengue menggunakan insektisida malathion dan temephos.

    3. Manfaat Bagi peneliti

    Penelitian ini sebagai sarana mengaplikasikan ilmu yang di dapat

    selama proses pendidikan serta mendapat pengetahuan dan pengalaman

    yang baru.

  • 11

    E. Ruang Lingkup Penelitian

    Penelitian ini dilakukan di daerah endemis tinggi dan tidak endemis

    menggunakan studi eksperimen semu dengan subjek menguji dosis aplikasi

    insektisida malathion dan temephos terhadap Aedes aegypti untuk melihat

    tingkat resistensi. Untuk pengambilan sampel digunakan ovitrap yang

    dipasang di dalam dan diluar rumah. Sampel yang di dapat akan

    dikembangbiakkan untuk mendapat keturunan F1.

    Prosedur eksperimen dan kriteria status resistensi mengacu pada

    metode yang diperkenalkan oleh CDC (Center for Disease control) yaitu

    dengan bioassay test. Tingkat mortalitas larva dan nyamuk dihitung menurut

    lama kontak dan paparan dosis insektisida.

  • 12

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Tinjauan Umum Nyamuk Aedes aegypti

    Merrit dan Cummins (1978) menyebutkan nyamuk Aedes aegypti dan

    Aedes albopictus secara morfologi keduanya sangat mirip, Namun dapat

    dibedakan dari strip putih yang terdapat pada bagian skutumnya. Pada

    skutum Aedes aegypti pada umumnya berwarna hitam dengan dua strip putih

    sejajar di bagian dorsal tengah yang diapit oleh dua garis lengkung yang

    berwarna putih sedangkan skutum pada Aedes alpbopictus berwarna hitam

    pada umumnya dan pada bagian dorsalnya terdapat garis putih tebal

    (Arsin,A. 2013). Keduanya merupakan spesies dari genus Aedes spp.

    Nyamuk Aedes spp tersebar di daerah tropis dan subtropics di seluruh dunia

    pada temperatur udara paling rendah sekitar 100 C (Djunaedi, 2006).

    Nyamuk Aedes aegypti merupakan vector penularan virus dengue.

    Virus dengue termasuk dalam kelompok B Arthropod borne virus

    (Arboviroses) yang sampai saat ini di kenal sebagai genus flavivirus, family

    flaviviridae dan memiliki 4 jenis serotif, yaitu : DEN-1, Den-2, DEN-3, DEN-4.

    Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di

    Indonesia (Arsin, A. 2013)

    Dalam Arsin. A. 2013, Nyamuk Aedes aegypti diklasifikasikan sebagai

    berikut :

  • 13

    Kingdom : Animal

    Filum : Invertcharata

    Kelas : Insekta

    Sub Kelas : Pterygota

    Ordo : Diptera

    Sub Ordo : Nenmatocera

    Famili : Culicidae

    Sub Famili : Aedes

    Genus : Aedes

    Spesies : Aedes aegypti

    1. Morfologi Nyamuk Aedes aegypti

    Dalam siklus kehidupan nyamuk mengalami proses metamorfosis

    sempurna, yaitu perubahan dalam bentuk tubuh yang melewati beberapa

    tahap, yaitu tahap telur, larva, pupa, dan imago atau nyamuk dewasa.

    Nyamuk dewasa hidup di alam bebas, sedangkan ketiga stadium lainnya

    hidup dan berkembang di permukaan air (Syukur, A. 2012). Nyamuk dewasa

    Aedes aegypti tubuhnya tersusun dari tiga bagian, yaitu kepala, dada dan

    perut, memiliki sepasang mata majemuk dan antena yang berbulu pada

    kepala. Pada umumnya nyamuk memiliki warda dasar hitam dengan bintik-

    bintik putih. Bagian dada atau toraks terdapat sepasang kaki depan,

    sepasang kaki tengah dan sepasang kaki belakang (Hasan, w, 2006). Pada

    tubuh nyamuk terdapat sisik-sisik putih yang pada umumnya mudah terlepas

  • 14

    sehingga menyulitkan untuk identifikasi spesies pada nyamuk-nyamuk yang

    sudah tua (Soegijanto, S. 2006).

    Gambar 2.1. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti

    Sumber : Depkes RI. 2010

    a. Telur Nyamuk Aedes aegypti

    Kebanyakan Aedes aegypti betina dalam satu siklus gonotropik

    meletakkan telur di beberapa tempat perindukan, Telur diletakkan satu

    persatu pada permukaan yang lembab tepat di atas batas air. (Depkes RI,

    2003). Seekor nyamuk Aedes aegypti betina rata-rata dapat menghasilkan

    100 butir telur setiap kali bertelur dan akan menetas menjadi larva dalam

    waktu 2 hari dalam keadaan telur terendam air. Telur nyamuk Aedes aegypti

    berwarna hitam, berbentuk ovale, kulit tampak garis-garis yang menyerupai

    sarang lebah, panjang 0,80mm, berat 0,0010-0,015 mg. Telur nyamuk dapat

    bertahan dalam waktu yang lama pada keadaan kering. Hal tersebut dapat

  • 15

    membantu kelangsungan hidup spesies selama kondisi iklim yang tidak

    memungkinkan (Depkes RI, 2007).

    Perletakan telur Aedes aegypti yaitu pada wadah-wadah berair

    dengan permukaan yang kasar dan warna yang gelap. Seekor Aedes aegypti

    betina rata-rata dapat bertelur kira- kira 89 butir. Telur akan menetas dalam

    waktu satu sampai 48 jam pada tempera tur 23 sampai 27ºC dan pada

    pengeringan biasanya telur akan menetas segera setelah kontak dengan air

    (Boesri, H. 2011).

    Gambar 2.2. Telur Nyamuk Aedes aegypti

    Sumber : Gambar Sivanathan. 2006 (Bahari, D.N., 2011.)

    b. Larva (jentik) Aedes aegypti

    Larva nyamuk Aedes aegypti tubuhnya memanjang dan tanpa kaki

    dengan bulu–bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Ciri utama

    larva Aedes aegypti adalah bentuk siphon oval agak gemuk dan berwarna

    kecoklatan. Larva ini dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami

    4 kali pergantian kulit (ecdysis), dan larva yang terbentuk berturut-turut

    disebut larva instar I, II, III, dan IV (Agustinus, H, B. 2010). Dalam

  • 16

    membedakan instar dari Aedes aegypti dapat yaitu : instar I dengan lebar

    kepala lebih kurang 0,3 mm, instar II lebar kepalanya lebih kurang 0,45 mm,

    instar III lebar kepala lebih kurang 0,65 mm, instar IV lebar kepala lebih

    kurang 0,95 mm ( Boesri, H. 2011).

    Gambar 2. 3. Larva Nyamuk Aedes aegypti

    Sumber : Gambar Sivanathan. 2006 (Bahari, D.N., 2011.)

    c. Pupa ( Kepompong ) Aedes aegypti

    Stadium pupa atau kepompong merupakan fase akhir siklus nyamuk

    dalam lingkungan air. Stadium ini membutuhkan waktu sekitar 2 hari pada

    suhu optimum atau lebih panjang pada suhu rendah. Pupa nyamuk Aedes

    aegypty bentuk tubuhnya bengkok, dengan bagian kepala dada

    (cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya,

    sehingga tampak seperti tanda baca “Koma” Pada bagian punggung (dorsal)

    dada terdapat alat bernapas seperti terompet. Pada ruas perut ke-8 terdapats

    sepasang alat pengayuh yang berguna untuk berenang. Pupa adalah bentuk

    tidak makan, tampak gerakannya lebih lincah bila di bandingkan dengan larva

    (Arsin, A. 2013).

  • 17

    Pupa Aedes agypty dengan cephalothorax yang tebal, abdomen

    dapat digerakkan vertikal setengah lingkaran, warna mulai ter bentuk agak

    pucat berubah menjadi kecoklatan kemudian menjadi hitam ketika menjelang

    menjadi dewasa, dan kepala mempunyai corong untuk bernapas yang

    berbentuk seperti terompet panjang dan ramping (Boesri, H. 2011).

    Gambar 2. 4. Pupa (Kepompong ) Nyamuk Aedes aegypti

    Sumber : Gambar Sivanathan. 2006 (Bahari, D.N., 2011.)

    d. Ntamuk Dewasa Aedes aegypti.

    Nyamuk dewasa terdiri atas kepala, torak, dan abdomen yang

    meruncing. Nyamuk jantan memiliki umur yang lebih pendek dari nyamuk

    betina, kira-kira seminggu. Nyamuk dewasa membutuhkan cairan buah-

    buahan atau tumbuhan untuk kelangsungan hidupnya. Nyamuk betina

    memerlukan darah untuk pematangan telurnya (Rosarie, P. 2011 ). Alat mulut

    nyamuk betina tipe penusuk-pengisap (piercing-sucking) dan termasuk lebih

    menyukai manusia (anthropophagus), sedangkan nyamuk jantan bagian

    mulut lebih lemah sehingga tidak mampu menembus kulit manusia. Nyamuk

    betina mempunyai antena tipe-pilose, sedangkan nyamuk jantan tipe

  • 18

    plumose. Tiga hari setelah nyamuk betina mengisap darah, nyamuk betina

    tersebut akan kembali bertelur (Sembel, 2009).

    Aedes aegypty secara makroskopis terlihat hampir sama seperti

    Aedes albopictus, tetapi berbeda pada letak morfologis pada punggung

    (mesonotum) di mana Aedes agypti mempunyai gambaran punggung

    berbentuk garis seperti lyre dengan dua garis lengkung dan dua garis putih

    (Rahayu, dkk. 2013).

    Aedes aegypti

    Gambar 2. 5. Mesonotum Aedes aegypti.

    Sumber : Rahayu, dkk. 2013

    Secara mikroskopis mesepimeron pada mesonotum Aedes agypti

    terdapat dua sisik yang menempel secara terpisah.

  • 19

    Aedes aegypti

    Gambar 2. 6. Mesepimeron Aedes aegypti

    Sumber : Rahayu, dkk. 2013

    2. Bionomik Nyamuk Aedes aegypti

    Nyamuk Aedes aegypti mula-mula banyak ditemukan di kota-kota

    pesisir dan dataran rendah, kemudian menyebar ke pedalaman. Penyebaran

    nyamuk Aedes aegypti terutama dengan bantuan manusia seperti ikut

    terbawa oleh alat transportasi, mengingat jarak terbang rata-rata yang tidak

    terlalu jauh, yaitu sekitar 40 – 100 meter (Sudibyo, P. 2013). Nyamuk Aedes

    aegypti jantan yang lebih cepat menjadi nyamuk dewasa tidak akan terbang

    terlalu jauh dari tempat perindukan untuk menunggu nyamuk betina yang

    muncul untuk kemudian berkopulasi. Aedes aegypti bersifat antropofilik dan

    hanya nyamuk betina saja yang menghisap darah. Bionomik merupakan ilmu

    yang menerangkan mengenai pengaruh antara organisme hidup dengan

    lingkungannya. Bionomik nyamuk Aedes aegypti meliputi berbagai variabel,

    meliputi kesukaan memilih tempat perkembangbiakan, kebiasaan menggigit,

  • 20

    kebiasaan beristirahat, jangkauan terbang dan variasi musiman yang

    berkaitan dengan iklim baik mikro maupun makro (Kemenkes RI, 2010).

    a. Tempat Bertelur (breeding habit)

    Tempat Perkembangbiakan Nyamuk Aedes aegypti biasanya berupa

    genangan air yang tertampung di suatu tempat atau bejana yang terbuka.

    Nyamuk Aedes aegypti tidak dapat meletakkan telurnya digenangan air yang

    langsung bersentuhan dengan tanah. Genangan yang di sukai sebagai

    tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti ini berupa genangan air

    yang tertampung di suatu wadah yang biasanya di sebut container atau

    tempat penampungan air bukan genangan air di tanah (Arsin, A. 2013).

    Nyamuk Aedes aegypti memilih tempat perindukan (breeding place) pada air

    jernih yang tergenang dan terlindung dari sinar matahari langsung (Sudibyo,

    P. 2013.).

    Hasil penelitian yang dilakukan di Semarang menunjukan bahwa letak

    container, keberadaan penutup kontainer dan sumber air kontainer tidak

    mempengaruhi keberadaan jentik Aedes aegypti. Tetapi ada perbedaan

    keberadaan jentik Aedes aegypti berdasarkan bahan container, volume

    kontainer dan kondisi air kontainer (Ayuningtyas, 2013). Penelitian yang di

    lakukan Loka Litbang P2B2 Donggala menyebutkan di temukan Sembilan

    container yang positif jentik Aedes aegypti yaitu bak mandi, bak WC, drum,

    tempanyan, ember, kulkas, ban bekas, dispenser, dan jerigen (Veridiana, N,

    N.,dkk. 2008).

  • 21

    Nyamuk Aedes albopictus lebih menyukai tempat-tempat perindukan

    di luar rumah, di kebun, dan di halaman rumah seperti ketiak daun, pelepah

    tanaman, lubang pohon, tunggul bamboo (Nadifah, dkk. 2016). Hasil

    penelitian menunjukan nyamuk Aedes spp terbukti dapat bertahan hidup

    pada air sumur gali (SGL), air comberan (got), serta air PAM. Keberadaan

    nyamuk hidup pada air got mampu bertahan sampai 15 hari dengan jumlah

    nyamuk yang sama dari hari pertama sampai hari terakhir. Fenomena ini

    berbeda pada air SGL dan PAM dimana nyamuk mampu bertahan sampai

    hari ke-15 meskipun dengan persentase kecil. Nyamuk Aedes aegypti

    terbukti tidak dapat bertahan hidup pada air limbah sabun (Jacob, A. 2014).

    b. Kesenangan Menggigit (feeding habit)

    Berdasarkan tempat diperolehnya darah dibedakan menjadi nyamuk

    indofagik dan eksofagik. Indofagik adalah nyamuk yang cenderung mencari

    darah dari dalam rumah, sedangkan eksofagik adalah nyamuk yang

    cenderung mencari darah di luar rumah. Nyamuk Aedes aegypti termasuk

    dalam antropofilik, yaitu nyamuk yang menyukai darah manusia. Oleh karena

    itu, nyamuk Aedes aegypti lebih bersifat indofagik (Sudibyo, P. 2013).

    Nyamuk Aedes hidup di dalam dan di sekitar rumah sehingga makanan yang

    diperoleh semuanya tersedia di situ. Kebiasaan menghisap darah terutama

    pada pagi hari jam 08.00-12.00 dan sore hari jam 15.00-17.00. Nyamuk

    betina mempunyai kebiasaan menghisap darah berpindah-pindah berkali-kali

    dari satu individu ke individu yang lainnya. Hal ini disebabkan karena pada

  • 22

    siang hari manusia dalam keadaan aktif/bergerak sehingga nyamuk tidak

    dapat menghisap darah sampai kenyang pada satu individu (Arsin, A.2013).

    Penelitian yang di lakukan pada beberapa daerah di Indonesia yaitu

    Cikarawang, Babakan, dan Cibanteng Kabupaten Bogor (2004),

    Cangkurawuk Darmaga Bogor (2005, 2007), Pulau Pramuka, Pulau Pari

    Kepulauan Seribu (2008), Gunung Bugis, Gunung Karang, Gunung Utara

    Balikpapan (2009) dan Kayangan, Lombok Utara (2009) menemukan bahwa

    Aktifitas Ae. aegypti meng-hisap darah pada malam hari (nokturnal) dari jam

    18:00–05:50. Hal ini menunjukkan bahwa kedua jenis vektor tersebut tidak

    hanya aktif menghisap darah di siang hari tetapi juga di malam hari ( Hadi,

    dkk. 2012).

    Perilaku menggigit juga di pengaruhi beberapa factor, yaitu bau yang

    di pancarkan inang, temperature, kelembaban, kadar karbon dioksida serta

    warna (Arsin, A. 2013). Inang yang disukai pada nyamuk spesifik tetapi tidak

    menutup kemungkinan bila inang yang disukai tidak ada maka dia akan

    mencari alternatif lain. Christophers, 1960 menyebutkan di alam bebas

    nyamuk Aedes aegypti menghisap darah hewan vertebrata berdarah panas

    lainnya, bahkan pernah dilaporkan dapat pula menghisap darah hewan

    vertebrata berdarah dingin seperti katak dan kadal (Novelani, 2007).

    c. Kesenangan Nyamuk Istirahat

    Perilaku istirahat pada nyamuk dibedakan menjadi dua pengertian.

    Istirahat dalam proses menunggu pematangan telur dan istirahat sementara,

  • 23

    yaitu istirahat pada saat nyamuk masih aktif mencari darah. Setelah

    menghisap darah, selama menunggu waktu pematangan telur, nyamuk akan

    berkumpul di tempat-tempat dimana terdapat kondisi yang optimum untuk

    beristirahat, setelah itu akan bertelur dan menghisap darah lagi (Sudibyo, P.

    2013).

    Kesenangan istirahat nyamuk Aedes aegypti lebih banyak di dalam

    rumah atau kadang-kadang di luar rumah dekat dengan tempat

    perindukannya yaitu di tempat yang agak gelap dan lembab. Di tempat -

    tempat tersebut nyamuk menunggu proses pematangan telur. Nyamuk betina

    membutuhkan waktu 2 – 3 hari untuk beristirahat dan mematangkan telurnya.

    (Ayuningtyas, 2013). Tempat beristirahat di dalam rumah biasanya di bawah

    perabotan rumah tangga, gantungan pakaian, horden, di bawah tempat tidur,

    dinding, kloset, kamar mandi, dapur, dan di dalam sepatu (Depkes, R.I.,

    2002).

    d. Jarak Terbang Nyamuk

    Pergerakan nyamuk dari tempat perindukan ke tempat mencari

    mangsa dan selanjutnya ke tempat untuk beristirahat ditentukan oleh

    kemampuan terbang nyamuk. Pada waktu terbang nyamuk memerlukan

    oksigen lebih banyak, dengan demikian penguapan air dari tubuh nyamuk

    menjadi lebih besar. Untuk mempertahankan cadangan air di dalam tubuh

    dari penguapan maka jarak terbang nyamuk menjadi terbatas (Ayuningtyas,

    2013). Pergerakan nyamuk dari tempat perindukan ke tempat mencari

  • 24

    mangsa dan ke tempat istirahat ditentukan oleh kemampuan terbang. Jarak

    terbang nyamuk betina biasanya 40-100 meter. Namun secara pasif misalnya

    angin atau terbawa kendaraan maka nyamuk ini dapat berpindah lebih jauh.

    Penelitian terbaru di Puerto riko menunjukan bahwa nyamuk ini dapat

    menyebar sampai lebih dari 400 m terutama untuk mencari tempat bertelur.

    Transportasi pasif dapat berlangsung melalui telur dan larva yang ada dalam

    penampungan (Arsin, 2013).

    e. Penyebaran Nyamuk Aedes aegypti.

    Aedes aegypti terdistribusi secara luas di wilayah tropis dan subtropis

    Asia Tenggara, terutama di perkotaan. Penyebarannya ke daerah pedesaan

    dikaitkan dengan pembangunan sistem persediaan air bersih dan perbaikan

    sarana transportasi. Aedes aegypti merupakan vektor perkotaan dan

    populasinya secara khas berfluktuasi bersama air hujan dan kebiasaan

    penyimpanan air (Fatmawati. 2014).

    Aedes aegypti dapat ditemukan pada ketinggian antara 0 -1000 m di

    atas permukaan laut. Ketinggian yang rendah (< 500 m) memiliki tingkat

    kepadatan populasi yang sedang sampai berat, sedangkan di daerah

    pegunungan (>500m) kepadatan populasi rendah. Batas ketinggian

    penyebaran Aedes spp. di kawasan Asia Tenggara berkisar 1000 – 1500 m

    (WHO. 2005).

  • 25

    f. Variasi Musim

    Indeks Curah Hujan (ICH) yang merupakan perkalian curah hujan dan

    hari hujan dibagi dengan jumlah hari pada bulan tersebut. ICH tidak secara

    langsung mempengaruhi perkembang-biakan nyamuk, tetapi berpengaruh

    terhadap curah hujan ideal. Curah hujan ideal artinya air hujan tidak sampai

    menimbulkan banjir dan air menggenang di suatu wadah/media yang menjadi

    tempat perkembang-biakan nyamuk yang aman dan relatif masih bersih

    (misalnya cekungan di pagar bambu, pepohonan, kaleng bekas, ban bekas,

    atap atau talang rumah). Tersedianya air dalam media akan menyebabkan

    telur nyamuk menetas dan setelah 10 – 12 hari akan berubah menjadi

    nyamuk. Bila manusia digigit oleh nyamuk dengan virus dengue maka dalam

    4-7 hari kemudian akan timbul gejala DBD. Sehingga bila hanya

    memperhatikan faktor risiko curah hujan, maka waktu yang dibutuhkan dari

    mulai masuk musim hujan hingga terjadinya insiden DBD adalah sekitar 3

    minggu (Depkes RI, 2010)

    B. Tinjauan Pengendalian Nyamuk Aedes aegypti

    Dewasa ini berbagai program untuk mengendalikan laju kejadian

    Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue telah banyak di lakukan di

    berbagai negara. Di Indonesia berbagai kegiatan secara intensif seperti

    Gerakan masyarakat untuk mengendalikan Tempat Perindukan Nyamuk,

    pengendalian larva, kegiatan penyuluhan untuk pelibatan masyarakat secara

    positif telah di laksanakan. Peraturan Daerah tentang Pengendalian Jentik

  • 26

    dan Nyamuk Dewasa penular Demam Berdarah di beberapa tempat juga

    telah diimplementasikan. Namun jumlah kasus tetap saja cenderung

    meningkat (Depkes RI, 2010).

    Pengendalian merupakan suatu usaha untuk menekang suatu hal

    dengan pengaturan sumber daya, agar tujuan yang ditetapkan dapat dicapai

    dengan membandingkan antara usaha dengan suatu standar tertentu yang

    telah ditetapkan. Pengendalian vektor bertujuan :

    1. Pencegahan terhadap wabah penyakit golongan vector borne diseases.

    Tercapainya tujuan ini dengan cara memperkecil resiko kontak antara

    manusia dengan vektor penyakit dan memperkecil sumber penularan

    penyakit atau reservoir.

    2. Memasukkan vektor atau penyakit yang baru ke suatu kawasan yang

    bebas sebagai upanya pencegahan. Hal ini akan tercapai dengan

    melakukan pendekatan perundang-undangan maupun dengan aplikasi

    insektisida baik dengan melakukan penyemprotan, pengumpanan,

    maupun pemasangan perangkap (kusnadi, S C. 2006).

    Dalam perspektif teori simpul pengendalian penyakit pendekatan

    pengendalian DBD sekarang hanya menitikberatkan pada pengendalian

    simpul 2 yakni pengendalian lingkungan untuk memutus transmisi atau

    penularan dengan cara Pemberantasan Sarang Nyamuk (pengendalian

    tempat perindukan nyamuk), fogging, dan lain-lain. Selain itu, kegiatan utama

    lainnya adalah penyuluhan untuk mendapatkan perubahan perilaku positif

  • 27

    dalam rangka pengendalian tempat perindukan maupun upaya pengendalian

    faktor risiko lainnya (Depkes RI, 2010).

    Pencegahan dan pengendalian terhadap serangan nyamuk DBD tidak

    akan berjalan jika dilakukan secara simultan dan tidak terpadu. Jika salah

    satu lingkungan saja tidak ikut berpatisipasi, lingkungan tersebut bisa menjadi

    sumber infeksi serangan nyamuk demam berdarah. Usaha-usaha

    pencegahan dan pengendalian yang bias dilakukan sebagai berikut

    (Kardinan, 2007):

    1. Pencegahan

    Untuk melindungi pribadi dari risiko penularan virus DBD dapat

    dilakukan secara individu dengan menggunakan repellent, menggunakan

    pakaian yang mengurangi gigitan nyamuk. Baju lengan panjang dan celana

    panjang bisa mengurangi kontak dengan nyamuk meskipun sementara.

    Untuk mengurangi kontak dengan nyamuk di dalam keluarga bisa memasang

    kelambu pada waktu tidur dan kasa anti nyamuk. Insektisida rumah tangga

    seperti semprotan aerosol dan repellent: obat nyamuk bakar, vaporize mats

    (VP), dan repellent oles anti nyamuk bisa digunakan oleh individu. Pada 10

    tahun terakhir dikembangkan kelambu berinsektisida atau dikenal sebagai

    insecticide treated nets (ITNs) dan tirai berinsektisida yang mampu

    melindungi gigitan nyamuk (Depkes RI, 2010).

  • 28

    2. Pengendalian

    Kejadian luar biasa DBD dapat di hindari bila system kewaspadaan

    dini (SDK) dan pengendalian vektor dilakukan dengan baik, terpadu dan

    berkesinambungan. Pengendalian vektor melalui surveilans vektor diatur

    dalam Kepmenkes no. 581 tahun 1992, bahwa kegiatan pemberantasan

    sarang nyamuk (PSN) di lakukan secara periodic oleh masyarakat yang

    dikoordinir oleh RT/RW dalam bentuk PSN dengan pesan inti 3M plus.

    Sejak tahun 2004 telah diperkenalkan suatu metode

    komunikasi/penyampain informasi/pesan yang berdampak pada perubahan

    perilaku masyarakat dalam pelaksanaan PSN melalui pendekatan social

    budaya setempat, yaitu metode kommunication for Behavior Impact (COMBI)

    (Arsin, A. 2013).

    Pengendalian terhadap vektor demam berdarah dengue dapat di

    lakukan dengan beberapa cara:

    a. Pegendalian Biologi

    Pengendalian vektor secara biologi dilakukan dengan menggunakan

    agent biologi seperti predator/pemangsa, parasit dan bakteri. Jenis predator

    yang digunakan yaitu ikan pemakan jentik seperti guppy, cuppang, tampalo

    dan ikan gabus. Agen biologi lain seperti Bacillus thuringiensis (BTI)

    digunakan sebagai pembunuh jentik nyamuk atau larvasida yang tidak

    mengganggu lingkungan. Keunggulan BTI karena dapat menghancurkan

    jentik nyamuk tanpa menyerang predator (Sembiring. 2009).

  • 29

    Penelitian yang di lakukan Gama (2010) menunjukan daya toksisitas

    bakteri Bacillus thuringiensis isolat Madura cukup besar yaitu dapat

    membunuh larva nyamuk Aedes aegypti instar I sampai 88,89%. Daya

    toksisitas yang tinggi tersebut terdapat pada kepadatan bakteri sebanyak

    1,51x 108 sel/ml, tetapi untuk kepadatan bakteri di bawahnya kurang efektif

    dalam membunuh larva nyamuk Aedes aegypti. Semakin tua umur stadium

    larva nyamuk maka semakin resisten terhadap serangan toksin yang

    dihasilkan oleh bakteri Bacillus thuringiensis isolat Madura.

    b. Pengendalian Secara Kimia

    Pengendalian secara kimiawi masih paling populer baik bagi program

    pengendalian DBD dan masyarakat. Penggunaan insektisida dalam

    pengendalian vektor DBD bagaikan pisau bermata dua, artinya bisa

    menguntungkan sekaligus merugikan. Insektisida kalau digunakan secara

    tepat sasaran, tepat dosis, tepat waktu dan cakupan akan mampu

    mengendalikan vektor dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan

    dan organisme yang bukan sasaran (Depkes RI, 2010).

    Aplikasi pengendalian vektor penyakit secara umum dikenal dua jenis

    insektisida yang bersifat kontak/non-residual dan insektisida residual.

    Insektisida kontak/non-residual merupakan insektisida yang langsung

    berkontak dengan tubuh serangga saat diaplikasikan. Aplikasi kontak

    langsung dapat berupa penyemprotan udara (space spray) seperti

    pengkabutan panas (thermal fogging), dan pengkabutan dingin (cold fogging)

  • 30

    / ultra low volume (ULV). Jenis-jenis formulasi yang biasa digunakan untuk

    aplikasi kontak langsung adalah emusifiable concentrate (EC),

    microemulsion (ME), emulsion (EW), ultra low volume (UL) dan beberapa

    Insektisida siap pakai seperti aerosol (AE), anti nyamuk bakar (MC), liquid

    vaporizer (LV), mat vaporizer (MV) dan smoke. Insektisida residual adalah

    Insektisida yang diaplikasikan pada permukaan suatu tempat dengan

    harapan apabila serangga melewati/hinggap pada permukaan tersebut akan

    terpapar dan akhirnya mati. Umumnya insektisida yang bersifat residual

    adalah Insektisida dalam formulasi wettable powder (WP), water dispersible

    granule (WG), suspension concentrate (SC), capsule suspension (CS), dan

    serbuk (DP) (Depkes RI. 2012).

    Penelitian yang dilakukan Wati (2013) menunjukan populasi nyamuk

    belum dewasa (A), populasi nyamuk betina belum kawin (I), populasi

    nyamuk betina subur (F), populasi nyamuk jantan normal (M) mengalami

    penurunan karena adanya penerapan Insektisida, sedangkan untuk populasi

    nyamuk jantan steril (MT). Program SIT dan Insektisida dapat membasmi

    populasi nyamuk belum dewasa(A), betina belum kawin (I), betina subur (F),

    jantan normal (M ).

    c. Pengendalian Lingkungan Fisik.

    Manajemen pengendalian lingkungan adalah upaya pengelolaan

    lingkungan untuk mengurangi bahkan menghilangkan habitat

    perkembangbiakan nyamuk vektor sehingga akan mengurangi kepadatan

  • 31

    populasi. Manajemen lingkungan hanya akan berhasil dengan baik kalau

    dilakukan oleh masyarakat, lintas sektor, para pemegang kebijakan dan

    lembaga swadaya masyarakat melalui program kemitraan. Sejarah

    keberhasilan manajemen lingkungan telah ditunjukkan oleh Kuba dan

    Panama serta Kota Purwokerto dalam pengendalian sumber nyamuk

    (Depkes RI, 2010).

    Pengendalian secara fisik dapat dilakukan dengan program di

    Indonesia yaitu 3M+1T (Depkes RI, 2005):

    1. Menguras bak mandi, untuk memastikan tidak adanya larva nyamuk yang

    berkembang di dalam ai dan tidak ada telur yang melekat pada dinding

    bak mandi.

    2. Menutup tempat penambungan air sehingga tidak ada nyamuk yang

    memiliki akses ke tempat tersebut untuk bertelur.

    3. Mengubur barang bekas sehingga tidak dapat menampung air hujan dan

    dijadikan tempat nyamuk bertelur.

    4. Telungkupkan barang bekas sehingga tidak dapat menampung air hujan

    dan dijadikan tempat nyamuk bertelur.

    d. Pengendalian Terpadu

    Pengendalian Vektor Terpadu merupakan pendekatan Pengendalian

    Vektor menggunakan prinsip-prinsip dasar manajemen dan pertimbangan

    terhadap penularan dan pengendalian penyakit. Pengendalian Vektor

    Terpadu dirumuskan melalui proses pengambilan keputusan yang rasional

  • 32

    agar sumber daya yang ada digunakan secara optimal dan kelestarian

    lingkungan terjaga. Untuk itu yang harus di lakukan :

    1. Pengendalian vektor harus berdasarkan data tentang bioekologi vektor

    setempat, dinamika penularan penyakit, ekosistem, dan perilaku

    masyarakat yang bersifat spesifik lokal (evidence based).

    2. Pengendalian vektor dilakukan dengan partisipasi aktif berbagai sektor

    dan program terkait, LSM, organisasi profesi, dunia usaha/swasta serta

    masyarakat.

    3. Pengendalian vektor dilakukan dengan meningkatkan penggunaan

    metode non kimia dan menggunakan pestisida secara rasional serta

    bijaksana.

    4. Pengendalian vektor harus mempertimbangkan kaidah ekologi dan prinsip

    ekonomi yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan (Depkes RI.

    2010).

    C. Tinjauan Faktor Endemisitas DBD

    Jumlah kasus KLB DBD yang dilaporkan masih tampak tampak

    berfluktuasi. Hal ini perlu menjadi perhatian dan diteliti faktor-faktor yang

    mempengaruhi, sehingga dapat diketahui upaya pencegahannya dan

    dilakukan tindak lanjut. Penyebaran DBD di pengaruhi oleh multifactor,

    diantaranya adalah perilaku masyarakat, lingkungan dan factor demografi

    (Arsin, A.2013).

  • 33

    1. Perilaku masyarakat.

    Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang

    terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, system

    pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Perilaku kesehatan

    dipengaruhi oleh factor predisposisi (predisposing), factor pendukung

    (enabling) dan factor penguat (reinforcing). Faktor predisposisi seperti

    pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan. Factor pendukung seperti

    kesediaan sumber daya alam, fasilitas kesehatan yang memadai dan

    terjangkau. Sedangkan factor penguatnya adalah dukungan masyarakat dan

    pemerintah (Arsin, A.2013).

    Kebiasaan menggantung pakaian di dalam rumah merupakan indikasi

    menjadi kesenangan beristirahat nyamuk Aedes aegypti. Kegiatan PSN dan

    3M ditambahkan dengan cara menghindari kebiasaan menggantung pakaian

    di dalam kamar merupakan kegiatan yang mesti dilakukan untuk

    mengendalikan populasi nyamuk Aedes aegypti, sehingga penularan

    penyakit DBD dapat dicegah dan dikurangi (Boekoesoe, L. 2013).

    Hasil penelitian Ishak, H, dkk.(2008) bahwa kebiasaan masyarakat

    seperti tidur siang dan menggantung pakain di temukan masing-masing 55

    orang (93,2%) pada responden yang ada kejadian DBD sedangkan 129

    orang (94,25%) yang tidak terdapat DBD. Pada analisis Bivariat dengan

    menggunakan Fisher Exact Test diperleh nilai p =0,063 > 0,05 ini berarti tidak

  • 34

    ada hubungan antara kebiasaan masyrakat dengan kejadian DBD ( Arsin, A.

    2013)

    2. Lingkungan

    Ehler dan Steel, (1990) mengemukakan bahwa “sanitasi lingkungan

    adalah usaha mencegah terjadinya suatu penyakit dengan cara

    menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan

    dengan rantai penularan penyakit. Berdasarkan pengertian ini maka sanitasi

    lingkungan mempunyai peranan besar terhadap jaminan suatu lingkungan

    yang sehat, makin baik sanitasi lingkungan makin baik jaminan lingkungan

    terhadap mahluk hidup di dalamnya (Boekoesoe, L. 2013).

    Pada prinsipnya usaha sanitasi bertujuan untuk menghilangkan

    sumber-sumber makanan (food preferences), tempat perkembangbiakan

    (breeding place) dan tempat tinggal (resting place) yang sangat dibutuhkan

    vektor dan binatang pengganggu. WHO (2001) menyatakan aspek

    penyediaan air bersih, pengelolaan sampah dan perbaikan desain rumah

    sangat penting kaitannya dengan upaya pengendalian vektor DBD. Dari

    uraian diatas maka dalam menangani Demam berdarah sangat penting untuk

    memperhatikan vektor penyakit yang berasal dari lingkungan, sehingga

    antara vektor dan sanitasi adalah satu kesatuan yang saling berhubungan.

    Berbagai faktor iklim terhadap DBD, dimana nyamuk dapat bertahan

    hidup pada suhu rendah tetapi metabolismenya menurun atau bahkan

    terhenti bila suhu udara turun sampai di bawah suhu kritis. Pada suhu yang

  • 35

    lebih tinggi dari 320C juga dapat mempengaruhi proses fisiologis, rata-rata

    suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah 260C – 320C.

    Pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali bila suhu kurang dari 100C

    atau lebih dari 400C, sedangkan untuk pertumbuhan jentik diperlukan suhu

    udara berkisar 260C – 320C (Boekoesoe, L. 2013).

    3. Faktor Demografi

    Perkembangan jumlah penduduk, maka pemukiman terus

    berkembang, tidak terjadi secara alami namun dengan sengaja dibangun,

    dan kita menyebut perumahan. Suatu kompleks rumah yang dihuni oleh

    masyarakat, yang sebelumnya belum ada interaksi yang terjadi pada

    lingkungan tersebut, sejalan dengan perkembangan aktivitas dan

    peningkatan kebutuhan.

    Pemukiman yang padat penduduk lebih rentan terjadi penularan DBD

    utamanya pada daerah perkotaan (urban) karena jarak terbang nyamu Aedes

    di perkirakan 50-100 m. Pada daerah yang berpenduduk padat di sertai

    distribusi nyamuk yang tinggi, potensi transmisi virus meningkat dan

    bertendensi kearah terbentuknya suatu daerah endemis (Arsin, A.2013).

    Mobilitas penduduk berpengaruh terhadap penyebaran DBD. Mobilitas

    penduduk adalah perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain.

    Migrasi antar desa tentunya dapat pula membawa akibat terhadap pola dan

    penyebaran penyakit menular di desa-desa yang bersangkutan maupun

    desa-desa di sekitarnya. Peranan migrasi atau mobilitas geografis didalam

  • 36

    mengubah pola penyakit di berbagai daerah menjadi lebih penting dengan

    makin lancarnya perhubungan darat, udara dan laut (Dinata, A. 2012).

    Menurut pendapat Sunaryo (2003), mobilitas penduduk memudahkan

    penularan dari satu tempat ke tempat lainnya dan biasanya penyakit menjalar

    dimulai dari suatu pusat sumber penularan kemudian mengikuti lalu lintas

    penduduk. Makin ramai lalu lintas itu, makin besar kemungkinan penyebaran

    (Dinata, A. 2012). Hasil penelitian yang di lakukan di kota Makassar

    menunjukan Mobilitas penduduk, kepadatan penduduk, Container Index (CI),

    dan Pemantauan Jentik Berkala (PJB) tidak berhubungan dengan tingkat

    endemisitas DBD di Kota Makassar (Rahim, S, dkk 2013).

  • 37

    Tabel 2. 1. Tabel sintesa penelitian tentang vektor DBD

    No Peneliti/ Tahun Judul Metode Temuan

    1 1. Muhammad

    Arifudin.

    2. Adrial.

    3. Selfi Renita

    Rusjdi

    / 2016

    survei larva nyamuk aedes

    vektor demam berdarah

    dengue di kelurahan kuranji

    kecamatan kuranji

    kotamadya padang provinsi

    sumatera barat.

    survei deskriptif Berdasarkan spesies larva selama

    penelitian, Aedes aegypti lebih

    banyak ditemukan daripada Ae.

    albopictus. Aedes aegypti ditemukan

    sekitar 83,20% didalam rumah dan

    14,50% diluar rumah, sedangkan Ae.

    albopictus hanya ditemukan diluar

    rumah, yaitu sekitar 2,29%. Hal ini

    menunjukkan bahwa Ae. Aegypti

    merupakan pemeran utama dalam

    menyebarkan virus dengue ke

    manusia

    2 1. M. Rasyid

    Ridha

    2. Nita Rahayu

    3. Nur Afrida

    Rosvita

    Hubungan kondisi

    lingkungan dan kontainer

    dengan keberadaan

    jentik nyamuk Aedes

    aegypti di daerah endemis

    Survei Observasi Hasil penelitian menunjukkan bahwa

    larva nyamuk Aedes aegypti adalah

    penyebab utama dalam pembawa

    virus dengue, karena kondisi

    lingkungan (pH, suhu air, dan

  • 38

    4. Dian Eka

    Setyaningtya

    2013

    demam berdarah

    dengue di kota Banjarbaru

    kelembaban udara), dan kontainer

    (jenis kontainer) sangat mendukung

    keberadaan larva Ae. aegypti

    3 1. Upik

    Kesumawati

    Hadi.

    2. Susi Soviana

    3. Dwi Djayanti

    Gunandini

    /2012

    Aktivitas nokturnal vektor

    demam berdarah dengue di

    beberapa daerah di

    Indonesia

    Bare leg collection dan

    resting collection

    Aktivitas menggigit nyamuk Ae.

    aegypti dan Ae. albopictus tidak

    hanya di siang hari tetapi juga malam

    hari.

    4 1. Nova

    Pramestuti.

    2. Anggun

    Paramita

    Djati /2013

    Distribusi vektor demam

    berdarah dengue (DBD)

    daerah perkotaan dan

    perdesaan di Kabupaten

    Banjarnegara

    Non-intervensi dengan

    desain deskriptif

    Aedes aegypti dan Ae. albopictus

    merupakan vektor DBD. Aedes

    aegypti lebih banyak ditemukan di

    perkotaan pada area permukiman.

    Aedes albopictus lebih banyak

    ditemukan di perdesaan pada area

    permukiman.

  • 39

    D. Tinjauan Tentang Malathion Dan Temephos

    1. Insektisida Malathion

    Insektisida Malathion temasuk kelompok insektisida organofosfor yang

    dipergunakan secara luas untuk membasmi serangga dalam bidang

    kesehatan, pertanian, peternakan dan rumah tangga, dan mempunyai daya

    racun yang tinggi pada serangga sedangkan toksisitasnya terhadap

    mammalia relatif rendah, sehingga banyak digunakan.

    Djojosumarto, (2008) menyatakan Ciri Khas malathion adalah

    mempunyai kemampuan melumpuhkan serangga dengan cepat, korasif,

    berbau, dan memiliki rantai karbon yang pendek. Juga bekerja sebagai racun

    perut, sebagai racun kontak ( contak poison) dan racun inhasi. Insektisida

    organofosfat merupakan racun serangga yang bekerja dengan cara

    menghambat kolinestrase (ChE) yang mengakibatkan serangga sasaran

    mengalami kelumpuhan dan akhirnya mati ( Sembiring, 2009).

    Bahan aktif malathion biasanya berbentuk cairan bening yang dapat

    menjadi formulasi, konsentrat emulsi, debu dan bubuk yang dapat

    dibasahkan. Berdasarka pengalaman, penggunaan malathion secara residual

    dengan dosis 100-200 mg/square feet (standar aplikasi : 1-2 gal, malathion

    2,5-5% per 100 square Ft) telah mampu membunuh nyamuk selama 3-5

    bulan. Fogging dengan malathion dosis 1:19 (5%), dengan konsentrasi

    malathion 95% dicampur dengan solar maka campuran tersebut harus jernih

  • 40

    dan tidak ada endapan (Kusnadi, 2006). Adapun spesifikasi malathion adalah

    sebagai berikut :

    Bahan aktif : malathion

    Golongan : organofosfat

    Rumus molekul : C10H19O6PS2

    Kandungan bahan aktif : Malathion 95%

    Dosis aplikasi : 50 ml/liter solar

    No reg komisi pestisida : R1-1246/I-2002/T

    Aplikasi : thermal fogging, cold fogging

    Serangga sasaran : Ae. Aegypti, Culex sp, Anopheles sp

    (Sembiring, 2009)

    Insektisida Malation merupakan jenis racun kontak, racun perut

    ataupun racun fumigan. Senyawa malathion berpenetrasi ke dalam tubuh

    serangga melalui kutikula selanjutnya racun tersebut menghambat aktivitas

    enzim cholinesterase (ChE) dalam sistem syaraf serangga (Tarumingkeng,

    1992).

    Di lingkungan, residu insektisida malathion di perairan dapat diserap

    oleh tumbuhan air, memasuki tubuh organ hewan akuatik atau melalui mata

    rantai makanan, dan masuk secara langsung melalui insang, sisik, kulit.

    Residu malathion juga dapat masuk ke dalam tubuh mammalia darat (tikus)

    melalui matarantai makanan, yaitu dengan konsumsi ikan atau tumbuhan air

    yang terkontaminasi (Hamzah, 2009).

  • 41

    2. Insektisida Temephos

    Temephos merupakan insektisida yang termasuk golongan

    Organophosfat . Suatu golongan insektisida yang dalam susunan kimianya

    mengandung fosfor. Penggunaannya pada tempat penampungan air minum

    telah dinyatakan aman oleh WHO,dapat digunakan di bak mandi serta tempat

    penampungan air rumah tangga (DepKes RI, 2005). Temefos merupakan

    insektisida organofosfat non sistemik yang tersedia dalam bentuk emulsi,

    serbuk (Wettable powder) dan granul, senyawa murni berupa kristal putih

    padat dengan titik lebur300-30,50 C, tidak larut dalam air pada suhu 20 C,

    tidak larut dalam heksana tetapi larut dalam aseton, asetonitril, eter,

    kebanyakan aromatic, klorinasi hidrokarbon dan mudah terdegradasi bila

    terkena sinar matahari sehingga kemampuan membunuh larva tergantung

    dari sinar matahari (Yulidar,dkk.2014).

    Konsentrasi efektif temefos atau konsentrasi letal temefos menurut

    anjuran Kementerian Kesehatan RI yaitu 10 gr dalam 100 liter air (0,1

    mg/liter) (DepKes RI, 2005). Temephos dalam abate memiliki efek residu

    selama dua hingga tiga bulan. Jadi bila dalam satu tahun suatu daerah

    dilakukan empat kali abatesasi maka selama setahun populasi nyamuk akan

    terkontrol. Aplikasi 1 temephos dalam abate di lakukan dua bulan sebelum

    musim penularan yang tinggi di suatu daerah atau pada daerah yang belum

    pernah terjangkit DBD. Aplikasi II dilakukan dua hingga dua setengah bulan

    berikutnya ( pada masa penularan/populasi Aedes yang tinggi), dan aplikasi

  • 42

    III dilakukan dua atau dua setengah bulan setelah aplikasi II (Suegijanto, S.

    2006).

    Kerja dari temephos adalah dengan menghambat enzim

    Kolinesterase, sehingga menimbulkan gangguan pada aktivitas syaraf akibat

    tertimbunnya acetylcholine pada ujung syaraf. Keracunan fosfat organic pada

    serangga diikuti oleh kegelisahan, hipereksitasi, tremor dan konvulasi,

    kemudian kelumpuhan otot (paralise). Penetrasi temefos dengan konsentrasi

    efektif kedalam tubuh larva diabsorpsi dalam waktu 1-24 setelah perlakuan (

    Yulidar, dkk. 2014). Laporan WHO (2001) bahwa dibeberapa Negara telah

    terjadi kekebalan Aedes Aegypti terhadap bubuk abate ( temephos ), Khusus

    wilayah Asia Tenggara Tingkat Kekebalan Aedes aegypti tidak pernah

    dilaporkan (Sucipto, C, D. 2011).

    Hasil Penelitian yang dilakukan Yulidar dan Hadifah, Z. (2014 )

    menunjukan semakin tinggi konsentrasi temephos pada media air

    menyebabkan kadar air pada tubuh larva semakin tinggi akibatnya terjandi

    perbedaan tekanan osmotic. Kerusakan morfologi larva setelah terpapar

    temephos yaitu rambut seta yang rontok, abdomen terlihat mengkerut serta

    abdomen, kepala, torak dan sifon yang menghitam.

    3. Toksikologi Insektisida.

    Toksisitas pada suatu organisme selalu dinyatakan dengan dengan

    dosis dan waktu. Perry et al (1998) menyatakan bahwa LT50 (lethal time)

    merupakan waktu yang dibutuhkan sehingga menyebabkan kematian 50%

  • 43

    hewan percobaan pada dosis dan konsentrasi tertentu. Pengukuran lethal

    time (LT) dilakukan untuk mengetahui perubahan toksisitas bahan uji setelah

    waktu tertentu dalam media uji. Pengujian lethal time memperlihatkan adanya

    kecenderungan perubahan jumlah kematian hewan uji (Agustinus, H, B.

    2010).

    Hasil penelitian yang dilakukan Asriani (2015) di makassar

    menunjukan bahwa Konsentrasi dan waktu memiliki hubungan yang positif

    terhadap mortalitas nyamuk dengan kategori korelasi kuat pada daerah

    endemis tinggi (R=0,527) dan pada endemis rendah (0,483). LT50, LT90, LT95

    dan LT99 pada semua konsentrasi di daerah endemis tinggi lebih tinggi

    dibanding di derah endemis rendah dengan nilai berturut-turut yaitu -510,6;

    2119,2; 2865 dan 4263,6 pada daerah endemis tinggi dan -684; 1023,6;

    1508,4 dan 2416,2 pada daerah endemis rendah (konsentrasi 4%).

    E. Tinjauan Umum Resistensi

    1. Pengertian Resistensi Nyamuk

    Resistensi adalah kemampuan individu serangga untuk bertahan

    hidup terhadap suatu dosis insektisida yang dalam keadaan normal dapat

    membunuh spesies serangga tersebut. Resistensi merupakan suatu

    fenomena evolusi yang di sebabkan oleh seleksi serangga hama yang diberi

    perlakuan insektisida terus menerus (Sucipto, C, D. 2011).

    Ketika arthopoda telah kebal (resisten) terhadap jenis insektisida bila

    dengan menggunakan dosis yang sama yang biasa digunakan, Arthopoda

  • 44

    tidak akan dapat dibunuh. Soedarto (1989) menyebutkan resistensi dapat

    terjadi oleh karenan berbagai sebab yaitu serangga memiliki system enzim

    yang mampu menetralisasi racun (insektisida), selain itu terdapat timbunan

    lemak di dalam tubuh serangga dapat menyerap insektisida yang masuk dan

    hambatan-hambatan lain yang mencegah penyerapan insektisida ke dalam

    meningkatkan daya resistensi arthropoda terhadap insektisida (Kusbaryanto,

    2001).

    Penggunaan Insektisida pada pengendalian populasi nyamuk,

    menyebabkan tekanan seleksi atas individu nyamuk yang memiliki

    kemampuan untuk tetap hidup bila kontak dengan insektisida dengan

    mekanisme yang berbeda. Secara umum resistensi dikenal 3 tipe :

    a. Kekebalan secara fisiologis (physiological resistance).

    Populasi nyamuk sebagai makhluk hidup akan mengadakan reaksi

    sebagai akibat adanya tekanan racun serangga. Misalnya dengan cara

    menghasilkan enzim untuk menawarkan daya racun serangga, mengikat

    racun serangga dalam jaringan lemak, memblokir racun serangga dalam

    tubuh atau segera mengeluarkan racun serangga dari dalam

    tubuhnya.kekebalan ini disebabkan oleh mekanisme fisiologis suatu gen

    sehingga dapat menurun.

    Tipe resistensi ini adalah reversible (dapat pulih seperti semula) ketika

    tekanan insektisida di hilangkan, tetapi kerentanan jarang dapat kembali ke

  • 45

    nilai sebelumnya dan menurun kembali dengan cepat manakala penggunaan

    insektisida dimulai lagi.

    b. Kekebalan yang bersifat toleransi (Vigour tolerance )

    Terjadi sedikit kenaikan toleransi terhadap satu atau beberapa

    Insektisida (penurunan Kerentanan), dihasilkan dari seleksi kontinyu populasi

    serangga yang tidak memiliki gen spesifik untuk resistensi terhadap

    insektisida tertentu.

    Kekebalan ini bukan karena faktor genetik tetapi dikarenakan variasi

    musiman seperti bentuknya yang lebih besar, kutikula menebal, kenaikan

    kandungan lemak dan lain-lain, sehingga tidak memperoleh cukup dosis

    racun serangga untuk mematikannya.

    c. Resistensi Perilaku (resistensi behaviouristic).

    Kemampuan populasi nyamuk lari/ menghindar dari efek insektisida

    karena perlaku alamiah atau modifikasi perilaku mereka akibat insektisida.

    Hal ini dilakukan dengan cara menghindari dari permukaan atau udara yang

    mendapat perlakuan insektisida atau memperpendek periode kontak

    (Sucipto, C, D. 2011).

    2. Jenis-Jenis Resistensi Nyamuk.

    a. Resistensi Bawaan

    Gandahusa et al (1993) menyatakan dari suatu populasi serangga

    yang pada dasarnya sudah resisten terhadap suatu insektisida, sifat ini akan

    turun-temurun sehingga selanjutnya terjadi populasi yang resisten

  • 46

    seluruhnya. Resisten bawaan juga terjadi karena perubahan gen yang

    menyebabkan mutasi (Kusbaryanto 2001).

    b. Resistensi Yang Didapat

    Gandahusada et al, 1993 menyatakan dari suatu populasi nyamuk

    yang rentan menyesuaikan diri terhadap pengaruh insektisida, sehingga tidak

    mati dan membentuk populasi baru yang resisten. Resisten fisiologik yang

    didapat disebabkan karena timbulnya toleransi terhadap insektisida karena

    sebelumnya telah mendapat dosis subletal (Kusbaryanto 2001)

    3. Penyebab Resistensi

    Menurut Georghiou (1979) terjadinya proses penurunan status

    kerentanan insektisida pada tubuh serangga termasuk nyamuk secara garis

    besar dapat di pengaruhi tiga fakto yaitu genetik, biologis dan factor

    operasional (Kusbaryanto. 2001).

    a. Faktor Genetik.

    Diketahui adanya gen yang berperan dalam pengendalian resisten (R-

    gen), baik dominan atau resesif, homozygote maupun heterozygote yang

    terdapat pada nyamuk maupun pada serangga lainnya. Factor genetic seperti

    gen-gen yang menjadi pembentukan enzim esterase, yang dapat

    menyebabkan resisten serangga terhadap insektisida organofosfat atau

    pyrethroid (Sucipto, C, D. 2011).

  • 47

    b. Faktor Biologi

    Meliputi biotik (adanya pergantian generasi, perkawinan monogamy

    atau poligami dan waktu berakhirnya perkembangan setiap generasi pada

    serangga di alam), perilaku serangga misalnya : migrasi, isolasi, monofagi

    atau folifagi serta kemampuan serangga di luar kebiasaannya dalam

    melakukan perlindungan terhadap bahaya atau perubahan tingkah laku

    (Sucipto, C, D. 2011).

    c. Faktor Operasional

    Meliputi bahan kimia yang digunakan dalam pengendalian vektor

    (golongan insektisida, kesamaan target dan sifat insektisida yang pernah

    digunakan), serta aplikasi insektisida tersebut di lapangan (cara aplikasi,

    frekuensi dan lama penggunaan) (Sucipto, C, D. 2011).

    4. Mekanisme Terjadinya Resistensi.

    Menurut WHO (1980), Ada tiga mekanisme dasar yang berperan

    dalam proses terjadinya resistensi/ perubahan status kerentanan serangga

    terhadap insektisida (Kusbaryanto, 2001), yaitu :

    a. Detoksikasi toksikan (insektisida) dalam tubuh serangga oleh enzim mixed

    function oxydase (MFO), hidrolase, esterase dan glutathione dependen

    transferase.

    b. Penurunan status sensitivitas tempat sasaran dalam tubuh serangga,

    berupa insensitivitas syaraf dan insensitivitas enzim asetilkholinesterase

    (Ache)

  • 48

    c. Penurunan penetrasi toksikan (insektisida) ke arah tempat aktif.

    Perilaku masyarakat mengambil tindakan dengan meningkatkan dosis

    pestisida dan frekuensi aplikasi, mengakibatkan semakin menghilangnya

    proporsi individu yang peka. Tindakan ini meningkatkan proporsi individu

    individu yang tahan dan tetap hidup. Dari generasi ke generasi proporsi

    individu resisten dalam suatu populasi akan semakin meningkat dan akhirnya

    populasi tersebut akan didominansi oleh individu yang resisten. Resistensi

    tidak akan menjadi masalah sampai suatu populasi didominansi oleh individu-

    individu yang resisten sehingga pengendalian hama menjadi tidak efektif lagi

    (Asriani, dkk. 2015).

    Secara skematis, timbulnya resistensi pada serangga dapat

    digambarkan sebagai berikut :

    Gambar 2. 7. Skema mekanisme resistensi serangga

    (Fest, 1992 dan Asriani, 2015 )

    Resistensi perilaku

    Tekanan In

    sektisida

    Serangga

    Resistensi fisiologis

    Meningkatkan

    metabolisme

    Mengurangi sensitifitas

    dari system ( AchE)

    Mengurangi permeabilitas

    dari exokutikula

    (penetrasi)

    Degradasi enzimatik Meningkatkan ekskresi Resistensi penyimpanan

    ( akumulasi) Oksidasi Hidrolisis

  • 49

    5. Manajemen Resistensi

    Deteksi dini resistensi vektor terhadap insektisida adalah pencarian

    dan penemuan vektor yang menunjukkan gejala toleransi atau potensi

    resistensi terhadap suatu jenis insektisida di wilayah pengendalian nyamuk

    vektor yang di usulkan dalam perencanaan dan pelaksanaan operasional

    dengan aplikasi insektisida. Strategi lanjutan dalam penggunaan insektisida

    kimia adalah dilakukan pemantauan (monitoring) resistensi vektor terhadap

    insektisida itu (Sucipto, C, D. 2011).

    Strategi yang dilakukan untuk menghambat atau menanggulangi

    kejadian resistensi sebagai yang di sarankan WHO (Sucipto, C, D, 2011),

    yaitu :

    a. Penggunaan insektisida sebaiknya selektif saja, dengan pembatasan

    jumlah insektisida yang digunakan hanya di wilayah yang laju

    transmisinya tinggi.

    b. Menggunakan insektisida hanya pada musim penularan.

    c. Penggunaan metode pengendalian nyamuk vektor yang non-kimia saja,

    atau sebagai tindakan penunjang, pada musim penularan dimana

    aplikasinya cukup murah dan efektif.

    d. Penggantian insektisida residual dengan non-residual yang diaplikasikan

    hanya bila memang diperlukan untuk pengendalian nyamuk vektor yang

    adekuat.

  • 50

    F. Penentuan / Uji Resistensi

    Uji Resistensi atau penurunan status kerentanan serangga yang

    sering digunakan adalah:

    1. Uji Hayati (Bioassay)

    Metode baku uji hayati yang digunakan untuk mendeteksi dan

    memantau status kerentanan dan telah digunakan untuk beberapa tahun.

    Untuk melaksanakan uji hayati diperlukan tes kit khusus yang telah

    dibakukan oleh WHO termasuk impregnated papers dengan rangkain

    konsentrasi insektisida tertentu. Uji hayati dapat dilakukan menggunakan

    stadium larva maupun nyamuk dewasa. Persyaratan untuk uji hayati yang

    harus dipenuhi adalah jumlah yang cukup serta kondisi fisiologis serangga

    (Sucipto, C, D. 2011).

    Tingkat resistensi nyamuk dihitung berdasarkan rata-rata kematian

    nyamuk. Ada tiga kriteria kerentanan, yaitu :

    a. Rentan, bila rata-rata kematian nyamuk sebesar 95-100%. Artinya

    nyamuk uji masih bisa diberantas dalam dosis anjuran.

    b. Perlu verifikasi (toleran) bila rerata kematian nyamuk 80-95%. Artinya

    insektisida masih bisa digunakan tetapi harus ada peningkatan dosis.

    c. Resisten, bila rerata kematian nyamuk

  • 51

    Adapun macam-macam uji hayati antara lain :

    a. Uji bioassay untuk pengasapan (fogging/ULV)

    Menurut WHO (1992), Metode baku uji susceptibility yang digunakan

    untuk mendeteksi dan memantau status kerentanan dan telah digunakan

    untuk beberapa tahun (Sucipto, C, D. 2011). Brogdon (1989) mengatakan

    bahwa meskipun uji biossay merupakan tolak ukur dalam menentukan

    resistensi insektisida populasi nyamuk tetapi tidak memberikan informasi

    mengenai kondisi populasi (Polson, 2011). Bahan yang dibutuhkan yaitu

    nyamuk dan air gula. Adapun alatnya yakni kertas yang sudah mengandung

    insektisida, kertas pembanding (tanpa insektisida), kertas putih biasa, tabung

    uji kerentanan, aspirator, sling hygrometer, kotak nyamuk, stop watch, kapas,

    dan handuk basah / pelepah pisang.

    Cara Kerja :

    1. Pengisian tabung dengan nyamuk sehat 20-25 ekor, masing-masing

    untuk tabung perlakuan dan tabung kontrol. Selanjutnya dimasukkan

    kertas berinsektisida ditabung perlakuan dan kertas tanpa insektisida

    ditabung pembanding.

    2. Nyamuk dimasukkan kedalam tabung masing-masing dan dibiarkan

    kontak dengan insektisida selama 1 jam pada posisi tabung tegak,

    selanjutnya diamati nyamuk yang mati. Selama itu, waktu pengujian Rh

    diukur dan selama penyimpanan diukur temperatur maks/min.

    3. Nyamuk kemudian disimpan selama 24 jam, dan kembali dihitung

  • 52

    4. Nyamuk yang mati. Penghitungan hasil sesuai dengan uji Bioassay

    Interpretasi data (WHO): Kematian 99-100% = rentan/peka, Kematian 80-

    98% = Toleran, Kematian < 80%= Resisten (Sucipto, C, D. 2011).

    b. Uji Bioassay kontak langsung (residu).

    Bahan yaitu nyamuk sehat dan permukaan dinding yang akan

    disemprot (tembok, kayu, bambu). Adapun alat yang diperlukan yakni:

    aspirator, kerucut plastik, masking tape/ paku/ karet gelang, gelas

    plastik/kertas, kotak nyamuk, dan sling hygrometer dan termometer.

    Cara Kerja :

    1. Menempelkan kerucut plastik pada berbagai permukaan (minimal 3)

    kemudian memasukan 10-15 nyamuk kedalam kerucut dengan aspirator,

    selanjutkan dibiarkan nyamuk kontak dengan residu insektisida pada

    permukaan dinding selama 30 menit.

    2. Setelah waktu pengujian selesai, nyamuk dipindahkan kedalam gelas

    bertutup kasa (dihitung nyamuk yang pingsan).

    3. Nyamuk diberi larutan gula 10% pada kapas sebagai nutrisi nyamul

    kemudian disimpan dalam kotak penyimpanan selama 24 jam.

    4. Diitung kematian nyamuk pada perlakuan dan kontrol. Jika kematian

    nyamuk pada pembanding (kontrol): < 5 %, maka angka kematian dapat

    digunakan dan- 5 %-20 %, maka kematian harus dikoreksi dengan rumus:

  • 53

    abbo’s =Kematian perlakuan (%)− kematian kontrol (%)

    100%−Kematian Kontrol x 100%, Jika > 20%

    kematian kontrol uji bioassay harus diulang.

    c. Uji bioassay kontak tidak langsung (air bioassay) (residu)

    Bahan yang dibutuhkan yaitu: nyamuk sehat dan air gula 10 %.

    Adapun alat yakni kurungan kasa dengan kerangka kawat, ruangan yang

    telah disemprot insektisida, dan kotak nyamuk.

    Cara Kerja :

    1. Kurungan kasa diisi dengan nyamuk 20-25 ekor kemudian digantungkan

    disudut ruangan dengan jarak dari permukaan yang disemprot 50 cm.

    Minimum dilakukan di tiga ruangan.

    2. Waktu pemaparan bisa 6-12 jam (disarankan 6 jam)

    3. Setelah waktu pemaparan selesai, kurungan diambil dan nyamuk

    dipindahkan kedalam gelas bertutup kasa dan diberi larutan gula pada

    kapas dan dihitung berapa nyamuk yang pingsan.

    4. Hasil uji dimasukkan ke dalam kotak penyimpanan, kotak ini dihindarkan

    semut serta diukur temperatur waktu pengujian dan selama penyimpanan.

    5. Perhitungan sama dengan bioassay kontak langsung.

    2. Biochemical test

    Uji biokimia dilakukan untuk mendeteksi resistensi atau penurunan

    kerentanan serangga terhadap insektisida secara individu: Metode ini

  • 54

    mempunyai beberapa keunggulan apabila di bandingkan dengan uji hayati,

    yaitu :

    a. Uji biokimia memungkinkan untuk deteksi gen resistensi ganda dalam

    bahan yang sama dari satu ekor serangga.

    b. Memungkinkan untuk deteksi dan mengetahui tipe mekanisme resistensi

    dan kemungkinan adanya resistensi silang.

    c. Memungkinkan untuk mengetahui lebih banyak informasi dari sejumlah

    kecil sampel serangga uji yang hanya diperoleh dari suatu lokasi survey.

    d. Tidak memerlukan alat yang rumit karena sifatnya kolorimetri yang dapat

    dilihat secara visual. (Sucipto, C, D, 2011).

    Uji biokimia mempunyai beberapa keterbatasan antara lain:

    a. Uji ini tidak memungkinkan untuk mengetahui semua mekanisme

    resistensi yang mungkin terjadi dari banyak jenis dan macam insektisida

    pada individu serangga uji.

    b. Satu dari bahan kimia (acetylcholine iodide) yang digunakan dalam uji ini

    harus disimpan dalam refrigerator (-200 C).

  • 55

    Tabel 2. 2. Tabel sintesa penelitian tentang resistensi insektisida

    No Peneliti

    tahun

    Judul Metode Temuan

    1 1. Sunaryo

    2. Bina Ikawati

    3. Rahmawati

    4. Dyah

    Widiastuti

    2014

    Status resistensi vektor

    demam berdarah

    dengue

    (aedes aegypti)

    terhadap malathion

    0,8% dan permethrin

    0,25% di Provinsi Jawa

    Tengah

    Eksperimen

    desain potong

    lintang (cross

    sectional)

    Kota Semarang, Kabupaten Kendal dan

    Purbalingga 100% resisten tinggi terhadap

    golongan organophosphat. Ae.aegypti

    sudah resisten/tidak rentan terhadap

    malathion 0,8% dan permethrin 0,25%.

    2 1. Florensia I. J.

    Lauwrens

    2. J. Wahonga.

    3. J.B.

    Bernadus

    /2014

    Pengaruh dosis abate

    terhadap jumlah

    populasi jentik nyamuk

    aedes spp di

    Kecamatan

    Malalayang Kota

    Manado

    eksperimental

    laboratorium

    Kematian larva sebanyak 100% dapat

    dilihat pada 24 jam dengan memeberikan

    butiran pasir temefos 1% (abate) dengan

    dosis 100 mg/L.

    3 Erna Kristinawati Uji resistensi Kuasi Status resistensi nyamuk Ae. aegypti yang

  • 56

    / 2013 sipermetrin dan

    malation pada aedes

    aegypti di daerah

    endemis DBD Kab.

    lombok barat

    eksperimen. berasal dari daerah endemis Lombok Barat

    terhadap insektisida sipermetrin adalah

    toleran

    (85%) dan dengan malation rentan (100%).

    4 1. Nur

    Handayani

    2. Ludfi

    Santoso

    3. Martini

    4. Susiana

    Purwintasari

    Status resistensi larva

    aedes aegypti

    terhadap temephos di

    Wilayah perimeter dan

    buffer pelabuhan

    tanjung emaskota

    Semarang

    Eksperimen

    murni dengan

    rancangan

    post-test only

    with control

    group design

    Larva Aedes aegypti dari wilayahperimet er

    PelabuhanTanjung Emas dengan rata-rata

    Kematian sebesar 96% sudah toleran

    terhadap larvasida temephos. Sementara

    larva Aedes aegypti dari wilayah buffer

    Pelabuhan Tanjung Emas dengan rata-rata

    kematian sebesar 68% sudah resisten

    terhadap temephos.

    5 1. Sin-Ying

    Koou

    2. Chee-Seng

    Chong

    3. Indra

    Vythilingam

    Insecticide resistance

    and its underlying