PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER PENDIDIKAN …
Transcript of PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER PENDIDIKAN …
STRUKTURALISME GENETIK DALAM NOVEL SANG PEMIMPI KARYA ANDREA HIRATA
DAN NOVEL YASMIN KARYA DIYANA MILLAH ISLAMI
THE GENETIC STRUCTURALISM IN NOVEL THE DREAMER BY ANDREA HIRATA AND NOVEL
YASMIN BY DIYANA MILLAH ISLAMI
Tesis
Oleh:
NASHRAH AMIN Nomor Induk Mahasiswa : 04.07.735.2012
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2014
STRUKTURALISME GENETIK
DALAM NOVEL SANG PEMIMPI KARYA ANDREA HIRATA
DAN NOVEL YASMIN KARYA DIYANA MILLAH ISLAMI
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Magister
Program Studi
Magister Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia
Kekhususan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Disusun dan Diajukan oleh
NASHRAH AMIN Nomor Induk Mahasiswa : 04.07.735.2012
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2014
TESIS
STRUKTURALISME GENETIK DALAM NOVEL SANG PEMIMPI KARYA ANDREA HIRATA
DAN NOVEL YASMIN KARYA DIYANA MILLAH ISLAMI
yang disusun dan diajukan oleh
NASHRAH AMIN NIM. 04.07.735.2012
Telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Tesis
Pada tanggal 18 Juni 2014
Menyetujui Komisi Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. H. M. Ide Said D. M., M. Pd. Dr. Siti Aida Azis, M. Pd.
Mengetahui
Direktur Program Pascasarjana Ketua Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Prof. Dr. H. M. Ide Said D.M., M.Pd. Dr. Abd. Rahman Rahim, M.Hum. NBM. 988 463 NBM. 922 699
HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI
Judul : Strukturalisme Genetik dalam Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata dan Novel Yasmin Karya Diyana Millah Islami
Nama Mahasiswa : Nashrah Amin Nim : 04. 07. 735. 2012 Program Studi : Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Konsentrasi : -
Telah diuji dan dipertahankan di depan Panitia Penguji Tesis pada Tanggal 18
Juni 2014 dan dinyatakan telah memenuhi persyaratan dan dapat diterima sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.
Makassar, 18 Juni 2014
Tim Penguji :
Prof. Dr. H. M. Ide Said D.M., M.Pd. ……..………………………..
(Ketua/Pembimbing/Penguji) Dr. Siti Aida Azis, M.Pd. ……………………………… (Sekretaris/Pembimbing/Penguji) Dr. Abd. Rahman Rahim, M.Hum. ……………………………… (Penguji) Dr. Andi Sukri Syamsuri, M.Hum. ………………………………. (Penguji)
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Nashrah Amin
Nomor Pokok : 04. 07. 735. 2012
Program Studi : Bahasa dan Sastra Indonesia
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar
merupakan hasil karya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau
pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa
sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima
sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, 18 Juni 2014
Yang menyatakan,
Nashrah Amin
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt atas segala karunia-Nya
sehingga tesis yang berjudul Strukturalisme Genetik dalam Novel Sang Pemimpi
Karya Andrea Hirata dan Novel Yasmin Karya Diyana Millah Islami sebagai
salah satu syarat meraih gelar magister dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Hal ini
disebabkan oleh keterbatasan kemampuan penulis dan berbagai hambatan serta
kendala yang kadangkala menjadi rintangan dalam menyelasaikan tesis ini. Oleh
karena itu, sewajarnya jika penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan
yang sebesar-besarnya kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Makassar, sekaligus sebagai pembimbing I
Prof. Dr. M. Ide Said, D.M., M. Pd. dan kepada Dr. Siti. Aida Aziz, M.Pd.
pembimbing II, yang telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk senantiasa
membimbing penulis dengan penuh keikhlasan selama proses penyelesaian tesis
ini.
Tak lupa penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
disampaikan kepada segenap sivitas akademika Program Magister Pendidikan
Bahasa Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar, para dosen dan staf
administrasi, yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis baik pada
waktu perkuliahan, penelitian, maupun pada saat penulisan tesis.
Ucapan terima kasih pula penulis sampaikan kepada teman-teman
mahasiswa seperjuangan Angkatan 2012 dari Program Studi Pendidikan Bahasa
Sastra Indonesia yang telah banyak memberikan dukungan, semangat dan kerja
sama penuh persahabatan selama proses perkuliahan. Ucapan terima kasih yang
tak terhingga penulis ucapkan kepada almarhum ayahanda dan ibunda tercinta,
yang telah memberikan motivasi, cinta, doa dan dukungannya yang tulus tak
terhingga, serta semua saudara, dan seluruh keluarga, yang telah memberikan
bantuan dan motivasi.
Tak lupa pula ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada kepala sekolah
tempat penulis mengabdikan diri sebagai pendidik, yang telah memberikan
kesempatan untuk mengembangkan diri menempuh pendidikan, dan seluruh rekan
guru yang telah banyak membantu dan memberi masukan dan tak pernah lelah
bersama-sama berjuang memberikan ilmunya kepada para siswa. Terima kasih pula
yang tak terhingga penulis ucapkan kepada sahabat-sahabatku, yang telah banyak
membantu dan menemani dalam segala kesulitan, memberikan dorongan serta
motivasi bagi penulis.
Penulis menyadari sepenuhnya akan berbagai keterbatasan dalam penulisan
tesis ini. Oleh karena itu, penulis dengan rendah hati menerima saran dan kritikan
yang bersifat membangun dari para pembaca demi kesempurnaan tesis ini. Akhirnya
penulis berharap agar tesis ini dapat bermanfaaat bagi peningkatan mutu
pendidikan. Amin.
Makassar, Juni 2014
Penulis
ABSTRAK
Nashrah Amin, 2014, Strukturalisme Genetik dalam Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata dan Novel Yasmin Karya Diyana Millah Islami. (didimbing oleh H.M. Ide Said DM dan Siti Aida Azis).
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis struktur instrinsik yang membangun novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata dan novel Yasmin Karya Diyana Millah Islami, mendeskripsikan kondisi eksternal dan pandangan sosial kelompok dalam novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata dan novel Yasmin Karya Diyana Millah Islami.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Data penelitian ini adalah unsur-unsur instrinsik (tokoh/penokohan, tema, amanat, alur/plot, latar/setting, sudut pandang). Unsur ekstrinsik (ekonomi, kebudayaan, politik, keagamaan, tata nilai masyarakat), pandangan sosial kelompok (latar belakang sosial pengarang dan sosial budaya). Yang menjadi sumber data adalah novel Sang Pemimpi berjumlah 288 halaman dan novel Yasmin berjumlah 263 halaman yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka Yogyakarta.
Strukturalisme genetik terhadap novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata dan novel Yasmin karya Diyana Millah Islami diketahui melalui unsur instrinsik karya sastra (tokoh dan penokohan, tema, amanat, alur/plot, latar/setting dan sudut pandang), unsur ekstrinsik (nilai moral, sosial, adat istiadat, agama), adanya pandangan sosial kelompok dan latar belakang sosial pengarang dan sosial budaya. Gagasan, perasaan, dan aspirasi pengarang tertuang dalam novel Sang Pemimpi yang disampaikan Andrea Hirata dan novel Yasmin yang disampaikan Diyana Millah Islami merupakan persoalan sosial budaya yang terjadi di Belitong dan Madura, dan menjadi potret sosial dari kondisi yang masih terjadi pula di Indonesia selama ini.
ABSTRACT
Nashrah Amin, 2014, The Genetic Structuralism in Novel “The Dreamer” by Andrea Hirata and Novel “Yasmin” by Diyana Millah Islami. (Guided by H. M Ide Said, D. M and Siti Aida Azis).
The purpose of this study is to analyze the instrinsic structure which construct the Novel “The Dreamer” by Andrea Hirata and Novel “Yasmin” by Diyana Millah Islami, todescrible the external conditions and the views of social groups in the novel “The Dreamer” of Andrea Hirata and novel “Yasmin” by Diyana Millah Islami.
This study is a descriptive qualitative research. The data of this study are the instrinsic elements of the two novels (characters/characterizations, themes, mandate, plot, background/setting, angle of view), the ekstrinsic elements (economic, cultural, political, religious, social values), view sosial group (the social background of the author and social culture). The source of data is the novel “The Dreamer” totaling 288 pages and 263 pages of “Yasmin”. Both are published by Bentang Pustaka Yogyakarta.
The genetic structuralism of the novel “The Dreamer” by Andrea Hirata and the novel “Yasmin” by Diyana Millah Islami are know through the instrinsic elements of literarure (character and characterization, themes, mandate, plot, background/setting and viewing angle), and the extrinxic elements (moral, social, manners and customs, religious), and the existence of the group’s social views of the authors and their social background and social culture. Ideas, feelings and aspirations contained in the novel “The Dreamer” delivered by Andrea Hirata and novel Yasmin delivered by Diyana Millah Islami are culture matters that occurred in Belitong and Madura, and become a social portrait of the social conditions that still happens in Indonesia now days.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………..………..............i
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………...ii
HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI……………………………….……....iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS……………………………………….….iv
KATA PENGANTAR………………………………………….………..…...…v
ABSTRAK…………………………………………………….…………….....viii
ABSTRACT ………………………………………………….……...….…......ix
DAFTAR ISI………………………………………………….………………...x
DAFTAR GAMBAR ……………………………………….…………….……xii
DAFTAR LAMPIRAN ………...................................................................xiii
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................1
A. Latar Belakang ....................................................................1
B. Fokus Penelitian ...... ...........................................................7
C. Tujuan Penelitian..................................................................7
D. Manfaat Penelitian................................................................8
BAB II KAJIAN PUSTAKA ……...……………………….…………..…..10
A. Tinjauan Hasil Penelitian…..……….. ……………………...10
B. Tinjauan Teori dan Konsep..……..….…....………….........12
1. Teori Strukturalisme…….………...…….………….........12
2. Teori Strukturalisme Genetik…..…………………..............14
3. Konsep Pandangan Dunia……….……………..…………...19
4. Teori Novel…………………………….……………………...21
C. Kerangka Pikir ................................................................38
BAB III METODE PENELITIAN.................................................................42
A. Pendekatan Penelitian …..................................................42
B. Lokasi dan Waktu Penelitian.............................................42
C. Unit Analisis dan Penentuan Informan.....................................43
D. Teknik Pengumpulan Data .....................................................45
E. Teknik Analisis Data ................................................................46
F. Pengecekan Keabsahan Temuan…….….…….......................47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN..……….…………........48
A. Deskripsi Karakteristik Objek Penelitian…..……...…....48
B. Paparan Dimensi Penelitian….………………................48
C. Pembahasan…………………………..……….………..112
BAB V SIMPULAN DAN SARAN …..………………………........................123
A. Simpulan….………………………….………….............123
B. Saran..…………………………………….....….………..124
DAFTAR PUSTAKA………………………………………….....……..................126
RIWAYAT HIDUP ………………………………………………..……................128
LAMPIRAN ………………………………………………………...….……….…..130
1. SINOPSIS..……………………………………………….…….….........130
2. BIO DATA PENULIS....……………….……………….……....…........139
DAFTAR GAMBAR
Gambar Teks Halaman
Gambar 2.1. Bagan Kerangka Pikir ………………………………………..41
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Teks Halaman
1. Sinopsis novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata
dan novel Yasmin karya Diyana Millah Islami……...............................130
2. Biodata penulis novel Sang Pemimpi dan
novel Yasmin………………………………………………………………139
3. Surat Izin Penelitian ………………………………………………………143
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Sastra sejak awal perkembangannya tidak dapat dipisahkan dari kegiatan dan
prespektif sosial, sastra dianggap sebagai unsur kebudayaan yang mempunyai atau
dipengaruhi oleh masyarakat. Dengan kemampuan daya imajinasi seorang pengarang,
sejumlah relasi sosial atau kesenjangan yang terdapat dalam masyarakat hendak
dirumuskan sebagai refleksi sosial kemasyarakatan, yang dapat memberikan konstribusi
pemikiran dan potret sosial kepada pembaca dalam kehidupan sehari-harinya sebagai
makhluk sosial. Inilah kecenderungan karya sastra yang hidup di tengah masyarakat
dianggap sebagai milik bersama oleh karena bertautan langsung dengan nilai pendidikan
dan nilai sosial. Suatu hal penting yang harus disadari, bahwa karya sastra adalah
fenomena sosial. Ia terkait dengan penulis, terkait dengan pembaca, dan terkait dengan segi
kehidupan manusia yang diungkapkan dalam karya sastra (Atar, 2012 : 66).
Sastra merupakan wujud kreativitas estetika manusia yang mengungkapkan
pengalaman hidup dan kehidupan. Kehadiran sastra di tengah peradaban manusia tidak
dapat ditolak, bahkan kehadiran tersebut diterima sebagai salah satu realitas sosial budaya.
Hingga saat ini, sastra tidak saja dinilai sebagai sebuah karya seni yang mengandung
unsur budi, imajinasi, dan emosi, tetapi telah dianggap sebagai suatu karya kreatif yang
dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual.
Karya sastra memiliki keanekaragaman bentuk dan jenis dengan unsur
pembangunnya masing-masing. Keanekaragaman sastra, khususnya sebagai perwujudan
genre sastra dengan sendirinya memerlukan bentuk dan cara-cara pemahaman yang juga
berbeda. Novel sebagai salah satu bentuk karya sastra pengarang, merupakan suatu bentuk
cerita utuh yang terdiri atas jalinan peristiwa yang padu. Kepaduan dan keutuhan sebuah
cerita dalam novel tidak akan ada tanpa keberadaan dan kejelasan unsur-unsur
membangunnya.
Signifikansi yang dielaborasikan subjek individual terhadap realitas sosial
disekitarnya menunjukkan sebuah karya sastra besar pada kultur tertentu dan masyarakat
tertentu. Sastra adalah sebagai lembaga sosial yang menyerukan pandangan dunia
pengarangnya. Pandangan dunia ini bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat
langsung, melainkan merupakan gagasan, aspirasi, dan perasaan yang dapat
mempersatukan kelompok sosial masyarakat.
Kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang
mencoba menghasilkan pandangan dunianya tentang realitas sosial di sekitarnya untuk
menunjukkan sebuah karya sastra berakar pada kultur tertentu dan masyarakat tertentu.
Pernyataan tersebut sesungguhnya mengandung implikasi bahwa sastra adalah
sebagai lembaga sosial yang menyuarakan pandangan dunia pengarangnya. Pandangan
dunia ini bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi merupakan suatu
gagasan, aspirasi dan perasaan yang dapat mempersatukan kelompok sosial masyarakat.
Karya sastra dianggap cermin sebuah zaman, kreativitas sastra dianggap sebagai
hal-hal yang bersifat ekstrinsik. Penelitian dengan pendekatan strukturalisme genetik
memupukkan dua hal. Pertama, yang menjadi perhatian peneliti adalah latar belakang
sejarah sosial. Kedua, latar belakang itulah yang menjadi titik tolak penganalisisan karya
sastra. (Damono, 2000: 36).
Terlepas dari keberadaan struktur dan permasalahan sosial yang mendalam dan
terkandung dalam setiap karya sastra, sedikit penggambaran keberadaan tokoh dengan
problematikanya mengisyaratkan dan penulis yakini bahwa strukturalisme genetik adalah
pendekatan yang mampu menjadi pisau analisa novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata
dan Yasmin karya Diyana Millah Islami ini, terlebih terhadap keberadaan pengarang dengan
lingkungannya pada waktu karya tersebut dibuat.
Strukturalisme genetik sebagai pendekatan sosiologi sastra meyakini bahwa adanya
hubungan teks sastra dengan hal-hal di luar teks. Hal-hal di luar teks tersebut adalah
pengarang dan lingkungan yang mempengaruhinya. Dengan berbagai problematik sosial
yang dirasakan dan dilihatnya, pengarang menulisakannya kembali dalam bentuk imaji
aristik dalam bentuk karya sastra. Iswanto (dalam Jabrohim, 2001: 61) menyatakan bahwa
karya-karya sastra lahir ditengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang
yang merupakan refleksi gejala sosial yang ada. Kehadiran sastra merupakan bagian
kehidupan masyarakat. Pengarang sebagai subjek kolektifnya. Dalam setiap karya sastra
pengarang memiliki pandangan-pandangan tertentu.
Setiap karya sastra yang ditulis tentunya memiliki ide, gagasan, pengalaman, dan
amanat yang ingin disampaikan kepada pembaca. Dengan harapan, apa yang disampaikan
itu menjadi sesuatu yang berharga bagi perkembangan kehidupan masyarakat. Adapun ide,
gagasan atau pengalaman dan amanat yang ingin disampaikan pengarang tersebut tidak
akan terlepas dari kondisi lingkungan penulisnya. Karya sastra secara langsung atau tidak
langsung dipengaruhi oleh pengalaman dari lingkungan pengarang. Karya sastra
dipengaruhi oleh lingkungannya, maka karya sastra merupakan ekspresi zamannya sendiri.
Kondisi ini mengakibatkan adanya hubungan sebab akibat dan timbal balik antara karya
satra dengan situasi sosial tempatnya dilahirkan. Meskipun karya sastra yang baik pada
umumnya tidak langsung menggambarkan atau memperjuangkan nilai-nilai tertentu, tetapi
aspirasi masyarakat mau tidak mau tercermin dalam karya sastra tersebut. Oleh karena itu,
karya sastra tidak terlepas dari sosial-budaya dan kehidupan masyarakat yang
digambarkannya.
Sang Pemimpi diterbitkan pertama kali pada Juli 2006. Sejak kemunculan novel
Sang Pemimpi mendapatkan tanggapan positif dari
penikmat sastra. Tingginya apresiasi masyarakat terhadap novel Sang Pemimpi menjadikan
novel tersebut masuk dalam jajaran novel psikologi islami pembangun jiwa. Isi novel Sang
Pemimpi menegaskan bahwa keadaan ekonomi bukanlah menjadi hambatan seseorang
dalam meraih cita-cita dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai cita-citanya.
Kemiskinan adalah penyakit sosial yang berada dalam ruang lingkup materi sehingga tidak
berkaitan dengan kemampuan otak seseorang.
Sementara, novel Yasmin merupakan novel yang di terbitkan pertama kali pada
Maret 2014, yang di tulis oleh Diyana Millah Islami, seorang penulis muda lulusan Sastra
Indonesia di Universitas Jember. Novel ini memberikan banyak pelajaran berharga tentang
kekuatan tekad dan kesederhanaan hidup.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti berminat untuk menganalisis
novel Sang Pemimpi dan Yasmin. Analisis terhadap novel Sang Pemimpi dan Yasmin,
peneliti membatasi pada struktur genetik karena setelah membaca novel tersebut, peneliti
menemukan ada unsur-unsur genetik yang terdapat dalam kisah Sang Pemimpi dan
Yasmin. Kedua novel tersebut banyak memberikan inspirasi bagi pembaca, hal itu berarti
ada nilai-nilai positif yang dapat diambil dan direalisasikan oleh pembaca dalam
kehidupan sehari-hari, khususnya dalam hal pendidikan. Suatu karya sastra yang baik
adalah yang langsung memberi didikan kepada pembaca tentang budi pekerti dan nilai-
nilai moral, sesungguhnya hal ini telah menyimpang dari hukum-hukum karya sastra sebagai
karya seni dan menjadikan karya sastra sebagai alat pendidikan yang langsung sedangkan
nilai seninya dijadikan atau dijatuhkan nomor dua.
Karya Andrea Hirata dan Diyana Millah Islami, pada gilirannya akan berdialog
dengan pembaca melalui teks-teks yang ditulisnya. Alasan selanjutnya mengenai penilaian
pentingnya analisis terhadap karya tersebut penulis sandarkan pada keberadaan novel ini
sangat fenomenal. Kelebihan yang dimiliki pengarang Andrea Hirata di dalam karya-
karyanya yaitu dari segi stilistik yang menarik, mengungkapkan setiap kejadian secara
sistematis, terarah dan kronologis, sedangkan Diyana Millah Islami mampu menghasilkan
karya dengan bahasa yang lebih konkrit dan mampu menghidupkan karakter tokoh-tokoh
yang ada dalam cerita, sehingga penulis tertarik untuk mengkaji strukturalisme genetik yang
terdapat di dalam novel tersebut.
Sesuai dengan beberapa argumen tersebut, peneliti berkeyakinan bahwa novel
Sang Pemimpi dan novel Yasmin merupakan objek karya sastra tulisan yang pada
gilirannya melakukan dialog dengan pembaca melalui teks-teksnya. Melalui teks-teks karya
sastra sebagai mediumnya, Andrea Hirata dan Diyana Millah Islami sebagai pengarang
sekaligus narator oleh peneliti memiliki strukturalisme genetik yang membangun novel Sang
Pemimpi dan novel Yasmin dan latar belakang sosial dan sejarah yang turut
mengkondisikan karya sastra saat diciptakan oleh pengarang.
Sehubungan dengan hal tersebut, ditetapkan judul dalam penelitian ini
“Strukturalisme Genetik dalam Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata dan Novel Yasmin
Karya Diyana Millah Islami”.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan pemaparan di atas, maka fokus penelitian dalam masalah ini adalah :
1. Analisis struktur instrinsik yang membangun novel Sang Pemimpi Karya Andrea
Hirata dan novel Yasmin karya Diyana Millah Islami.
2. Kondisi Eksternal novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata dan novel Yasmin karya
Diyana Millah Islami.
3. Pandangan sosial kelompok dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata dan
novel Yasmin karya Diyana Millah Islami.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan fokus masalah yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Menganalisis struktur instrinsik yang membangun novel Sang Pemimpi karya
Andrea Hirata dan novel Yasmin karya Diyana Millah Islami.
2. Mendeskripsikan kondisi eksternal novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata dan novel
Yasmin karya Diyana Millah islami.
3. Mendeskripsikan pandangan sosial kelompok dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea
Hirata dan novel Yasmin karya Diyana Millah Islami.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat mencapai tujuan secara optimal, menghasilkan
laporan yang sistematis dan dapat bermanfaat secara umum. Adapun manfaat yang
didapatkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoretis
a. Diharapkan dapat membantu perkembangan penggunaan teori sastra khususnya
teori strukturalisme genetik dan penggunaannya di dalam analisis sebuah karya
sastra.
b. Sebagai bahan rujukan/referensi kepada pembaca tentang teori-teori dan
pendekatan genetik dalam memahami karya sastra.
c. Sebagai bahan perbandingan di dalam mengkaji persoalan-persoalan karya sastra.
d. Dijadikan sebagai motivasi untuk penulisan karya ilmiah sejenis di masa yang akan
datang.
2. Manfaat Praktis
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, adalah :
a. Memperkaya wawasan peneliti pada khususnya, dan pembaca pada umumnya
tentang seluk-beluk sebuah karya sastra ditinjau dari strukturalisme genetiknya.
b. Bagi mahasiswa dapat memperoleh informasi mengenai penerapan pendekatan
genetik sastra yang terkandung dalam novel.
c. Bagi guru bahasa Indonesia dan dosen dapat memperoleh masukan dan bahan
pengajaran apresiasi sastra Indonesia di Sekolah Menengah Atas dan yang
sederajat serta perkuliahan di Perguruan Tinggi.
d. Bagi peneliti selanjutnya dapat dijadikan sebagai modal penelitian yang
dijadikan rujukan sekaligus motivasi dalam rangka menulis karya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Hasil Penelitian
Suatu penelitian dapat mengacu pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.
Hal itu dapat dijadikan sebagai titik tolak dalam melakukan penelitian. Oleh sebab itu,
tinjauan terhadap penelitian terdahulu sangat penting untuk mengetahui relevansinya.
Pertama, penelitian dilakukan oleh Syafri (2008) di Universitas Muhammadiyah
Makassar, dengan judul “Analisis Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata (suatu
pendekatan genetik)”, penelitian ini menyimpulkan bahwa adanya genetik dalam novel
Laskar Pelangi karya Andrea Hirata merupakan gambaran terhadap realitas sosial
teks sastra yang berhubungan dengan realitas sosial kehidupan sang pengarang.
Kedua realitas ini memiliki hubungan yang sangat erat yang dapat membangun makna
suatu karya sastra.
Penelitian kedua, dilakukan oleh Indrawana (2009) yang menganalisis novel Sang
Pemimpi karya Andrea Hirata untuk tesisnya di Universitas Muhammadiyah Makassar yang
juga mengemukakan “Interpretasi Nilai Sosial dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea
Hirata suatu tinjauan Strukturalisme Genetik”. Kesimpulan yang didapat dalam penelitian ini
adalah bahwa di dalam novel Sang Pemimpi mengandung nilai-nilai sosial, yakni tentang
hubungan sosial yang baik dalam kehidupan bermasyarakat, nilai pendidikan moral yang
dapat diketahui melalui perilaku tokoh yang saling tolong-menolong, nilai pendidikan religius,
tanggung jawab seorang anak dan manusia yang tidak boleh putus asa, melainkan harus
menjalani kehidupan dengan perjuangan, dan nilai pendidikan.
Penelitian ketiga, oleh Prihatin (2009) dengan judul “Analisis Struktur, Resepsi
Pembaca, dan Nilai Pendidikan dalam Novel Laskar Pelangi” yang sarat dengan nilai-nilai
pendidikan. Keempat, oleh Rahmawati terhadap novel karya Andrea Hirata dengan judul
“Gaya Bahasa Andrea Hirata dalam Dwilogi Padang Bulan: Kajian Stalistika”, yang meneliti
gaya bahasa seorang pengarang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, kondisi sosial
masyarakat, lingkungan tempat tinggal, dan sebagainya. Bahwa gaya bahasa yang
digunakan oleh seorang satrawan dipengaruhi watak dan jiwanya dan merupakan
pembawaan pribadinya.
Penelitian keempat, penelitian yang dilakukan oleh Ahmad (2010) dengan judul
“Struktur Aktan dan nilai pendidikan dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata. Hasil
yang diperolah bahwa pola aktan dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata dan
gambaran struktur fungsi aktan yang berupa rangkaian keseluruhan cerita berupa peristiwa-
peristiwa yang dalam setiap aktan yang berperan sebagai subjek dalam cerita. Isi cerita
secara keseluruhan menggandakan jalinan hubungan setiap tokoh dan perannya masing-
masing dengan dinamis sehingga melahirkan kisah yang menarik dan sarat nilai-nilai
pendidikan, agama, moral, dan sosial budaya yang terbentuk dalam karakter setiap tokoh
yang sejak kecil hidup dalam lingkungan sosial budaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai
keagamaan dan moral.
Kelima, Zakaria (2010) melakukan analisis dengan judul “Dekontruksi Postkolonial
dalam tertralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata”, meneliti bahwa representasi
postkolonial dalam tetralogi karya Andrea Hirata menjadi sarana komunikasi yang paling
ampuh untuk menghubungkan, mempelajari sekaligus membentuk sistem ideologi.
Persamaan dari beberapa penelitian yang dilakukan tersebut meneliti bagaimana
hubungan isi cerita novel Andrea Hirata dengan kehidupan sosial pengarangnya
secara nyata, dan perbedaan yang ada dari penelitian tersebut terletak pada
metode yang digunakan dalam menganalisa isi cerita terkait dengan realitas sosial
kehidupan pengarangnya.
Bertolak dari berbagai penelitian-penelitian sebelumnya, maka penulis melakukan
penelitian dalam novel Sang Pemimpi dengan tinjauan Strukturalisme Genetik untuk
mengetahui unsur-unsur instrinsik, ekstrinsik serta pandangan dunia pengarang yang
melatar belakangi lahirnya Sang Pemimpi karya Andrea Hirata dan novel Yasmin karya
Diyana Millah Islami.
B. Tinjauan Teori dan Konsep
1. Teori Strukturalisme
Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban
manusia semenjak ribuan tahun yang lalu. Kehadiran sastra di tengah beradaban manusia
tidak dapat ditolak, bahkan kehadiran tersebut diterima sebagai salah satu realitas sosial
budaya (Atar, 2012: 1). Sastra lahir disebabkan dorongan dasar manusia untuk
mengungkapkan dirinya, menaruh minat terhadap realitas yang berlangsung sepanjang hari
dan sepanjang zaman (Atar, 2012: 1). Dalam dua dasawarsa belakangan ini ilmu sastra
internasional berkembang sangat cepat ke arah yang menjadikan ilmu ini sangat penting,
sehingga perlu diperhatikan oleh peneliti sastra Indonesia. Untuk itu perlu penelitian sastra
yang lebih insentif sehingga Indonesia tidak akan tertinggal baik dari segi teori sastra
maupun dari segi teori penelitian sastra.
Teori strukturalisme sastra merupakan sebuah pendekatan teori terhadap teks-teks
sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur teks. Unsur-unsur teks
secara berdiri sendiri tidaklah penting. Unsur-unsur itu hanya memperoleh artinya didalam
relasi, baik relasi sosial ataupun relasi oposisi. Relasi-relasi yang dipelajari dapat
diperkaitkan dengan mikro teks (kata, kalimat), keseluruhan yang lebih luas (bait, bab),
maupun intertekstual (karya-karya lain dari periode tertentu). Relasi lain dapat terwujud
ulangan, gradasi ataupun kontras dan parodi (Hartoko 1990 :135-136).
Strukturalisme sastra mengupayakan adanya suatu dasar yang ilmiah bagi teori
sastra, sebagaimana dituntut oleh disiplin-disiplin ilmiah lainnya. Untuk itu objek
penelitiannya, yakni karya sastra di identifikasikan sebagai suatu benda seni yang indah
karena penggunaan bahasanya yang khusus. Objek studi teori strukturalisme itu di
tempatkan dalam suatu sistem atau susunan relasi-relasi yang memudahkan hubungan-
hubungan yang ada dalam realitas yang diamati. Sistematika semacam ini berfungsi
meletakkan aksentuasi dalam cara penanganan objek kajiannya. Dengan demikian teori
strukturalisme memperkenalkan metode pemahaman karya sastra dengan langkah-langkah
seniantis (Bakker, 1992: 14).
2. Teori Strukturalisme Genetik
Genetika (dari bahasa Yunani yevvo atau genno yang berarti melahirkan) merupakan
cabang biologi yang penting saat ini. Ilmu ini mempelajari berbagai aspek yang menyangkut
pewarisan sifat dan variasi sifat pada organisme maupun suborganisme. Nama "genetika"
diperkenalkan oleh William Bateson pada suatu surat pribadi kepada Adam Chadwick dan ia
menggunakannya pada Konferensi Internasional tentang Genetika ke-3 pada tahun 1906.
Berdasarkan ilmu biologi gen adalah sifat yang diwariskan atau diturunkan dari orang tua,
sedangkan kaitannya dengan dunia sastra adalah bagaimana pengaruh genetika atau latar
belakang pengarang dalam menciptakan karya sastra.
Jabrohim (dalam Wahid, 2006 : 77) mengemukakan bahwa teori strukturalisme
genetik dikembangkan oleh seorang sosiolog Perancis, Lucian Goldmann, yang percaya
bahwa individu bukanlah mahluk bebas melainkan pendukung kelas-kelas sosial dalam
masyarakat. Interpretasi ini mampu merekontruksikan pandangan dunia pengarang.
Genetika karya sastra sering disebut asal-usul karya sastra. Adapun yang terkait dengan
karya satra adalah pengarang dan kenyataan sejarah yang turut mengkondisikan karya
sastra saat diciptakan.
Secara defenisi, Goldmann (dalam Faruk, 1999a: 13) menyatakan bahwa
strukturalisme genetik adalah teori sastra yang berkeyakinan bahwa karya sastra tidak
semata-mata merupakan struktur kategori pikiran subjek penciptanya atau subjek kolektif
tertentu yang terbangun akibat interaksi subjek dengan situasi sosial dan ekonomi tertentu.
Goldmann percaya bahwa karya sastra merupakan suatu struktur, inilah yang terkandung
dalam pengertian strukturalisme. Tetapi struktur itu bukanlah suatu yang statis, melainkan
dinamis karena merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung yang
dihayati oleh masyarakat dimana karya sastra itu berada. Sedangkan istilah genetik
mengandung pengertian bahwa karya sastra itu mempunyai asal-usulnya (genetik) di dalam
proses sejarah atau masyarakat.
Menurut Damono (2000: 37), strukturalisme genetik sebagai teori penelitian sosiologi
sastra memiliki ciri mendasar, yaitu perhatian utama strukturalisme genetik adalah
terhadap keutuhan atau totalisme lebih penting dari pada bagian-bagiannya. Totalitas dan
bagian-bagiannya dapat dijelaskan jika dipandang dari segi hubungan-hubungan yang ada
antara bagian-bagian itu. Yang menjadi telaah strukturalisme genetik adalah jaringan
hubungan yang ada antara bagian-bagian. Strukturalisme genetik tidak menelaah
strukturalisme genetik mempercayai hukum bentuk dan bukan kualitas.
Salah satu prinsip teori strukturalisme genetik bahwa untuk bisa realitas, sosiologi
harus bersifat historis. Demikian juga sebaliknya, untuk ilmiah dan realitas, peneliti sejarah
harus bersifat sosiologis. Usaha menelaah fakta-fakta kemanusiaan (teks sastra) baik dalam
strukturnya yang esensial maupun dalam kenyataannya yang konkret membutuhkan suatu
metode yang serentak yang bersifat sosiologis dan historis (Damono, 2000 : 39-40).
Struktur karya sastra memiliki hubungan yang erat dengan struktur sosial. Struktur
karya sastra adalah keseluruhan teks bahasa karya-karya (bentuk) yang memiliki arti dan
dinamis. Dikatakan dinamis karena karya sastra merupakan produk dari proses sejarah
yang terus berlangsung dan dihayati oleh masyarakat dimana karya sastra tersebut berada.
Istilah genetik merujuk pada pengertian bahwa karya sastra mempunyai asal usulnya
(genetik) di dalam proses sejarah suatu masyarakat. (Saraswati: 2003: 35).
Penelitian sastra dapat dipandang sebagai suatu disiplin ilmu yang saintifik, karena
penelitian sastra mempunyai objek yang jelas, memiliki pendekatan, metode dan kerangka
teori. Sebagai suatu bentuk karya ilmiah, penelitian sastra harus dapat dipertanggung
jawabkan mutu dan manfaatnya terhadap pengembangan ilmu sastra dan terhadap
pengembangan sastra itu sendiri.
Pengertian penelitian bagi study karya sastra di Indonesia selama ini dirasakan
sebagai suatu faktor yang sering menimbulkan persoalan. Yunus dalam Wahid (2004 : 43)
mengambil istilah “penelitian” dengan istilah “pembicaraan” untuk kegiatan studi sastra
sebagai salah satu upaya untuk menghindari masalah tersebut. Masalah ini muncul sebagai
akibat sifat-sifat sastra sendiri yang kepada tuntutan keilmiahan kegiatan studi sebagai
manifestasi dan kegiatan yang bersifat ilmu, yaitu istilah yang biasanya dipakai untuk
pengetahuan yang sistematis dan terorganisir.
Dalam penelitian, metode digunakan melalui langkah-langkah kerja yang ditetapkan
berdasarkan penelitian secara umum. Metode dan langkah-langkah penelitian harus dipilih
secara tepat sesuai dengan karakteristik objek kajiannya. Satu hal yang menarik dalam
menggunakan metode bagi penelitian sastra adalah adanya instansi, karya yang objektif,
dan terhindarnya unsur prasangka. Gejala dengan situasi ke “sastra” inilah yang sering
menuntut penelitian tersendiri.
Penelitian sastra sebagai suatu bentuk kegiatan ilmiah memerlukan landasan kerja
yang berupa teori sebagai hasil perenungan mendalam, tersistem, dan terstruktur. Teori
memperlihatkan hubungan-hubungan antar fakta yang tampaknya berbeda dan terpisah ke
dalam satu persoalan dan menginformasikan proses pertalian yang terjadi di dalam
kesatuan tersebut. Hasil penelitian tersebut memberikan umpan balik sebagai suatu
sumbangan bagi teori. Jadi, terdapat hubungan antara teori dengan penelitian yang
keduanya saling mengembangkan.
Wahid (2004: 51 – 52) mengemukakan bahwa penelitian, terutama penelitian ilmiah,
sebagai kegiatan yang sistematis dan terorganisir, memerlukan landasan kerja yang ilmiah
pula. Landasan kerja ilmiah dapat dirumuskan ke dalam tiga hal, yaitu :
a. Landasan teori, yaitu landasan yang berupa hasil perenungan terdahulu yang
berhubungan dengan masalah dalam penelitian dan bertujuan mencari jawaban secara
ilmiah.
b. Landasan metodologi, yaitu landasan yang berupa tata aturan kerja dalam penelitian
dan bertujuan untuk membuktikan jawaban teoritis yang dihasilkan oleh landasan.
c. Landasan kecendekiaan, yaitu bekal kemampuan membaca menganalisa,
menginterpretasi dan menyimpulkan. Landasan kerja ini bertujuan mempertajam
penelitian kegiatan yang selanjutnya akan meningkatkan kekuatan hasil penelitian.
Strukturalisme genetik sebagai sebuah metode ilmiah penelitian sastra juga
berlandaskan kegiatan penelitian pada landasan tersebut. Secara sederhana penelitian
pada metode strukturalisme genetik yang dapat diformulasikan sebagai berikut: Pertama,
penelitian harus dimulakan pada kajian unsur instrinsik sastra, baik secara parsial maupun
dalam jalinan keseluruhannya. Kedua, mengkaji latar belakang kehidupan sosial kelompok
pengarang karena ia merupakan bagian dari komunikasi kelompok tertentu. Ketiga,
mengkaji latar belakang sosial dan sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra saat
diciptakan oleh pengarang. Dari ketiga langkah tersebut, akan diperoleh abstraksi
pandangan dunia pengarang dan yang diperjuangkan oleh tokoh problematik. Lebih lanjut
beliau memperjelas bahwa kita dapat mengikuti langkah yang ditawarkan oleh Laurenson
dan Swingewood yang disetujui oleh Goldmann. Adapun langkah-langkahnya sebagai
berikut :
Pertama, penelitian sastra itu dapat kita ikuti sendiri. Mula-mula sastra diteliti
strukturnya untuk membuktikan jaringan bagian-bagiannya sehingga terjadi keseluruhan
yang padu dan holistik.
Kedua, penghubung dengan sosial budaya. Unsur-unsur kesatuan karya sastra
dihubungkan dengan sosial budaya dan sejarahnya, kemudian dihubungkan dengan struktur
mental yang berhubungan dengan pandangan dunia pengarang.
Selanjutnya, dikatakan bahwa untuk mencapai solusi atau kesimpulan digunakan
metode induktif, yaitu metode pencarian kesimpulan dengan jalan melihat premis-premis
yang sifatnya spesifik untuk selanjutnya mencari premis general.
3. Konsep Pandangan Dunia
Goldman dalam teori strukturalism genetik mengembangkan konsep pandangan dunia
(vision du monde world vision) yang mewujud dalam semua karya sastra dan filsafat yang
besar. Pandangan dunia yang mencoba menangkap maknanya, dengan segala kerumitan
dan keutuhannya. Pandangan dunia merupakan struktur gagasan aspirasi, dan perasaan
yang dapat menyatukan suatu kelompok sosial lain. Pandangan dunia merupakan bentuk
kesadaran kelompok yang menyatukan individu-individu menjadi kelompok yang memiliki
identitas kolektif. Pandangan dunia bukan hanya ekspresi kelas atau kelompok sosial, tetapi
juga kelas atau kelompok sosial. Seorang pengarang adalah kelas dan kelompok sosial.
Melalui kelompok sosialnya, ia berhubungan dengan perubahan sosial dan politik yang
besar. Perubahan sosial dan politik adalah ekspresi antagonis kelas dan memengaruhi
kesadaran kelas. Dengan demikian, pandangan dunia adalah ekspresi teoritas dari suatu
kelas pada saat-saat bersejarah tertentu pengarang filsuf, dan seniman menampilkan
pandangan dunia tersebut dalam karya-karyanya (Damono, 2000: 40-41).
Dalam konsep pandangan dunia, Goldmann menyatakan bahwa karya sastra atau
novel mencerminkan realitas. Tidak dengan melukiskan wajah yang hanya pencerminan
realitas, tidak dengan melukiskan wajah yang hanya tampak pada permukaan, tetapi
dengan memberikan kepada pembaca sebuah pencerminan realitas sendiri, dan yang
merupakan bentuk khusus relitas karya sastra hasil aktivitas yang objeknya sekaligus alam
semesta dan kelompok manusia.
Goldmann (dalam Faruk, 1999a: 16) menyatakan bahwa pandangan dunia merupakan
istilah yang cocok bagi kompleks menyeluruh gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan
perasaan-perasaan yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu
kelompok sosial mempertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial yang lain.
Sebagai suatu kesadaran kolektif, pandangan dunia itu berkembang sebagai hasil dari
situasi sosial ekonomi tertentu yang dihadapi oleh subjek yang memilikinya.
Pengarang merupakan individu yang memiliki sikap tertentu. Individu adalah posisi-
posisi dalam masyarakat. Mental trans individual, milik kelompok-kelompok atau kelas-kelas
khusus pandangan dunia secara terus menerus dibangun dan dihancurkan oleh masyarakat
karena mereka menyelesaikan citraan mental mereka atas dunia sebagai jawaban terhadap
realitas yang berubah didepan mereka. Citraan mental ini tak dapat didefinisikan dengan
baik dan tidak sepenuhnya terwujud dalam kesadaran anggota masyarakat, tetapi penulis-
penulis besar mampu mengkristalisasikan pandangan dunia itu dalam sebuah bentuk yang
koheren (Selden, 1996 : 37-38).
4. Teori Novel
a. Novel sebagai karya Sastra
Novel berasal dari bahasa Italia, novella. Secara harfiah novella berarti sebuah kabar
baru yang kecil. Kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa (Abraham,
dalam Nurgiantoro, 2005: 9). Novel sebagai satu jenis kesusastraan merupakan karya
panjang yang sifatnya kompleks dan unsur-unsur utamanya seperti tema, plot, latar,
perwatakan, amanat, dan sudut pandang.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional, 1997:
694) dikatakan bahwa novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian
cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang disekeliling dengan menonjolkan watak
dan sifat pelaku. Novel bercirikan sebagai berikut :
1). Mengandung sejumlah tokoh yang terdiri dari tokoh utama, dan tokoh figuran,
lengkap dengan perwatakannya.
2). Mengandung serangkaian peristiwa yang terkait dalam jalinan alur.
3). Mengandung latar tempat para tokoh bermain dan yang melatarbelakangi tokoh-tokoh
itu.
4). Mengandung unsur konflik/pertikaian antara tokoh-tokohnya. (Eddy, dalam Syukroni,
2010).
b. Jenis-Jenis Novel
Menurut hasil penelitian Hamsidar, novel dapat di bagi menjadi tiga golongan besar,
yakni:
1. Novel percintaan yaitu novel yang melibatkan tokoh wanita dan pria secara seimbang
bahkan kadang-kadang para wanita yang dominan pelakunya.
2. Novel petualangan yaitu novel yang hanya didominasi oleh kaum pria karena tokoh pria
dengan sendirinya akan melibatkan banyak masalah lelaki yang tidak ada hubungan
dengan wanita. Meskipun dalam jenis novel petualangan sering ada percintaan juga.
Namun hanya bersifat sampingan belaka, artinya novel ini semata-mata berbicara
tentang petualangan saja.
3. Novel fantasi/hiburan yaitu: novel yang hanya membicarakan tentang hal-hal yang tidak
realitas dan serba tidak mungkin dilihat dari pengamatan sehari-hari. Novel ini hanya
mempergunakan karakter yang tidak realistis, setting dan plot yang juga tidak wajar
untuk menyampaikan ide-ide penulisnya. Adapun ciri-ciri dari novel hiburan yaitu:
a. Dibaca untuk kepentingan semata-mata
b. Berfungsi personal untuk hiburan sendiri saja
c. Dibaca sekali saja (novel sekali baca atau throw away novel)
d. Isinya hanya kenyataan semu atau fantasi pengarang saja
e. Tidak di ulas oleh para kritikus sastra. Karena selain dianggap kurang penting bagi
kesusastraan, juga lantaran jumlahnya sangat banyak.
Pengggolongan di atas merupakan penggolongan pokok saja, sehingga dalam
praktiknya setiap jenis novel tersebut sering dijumpai dalam suatu novel. Penggolongan
jenis novel ini dengan sendirinya hanya dapat dilakukan dengan melihat kecenderungan
mana yang terdapat dalam sebuah novel. Apakah lebih banyak percintaan,
petualangan, atau fantasi/hiburan.
c. Unsur yang Membangun Novel
Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam definisi novel bahwa di dalam
pengertian novel ada beberapa unsur yang membangun. Pada hakikatnya novel
dibangun oleh dua unsur yaitu:
1. Unsur dalam (intrinsik) yaitu: unsur yang membentuk fiksi tersebut seperti
tokoh/penokohan, tema, amanat, alur/plot, latar (setting), dan sudut pandang.
a. Tokoh/Penokohan.
Tokoh adalah pelaku yang dikisahkan pemain dalam cerita. Tokoh dalam
sebuah novel bisa berupa tokoh jahat atau tokoh baik. Sedangkan penokohan
adalah sifat, watak atau kaakter yang dimiliki oleh para tokoh di dalam cerita.
Penggambaran penokohan dapat berupa uraian langsung dan tidak langsung.
Contoh : baik, sombong, jujur, dan sebagainya. Tokoh adalah individu rekaan yang
beraksi atau mengalami berbagai bentuk peristiwa dalam cerita, baik peristiwa fisik
maupun peristiwa yang bersifat batiniah. Untuk memahami karya sastra biasanya
kita gali melalui strukturnya, dan melalui tokohnya akan kita pahami karya sastra itu
secara menyeluruh. Alur dan tokoh merupakan antar ketergantungan; tokoh adalah
penentu peristiwa sedangkan peristiwa itu sendiri memberikan gambaran tentang
tokoh.
Tokoh dalam karya sastra adalah manusia yang ditampilkan oleh melalui apa
yang mereka katakan atau apa yang mereka lakukan. Tokoh dalam sebuah cerita
biasanya manusia; hewan-hewan pun pernah diperkenalkan tetapi dengan tingkat
keberhasilan yang terbatas karena tidak banyak dipahami menyangkut masalah
psikologinya.
Fiksi merupakan salah satu bentuk narasi yang memiliki sifat bercerita; yang
diceritakan adalah manusia dengan segala kemungkinannya. Oleh sebab itu, ciri
utama yang membedakan antara narasi dengan deskripsi adalah aksi atau tindak
tanduk, atau perilaku. Tanpa perilaku maka karya tersebut akan berubah menjadi
deskripsi dengan paparan yang statis. Karena tokoh-tokoh itu rekaan pengarang,
maka hanya pengaranglah yang ”mengenal” mereka. Untuk sikap batinnya agar
dapat dipahami. Yang dimaksud dengan watak disini adalah kualitas tokoh, kualitas
nalar dan jiwanya yang membedakannya dengan tokoh lain. Tokoh dalam sebuah
cerita biasanya manusia, hewan-hewan pun pernah diperkenalkan tetapi dengan
tingkat keberhasilan yang terbatas karena tidak banyak dipahami menyangkut
masalah psikologinya. Foster (dalam Tang, 2008: 66). Watak sering disamakan
dengan karakter. Karakter adalah sifat bathin manusia yang mempengaruhi segenap
pikiran dan persaannya.
Menurut Boulton (dalam Aminuddin, 1975: 79) bahwa cara pengarang
menggambarkan atau memunculkan tokohnya itu dapat berbagai macam. Mungkin
pengarang menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hanya hidup di alam mimpi,
pelaku yang memiliki semangat perjuangan dalam mempertahankan hidupnya,
pelaku yang memiliki watak yang baik dan pelaku antagonis yaitu pelaku yang
memiliki watak yang jahat.
b. Tema
Tema adalah ide yang mendasari sebuah cerita. Untuk mencari tema sebuah
novel, pembaca harus membaca secara seksama cerita dengan cara membaca dari
awal sampai akhir. Setelah itu, temukan masalah yang paling dominan dalam cerita
tersebut. Tema adalah persoalan pokok yang menjadi pikiran pengarang, di
dalamnya terbayang pandangan hidup dan cita-cita pengarang.
Tema dalam sebuah cerita merupakan hal yang fundamental. Keberadaanya
tentu wajib. Adalah hal yang mustahil jika tak ada tema khusus dalam cerita
termasuk dalam bentuk novel. Dengan adanya tema cerita yang jelas, maka penulis
akan terhindari dari unsur-unsur yang tak perlu. Hal ini yang menjadikan tema cerita
sering disebut kompas cerita, sebab ia akan menentukan ke mana arah cerita
tersebut. Ada beragam tema yang bisa dipilih jika hendak menulis novel, misalnya
saja tema percintaan, keluarga, pendidikan dan lain-lain. Uniknya, dalam sebuah
cerita dimungkinkan terdapat percampuran tema. Misalnya saja kisah cinta berbalut
unsur pendidikan. Meski demikian, penulis yang baik pasti akan menentukan tema
utama ceritanya. Dengan demikian, ia akan fokus pada hal tersebut. Tema adalah
masalah yang menjadi pokok pembicaraan atau menjadi inti pokok persoalan yang
menguasai pikiran pengarang sehingga mempengaruhi semua unsur cerita (Semi,
1989: 42).
c. Amanat
Amanat adalah pesan yang terkadung dalam sebuah cerita. Amanat dalam
novel pada umumnya disampaikan pengarang kepada pembaca melalui dua cara,
yaitu secara tersurat (dapat dilihat langsung) dan tersirat (dipahami dari balik cerita).
Amanat mencakup pesan yang disampaikan novel tersebut. Sebagai sebuah karya
yang baik, novel harus bisa merubah sudut pandang pembacanya menjadi lebih
positif. Pesan tersebut bisa disampaikan secara langsung atapun tersirat dari apa
yang dialami para tokoh dalam kisah tersebut. Amanat yang terdapat dalam karya
sastra tertuang secara implisit. Secara implisit yaitu jika jalan keluar atau ajaran
moral itu disiratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir. Sudjiman
(1984:35)
Amanat secara eksplisit yaitu jika pengarang pada tengah atau akhir cerita
menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran, larangan dan
sebagainya, berkenaan dengan gagasan yang mendasari cerita itu.
d. Alur (plot)
Alur adalah rangkaian peristiwa yang saling berhubungan di dalam sebuah
cerita. Bila kita berpandangan bahwa karya sastra adalah sebuah struktur, maka plot
atau alur harus mempunyai suatu keutuhan (wholeness). Oleh karena itu, jalinan
berbagai unsur atau berbagai peristiwa sebaiknya dianalisis fungsinya dalam
kerangka keutuhan plotnya. Kaum formalis berpandangan bahwa plot (sujet) adalah
penyajian motif-motif yang telah disusun secara artistik dengan urutan peristiwa yang
terjalin dalam hubungan sebab-akibat.
Sebuah cerita sesungguhnya suatu narasi dari peristiwa-peristiwa yang
disusun secara kronologis (time-sequence); dengan kata lain, cerita adalah suatu
rantai motif-motif dalam urutan kronologis atau dalam hubungan waktu. Sedangkan
alur merupakan suatu narasi dari berbagai peristiwa, akan tetapi dengan penekanan
pada penyebabnya.
Djunaedie (dalam Yuliani, 2000: 8) mengemukakan bahwa alur adalah
rangkaian peristiwa yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk satu
kesatuan yang utuh. Hubungan unsur cerita yang satu dengan peristiwa lain bersifat
logis, juga mengandung hubungan kualitas, yaitu peristiwa yang satu menjadi
penyebab timbulnya peristiwa yang lain. Sedangkan menurut Atmaja (1993: 38),
cara menentukan alur cerita dilakukan dengan menguji sebab akibat peristiwa pokok.
Sebab alur cerita adalah sambung-menyambung peristiwa berdasarkan hubungan
sebab akibat.
e. Latar (Setting)
Latar adalah unsur yang merujuk pada tempat, waktu dan suasana yang
melatarbelakangi peristiwa dalam cerita terjadi. Latar dibedakan menjadi tiga, yaitu
1) latar tempat, 2) latar waktu, dan 3) latar suasana.
Cerita selalu terjadi dalam sebuah rentang waktu dan pada suatu tempat tertentu.
Keterkaitan mutlak antar sebuah peristiwa dengan waktu dan tempat tertentu,
merupakan sebuah gejala alamiah, tidak satupun mahkluk atau apa pun juga
namanya, bergerak dalam kehampaan, berbagai keterangan baik berupa petunjuk
yang berhubungan. Dengan tempat atau ruang, atau yang berkaitan waktu dan
suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra, semua turut membangun
latar cerita.
Dalam sebuah cerita (narasi) merupakan latar belakang di mana para pelaku
menjalani kehidupan mereka. Pada novel tertentu latar merupakan unsur tersebut
tidak penting. Latar tempat memiliki pengaruh yang demikian kuat terhadap
personalitas/pribadi, aksi/tindakan, dan cara berpikir para tokohnya.
Menurut Aminuddin (1975: 65), latar adalah peristiwa dalam karya fiksi, baik
berupa tempat, waktu, mampu peristiwa, serta memiliki fungsi fiskal dan fungsi
psikologis. Latar dalam karya fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa,
suasana, serta benda-benda dalam lingkungan tertentu, melainkan juga berupa
suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran prasangka, maupun gaya
hidup suatu masyarakat dalam menanggap suatu problema tertentu.
f. Sudut Pandang (Point Of View)
Menurut Brooks (dalam Tang, 2008: 71), penggunaan satu istilah dalam
makna cukup membingungkan. Karena itu, disarankan agar point of view digunakan
untuk menyatakan gagasan atau sikap batin pengarang di jelamaan dalam karya
sastranya. Sudut pandang adalah cara pengarang dalam menyajikan peristiwa dan
tokoh-tokoh yang ada dalam sebuah cerita. Sudut pandang berkaitan dengan gaya
pengisahan seorang pengarang terhadap ceritanya. Sudut pandang ada dua, yaitu
sudut pandang orang pertama “aku” dan sudut pandang orang ketiga “dia”.
Kalau kita berbicara tentang siapa yang mengamati peristiwa dan
menyampaikan cerita, sebaiknya di gunakan istilah fokus pengisahan atau Focus of
narration. Sudut pandang bertautan dengan pengarang yang bertalian dengan
pendidikannya, keadaan sosialnya, moral masyarakat ketika karya diciptakan,
pendeknya dengan hal-hal di luar karya sastra itu sendiri. Ada pun mengenai focus
or narration, hal ini bertautan dengan pencerita dan kisahannya.
Brook kemudian membedakan empat perwujudan fokus pengisahan, yaitu: 1)
tokoh utama menyampaikan kisah diri. Jadi, kisahan oleh tokoh utama dengan
sorotan pada tokoh utama pula; 2) tokoh bawahan menyampaikan kisah tentang
tokoh utama; jadi, kisahan oleh tokoh bawahan dengan sorotan pada tokoh utama;
3) pengarang pengamat (observer-author) menyampaikan kisah; sorotan terutama
pada tokoh utama; 4) pengarang serba tahu (ommniscient author) menyampaikan
kisah dari segala sudut, sorotan utama pada tokoh utama. Brooks (dalam Tang,
2008: 72).
Sehubungan dengan masalah sudut pandang tersebut, dapat dikatakan
bahwa pencerita menyampaikan dari sudut pandangannya sendiri. Pencerita yang
berbeda memiliki sudut pandang yang berbeda pula, dan sudut pandang yang
berbeda itu biasanya melahirkan versi cerita yang berbeda pula.
2. Unsur Luar (Ekstrinsik)
Unsur ekstrinsik novel adalah unsur yang berada diluar cerita yang ikut
mempengaruhi kehadiran karya tersebut atau unsur penting yang berada di luar wilayah
novel tersebut. Meski merupakan bagian yang terpisah dalam sebuah kisah, namun
unsur ekstrinsik ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap cerita yang ditulis.
Berbeda pula dengan unsur intrinsik yang mutlak ada, unsur ekstrinsik jauh lebih
fleksibel. Bisa ada dan bisa pula tidak ada. Ada banyak hal yang tercakup dalam unsur
ekstrinsik novel. Bisa saja latar belakang kehidupan sang penulis, tempat di mana ia
tumbuh, kondisi sosial juga budaya, konflik ekonomi, waktu atau timing novel tersebut
diciptakan dan masih banyak lagi lainnya. Analisis aspek unsur ekstrinsik ialah analisis
karya sastra itu sendiri dari segi isinya, dan sepanjang mungkin melihat kaitannya
dengan kenyataan-kenyataan di luar karya sastra itu sendiri (Sugiarti, 2002: 22). Aspek
ekstrinsik terdiri dari aspek sosial, budaya, ekonomi, agama, maupun pendidikan.
d. Nilai Pendidikan dalam Novel
Sastra merupakan wujud gagasan seseorang melalui pandangan terhadap lingkungan
sosial yang berada di sekelilingnya dengan menggunakan bahasa yang indah. Sastra hadir
sebagai hasil perenungan pengarang terhadap fenomena yang ada. Sastra sebagai karya
fiksi memiliki pemahaman yang lebih mendalam, bukan hanya sekadar cerita khayal atau
angan dari pengarang saja, melainkan wujud dari kreativitas pengarang dalam menggali dan
mengolah gagasan yang ada dalam pikirannya.
Suatu karya sastra yang baik adalah yang langsung memberi didikan kepada pembaca
tentang budi pekerti dan nilai-nilai moral, sesungguhnya hal ini telah menyimpang dari
hukum-hukum karya sastra sebagai karya seni dan menjadikan karya sastra sebagai alat
pendidikan yang langsung sedangkan nilai seninya dijadikan atau dijatuhkan nomor dua.
Begitulah paham pertama dalam penilaian karya sastra yang secara tidak langsung
disimpulkan dari corak-corak roman Indonesia yang mula-mula, ialah memberi pendidikan
dan nasihat kepada pembaca.
Sastra dan tata nilai merupakan dua fenomena sosial yang saling melengkapi dalam hakikat
mereka sebagai sesuatu yang eksistensial. Sastra sebagai produk kehidupan, mengandung
nilai-nilai sosial, filsafat, religi, dan sebagainya baik yang bertolak dari pengungkapan
kembali maupun yang mempunyai penyodoran konsep baru (Suyitno, 1986: 3). Sastra tidak
hanya memasuki ruang serta nilai-nilai kehidupan personal, tetapi juga nilai-nilai kehidupan
manusia dalam arti total.
Lasyo (dalam Setiadi 2006: 117) menyatakan, nilai manusia merupakan landasan
atau motivasi dalam segala tingkah laku atau perbuatannya. Sejalan dengan Lasyo,
Darmodiharjo (dalam Setiadi, 2006: 117) mengungkapkan nilai merupakan sesuatu yang
berguna bagi manusia baik jasmani maupun rohani. Sedangkan Soekanto (1983: 161)
menyatakan, nilai-nilai merupakan abstraksi daripada pengalaman-pengalaman pribadi
seseorang dengan sesamanya. Pada hakikatnya, nilai yang tertinggi selalu berujung pada
nilai yang terdalam dan terabstrak bagi manusia, yaitu menyangkut tentang hal-hal yang
bersifat hakiki. Dari beberapa pendapat tersebut di atas pengertian nilai dapat disimpulkan
sebagai sesuatu yang bernilai, berharga, bermutu, akan menunjukkan suatu kualitas dan
akan berguna bagi kehidupan manusia.
Segala sesuatu yang digunakan untuk mendidik harus yang mengandung nilai didik,
termasuk dalam pemilihan media. Novel sebagai suatu karya sastra, yang merupakan karya
seni juga memerlukan pertimbangan dan penilaian tentang seninya (Pradopo, 2005: 30).
Pendidikan pada hakikatnya merupakan upaya membantu peserta didik untuk menyadari
nilai-nilai yang dimilikinya dan berupaya memfasilitasi mereka agar terbuka wawasan dan
perasaannya untuk memiliki dan meyakini nilai yang lebih hakiki, lebih tahan lama, dan
merupakan kebenaran yang dihormati dan diyakini secara sahih sebagai manusia yang
beradab (Setiadi, 2006: 114). Nilai-nilai pendidikan dapat ditangkap manusia melalui
berbagai hal diantaranya melalui pemahaman dan penikmatan sebuah karya sastra. Sastra
khususnya humaniora sangat berperan penting sebagai media dalam pentransformasian
sebuah nilai termasuk halnya nilai pendidik
Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang banyak memberikan
penjelasan secara jelas tentang sistem nilai. Nilai itu mengungkapkan perbuatan apa yang
dipuji dan dicela, pandangan hidup mana yang dianut dan dijauhi, dan hal apa saja yang
dijunjung tinggi. Adapun nilai-nilai pendidikan dalam novel sebagai berikut.
a. Nilai Pendidikan Religius
Religi merupakan suatu kesadaran yang menggejala secara mendalam dalam
lubuk hati manusia sebagai human natur. Religi tidak hanya menyangkut segi kehidupan
secara lahiriah melainkan juga menyangkut keseluruhan diri pribadi manusia secara total
dalam integrasinya hubungan ke dalam keesaan Tuhan (Rosyadi, 1995: 90). Nilai-nilai
religius bertujuan untuk mendidik agar manusia lebih baik menurut tuntunan agama dan
selalu ingat kepada Tuhan. Nilai-nilai religius yang terkandung dalam karya sastra
dimaksudkan agar penikmat karya tersebut mendapatkan renungan-renungan batin dalam
kehidupan yang bersumber pada nilai-nilai agama. Nilai-nilai religius dalam sastra bersifat
individual dan personal.
Kehadiran unsur religi dalam sastra adalah sebuah keberadaan sastra itu sendiri
(Nurgiyantoro, 2005: 326). Semi (1993: 21) menyatakan, agama merupakan kunci sejarah,
kita baru memahami jiwa suatu masyarakat bila kita memahami agamanya. Semi (1993: 21)
juga menambahkan, kita tidak mengerti hasil-hasil kebudayaanya, kecuali bila kita paham
akan kepercayaan atau agama yang mengilhaminya. Religi lebih pada hati, nurani, dan
pribadi manusia itu sendiri. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa Nilai
religius yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak serta bersumber pada
kepercayaan atau keyakinan manusia.
b. Nilai Pendidikan Moral
Moral merupakan sesuatu yang igin disampaikan pengarang kepada pembaca,
merupakan makna yang terkandung dalam karya sastra, makna yang disaratkan lewat
cerita. Moral dapat dipandang sebagai tema dalam bentuk yang sederhana, tetapi tidak
semua tema merupakan moral (Kenny dalam Nurgiyantoro, 2005: 320). Moral merupakan
pandangan pengarang tentang nilai-nilai kebenaran dan pandangan itu yang ingin
disampaikan kepada pembaca. (Hasbullah 2005: 194) menyatakan bahwa, moral
merupakan kemampuan seseorang membedakan antara yang baik dan yang buruk. Nilai
moral yang terkandung dalam karya sastra bertujuan untuk mendidik manusia agar
mengenal nilai-nilai etika merupakan nilai baik buruk suatu perbuatan, apa yang harus
dihindari, dan apa yang harus dikerjakan, sehingga tercipta suatu tatanan hubungan
manusia dalam masyarakat yang dianggap baik, serasi, dan bermanfaat bagi orang itu,
masyarakat, lingkungan, dan alam sekitar. Uzey (2009: 2) berpendapat bahwa nilai moral
adalah suatu bagian dari nilai, yaitu nilai yang menangani kelakuan baik atau buruk dari
manusia. Moral selalu berhubungan dengan nilai, tetapi tidak semua nilai adalah nilai moral.
Moral berhubungan dengan kelakuan atau tindakan manusia. Nilai moral inilah yang lebih
terkait dengan tingkah laku kehidupan kita sehari-hari.
Dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan moral menunjukkan peraturan-peraturan
tingkah laku dan adat istiadat dari seorang individu dari suatu kelompok yang meliputi
perilaku. Untuk karya menjunjung tinggi budi pekerti dan nilai susila.
c. Nilai Pendidikan Sosial
Kata “sosial” berarti hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat/ kepentingan
umum. Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara
hidup sosial. Perilaku sosial berupa sikap seseorang terhadap peristiwa yang terjadi di
sekitarnya yang ada hubungannya dengan orang lain, cara berpikir, dan hubungan sosial
bermasyarakat antar individu. Nilai sosial yang ada dalam karya sastra dapat dilihat dari
cerminan kehidupan masyarakat yang diinterpretasikan (Rosyadi, 1995: 80). Nilai
pendidikan sosial akan menjadikan manusia sadar akan pentingnya kehidupan berkelompok
dalam ikatan kekeluargaan antara satu individu dengan individu lainnya.
Nilai sosial mengacu pada hubungan individu dengan individu yang lain dalam
sebuah masyarakat. Bagaimana seseorang harus bersikap, bagaimana cara mereka
menyelesaikan masalah, dan menghadapi situasi tertentu juga termasuk dalam nilai sosial.
Dalam masyarakat Indonesia yang sangat beraneka ragam coraknya, pengendalian diri
adalah sesuatu yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan masyarakat.
Sejalan dengan tersebut nilai sosial dapat diartikan sebagai landasan bagi
masyarakat untuk merumuskan apa yang benar dan penting, memiliki ciri-ciri tersendiri, dan
berperan penting untuk mendorong dan mengarahkan individu agar berbuat sesuai norma
yang berlaku. Uzey (2009: 7) juga berpendapat bahwa nilai sosial mengacu pada
pertimbangan terhadap suatu tindakan benda, cara untuk mengambil keputusan apakah
sesuatu yang bernilai itu memiliki kebenaran, keindahan, dan nilai ketuhanan. Jadi nilai
sosial dapat disimpulkan sebagai kumpulan sikap dan perasaan yang diwujudkan melalui
perilaku yang mempengaruhi perilaku seseorang yang memiliki nilai tersebut. Nilai sosial
merupakan sikap-sikap dan perasaan yang diterima secara luas oleh masyarakat dan
merupakan dasar untuk merumuskan apa yang benar dan apa yang penting.
d. Nilai Pendidikan Budaya
Nilai-nilai budaya menurut Rosyadi (1995:74) merupakan sesuatu yang dianggap
baik dan berharga oleh suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa yang belum tentu
dipandang baik pula oleh kelompok masyarakat atau suku bangsa lain sebab nolai budaya
membatasi dan memberikan karakteristik pada sutu masyarakat dan kebudayaannya.
Nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat, hidup dan berakar
dalam alam pikiran masyarakat, dan sukar diganti dengan nilai budaya lain dalam waktu
singkat. Uzey (2009: 1) berpendapat mengenai pemahaman tentang nilai budaya dalam
kehidupan manusia diperoleh karena manusia memaknai ruang dan waktu. Makna itu akan
bersifat intersubyektif karena ditumbuh-kembangkan secara individual, namun dihayati
secara bersama, diterima, dan disetujui oleh masyarakat hingga menjadi latar budaya yang
terpadu bagi fenomena yang digambarkan.
Sistem nilai budaya merupakan inti kebudayaan, sebagai intinya akan
mempengaruhi dan menata elemen-elemen yang berada pada struktur permukaan dari
kehidupan manusia yang meliputi perilaku sebagai kesatuan gejala dan benda-benda
sebagai kesatuan material. Sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup
dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka
anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sisitem nilai budaya biasanya berfungsi
sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Dapat disimpulkan dari pendapat
tersebut sistem nilai budaya menempatkan pada posisi sentral dan penting dalam kerangka
suatu kebudayaan yang sifatnya abstrak dan hanya dapat diungkapkan atau dinyatakan
melalui pengamatan pada gejala-gejala yang lebih nyata seperti tingkah laku dan benda-
benda material sebagai hasil dari penuangan konsep-konsep nilai melalui tindakan berpola.
Adapun nilai-nilai budaya yang terkandung dalam novel dapat diketahui melalui penelaahan
terhadap karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh dalam cerita.
C. Kerangka Pikir
Sebagai karya yang imajinatif sastra khususnya novel selalu membawa kesan dan
pesan untuk pembaca. Telah disinggung bahwa novel merupakan bagian karya sastra, yang
menceritakan salah satu segi kehidupan sang tokoh yang benar-benar istimewah bahkan
sangat dramatis yang kadang mengakibatkan terjadinya perubahan nasib. Baik dari segi
cintanya, perjuangan hidupnya, pandangannya melihat kehidupan, maupun ketamakannya,
dan lain-lain. Novel Sang Pemimpi dan novel Yasmin di bangun oleh unsur intrinsik dan
ekstinsik. Unsur intrinsik terdiri atas tema, alur/plot, latar/setting, penokohan/perwatakan,
amanat dan sudut pandang. Adapun unsur ekstrinsik terdiri dari aspek sosiologis, ekonomi,
politik, psikologis, budaya, moral, pendidikan dan agama.
Mengingat novel ini dilatarbelakangi oleh berbagai masalah genetika sastra,
diantaranya struktur intrinsik (tema, alur/plot, latar/setting, penokohan/perawatakan, amanat
dan sudut pandang), kondisi eksternal karya sastra, serta pandangan dunia pengarang.
Maka pendekatan yang digunakan untuk menganalisis data dan memperoleh gambaran
tentang genetika karya sastra yang terkandung dalam novel Andrea Hirata yang berjudul
“Sang Pemimpi” dan novel Diyana Millah Islami yang berjudul Yasmin, adalah pendekatan
genetik. Pendekatan genetik adalah pendekatan yang memandang karya sastra yang tidak
berdiri secara otonom, melainkan berhubungan dengan relasi sosial kehidupan seorang
pengarang terlibat dalam aktivitas kehidupan nyata. Pendekatan ini berusaha memahami
karya sastra berdasarkan asal-usul karya sastra lahir dan dilahirkan. Adapun yang terkait
dengan karya sastra adalah pengarang dan kenyataan sejarah yang turut mengkondisikan
karya sastra saat diciptakan.
Untuk mengetahui novel tersebut mempunyai relevansi dengan keadaan masyarakat
dewasa ini, peneliti mengaitkan antara makna novel dengan indikator yang telah ditentukan.
Indikator tersebut adalah hal yang berhubungan dengan problem yang terjadi dalam
masyarakat. Timbulnya problem tersebut disebabkan oleh hal-hal yang menjadi relasi sosial
yang timpang dalam struktur masyarakat.
BAGAN KERANGKA PIKIR
G
Gambar 2.1
Karya Sastra
Novel
Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata dan Yasmin Karya Diyana Millah Islami
Strukturalisme Genetik
Faktor Intrinsik Pandangan Sosial Kelompok
Faktor Ekstrinsik
Temuan Analisis
1. Latar Belakang Sosial Pengarang
2. Sosial Budaya
1. Moral
2. Sosial
3. Adat Istiadat
4. Agama
1.Tokoh/Penokohan
2. Tema
3. Amanat
4. Alur (Plot)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam mengkaji novel Sang Pemimpi dan Yasmin
adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Pengkajian jenis ini bertujuan mengungkapkan data
sebagai media informasi kualitatif dengan pendeskripsian yang teliti dan penuh nuansa
untuk menggambarkan secara cermat sifat-sifat suatu hal (indikator, atau kelompok),
keadaan, fenomena dan tidak terbatas pada pengumpulan data meliputi analisis interpretasi
(Ratna, 2004 : 8-10). Pengkajian deskriptif menyarankan pengkajian yang dilakukan semata-
mata hanya berdasarkan pada fakta atau fenomena yang memang secara empiris hidup
pada penuturnya (sastrawan). Artinya yang dicatat dan dianalisis adalah unsur-unsur.
Dalam mengkaji novel Sang Pemimpi dan Yasmin, digunakan pendekatan penelitian
deskripsi kualitatif. Metode penelitian deskriptif kualitatif artinya yang dianalisis dan hasil
analisisnya berbentuk deskripsi, tidak berupa angka-angka atau koefesien tentang
hubungan variabel (Endraswara, 2003: 101).
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Yang di gunakan dalam penelitian ini adalah dokumen yaitu novel yang
berjudul Sang Pemimpi karya Andrea Hirata dan novel Yasmin karya Diyana Millah
Islami, dan studi pustaka yang mencoba sejumlah buku dan tulisan yang relevan
terhadap objek kajian.
Penelitian terhadap novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata dan novel
Yasmin karya Diyana Millah Islami, dilakukan selama tiga bulan, mulai tanggal 6
April sampai dengan tanggal 8 Juni 2014.
C. Unit Analisis dan Penentuan Informan
Unit analisis pada hakikatnya merupakan strategi yang mengatur ruang atau teknis
penelitian agar memperoleh data maupun kesimpulan penelitian. Menurut jenisnya,
penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan metode content analysis atau
analisis isi. Penelitian ini mendeskripsikan atau menggambarkan apa yang menjadi
masalah, kemudian menganalisis dan menafsirkan data yang ada. Metode content analysis
atau analisis isi yang digunakan untuk menelaah isi dari suatu dokumen, dalam penelitian
ini dokumen yang dimaksud adalah novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata dan novel
Yasmin karya Diyana Millah Islami. Oleh karena itu, dalam penyusunan desain harus
dirancang berdasarkan pada prinsip metode deskriptif kualitatif, yang mengumpulkan,
mengolah, mereduksi, menganalisis dan menyajikan data secara objektif atau sesuai
dengan kenyataan yang ada di lapangan untuk memperoleh data. Untuk itu, peneliti
menawarkan desain penelitian sebagai berikut :
Pertama, penelitian sastra itu dapat kita ikuti sendiri. Mula-mula sastra diteliti
strukturnya untuk membuktikan jaringan bagian-bagian sehingga terjadi keseluruhan yang
padu dan holistik.
Kedua, penghubungan dengan sosial budaya. Unsur-unsur kesatuan karya sastra
dihubungkan dengan sosio budaya dan sejarahnya, kemudian dihubungkan dengan struktur
mental yang berhubungan dengan pandangan dunia pengarang.
Selajutnya, untuk mencapai solusi atau kesimpulan dengan jalan melihat premis-
premis yang sifatnya spesifik untuk selanjutnya mencari premis general.
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam pengkajian Strukturalisme
Genetik pada novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata dan Yasmin karya Diyana Millah
Islami adalah pengkajian karya ditinjau dari struktural genetik yang akan melihat karya
sastra berdasarkan unsur intrinsik, unsur ekstrinsik dan pandangan sosial kelompok
terhadap keterhubungan dengan nilai sosial. Kelima varian ini akan menunjukkan vision du
monde (pandangan dunia) seperti yang akan diintroduksi Lucian Goldmann. Pandangan
dunia yang terdapat dalam teks “Sang Pemimpi” dan “Yasmin” akan ditelusuri melalui
interaksi teks pengarang dan teks pembaca. Arah atau penekanan dalam penelitian ini
adalah interpretasi nilai sosial dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata dan novel
Yasmin karya Diyana Millah Islami, urutan analisis sebagai berikut.
1. Faktor Intrinsik
2. Faktor Ekstrinsik
3. Pandangan Sosial Kelompok.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu teknik dokumentasi dengan
jalan mengumpulkan data melalui sumber tertulis. Dengan cara penelitian pustaka, yaitu :
1. Membaca dengan cermat berulang-ulang novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata
dan novel Yasmin karya Diyana Millah Islami sebagai sumber data primer dan
referensi lain yang terkait sebagai sumber data sekunder.
2. Mengumpulkan dan mengidentifikasi data dari hasil bacaan referensi.
3. Mencatat bagian-bagian yang dianggap relevan sebagai data (yang dianggap
sebagai sumber genetik)
4. Mengklasifikasikan data yang termasuk dalam genetika sastra yaitu struktur
intrinsik, faktor ekstrinsik, serta pandangan sosial kelompok yang dapat membangun
pandangan dunia berdasarkan tingkatannya sebagai data penelitian struktur intrinsik,
faktor ekstrinsik serta pandangan sosial kelompok yang dapat membangun
pandangan dunia berdasarkan tingkatannya sebagai data penelitian.
E. Teknik Analisis Data
Berdasarkan teknik pengumpulan data yang dipergunakan, maka unsur karakter
tokoh utama yang dapat dicocokkan dengan tokoh yang dimaksud, kemudian diseleksi
kutipan atau data yang mana lebih spesifik itulah yang akan diambil. Selanjutnya,
menentukan watak, sifat, karakter dan kebiasaan karakter tokoh utama sesuai dengan bukti
atau penunjuk yang telah dipilih.
Sebagai hasil akhir, memaparkan watak, sifat, karakter dan kebiasaan tokoh dengan
senantiasa mengutip bagian cerita yang menunjukkan kebenaran analisis yang dimaksud,
selanjutnya dideskripsikan berdasarkan fenomena sosial yang dijadikan acuan penelitian
meliputi:
a. Membaca berulang-ulang dan memahami novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata
dan novel Yasmin karya Diyana Millah Islami.
b. Menelaah seluruh data yang diperoleh yang menyangkut genetika dalam novel
Sang Pemimpi karya Andrea Hirata dan novel Yasmin karya Diyana Millah Islami.
c. Mengungkap aspek-aspek genetik yang terdapat pada novel Sang Pemimpi karya
Andrea Hirata dan Yasmin karya Diyana Millah Islami.
d. Mendeskripsikan aspek-aspek genetik yang terdapat pada novel Sang Pemimpi
karya Andrea Hirata dan novel Yasmin karya Diyana Millah Islami.
e. Mengadakan pemeriksaan keabsahan data berupa genetika yang telah diamati
sebagai hasil penelitian.
f. Bila hasil penelitian sudah dianggap sesuai, maka hasil tersebut dianggap sebagai
hasil akhir.
F. Pengecekan Keabsahan Temuan
Teknik pemeriksaan keabsahan data yang dipilih dalam penelitian ini adalah:
1. Ketekunan pengamatan dan analisis
2. Rujukan dan resensi
3. Pemeriksaan dengan teman sejawat melalui diskusi
Ketekunan pengamatan memberikan kedalaman wawasan bagi peneliti memperoleh
penghayatan yang menandai berbagai fenomena yang berhubungan dengan masalah dan
data penelitian.
Rujukan dilakukan dengan cara membaca dan menelaah sumber data dan berbagai
kepustakaan yang relevan dengan masalah penelitian. Teknik pemeriksaan dilakukan
dengan cara mengecek kepada teman sejawat atau pakar yang berkompeten dalam kajian
strukturalisme genetik dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata dan novel Yasmin
karya Diyana Millah Islami melalui media komunikasi. Penggunaan cara ini dimaksud agar
peneliti dapat mempertahankan sikap terbuka dan kejujuran sehingga diperoleh pengertian
yang lebih mendalam bagi dasar klasifikasi, penafsiran dan analisis strukturalisme dari novel
tersebut.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Karakteristik Objek Penelitian
Data dalam penelitian ini adalah struktur instrinsik, unsur ektrinsik, pandangan sosial
kelompok, dan kondisi eksternal (biografi, ekonomi, politik, sosial budaya, dan lain-lain) yang
akan mengarah pada pandangan dunia yang terdapat pada novel Sang Pemimpi karya
Andrea Hirata dan novel Yasmin karya Diyana Millah Islami. Sumber data dalam yang
digunakan dalam penelitian ini adalah dokumen. Dokumen yang digunakan adalah novel
yang berjudul Sang Pemimpi karya Andrea Hirata yang berjumlah 288 halaman dan novel
Yasmin karya Diyana Millah Islami yang berjumlah 263 halaman yang diterbitkan oleh PT
Bentang Pustaka Yogyakarta.
B. Paparan Dimensi Penelitian
Pada bab ini akan diuraikan secara rinci strukturalisme genetik terhadap
novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata dan novel Yasmin karya Diyana Millah
Islami. Dalam novel tersebut di ketahui melalui tiga unsur yaitu: unsur intrinsik,
unsur ekstrinsik, dan pandangan sosial kelompok. Penelitian sastra yang
menggunakan pendekatan strukturalisme genetik terlebih dahulu harus memulai
langkah yaitu kajian unsur-unsur intrinsik. Dari pengkajian intrinsik akan dapat
memunculkan tokoh problematik dalam novel. Tokoh problematik yang terdapat
dalam novel akan memunculkan adanya pandangan dunia pengarang yang
dimunculkan melalui tokoh problematik. Berikut analisis novel tersebut dalam
kaitannya dengan strukturalisme genetik .
1. Unsur Intrinsik Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata
a. Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah pelaku yang dikisahkan pemain dalam cerita. Tokoh
dalam karya sastra adalah manusia yang di tampilkan melalui apa yang
mereka katakan atau lakukan.
Tokoh yang terdapat dalam novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata, yaitu :
Ikal, Arai, Jimbron, Pendeta Geovnnya, Pak Mustar, Pak Julian Ichsan Balia,
Nurmala, Laksmi, Capo, Taikong Hamim, Bang Zitun, A Kiun, Nurmi, Pak Cik
Basman, A Siong, Deborah, Mei Mei, Seman, A Ling. Penokohan dalam novel
Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata, yaitu:
1. Ikal adalah anak kampung yang miskin, cerdas dan selalu memiliki
semangat yang tinggi baik hati, optimistis, pantang menyerah, penyuka
Bang Rhoma.
2. Arai adalah tokoh sentral dalam buku ini. Menjadi saudara angkat Ikal ketika kelas
3 SD saat ayahnya (satu-satunya anggota keluarga yang tersisa) meninggal
dunia. Seseorang yang mampu melihat keindahan di balik sesuatu, sangat optimis
dan selalu melihat suatu peristiwa dari kaca mata yang positif. Arai adalah sosok
yang begitu spontan dan jenaka, seolah tak ada sesuatupun di dunia ini yang
akan membuatnya sedih dan patah semangat.
3. Jimbron, anak yatim piatu yang diasuh oleh seorang pastur Katolik bernama
Geovanny. Laki-laki berwajah bayi dan bertubuh subur ini sangat polos. Segala
hal tentang kuda adalah obsesinya, dan gagapnya berhubungan dengan sebuah
peristiwa tragis yang memilukan yang dia alami ketika masih SD, dulu ayahnya
sekarat di depan matanya maka ia membawa ayahnya dengan sepeda yang
lajunya lama sampai di puskesmas ayahnya meninggal di depan matanya dan
waktu ditanyai orang-orang di sudah terlanjur gagap karena terlalu banyak
menangis sampai tersendat-sendat ia selalu berfikir jika saja waktu itu dia menaiki
kuda pasti ayahnya tertolong. Jimbron adalah penyeimbang di antara Arai dan
Ikal, kepolosan dan ketulusannya adalah sumber simpati dan kasih sayang dalam
diri keduanya untuk menjaga dan melindunginya.
3. Pendeta Geovanny, ia adalah seorang Katolik yang mengasuh Jimbron selepas
kepergian kedua orangtua Jimbron. Meskipun berbeda agama dengan Jimbron,
beliau tidak memaksakan Jimbron untuk turut menjadi umat Katolik. Bahkan
beliau tidak pernah terlambat mengantar Jimbron pergi ke masjid untuk mengaji.
Meski disebut Pendeta, Geovanny yang berdarah Italia ini adalah seorang Pastor.
4. Pak Mustar M. Djai'din. BA. adalah salah satu pendiri SMA Bukan Main. Ia adalah
wakil kepala sekolah SMA Bukan Main, seorang yang baik dan cukup sabar
namun berubah menjadi tangan besi ketika anaknya sendiri justru tidak diterima
masuk ke SMA tersebut karena NEMnya kurang 0,25 dari batas minimal. Terkenal
dengan aturan-aturannya yang disiplin dan hukuman yang sangat berat. Namun
sebenarnya beliau adalah pribadi yang sangat baik dan patut dicontoh.
5. Pak Drs. Julian Ichsan Balia; Kepala Sekolah SMA Negeri Manggar.Laki-laki
muda, tampan, lulusan IKIP Bandung yang masih memegang teguh idealisme.
6. Nurmala; Zakiah Nurmala binti Berahim Mantarum, gadis pujaan Arai sejak
pertama kali Arai melihatnya. Nurmala adalah gadis yang pandai, selalu
menyandang ranking 1. Ia juga penggemar Ray Charles dengan lagunya I Can't
Stop Loving You dan Nat King Cole dengan lagunya When I Fall in Love.
7. Laksmi; gadis pujaan Jimbron. Telah kehilangan kedua orangtuanya dan tinggal
serta bekerja di sebuah pabrik cincau. Semenjak kepergian orangtuanya ia tidak
pernah lagi tersenyum, walaupun senyumnya amat manis. Ia baru dapat
tersenyum ketika Jimbron datang mengendarai sebuah kuda.
8 Capo Lam Nyet Pho; Seorang yang memungkinkan berbagai hal sebagai objek
untuk bisnisnya. Bahkan ketika PN Timah terancam kolaps, ia melakukan ide
untuk membuka peternakan kuda meskipun kuda adalah hewan yang asing bagi
komunitas Melayu.
9. Taikong Hamim; Guru mengaji di masjid di kampung Gantung. Dikenal sebagai
sosok nonkonfromis dan sering memberlakukan hukuman fisik kepada anak-
anak yang melakukan kesalahan.
10. Bang Zaitun; Seniman musik pemimpin sebuah kelompaok Orkes Melayu.
Dikenal sebagai orang yang pernah mempunyai banyak pacar dan hampir
memiliki 5 istri. Sebenarnya kunci keberhasilannya dalam percintaan adalah
sebuah gitar. Ia pun mengajarkan hal tersebut pada Arai yang sedang mabuk
cinta dengan Nurmala.
11. A Kiun; Gadis Hokian penjaga loket bioskop.
12. Nurmi; Berbakat memainkan biola, mewarisi biola dan bakat dari kakeknya yang
ketua kelompok gambus di Gantung. Nurmi adalah tetangga Arai dan Ikal,
seumuran, dan dia adalah gadis yang sangat mencintai biola.
13. Pak Cik Basman; Seorang tukang sobek karcis di sebuah bioskop di Belitong.
14. A Siong; Pemilik toko kelontong tempat Ikal dan Arai berselisih tentang
penggunaaan uang tabungan.
15. Deborah Wong; Istri A Siong dan ibu dari Mei Mei. Perempuan asal Hongkong
yang tambun dan berkulit putih.
16. Mei Mei; Gadis kecil anak Deborah Wong
17. Seman Said Harun : ayah Ikal, yang sangat pendiam, bekerja sebagai pendulang
timah dan akan memakai baju safari empat saku jika akan mengambil rapotnya
Ikal dan Arai.
18. A Ling, walau hanya sekali disebut dalam novel ini ia adalah wanita hokian yang
sangat dicintai Ikal, anak pemilik Toko Sinar Harapan dan meninggalkan Ikal
untuk merantau ketika Ikal kelas tiga SMP.
Penokohan atau perwatakan dalam cerita fiksi, seperti novel, merupakan penciptaan
citra tokoh yang dapat meyakinkan pembaca sehingga pembaca seolah-olah merasa
berhadapan langsung dengan manusia yang sebenarnya. Dari hasil analisis di temukan
bahwa Ikal, Arai dan Jimbron adalah tokoh utama dari cerita Sang Pemimpi. Penggambaran
ketiga tokoh dalam cerita itu sangat tepat dengan karakter atau perwatakan yang harus
dijalaninya dalam cerita.
Mereka bertiga selalu bersama-sama. Arai dan Ikal begitu pintar di sekolahnya,
sedangkan Jimbron, si penggemar kuda ini biasa-biasa saja. Malah menduduki rangking 78
dari 160 siswa. Sedangkan Ikal dan Arai selalu menjadi lima dan tiga besar. Mimpi mereka
sangat tinggi, karena bagi Arai, orang susah seperti mereka tidak akan berguna tanpa
mimpi-mimpi. Mereka berdua mempunyai mimpi yang tinggi yaitu melanjutkan belajar ke
Sorbonne Perancis. Mereka terpukau dengan cerita Pak Balia, kepala sekolahnya, yang
selalu meyebut-nyebut indahnya kota itu. Kerja keras menjadi kuli ngambat mulai pukul dua
pagi sampai jam tujuh dan dilanjutkan dengan sekolah, itulah perjuangan ketiga pemuda itu.
Mati-matian menabung demi mewujudkan impiannya. Meskipun kalau dilogika, tabungan
mereka tidak akan cukup untuk sampi ke sana. Tapi jiwa optimisme Arai dan Ikal tak
terbantahkan.
b. Tema
Tema dalam novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata adalah menceritakan tentang
persahabatan dan perjuangan meraih mimpi meskipun keadaan ekonomi mereka tidak
memungkinkan untuk menggapai cita-citanya, tetapi semuanya dapat dihadapi dengan rasa
percaya diri dan mempunyai semangat yang tinggi untuk belajar dan bekerja keras dalam
meraih semua mimpi.
Ikal juga termasuk dari keluarga yang tidak mampu, ayahnya bekerja sebagai
penyekop timah di Belitong dan ibunya hanya seorang ibu rumah tangga. Ikal dan Arai pun
membantu orang tuanya dalam kehidupan mereka. Di dalam kehidupnya mereka tidak kenal
lelah. Berikut kutipannya:
“Anak-anak yang kuat tenaganya menjadi pendulang timah. Mereka seharian berendam di dalam lumpur, mengaduk-ngaduk aluvial, meraba-raba urat timah di bawah tanah, mempertaruhkan kelangsungan hidup pada kemampuan menduga-duga. Mereka yang kuat nyalinya bekerja dibagian tengah laut. Pekerjaan berbahaya yang berbulan-bulan
baru bisa bertemu keluarga. Mereka yang kuat tenaga dan kuat nyalinya siang malam mencedok pasir gelas untuk mengisi tongkang, makan seperti jembel dan tidur dibawah gardan truk, melingkar seperti biawak.” (Hirata:2006:67-68)
Jimbron sendiri merupakan merupakan anak asuh dari Pendeta Geofany yang
sejak kecil ditinggal oleh orang tuanya. Namun kekurangan ekonomi tidak menghambat
pendidikan tetapi mereka sendiri mempunyai cita-cita yang luar biasa dari pendidikan,
dengan kerja keras semangat dan memotivasi mereka juga berusaha membiayai
sekolahnya sendiri dengan bekerja. Hal tersebut memotivasi Ikal, Arai dan Jimbron untuk
mencari ilmu sampai ke luar negeri. Kutipannya sebagai berikut :
“Jelajahi kemegahan Eropa sampai Afrika yang eksotis. Temukan berliannyabudaya sampai ke Prancis. Langkahkan kakimu di atas altar suci almamater terhebat tiada tara: Sorbonne. Ikuti jejak-jejak Sartre, Louis Pasteur, Montisquieu, Voltaire. Disanalah orang belajar science, sastra, dan seni hingga mengubah peradaban….”(Hirata:2006:73)
Keberhasilan Ikal untuk berpendidikan tinggi S-2 di University De Paris, Sorbonne
Prancis mampu membahagiakan orang tuanya. Berikut kutipannya :
“Tak terasa aku telah menyelesaikan kuliahku. Sekarang aku merasa memilikitenaga baru untuk menemukan potongan-potongan mozaik nasibku. Pekerjaan sortir dan hidupku secara keseluruhan mulai kurasakan sepi tantangannya.Aku ingin menghadapi suatu kesulitan yang membuatku terus berkambang, aku ingin menjadi bagian dari sesuatu yang penting dan besar. Aku berpikir untuk meninggalkan pekerjaan sortir dan kembali mengekstrapolasikan kurva semangatku yang terus menanjak.” (Hirata:2006:250).
Berdasarkan kutipan-kutipan novel tersebut, dapat di ketahui tema yang tersirat dalam
novel Sang Pemimpi ini tak lain adalah “persahabatan dan perjuangan dalam
mengarungi kehidupan serta kepercayaan terhadap kekuatan sebuah mimpi atau
pengharapan”. Hal itu dapat dibuktikan dari penceritaan per kalimatnya dimana penulis
berusaha menggambarkan begitu besarnya kekuatan mimpi sehingga dapat membawa
seseorang menerjang kerasnya kehidupan dan batas kemustahilan.
Ikal, Arai dan Jimbron yang tak pernah patah semangat. Tak pernah lelah meskipun
mereka harus membiayai sekolah mereka sendiri dengan bekerja menjadi buruh
pengangkut ikan, dan hidup jauh dari orang tua. Mereka bersahabat sejak kecil. Suka
duka mereka lalui bersama. Mereka selalu optimis menjalani hidup, meski mereka
berasal dari keluarga yang serba terbatas.
c. Amanat
Amanat yang disampaikan dalam novel Sang Pemimpi ini adalah jangan berhenti
bermimpi. Hal itu sangat jelas pada tiap-tiap sub babnya. Yang pada prinsipnya manusia
tidak akan pernah bisa untuk lepas dari sebuah mimpi dan keinginan besar dalam
hidupnya. Hal itu secara jelas digambarkan penulis dalam novel ini dengan maksud
memberikan titik terang kepada manusia yang mempunyai mimpi besar namun terganjal
oleh segala keterbatasan.
Berikut kutipannya:
….pada saat itulah aku, Arai, dan Jimbron mengkristalisasikan harapan agung kami dalam satu statement yang sangat ambisius: cita-cita kami adalah kami ingin sekolah ke Perancis! Ingin menginjakkan kaki di altar suci almamater Sorbonne, ingin menjelajah Eropa sampai ke Afrika. Harapan ini selanjutnya menghantui kami setiap hari. Begitu tinggi cita-cita kami. Mengingat keadaan kami yang sangat terbatas, sebenarnya lebih tepat cita-cita itu disebut impian saja. Tapi di depan tokoh karismatik Pak Balia, semuanya seakan mungkin.” (Hirata:2006:73-74)
…Dan dari tempat kami berdiri, di Pulau Belitong yang terpencil dan hanya berdiameter seratus lima puluh kilometer ini, cita-cita kami sekolah ke Perancis, menjelajahi Eropa sampai ke Afrika adalah potongan-potongan mozaik yang tak dapat dihubungkan dengan logika apa pun, bahkan dengan pikiran yang paling gila sekalipun.” (Hirata : 2006: 208)
…jika kuibaratkan semangat manusia sebuah kurva, sebuah grafik, maka sikap optimis akan membawa kurva it uterus menanjak. Sebaliknya aku semakin terpatri dengan cita-cita agung kami : ingin sekolah ke Perancis, menginjakkan kaki di altar suci almamater Sarbonne, menjelajahi Eropa sampai Afrika.” (Hirata: 2006: 208).
Berdasarkan kutipan-kutipan tersebut, dapat di ketahui bahwa novel Sang Pemimpi
ini sarat dengan amanat yang disampaikan oleh pengarangnya. Amanat yang disampaikan
dalam Sang Pemimpi ini adalah jangan berhenti bermimpi. Hal itu sangat jelas pada tiap-tiap
sub babnya. Yang pada prinsipnya manusia tidak akan pernah
bisa untuk lepas dari sebuah mimpi dan keinginan besar dalam hidupnya. Hal itu secara
jelas digambarkan penulis dalam novel ini dengan maksud memberikan titik terang kepada
manusia yang mempunyai mimpi besar namun terganjal oleh segala keterbatasan. Ikal dan
Arai selalu optimis. Meskipun mereka sadar bahwa sekolah sampai ke luar negeri adalah
sesuatu yang mustahil bagi mereka, dengan segala keterbatasan yang mereka miliki.
Namun, mereka yakin, dengan tekad, semangat, usaha dan kerja keras mimpi-mimpi itu
akan terwujud. Dan akhirnya, setelah mereka masing-masing berhasil menyelesaikan studi
S1, akhirnya mereka sama-sama mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di
Universite de Paris, Sorbonne, Perancis.
d. Alur / Plot
Alur adalah rangkaian ceria yang dibentuk oleh tahapan peristiwa sehingga terjalin
suatu cerita. Alur adalah rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab akibat sehingga
menjadi satu-kesatuan yang padu, bulat, dan utuh. Sebuah cerita merupakan rangkaian
peristiwa. Peristiwa yang dirangkaikan tersebut adalah susunan peristiwa yang lebih kecil.
Rangkaian kejadian itu tidak hanya disusun berdasarkan komposisi cerita melainkan
bergerak berdasarkan hubungan sebab akibat. Berikut susunan alur dari novel Sang
Pemimpi.
1. Pengarang mulai melukiskan keadaan
Karena Arai sejak kecil ditinggal kedua orang tuanya. Pada akhirnya ayah Ikal
mengangkat Arai menjadi anak asuhannya. Dia dibesarkan dari keluarga yang serba
kekurangan. Berikut kutipannya :
“Namun sungguh malang nasibnya, waktu ia kelas satu SD, ibunya wafat sat melahirkan adiknya. Arai, baru enam tahun ketika itu, dan ayahnya, gemetar di samping jasad beku sang ibu yang memeluk erat bayi merah yang bersimbah darah. Anak beranak itu meninggal bersamaan. Lalu Arai tinggal berdua dengan ayahnya. Kepedihan belum mau menjauhi Arai. Menginjak kelas tiga SD, ayahnya juga wafat. Arai menjadi yatim piatu, sebatang kara. Ia kemudian dipungut keluarga kami.” (Hirata:2006: 24)
2. Peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak
Seringkali Arai juga iri melihat seorang anak bersama orang tuanya. Arai ikut terharu
ketika melihatnya, Arai sejak kecil ditinggal kedua orang tuanya dan dia sangat
menginginkan orang tua yang selalu disampingnya ketika dia kesepian. Permasalahan yang
terjadi dalam diri Arai adalah ketidakmampuan Arai dalam mengendalikan emosinya untuk
tidak cemburu pada teman yang masih mempunyai orang tua. Berikut kutipannya:
“Ibuku memberi isyarat dan Arai melesat ke gudang peregasan. Ia memasukkan beberapa takar beras ke dalam karung, kembali kepekarangan, memberikan karung beras itu kepada ibuku yang kemudian melungsurkannya kepada Mak Cik.” “Ambillah……..” “Mak Cik menerimanya dengan canggung dan berat hati. Aku tak sampai hati melihatnya. Ia berkata terbata-bata, “Tak ’kan mampu kami menggantikannya,Kak….” (Hirata: 2006: 39).
3. Keadaan mulai memuncak
Ikal yang memiliki hutang kepada Arai yang telah berjasa karena atas dukungannya
dan memberikan motivasi. Ikal membantu Arai untuk menggapai cintanya yang tumbuh
sejak SMA, wanita yang di idamkan Arai adalah Nurmala gadis cantik yang pintar. Arai
sering ditolak oleh Nurmala, dia diacuhkan dan beratus-ratus puisi dan bunga yang Arai
berikan tidak bisa meluluhkan hatinya. Ikal membawa Arai ke seorang yang ahli mengenai
percintaan yaitu Bang Zaitun. Bang Zaitun mengajarkan Arai memainkan gitar untuk lebih
menarik perhatian Nurmala. Berikut kutipannya :
“Kau kenal Bang Zaitun kan, Rai??”tanyaku. Arai menjawab heran,”Pimpinan Orkes Melayu Pasar ikan belok kiri itu...?” “Kesanalah kau harus berguru soal cinta...
Arai tersenyum. Siapa tak kenal Bang Zaitun , pria flamboyan yang kondang dalam dunia persilatan cinta. Di Belitong ada empat kampung besar, di setiap kampung itu
ia punya istri. Laki-laki positif mencerna setiap usulan, memikirkannya dengan lapang dada. Arai menatapku cerah. “Kau yakin Bang Zaitun punya cukup wewenang ilmiah untuk memecahkan masalahku ini, Kal?”
“Tak ada salahnya mencoba, Kawan, jauh lebih terhormat daripada ke dukun!!”
“Ah, Keriting, baru ku tahu, kau cerdas sekali!!” (Hirata:2006:189)
4. Peristiwa mulai memuncak
Ketika Arai, Ikal dan Jimbron lulus sebagai pelajar SMA, Arai dan Ikal mempunyai
keinginan untuk pergi ke Jakarta. Arai mendapat tantangan dari salah seorang guru SD
yaitu ibu Muslimah. Berikut Kutipannya:
“Jangan pernah pulang sebelum jadi sarjana..” pesan Ibu Muslimah, guru SD-ku. Disamping beliau Pak Mustar mengangguk-angguk. Mereka tersenyum ketika kami menyalami mereka erat-erat karena mereka tahu itu pertanda kami menerima tantangan itu: tak’kan pernah pulang ke pulau Belitong sebelum jadi sarjana. (Hirata:2006:219)
Dan setelah mereka sampai di Jakarta, beberapa bulan kemudian Ikal diterima
bekerja sebagai penyortir surat, namun Arai tidak diterima bekerja disitu. Akhirnya
dia pergi keluar pulau untuk bekerja. Ikal tidak tahu kemana Arai Pergi dan dia
merasa kehilangan. Beberapa bulan kemudian melanjutkan studinya di Universitas
Indonesia dan disibukkan dengan aktifitasnya. Berikut kutipannya.
“Tahun berikutnya aku diterima di UI. Aku mengatur jadwal shift menyortir surat sesuai dengan kesibukan kuliah. Aku merindukan Arai setiap hari dan ingin kukirimkan kabar padanya bahwa jika ia kembali ke Bogor ia dapat kuliah karena aku telah berpenghasilan tetap. Walaupun sangat pas-pasan tapi jika ia juga bekerja part time, aku yakin kami dapat sama-sama membiayai kuliah kami.”(Hirata:2008:246)
5. Pengarang memberikan pemecahan masalah soal dari semua peristiwa.
Ikal mendaftarkan diri agar mendapat beasiswa ke luar negeri. Dia mendapatkan
panggilan tes disana, dan Ikal bertemu dengan sahabatnya yang telah lama tidak jumpa.
Pada tahap penyelesaian diceritakan pada akhirnya Ikal dan Arai diterima di Universitas
yang selama ini menjadi harapan, cita-cita dan mimpinya. Berikut kutipannya.
“Aku mengamb i l su ra t ke lu lus an Ara i dan memba ca ka l imat dem i ka l imat dalam surat keputusan yang dipegangnya dan jiwaku seakan terbang. Hari ini seluruh ilmu umat manusia menjadi setit ik air di atas samudra pengetahuan Al lah . Har i in i Nab i Musa membe lah Lau t Merah dengan tongka tnya , dan miliaran bintang-gemintang yang berputar dengan eksentrik yang bersilangan, membentuk lingkaran episiklus yang mengelil ingi miliaran siklus yang lebih besar, berlapis-lapis tak terhingga di luar jangkauan akal manusia. Semuanya tertata rapi dalam protokol jagad raya yang diatur tangan Allah. Sedikit saja satu dar i m i l ia ran ep is ik lus i t u ke luar dar i o rb i tn ya , maka da lam h i tungan de t ik sementara alam akan meledak menjadi remah-remah. Hanya itu kalimat yang d a p a t m e n g g a m b a r k a n b a g a i m a n a s e m p u r n a n y a T u h a n t e l a h m e n g a t u r po tongan-po tongan mo za ik h idupk u dan Ara i , dem ik ia n ind ahnya Tuhan bertahun-tahun telah memeluk mimpi-mimpi kami,telah menyimak harapan-harapan sepi dalam hati kami, karena di kertas itu tertulis nama universitas yang menerimanya, sama dengan universitas yang menerimaku, disana jelas tertulis: Universite de Paris, Sorbonne, Prancis.” (Hirata:2006:272)
Kutipan-kutipan novel di atas, menggambarkan tentang alur dalam cerita Sang
Pemimpi. Alur yang digunakan adalah alur maju mundur. Pengarang mulai melukiskan
keadaan, dengan melukiskan keadaan tokoh-tokoh yang ada dalam cerita. Misalnya Arai
anak tunggal, yang sejak kecil ditinggal kedua orang tuanya. Akhirnya ayah Ikal
mengangkatnya menjadi anak asuhnya dan di besarkan bersama saudara-saudara Ikal
yang lain. Peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak dalam cerita dengan pengisahan
tokoh-tokoh yang ada dalam cerita. Arai seringkali merasa iri melihat seorang anak
bersama orang tuanya. Keadaan mulai bersangkut paut dan memuncak ketika Ikal, Arai
dan Jimbron menjalani proses kehidupannya sebagai pengangkut ikan di pasar, dan lulus
sebagai pelajar SMA. Aria dan Ikal mempunyai keinginan untuk kuliah di Jakarta dan
memenuhi tantangan guru SD yaitu Ibu Muslimah, untuk tidak akan kembali ke Belitong
sebelum menjadi sarjana, dan ketika mereka sampai di Jakarta melalui banyak rintangan
dan hambatan, yang pada akhirnya mereka bekerja sambil kuliah.
Pengarang juga memberikan pemecahan masalah dari semua peristiwa yang ada
dalam cerita. Hal tersebut terjadi ketika Ikal mendaftarkan diri agar mendapat beasiswa ke
luar negeri. Pada akhirnya Arai sahabatnya juga diterima di universitas yang selama ini
menjadi harapan, cita-cita dan mimpi mereka.
e. Latar
Latar atau setting dalam sebuah karya fiksi, seperti novel, berupaya memberikan
gambaran kepada pembaca tentang tempat, waktu, dan suasana terjadinya cerita.
Dalam novel ini disebutkan latarnya yaitu di Pulau Magai Balitong, los pasar dan
dermaga pelabuhan, di gedung bioskop, di sekolah SMA Negeri Bukan Main,
terminal Bogor, dan Pulau Kalimantan. Waktu yang digunakan pagi, siang, sore, dan
malam. Latar nuansanya lebih berbau melayu dan gejolak remaja yang diselimuti
impian-impian.
Berdasarkan hasil analisis terhadap novel Sang Pemimpi ditemukan beberapa
latar terjadinya cerita.
1. Latar Tempat
a. Di Belitong Timur
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti dibawah ini:
Pada awal cerita pengarang melukiskan keadaan Belitong timur karena disanalah
orang-orang mencari nafkah. Berikut kutipannya:
“Setelah empat puluh tahun bumi pertiwi merdeka akhirnya Belitong Timur, pulau timah yang kaya raya itu, memiliki sebuah SMA Negeri. Bukan Main. SMA ini segera menjadi menara gading takhta tertinggi intelektualitas di pesisir timur, maka ia mengandung makna dari setiap syair lagu “Godeamus Igitur” yang ketika mendengarnya, sembari memakai toga, bisa membuat orang merasa IQ nya meningkat drastis beberapa digit.” (Hirata:2008:6)
b. Di SMA Bukan Main
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti dibawah ini:
1) Pada saat peresmian sekolah SMA bukan main. Berikut kutipannya:
“Pemotongan pita peresmian SMA ini adalah hari bersejarah bagi kami orang Melayu pedalaman, karena saat pita itu terkulai putus, terputus pula kami dari masa gelap gulita matematika integral atau tata cara membuat buku tabelaris hitung dagang yang dikhotbahkan di SMA. Tak perlu lagi menempuh 120
kilometer ke Tanjong Padan hanya untuk tahu ilmu debet kredit itu.” (Hirata:2006:6)
2) Ketika siswa terlambat datang kesekolah dan para saat itu siswa menirukan
pidato pak Mustar saat apel rutin. Berikut kutipannya:
“Senin pagi ini kuanggap hari yang sial. Setengah jam sebelum jam masuk, Pak Mustar mengunci pagar sekolah. Beliau berdiri di podium menjadi inspektur apel rutin. Celakanya banyak siswa yang terlambat, termasuk aku, Jimbron dan Arai. Lebih celaka lagi beberapa siswa yang terlambat justru mengejek Pak Mustar. Dengan sengaja mereka meniru-niruka pidatonya. Pemimpin para siswa yang berkelakuan seperti monyet sirkus itu tak lain Arai!! Pak Mustar ngamuk. Ia meloncat dari podium dan mengajak dua orang penjaga sekolah mengejar kami.” (Hirata:2006:10)
c. Di Pasar Pagi
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti dibawah ini:
Pak Mustar mengejar-ngejar Ikal berlari menuju pasar dan melompati sebuah
pagar sehingga sepeda yang sedang diparkir roboh. Berikut kutipannya:
“Aku menyebrangi jalan dan berlari kencang ke utara, memasuki gerbang pasar pagi. Pak Mustar barnafsu menangkapku, jaraknya semakin dekat. Aku ketakutan dan tergesa-gesa meloncati palang besi parkir sepeda. Celaka! Salah satu sepeda tersenggol. Lalu tukang parkir terpana melihat ratusan sepeda yang telah dirapikannya susah payah, rebah satu persatu seperti permainan kartu domino, menimbulkan kegaduan yang luar biasa dipasar pagi. Aku terjerembap, bangkit dan pontang-panting kabur.” (Hirata:2006:14)
“Sekarang delapan orang memikul peti dan peti menuju pasar pagi yang ramai. Disekitar peti tukang parkir berteriak-teriak menimpali obralan pedagang Minang yang menjual baju di kaki lima. Klakson sepeda motor dan kliningan sepeda sahut menyahut dengan jeritan mesin parut dan ketukan palu para tukang sol. Lenguh sapi yang digelandang ke pejagalan beradu nyaring dengan suara bising dari balon kecil yang dipencet penjual mainan anak-anak. Di punggungku kurasakan satu persatu detakan jantung Jimbron, lambat namun keras, gelisah dan mencekam”. (Hirata:2006:20) “Kami memasuki toko yang sesak. Barang-barang kelontong berjejal-jejal di rak-rak yang tinggi. Arai berhenti sebentar ditengah toko persis dibawah sebuah fan besar berdiameter hampir dua meter dan berfutar sangat kencang: wuttth ... wuttth ... wutttthh. Istri A siong besar di Hongkong. Hanya fan unuk pabrik itu yang membuatnya betah tinggal di Belitong yang panas. Arai membuka kancing atas bajunya, menengadahkan wajahnya, dan ketika angin fan membasuh wajahya
yang bersimbah peluh ia terpejam syahdu, sebuah gaya yang sangat mengesankan”.(Hirata:2006:43)
Berdasarkan latar tempat, cerita dalam novel berlatar di Pulau Belitong. Pada awal
cerita pengarang melukiskan keadaan Belitong dan orang-orangnya. Keadaan ekonomi,
mata pencaharian dan kondisi pendidikan masyarakatnya. Sejak empat puluh tahun
bumi pertiwi merdeka, akhirnya Belitong Timur memiliki sebuah SMA. Pada akhirnya
Ikal, Arai dan Jimbron memilih sekolah itu untuk melanjutkan pendidikan setelah tamat
SMP. Bagi mereka, dan orang-orang Melayu pedalaman, keberadaan SMA di daerah
mereka memberikan satu jalan untuk menempuh pendidikan. Mereka tidak perlu lagi
menempuh jarak yang sangat jauh untuk sekedar menuntut ilmu.
Cerita dalam novel juga banyak diwarnai di sekolah tempat mereka menempuh
pendidikan di SMA Bukan Main. Ketika siswa datang terlambat ke sekolah dan
mendapat hukuman dari Pak Mustar guru yang paling di takuti disekolahnya. Saat
mereka dikejar Pak Mustar menuju pasar pagi karena melanggar di sekolah, dan
aktivitas pasar pagi yang penuh sesak.
2. Latar Waktu
a. Pagi hari
Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan dibawah ini:
Ketika para siswa datang terlambat ke sekolah dan pak Mustar mengunci pagar
sekolah. Berikut kutipannya:
“Senin pagi ini kuanggap hari yang sial. Setengah jam sebelum jam masuk, Pak Mustar mengunci pagar sekolah. Beliau berdiri di podium menjadi inspektur apel rutin. Celakanya banyak siswa yang terlambat, termasuk aku, Jimbron dan Arai. Lebih celaka lagi beberapa siswa yang terlambat justru mengejek Pak Mustar. Dengan sengaja mereka meniru-nirukan pidatonya. Pemimpin para siswa yang berkelakuan seperti monyet sirkus itu tak lain Arai!! Pak Mustar ngamuk. Ia meloncat dari podium dan mengajak dua orang penjaga sekolah mengejar kami”. (Hirata:2006:10)
b. Siang hari
Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut di bawah ini:
Pengarang melukiskan suasana pada siang hari di kapal, berikut kutipanya:
“Hari keenam, pukul satu siang, aku yang sudah babak belur, compang-camping, iseng-iseng mendongakkan kapal keluar lubang palka dan alangkah terkejutnya, nun jauh disana, sayup-sayup, di garis horizon biru itu kulihat benda kotak-kotak bermunculan timbul tenggelam.” (Hirata:2006:224)
c. Sore hari
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti dibawah ini:
Pengarang melukiskan suasana sore hari di perkebunan kelapa sawit. Berikut
kutipannya:
“Sore yang indah. Perkebunan kelapa sawit di kaki gunung sebelah timur kampung kami seperti garis panjang yang membelah matahari.” (Hirata:2006:37) Pengarang melukiskan suasana pada petang sore hari di rumah, berikut kutipanya:
“Petang yang sunyi dan menegangkan Arai mengambil bingkai plastik foto hitam putih ayah dan ibunya. Ia menyingkir ke ruang tamu. Ia duduk di kursi malas ayahku. Di bawah bendangan lampu yang temaram. Ia tak langsung membuka suratnya. Dibekapnya surat dan bingkai foto ayah-ibunya”. (Hirata:2006;270)
d. Malam hari
Hal tersebut dapat di buktikan dibawah ini:
Pengarang melukiskan suasana malam hari di kebun jagung. Berikut kutipanya:
“Usai salat isya Arai sudah berdandan rapi dan ia telah menyiapkan seikat bunga. Kami mengendap-endap di kebun jagung tiba di sebuah rumah Victoria yang besar”.(Hirata : 2006;202) “Malam turun, satu per satu penumpang menghilang, bus sepi. Ciputat tak kunjung sampai. Aku dan Arai yang kelelahan tertidur pulas. Jika ada yang ingin mengambil koper dan celengan kuda kami, kami tak’kan tahu. (Hirata : 2006;228)
Kutipan-kutipan novel di atas, menggambarkan waktu terjadinya lakuan
dalam cerita berdasarkan latar waktu. Ketika Ikal, Arai dan Jimbron pada hari
Senin, terlambat tiba di sekolah. Pintu pagar sekolah setengah jam sebelum jam
masuk sudah dikunci oleh Pak Mustar yang menjadi inspektur apel rutin. Kemudian
saat Ikal dan Arai berlabuh menuju Tanjung Priuk dengan kapal barang yang
mereka tumpangi untuk ke Jakarta. Hari keenam, pukul satu siang di kapal Arai
melihat nun jauh di sana, kotak-kotak bermunculan timbul tenggelam. Dia berpikir,
kota Jakarta yang mereka tuju kian dekat. Ternyata pemandangan yang dia lihat
itu masih harus di tempuh selama empat jam berlayar. Alhasil, menjelang magrib,
kapal baru merapat di Tanjung Priok.
Suasana sore hari juga dilukiskan dalam cerita. Saat Ikal melihat
pemandangan perkebunan kelapa sawit yang ada di kampungnya, saat menjelang
petang yang sunyi dan menegangkan, Arai duduk di kursi malas sambil membekap
surat dan bingkai foto kedua orang tuanya yang telah tiada. Suasana malam hari
juga di gambarkan ketika usai shalat Isya, Ikal dan Arai mengendap-ngendap ke
rumah Nirmala. Dan sebagian cerita terjadi ketika malam turun, di seputar
pelabuhan Tanjung Priok, mereka naik bus, yang akhirnya mengantarkan mereka
sampai di terminal Bus Bogor.
3. Latar Lingkungan Sosial
a. Ekonomi
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti dibawah ini.
Pada saat Mak Cik meminta beras kepada ibu Ikal dan menukarnya dengan
biola namun Ibu Ikal tidak mau menerimanya. Berikut kutipannya:
“Sudah tiga kali Minggu ini mak Cik datang meminjam beras. Keluarga kami memang miskin tapi Mak Cik lebih tak beruntung. Ia tak berdaya karena tak lagi dipedulikan suaminya, antara lain karena ia hanya melahirkan anak-anak perempuan itu.” (Hirata:2006:39)
b. Religius
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti dibawah ini:
Perilaku Arai dalam kesehariannya mencerminkan seorang muslim. Orang
yang taat pada perintah agama, hal itu terbukti bahwa setiap habis maghrib dia
selalu membacakan ayat-ayat suci Al Quran dengan kesadarannya sendiri, tanpa
diperintah siapapun. Berikut Kutipannya:
“Setiap habis maghrib, Arai melantunkan ayat-ayat suci Al Quran di bawah temaram lampu minyak dan saat itu seisi rumah kami terdiam. Suaranya sekering ranggasa yang menusuk-nusuk malam. Ratap lirihnya mengirisku, menyeretku kesebuah gubuk ditengah ladang tebu. Setiap lekukan tajwid yang dilantunkan hati muda itu adalah sayat kerinduan yang tak tertanggungkan pada ayah-ibunya ” (Hirata : 2008:33)
Jimbron adalah tokoh yang taat beragama dengan mengaji setiap harinya,
walaupun dia hidup di lingkungan agama yang berbeda, yaitu agama Katolik.
Berikut kutipannya:
“Jimbron adalah seorang yang membuat kami takjub dengan tiga macam keheranan. Pertama, kami heran karena kalau mengaji, ia selalu diantar seorang pendeta. Sebetulnya beliau adalah seorang pastor karena beliau seorang Katolik, tapi kami memanggilnya Pendeta Geovany. Rupanya setelah sebatang kara seperti Arai ia menjadi anak asuh sang pendeta. Namun, pendeta berdarah Itali itu tak sedikit pun bermaksud mengonversi keyakinan Jimbron. Beliau malah tak pernah telat jika mengantarkan Jimbron mengaji ke masjid” (Hirata:2008:61)
c. Intelektual
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti dibawah ini:
WC yang keran airnya mampet, malah masih digunakan. Apalagi yang
menggunakannya adalah para intelek muda yang dasar pendidikannya ada.
Mereka yang menggunakan tidak menghiraukan walaupun agama sudah
mengajarkan kebersihan adalah sebagian dari iman. Mereka yang melakukan
justru malah tidak merasa bersalah, walaupun orang lain yang kena dampak dari
ulah mereka. Berikut kutipannya:
“WC ini sudah hampir setahun diabaikan karena keran air yang mampet. Tapi manusia-manusia cacing, para intelektual muda SMA Negeri Bukan Main yang tempurung otaknya telah pindah ke dengkul, nekat menggunakannya jika panggilan alam itu tak tertahankan. Dengan hanya berbekal segayung air saat memasuki tempat sakral itu, mereka menghinakan dirinya sendiri dihadapan agama Allah yang mengajarkan bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. Dan kamilah yang menanggung semua kebejatan moral mereka.”(Hirata:2006:130).
Bupati yaitu pemimpin sekarang kelakuannya sudah tidak jujur dan
menghalalkan segala cara hanya demi merebut kursi kepemimpinannya. Berikut
kutipannya:
“ lain kali mencalonkan dirinya jadi bupati!! pasang huruf h besar di depan namanya, mengaku dirinya haji???!! padahal aku tahu kelakuannya!! waktu jadi mahasiswa, wesel dari ibunya dipakainya untuk main judi buntut!!!”(Hirata:2006:168)
“itulah kalau kau mau tahu tabiat pemimpin zaman sekarang, boi!! baru mencalonkan diri sudah jadi penipu, bagaimana kalau bajingan seperti itu jadi ketua!!??”(Hirata:2006:168).
d. Rasa Kemanusiaan
Hal tersebut nampak dari bukti dibawah ini:
Beberapa hari setelah ayahnya meninggal Ikal dan ayahnya menjemput Arai untuk
di bawa ke rumahnya. Arai dan Ikal sebenarnya adalah masih saudara. Pada
waktu menjemput Arai, Ikal membantu Arai untuk membawakan buku-bukunya
yang masih perlu di bawa. Berikut kutipannya:
“Aku membantu membawa buku-bukunya dan kami meninggalkan gubuk berdinding lelak beratap daun itu dengan membiarkan pintu dan jendela-
jendelanya terbuka karena dipastikan tak kan ada siapa-siapa untuk mengambil apapun.”(Hirata:2008:25)
Tokoh Ikal yang seharusnya menghibur Arai ketika ia mendapat musibah ternyata
malah berputar terbalik. Justru Arai yang berusaha menghibur Ikal supaya dia
tersenyum. Berikut kutipannya:
“Aku tersenyum tapi tangisku tak reda karena seperti mekanika gerak balik helikopter purba ini, Arai telah memutar balikkan logika sentimental ini. Ia justru berusaha menghiburku pada saat aku seharusnya menghiburnya. Dadaku sesak.”(Hirata:2006: 28)
Arai tidak tega melihat Mak Cik yang hidup kesusahan. Dia juga menyuruh Ikal
untuk memecah celengannya untuk menolong Mak Cik. Cara mereka dengan
membelikan bahan-bahan untuk membuat kue supaya beliau bisa mencukupi
kebutuhan hidup keluarganya. Berikut Kutipannya:
“Arai menyerahkan karung-karung kami pada Mak Cik. Beliau terkagetkaget. Lalu aku tertegun mendengar rencana Arai, dengan bahan itu dimintanya Mak Cik membuat kue dan kami yang akan menjualnya. Mulai sekarang Mak Cik mempunyai penghasilan! Seru Arai bersemangat.”(Hirata:2006:51)
Sikap tanggung jawab Bang Zaitun untuk memaksimalkan penampilan Arai dalam
memikat hati Nirmala sang pujaan hatinya, karena penampilan Arai yang pertama
kurang maksimal sehingga untuk memikat hati Nirmala bisa dikatakan gagal.
Berikut kutipannya:
“Bang Zaitun sangat komit pada penampilan Arai kali ini sebab ia merasa bertanggung jawab pada kegagalan Arai yang pertama.” (Hirata:2006:210)
d. Budaya
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti berikut ini:
Masyarakat Melayu ketika mulai beranjak dewasa kebanyakan mereka sudah
berusaha bekerja mencari uang untuk membantu keluarganya dalam mencukupi
kebutuhan hidup. Maka tidak heran, banyak remaja yang memilih tidak melanjutkan
sekolah, melainkan memilih untuk bekerja. Berikut kutipannya:
“Dan seperti kebanyakan anak-anak Melayu miskin di kampung kami yang rata-rata beranjak remaja mulai bekerja mencari uang,…”(Hirata:2006:32)
Peregasan yang artinya adalah peti papan besar tempat menyimpan padi.
Sebagian besar orang Melayu di setiap rumahnya pasti terdapat peregasan yang
berfungsi untuk menyimpan beras. Berikut Kutipannya:
“Padi dalam peregasan sebenarnya sudah tak bisa lagi dimakan karena sudah disimpan puluhan tahun. Saat ini peregasan tak lebih dari surga dunia bagi bermacam-macam kutu dan keluarga tikus berbulu kelabu yang turun- temurun beranak pinak disitu.” (Hirata:2006:36)
Kutipan-kutipan novel tersebut diatas, menggambarkan bahwa cerita juga
berlatar lingkungan sosial, seperti ekonomi, relegius, intelektual, rasa kemanusiaan,
dan budaya. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa kutipan yang menceritakan
tentang Mak Tik yang hidup serba kekurangan, tentang sikap religius yang ada
dalam tokoh cerita, yaitu Arai yang dalam kesehariannya mencerminkan seorang
muslim yang baik yang taat beragama, dan rajin mengaji, serta selalu memberi
contoh yang baik bagi teman-temannya, juga Jimbron yang meski di asuh dan
dibesarkan oleh seorang pendeta, namun pendeta Geovanny tidak pernah
terlambat mengantarkan Jimbron mengaji ke mesjid. Kemudian dari segi intelektual,
cerita dalam novel Sang Pemimpi juga melukiskan tentang sikap intelektual dari
tokoh-tokoh yang ada dalam cerita. Ketika membicarakan tentang pemilihan bupati
di daerahnya yang menurut mereka seorang pemimpin itu harus bertanggung
jawab, dan jujur. Kemudian dari rasa kemanusiaan dan budaya juga di hadirkan
dalam cerita, ketika Arai selalu membantu Ikal dikala Ikal kesusahan, menghiburnya
di kala Ikal sedih. Arai selalu berusaha membuat Ikal tersenyum. Arai juga tak tega
melihat Mak Cik yang hidup kesusahan. Dia menyuruh Ikal memecahkan
celengannya untuk membelikan Mak Cik bahan-bahan untuk membuat kue supaya
bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
4. Latar Suasana
a. Bahagia
Hal tersebut dapat dilihat di bawah ini:
“Kesempatan baik, Bron!!” aku girang, celingukan kiri kanan. “Tak ada kompetisi!!” Wajah Jimbron yang bulat jenaka merona-rona seperti buah mentega. “Mmhhh ... mmhhaa ... mainkan, Kal!!” (Hirata:2006:11)
Berbeda dengan Arai. Waktu peti melewati para pengamen ia menjetikkan para jemarinya mengikuti kerincing tamborin. Dan ia tersenyum. Aku mengerti bahwa baginya apa yang kami alami adalah sebuah petulangan yang asyik. Ia melirikku yang terjepit tak berdaya, senyumnya semakin girang. (Hirata:2006:21)
Demikianlah arti Arai bagiku. Maka sejak Arai tinggal dirumah kami, tak kepalang senang hatiku. Aku semakin gembira karena kami diperbolehkan menempati kamar hanya untuk kami berdua. Walaupun kamar kami hanyalah gudang peregasan, jauh lebih baik daripada tidur di tengah rumah, bertumpuk-tumpuk seperti pindang bersama abang-abangku yang kuli, bau keringat, dan mendengkur. (Hirata:2008;35)
b. Sedih
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti dibawah ini:
“Di perjalanan aku tak banyak bicara karena hatiku ngilu mengenangkan nasib malang yang menimpa sepupu jauhku ini. “(Hirata:2008:26)
“Dari dalam karung, ia mengeluarkan sebuah benda mainan yang aneh. Aku melirik benda itu dan aku semakin pedih membayangkan ia membuat mainan itu sendirian, memainkannya juga sendirian ditengah-tengah ladang tebu.Aku tersedu sedan.” (Hirata:2008:27)
“Air mata Mak Cik meleleh. Kesusahan seakan tercetak di keningnya. Lahir untuk susah, demikian stempelnya. Putrinya yang terkeik tertidur pulas dalam dekapannya. Yang tertua, Nurmi yang kurus tinggi kurang gizi itu, baru kelas dua SMP, sama denganku dan Arai, tampak tertekan batinnya. Ia memeluk erat sebuah koper hitam lusuh berisi biola. Dia seorang pemain biola berbakat. Ingin menjadi musisi, itulahimpian terbesarnya. Bakat dan biola itu diwarisinya dari kakeknya, ketua gambus kampung itu.” (Hirata:2008:38)
c. Gelisah
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti di bawah ini:
“Sekarang delapan orang memikul peti dan peti menuju pasar pagi yang ramai. Disekitar peti tukang parkir berteriak-teriak menimpali obralan pedagang Minang yang menjual baju di kaki lima. Klakson sepeda motor dan kliningan sepeda sahut menyahut dengan jeritan mesin parut dan ketukan palu para tukang sol. Lenguh sapi yang digelandang ke pejagalan beradu nyaring dengan suara bising dari balon kecil yang dipencet penjual mainan anak-anak. Di punggungku kurasakan satu persatu detakan jantung Jimbron, lambat namun keras, gelisah dan mencekam.” (Hirata:2006:20). Dari kutipan tersebut, tergambar bahwa cerita dalam novel juga berlatar
suasana bahagia, sedih, dan gelisah. Ikal merasa sangat senang ketika Arai tinggal
di rumahnya dan sekamar berdua. Itu berarti dia akan memiliki teman bermain,
berbagi dan sekolah. Namun Ikal juga sedih manakala dia mengenang nasib
malang yang menimpa saudara sepupu jauhnya Arai yang sejak kecil di tinggal
mati oleh kedua orangtuanya.
Latar memiliki fungsi penting bagi sebuah cerita, dan berperan menjelaskan
atau menghidupkan peristiwa dalam sebuah cerita. Hal ini disebabkan karena latar
atau setting sangat berpengaruh bagi perilaku jiwa seorang tokoh.
5. Sudut Pandang
Sudut pandang novel Sang Pemimpi yaitu “orang pertama” (aku).
Dimana penulis memposisikan dirinya sebagai tokoh Ikal dalam cerita.
2. Unsur Ekstrinsik Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata
a. Nilai Moral
Nilai moral pada novel ini sangat kental. Sifat-sifat yang tergambar menunjukkan
rasa humanis yang terang dalam diri seorang remaja tanggung dalam menyikapi
kerasnya kehidupan. Di sini, tokoh utama digambarkan sebagai sosok remaja yang
mempunyai perangai yang baik dan rasa setia kawan yang tinggi.
“Mereka yang masih bersemangat sekolah umumnya bekerja di warung mi rebus. Mencuci piring dan setiap malam pulang kerja harus menggerus tangan tujuh kali dengan tanah karena terkena minyak babi. Atau menjadi buruh pabrik kepiting. Berdiri sepanjang malam menyiangi kepiting untuk dipaketkan ke Jakarta dengan resiko dijepit hewan nakal itu. Atau, seperti aku, Arai dan Jimbron, menjadi kuli ngambat” (Hirata : 2006: 68)
“Sebelum menjadi kuli ngambat kami pernah memiliki pekerjaan lain yang juga memungkinkan untuk tetap sekolah, yaitu sebagai penyelam di padang golf.” (Hirata : 2006: 69)
“Setiap pukul dua pagi, berbekal sebatang bambu, kami sempoyongan memikul berbagai jenis mahkhluk laut yang sudah harus tersaji di meja pualam stanplat pada pukul lima, sehingga pukul enam sudah biasa diserbu ibu-ibu. Artinya, setelah itu kami leluasa untuk sekolah. Setiap pagi kami selalu seperti semut kebakaran. Menjelang pukul tujuh, dengan membersihkan diri seadanya karena kami selalu berbau seperti ikan pari kami tergopoh-gopoh ke sekolah. Jimbron menyambar sepedanya, yang telah dipasanginya surai sehingga baginya seperti jengki reyot itu adalah kuda terbang Pegasus. Aku dan Arai berlari sprint menuju sekolah.” (Hirata : 2006 :70).
Nilai moral merupakan sesuatu yang ingin disampaikan pengarang kepada
pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam karya sastra, makna yang
disaratkan lewat cerita. Moral merupakan pandangan pengarang tentang nilai-nilai
kebenaran dan pandangan itu yang ingin disampaikan kepada pembaca. Tokoh utama
dalam novel Sang Pemimpi digambarkan sebagai sosok yang memiliki perangai yang
baik dan rasa setia kawan yang tinggi. Kutipan diatas mempunyai kandungan nilai
pendidikan moral. Ketika Ikal, Arai dan Jimbron selalu member contoh yang baik bagi
teman-temannya, dan ketika mereka tidak pernah patah semangat dalam mencukupi
kebutuhan hidup dan sekolah mereka dengan menjadi kuli, tanpa membebankan orang
tua.
b. Nilai Sosial
Ditinjau dari nilai sosialnya, novel ini begitu kaya akan nilai sosial. Rasa setia
kawan yang begitu tinggi dimiliki antara tokoh, Ikal, Arai, dan Jimbron. Masing-masing
saling mendukung dan membantu antara satu dengan yang lain dalam mewujudkan
impian-impian mereka sekalipun hampir mencapai batas kemustahilan. Dengan didasari
rasa gotong royong yang tinggi sebagai orang Belitong, dalam keadaan kekurangan pun
masih dapat saling membantu satu sama lain. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan
berikut :
“Aku ingin menyelamatkan Jimbron walaupun benci setengah mati pada Arai. Aku dan Arai menopang Jimbron dan beruntung kami berada dalam labirin gang yang membingungkan…” (Hirata : 2006: 15).
“Aku ingin membahagiakan Arai. Aku ingin berbuat sesuatu seperti yang ia lakukan pada Jimbron. Seperti yang selalu ia lakukan padaku. Aku sering melihat sepatuku yang menganga seperti buaya berjemur tahu-tahu sudah rekat kembali, Arai diam-diam memakunya. Aku juga selalu heran melihat kancing bajuku yang lepas tiba-tiba lengkap lagi, tanpa banyak cincong Arai menjahitnya. Jika terbangun malam-malam, aku sering mendapatiku telah berselimut, Arai menyelimutiku.“ (Hirata : 2006: 185)
Ketika Ikal dan Arai akan berangkat ke Pulau Jawa untuk melanjutkan kuliah, Jimbron
memilih untuk tetap tinggal di Magai, bekerja di peternakan Capo mengurus kuda dan
menyerahkan tabungan kuda Sumbawanya untuk mereka.
“Dari dulu tabungan itu memang kusiapkan untuk kalian…” Air muka Jimbron yang polos menjadi sembab. Ia tampak sangat terharu karena dapat berbuat sesuatu untuk membantu sahabatnya. “Kalian lebih pintar, lebih punya kesempatan untuk sekolah lagi, kalian berangkat saja ke Jawa. Pakailah uang itu, kejarlah cita-cita…”. Kami terhenyak. Kami tak menduga sedikit pun niat tulus Jimbron selama ini.
Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan
tata cara hidup sosial. Suatu kesadaran dan emosi yang relative lestari terhadap
suatu objek, gagasan, atau orang juga termasuk di dalamnya. Kutipan-kitipan
diatas menggambarkan nilai sosial yang terkadung dalam novel Sang Pemimpi.
Kutipan diatas dapat dijelaskan bahwa walaupun Ikal sangat benci kepada Arai
tapi jiwa penolongnya kepada Jimbron masih tetap ada dalam dirinya, karena
dia merasa walaupun bagaimana mereka adalah bersaudara.
Nilai sosial juga berupa hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan
tata cara hidup sosial. Ketika Ikal dan Arai akan berangkat ke Pulau Jawa
melanjutkan pendidikan, Jimbron tetap memilih tinggal di Magai, bekerja di
peternakan Kuda. Dia menyerahkan celengan kudanya kepada kedua
sahabatnya sebagai bekal untuk mereka. Ikal dan Arai tak pernah menyangka
niat tulus Jimbron selama ini.
c. Adat Istiadat
Nilai pendidikan budaya adalah tingkat yang paling tinggi dan yang paling abstrak
dari adat istiadat. Hali itu disebabkan karena nilai-nilai budaya itu merupakan konsep-
konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga
sesuatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga dan penting
dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan
orientasi kepada kehidupan para warga masyarakatnya.
Walaupun nilai-nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam
masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu nilai budaya itu bersifat sangat umum
mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara
rasional dan nyata. Namun, justru karena sifatnya yang umum, luas, dan tidak konkret
itu, maka nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional
dari alam jiwa para individu yang menjadi warga dari kebudayaan bersangkutan.
Kebiasaan dalam daerah tertentu juga memengaruhi tata cara dalam kehidupan sehari-
hari, terlihat seperti kutipan di bawah ini.
“Dan seperti kebanyakan anak-anak Melayu miskin di kampung kami yang rata-rata beranjak remaja mulai bekerja mencari uang,…”(Hirata : 2006: 32)
Masyarakat Melayu ketika mulai beranjak dewasa kebanyakan mereka sudah berusaha
bekerja mencari uang untuk membantu keluarganya dalam mencukupi kebutuhan
hidup. Maka tidak heran, banyak remaja yang memilih tidak melanjutkan sekolah,
melainkan memilih untuk bekerja. Sebagian besar orang Melayu di setiap rumahnya
pasti terdapat peregasan (peti papan besar tempat menyimpan padi) yang berfungsi
untuk menyimpan beras. Berikut kutipannya :
“Padi dalam peregasan sebenarnya sudah tak bisa lagi dimakan karena sudah disimpan puluhan tahun. Saat ini peregasan tak lebih dari surga dunia bagi bermacam-macam kutu dan keluarga tikus berbulu kelabu yang turun- temurun beranak pinak disitu.” (Hirata:2006:36).
Nilai-nilai adat istiadat berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam
masyarakat. Kebiasaan dalam daerah tertentu memengaruhi tata cara dalam kehidupan
sehari-hari, terlihat seperti kutipan tersebut diatas. Masyarakat Melayu ketika mulai
beranjak dewasa kebanyakan mereka sudah berusaha mencari uang untuk membantu
keluarganya dalam mencukupi kebutuhan hidup. Maka tidak heran, banyak remaja yang
memilih tidak melanjutkan sekolah, melainkan memilih untuk bekerja.
Unsur-unsur dan nilai kebudayaan juga dapat dilestarikan dengan menggunakan
benda atau barang kebudayaan daerah setempat. Hal itu juga diterapkan oleh
masyarakat Melayu. Sebagian besar orang Melayu di setiap rumahnya pasti terdapat
peregasan yang berfungsi untuk menyimpan beras. Bagi orang Melayu juga
menganggap peregasan adalah sebuah metafora, budaya, dan perlambang yang
mewakili periode gelap selama tiga setengah tahun Jepang menindas mereka.
d. Agama
Berbicara tentang hubungan manusia dengan Tuhan tidak terlepas dari
pembahasan agama. Agama merupakan pegangan hidup bagi manusia. Perilaku Arai
dalam kesehariannya mencerminkan seorang muslim. Orang yang taat pada perintah
agama, hal itu terbukti bahwa setiap habis maghrib dia selalu membacakan ayat-ayat
suci Al Quran dengan kesadarannya sendiri, tanpa diperintah siapapun. Berikut
kutipannya:
“Setiap habis maghrib, Arai melantunkan ayat-ayat suci Al Quran di bawah temaram lampu minyak dan saat itu seisi rumah kami terdiam. Suaranya sekering ranggasa yang menusuk-nusuk malam. Ratap lirihnya mengirisku,menyeretku kesebuah gubuk ditengahladang tebu. Setiap lekukan tajwid yang dilantunkan hati muda itu adalah sayat kerinduan yang tak tertanggungkan pada ayah-ibunya ”(Hirata:2006:33)
Nilai agama pada novel ini juga secara jelas tergambar. Hal itu juga yang membuat
novel ini begitu kaya. Terutama pada bagian-bagian dimana ketiga tokoh ini belajar
dalam sebuah pondok pesantren. Banyak aturan-aturan islam dan petuah-petuah
Taikong (kyai) yang begitu hormat mereka patuhi. Rasa cinta Terhadap tuhan juga
ditujukan oleh Arai, Ikal, Jimbron dan orang tua mereka. Dari SD mereka sudah harus
belajar mengaji dan khatam Al-Quran, orang tua mereka juga harus menyunati anak
laki-laki. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut.
“Setelah pulang sekolah, jangan harap kami bisa berkeliaran. Mengaji dan mengaji Al-Quran sampai khatam berkali-kali. Dan jika sampai tamat SD belum hafal Juz’ Amma, siap-siap saja dimasukkan ke dalam beduk dan beduknya dipukul keras-keras sehingga kita keluar berjalan zig-zag seperti ayam keracunan kepiting batu. Mereka lebih kejam dari orangtua kami mengaji. Bahkan Pak Ketua Kacang Kedelai tak berkutik pada trias politika karena yang menyunat bapaknya, dengan kulit bamboo, adalah Taikong Hamim. Dalam budaya orang Melayu pedalaman, siapa yang mengajari mengaji dan menyunati perkakasmu, maka dialah pemilik kebijakan hidupmu.” (Hirata: 2006:59)
Jimbron adalah tokoh yang taat beragama dengan mengaji setiap harinya, walaupun dia
hidup di lingkungan agama yang berbeda, yaitu agama Katolik. Mereka menjadi saling
menghormati, dengan demikian manusia bisa hidup harmonis dalam hubungannya
dengan Tuhan sesame manusia, maupun makhluk lain. Pendeta Geovany merupakan
sosok yang penyayang dan menghormati manusia lain yang berbeda agama, terbukti
bahwa Jimbron sebagai anak angkatnya justru malah setiap hari di antar mengaji dan
tidak sedikitpun bermaksud menyesatkan keyakinan Jimbron dan malah tidak pernah
telat mengantarkan Jimbron ke masjid. Berikut kutipannya:
“Jimbron adalah seorang yang membuat kami takjub dengan tiga macam keheranan. Pertama, kami heran karena kalau mengaji, ia selalu diantar seorang pendeta. Sebetulnya beliau adalah seorang pastor karena beliau seorang Katolik, tapi kami memanggilnya Pendeta Geovany. Rupanya setelah sebatang kara seperti Arai ia menjadi anak asuh sang pendeta. Namun, pendeta berdarah Itali itu tak sedikit pun bermaksud mengonversi keyakinan Jimbron. Beliau malah tak pernah telat jika mengantarkan Jimbron mengaji ke masjid.” (Hirata:2006:61)
Nilai relegius merupakan sudut pandang yang mengikat manusia dengan Tuhan
pencipta alam dan seisinya . berbicara tentang hubungan manusia dan Tuhan tidak
terlepas dari pembahasan agama. Agama merupakan pegangan hidup bagi manusia.
Dari kutipan diatas, tokoh Jimbron dalam novel Sang Pemimpi mencerminkan tokoh
yang taat beragama dengan mengaji setiap harinya, walaupun dia hidup di lingkungan
agama yang berbeda, yaitu agama Katolik. Penanaman nilai religius yang tinggi mampu
menumbuhkan sikap sabar, tidak sombong dan tidak angkuh pada sesama. Manusia
menjadi saling mencintai dan menghormati sehingga bisa hidup harmonis dalam
hubungannya dengan Tuhan dan dengan sesamanya.
Perilaku Arai dalam kesehariannya mencerminkan seorang muslim. Orang yang
taat pada perintah agama, hal itu terbukti bahwa setiap habis magrib dia selalu
membacakan ayat-ayat suci Al Quran dengan kesadarannya sendiri, tanpa diperintah
siapapun.
2. Unsur Intrinsik Novel Yasmin Karya Diyana Millah Islami
Unsur instrinsik berupa segala sesuatu yang menginspirasi penulisan
karya sastra dan mempengaruhi karya sastra secara keseluruhan. Unsur
intrinsik merupakan unsur yang membangun karya sastra dari dalam.
a. Tokoh dan Penokohan
Penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh dalam cerita. Penokohan
lebih mengarah pada cara penyajian watak tokoh dan penciptaan cerita. Tokoh adalah
individu rekaan yang mengalami peristiwa dalam cerita.
Tokoh dalam novel Yasmin, yaitu: Yasmin, Muhammad Nurhasan, Halimah, Mak
Tik, Sulaiman, Misrun, Sarni, Leli, Kiai Durahem, Mak Nyai Munah, Yu Nur, Romlah,
Husniah, Nasir, Fatma, Lek Rip, Supriyadi, H. Ridwan, Pak Mantri, Cak Jupri, Pak
Narso, Lek Sanah, Pak Kadir, Soleh, Mamad, Suparmi, Aminuddin, Herwanto.
Penokohan
1. Yasmin, anak kampung yang miskin, lincah dan rajin, yang masih duduk di
Madrasah Ibtidaiyah kelas 3.
2. Muhammad Nurhasan, biasa di panggil Hasan, seorang pemuda yang
sementara kuliah dan melakukan penelitian di Dusun Tegalamat Atas,
Jember, dan sementara menjadi guru olahraga di Madrasah Ibtidayah
tempat Yasmin sekolah.
3. Halimah atau Nyi Lim, anak perempuan Kiai Durahem.
4. Mak Tik, emak atau ibu yasmin yang bekerja sebagai tukang jahit.
5. Sulaiman, ayah Yasmin bekerja sebagai mandor di kebun coklat.
6. Misrun, adik laki-laki Yasmin yang idiot dan sehari-harinya menggembalakan
kambing milik H. Ridwan.
7. Sarni, adik bungsu Yasmin.
8. Leli, keponakan Yasmin yang ditinggal mati ibunya waktu melahirkan Leli
dan di asuh oleh ibunya Yasmin.
9. Abdur Rohim atau Kiai Durahem, pimpinan pondok pesantren Nurul Huda di
Dusun Tegalamat Atas, Jember.
10. Mak Nyai Munah, istri Kiai Durahem
11. Nur’ani atau Yu Nur, santri putri yang paling tua di pesantren dan masih
tinggal di pesantren Nurul Huda.
12. Romlah, santri senior putri yang tinggal di pondok pesantren Nurul Huda.
13. Husniah, santri senior yang tinggal di pesantren Nurul Huda.
14. Nasir, santri putra senior yang tinggal di pondok pesantren Nurul Huda
15. Fatma, teman sekolah Yasmin yang juga tinggal di pondok pesantren Nurul
Huda.
16. Lek Rip, pemilik toko kain dan kancing langganan Mak Tik, ibu Yasmin.
17. Supriyadi atau Cak Pri, Kakak ipar Yasmin yang pernah bekerja sebagai TKI
di Arab Saudi, tetapi kembali ke tanah air dan tinggal di pondok pesantren
Nurul Huda atas izin Kiai Durehem, tanpa sepengetahuan orang-orang
kampung karena malu sama keluarga.
18. H. Ridwan, pemilik kebun coklat dan kambing yang di gembalakan Misrun.
19. Pak Mantri, tempat orang-orang di dusun Tegalamat Bawah berobat.
20. Cak Jupri, family Yasmin
21. Pak Narso, tukang kebun Madrasah Ibtidaiyah Bustanul Ulum
22. Lek Sanah, penjual makanan di dekat MIBU
23. Pak Kadir, kepala sekolah Madrasah Ibtidaiyah Bustanul Ulum.
24. Soleh, teman sekelas Yasmin dan anak santri pesantren Nurul Huda
25. Mamad, teman sekelas Yasmin dan anak santri pesantren Nurul Huda.
26. Suparmi teman sekelas Yasmin di Madrasah Ibtidaiyah.
27. Amiruddin, teman sekelas Yasmin di Madrasah Ibtidaiyah.
28. Herwanto, teman sekelas Yasmin di Madrasah Ibtidaiyah.
Tokoh dan penokohan merupakan unsur penting dalam karya naratif. Setiap
karya fiksi otomatis terdapat tokoh di dalamnya. Dari cerita dalam novel yang berjudul
Yasmin, diketahui bahwa yang menjadi tokoh utama dalam cerita ini adalah Yasmin,
seorang gadis kecil yang lincah dan rajin yang masih duduk di sekolah Madrasah
Ibtidaiyah kelas tiga. Kriteria tokoh utama adalah bertindak sebagai pusat pembicaraan
dan sering diceritakan, sebagai pihak yang paling dekat kaitannya dengan tema cerita,
dan lebih sering melakukan interaksi dengan tokoh lain dalam cerita.
b. Tema
Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya
sastra. Tema mempunyai hubungan yang sangat erat dengan sebuah cerita
karena menjadi inti dari permasalahannya.
Tema dalam novel Yasmin karya Diyanah Millah Islami adalah pendidikan.
Menceritakan tentang seorang anak perempuan yang masih duduk di kelas tiga
Madrasah Ibtidaiyah, yang sangat menginginkan untuk tinggal di pondok
pesantren Nurul Huda yang di pimpin oleh Kiai Durahem sekedar untuk belajar
agama lebih dalam lagi seperti kebanyakan yang di lakukan oleh anak-anak
suku Madura di kampungnya. Berikut kutipannya :
“Sambil memangku Sarni, Yasmin memandang Fatma yang sedang memasukkan baju-bajunya ke tas. Bapak dan Emaknya pun sibuk memasukkan barang-barang Fatma yang lain ke kardus. Hari itu Fatma akan berangkat mondok. Yasmin memandangnya dengan wajah sedih”.
“Ndak udah murung gitu, Min. Kita kan masih bisa bertemu tiap hari di sekolah. Dan malamnya kita juga bisa bertemu waktu ngaji di langgar,” kata Fatma kepada Yasmin.
“Yasmin bukan murung karena itu, Fat. Yasmin iri sama Fatma karena Yasmin ndak bias mondok. Padahal, sejak dulu Yasmin sangat menginginkannya.” Yasmin menjawab lirih.” (Diyana MI : 2014 : 43)
Yasmin juga termasuk keluarga yang tidak mampu. Ayahnya hanya bekerja sebagai
mandor di kebun coklat yang sudah sakit-sakitan, dan ibunya bekerja sebagai tukang
jahit. Akhirnya sebagai anak yang tertua, Yasmin lebih diharapkan untuk banyak
membantu pekerjaan ibunya termasuk mengurus bapak, adik dan keponakannya yang
masih kecil. Berikut kutipannya:
“Kamu dengarkan suruhan Emak, ndak?”
“Yasmin dengar, Mak. Pasti Yasmin kerjakan semua sampai beres, Mak. Yasmin hanya bilang kalau Yasmin ingin mondok seperti Fat.”
“Cepat kerjakan apa yang Emak suruh barusan. Keburu Lek Jannah datang mau ambil bajunya. Mengerti ?” (Diyana MI : 2014 : 45).
Berdasarkan kutipan-kutipan tersebut di atas di ketahui bahwa tema dalam cerita
novel Yasmin adalah tentang seorang gadis kecil yang masih duduk dibangku
Madrasah Ibtidaiyah sangat menginginkan untuk bisa mondok di pesatren Nurul Huda
pimpinan Kiai Durahem untuk belajar ilmu agama Islam secara mendalam bersama
teman-temannya yang lain. Seperti kebanyakan anak-anak suku Madura di
kampungnya, sejak kecil mereka di perkenalkan pendidikan agama dan tidak sedikit
yang belajar melalui pondok pesantren di daerahnya. Di samping itu, cerita dalam
novel Yasmin ini juga menggambarkan tentang sosok gadis kecil yang bertanggung
jawab terhadap keluarganya. Yasmin kecil sebagai anak tertua, banyak membantu
pekerjaan ibunya, mengurus bapak, adik dan keponakannya meski harus meninggalkan
dunia kecilnya untuk bebas bermain selayaknya teman-teman sebayanya.
c. Amanat
Amanat adalah sesuatu yang hendak disampaikan oleh pengarang yang dapat
dipahami lewat tema rasa dan nada dari karya sastra yang bersangkutan. Amanat adalah
gagasan yang mendasari karya sastra, pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada
pembaca atau pendengar. Di dalam karya sastra modern, amanat ini biasanya tersirat dan
di dalam karya sastra lama pada umumnya tersurat. Amanat dapat disampaikan secara
implicit yaitu dengan cara memberikan ajaran moral atau pesan dalam tingkah laku atau
peristiwa yang terjadi pada tokoh menjelang cerita berakhir, dan dapat pula disampaikan
secara eksplisit yaitu dengan penyampaian saran, seruan, peringatan, nasehat, anjuran atau
larangan yang berhubungan dengan gagasan utama cerita.
Amanat dalam novel Yasmin adalah pendidikan. Selain itu memberikan suatu pesan
bahwa seorang anak kecilpun bisa mewujudkan suatu keinginan dan mimpi ketika memiliki
kesabaran, dan tekad yang kuat. Dan novel ini memberikan banyak pelajaran berharga
tentang kekuatan tekad, cinta, dan kesederhanaan hidup. Berikut kutipannya:
“Kalau Yasmin menang lomba menggambar, beri Yasmin hadiah ya Mak.” Yasmin pun tak peduli kecuekan emaknya.
“Yasmin minta hadiah apa?” Tanya Bapak yang sudah dapat duduk dan berjalan lagi.
“Kalau Yasmin menang, ingin mondok, Pak. Itu hadiah yang Yasmin minta sama Emak.” Yasmin menjawab dengan penuh harap. (Diyana MI: 2014: 224)
…Di dalam mobil, Yasmin bersandar di badan Emak beserta barang-barangnya. Ia berdoa di dalam hati agar kelak ia dapat kembali duduk di mobil bersama Emak dan Bapak, beserta barang-barang yang banyak, menuju ke pesantren untuk mondok”. (Diyana MI: 2014: 225)
Amanat merupakan gagasan yang mendasari karya sastra atau pesan yang ingin
disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. Seperti yang terdapat dalam
novel Yasmin, pengarang memberikan inspirasi tentang pendidikan, memberikan banyak
pelajaran berharga tentang kekuatan tekad, cinta dan kesederhanaan hidup. Yasmin kecil
begitu memimpikan untuk belajar di pondok pesantren, belajar mengaji dan mendalami ilmu
agama Islam bersama teman-temannya di pondok. Namun, karena keterbatasan ekonomi,
dan harus membantu ibunya, akhirnya keinginan itu tidak langsung dikabulkan ibunya.
Namun akhirnya melihat tekad dan keinginan yang kuat dari anaknya, maka ibunya
mengijinkan.
d. Alur / Plot
Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan peristiwa sehingga terjalin
suatu cerita. Alur merupakan cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu
hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu di sebabkan atau
menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Peristiwa-peristiwa cerita dimanifestasikan
lewat perbuatan, tingkah laku, dan sikap tokoh-tokoh (utama) cerita.
Susunan Alur
Susunan alur/plot dalam novel Yasmin karya Diyana Millah Islami adalah sebagai berikut :
1. Pengarang mulai melukiskan keadaan
Yasmin kecil umur sembilan tahun sudah harus membantu orang tuanya menjaga adik
dan keponakannya yang di tinggal mati ibunya waktu melahirkan yang tidak lain adalah
kakak kandung Yasmin. Karena harus menjaga keponakannya dan membantu ibu, Yasmin
tidak bisa ikut bermain bersama teman-teman sebayanya. Dia di besarkan dalam kehidupan
yang serba kekurangan. Berikut kutipannya :
“Yasmin memandang anak-anak yang bermain dengan penuh rasa iri di pinggir lapangan. Ingin sekali gadis kecil berumur Sembilan tahun itu berbaur bersama teman-teman sebayanya. Tetapi, bagaimana ia bisa mendekat, sedangkan ada beban di punggungnya? Beban itu adalah seorang bocah dua tahunan yang di gendongnya, yang tak lain adalah jebbingnya sendiri.” (Diyana MI : 2014:1) 2. Peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak
Yasmin ingin sekali menjadi bagian dari pesantren Nurul Huda. Dia berharap bisa ikut
mondok seperti teman-temannya yang lain yang menjadi santri di pesantren Nurul Huda,
ingin mengaji dan makan bersama santriwati. Menikmati “tabhek” saat orang tua santri
“ngirim” ke pondok menjenguk anaknya di pondokan. Berikut kutipannya :
“Yasmin makan sambil menyuapi Sarni. Moment-momen seperti itu yang ingin selalu ia rasakan di pondok. Karena itulah, ia sangat ingin menjadi bagian dari mereka. Bersedih jika kiriman dari orangtua telat dan senang jika orangtua datang menjenguk. Memasak bersama-sama, mengaji kitab bersama, shalat berjemaah, dan sekolah diniyah.”(Diyana MI :2014: 26).
3. Keadaan mulai memuncak
Yasmin kecil semakin kuat keinginannya untuk bisa mondok di pesantren. Berkali-kali
dia meminta restu sama ibunya untuk di beri izin. Sampai dia berusaha bagaimana
keponakannya Leli bisa kembali di asuh oleh bapak kandungnya agar tidak lagi menjadi
beban Yasmin dan Ibunya. Agar ibu tidak lagi punya alasan untuk melarang Yasmin mondok
di pesantren. Berikut kutipannya :
“ Mak, seandainya orangtuanya Cak Pri datang lagi untuk membawa Jebbing, apa Emak izinkan mereka mengasuh Jebbing, Mak? Yasmin masih bertanya “Leli itu jebbing-mu, cucunya Emak satu-satunya. Emak ndak akan pernah izinkan orang tuanya Pri membawanya!” Emak menjawab acuh. “Tapi Yasmin ingiiiin sekali mondok, Mak.” Yasmin masih maksa. (Diyana MI : 2014: 1440) “ Mak.” Yasmin besimpuh di hadapan emaknya. “Mak, Cak Pri ingin membawa pulang Jebbing, Mak. Nanti kalau Jebbing sudah tinggal sama Cak Pri, Yasmin sama Sarni kan bisa mondok, Mak. Emak juga ndak akan kerepotan lagi. Kasihan Jebbingmu, Mak. Kalau sama Cak Pri, Jebbing bisa minum susu. Tapi disini dia hanya minum air gula.” Yasmin menarik-narik bagian bawah daster Mak Tik. Mak Tik diam tak menghiraukan. Ia tidak tahu bagaimana caranya memberi peringatan kepada anak sekecil Yasmin. Betapa ia sangat sakit hati kepada Supriyadi, mantan mantunya itu. (Diyana MI: 2014: 163)
4. Peristiwa mulai memuncak
Ketika Yasmin semakin semakin tidak bisa menahan dirinya untuk segera mondok di
pesantren. Hingga suatu ketika sepulang dari mengaji, dia meminta kembali kepada ibunya.
Berikut kutipannya :
“ Pokoknya Yasmin mau mondok!” teriak Yasmin malam itu sepulang dari mengaji.
Yasmin membanting sajadahnya yang apek. Kemudian, ia pun membanting pantatnya dengan keras ke balai-balai bamboo di serambi itu.
“Ndak ada mondok-mondokan!” Mak Tik balas berteriak.
“Emak, kan sudah janji kalau mau memondokkan Yasmin.”
“Kapan Emak janji kepadamu, ha?!”
“Jebbing, kan, sudah ndak di sini, Mak. Berarti Emak sudah ndak kerepotan lagi. Berarti Yasmin sudah ndak punya kewajiban menjaga Jebbing, dan itu berarti Yasmin sudah boleh mondok.” Suara Yasmin semakin keras. (Diyana MI : 2014:198)
“Kalau Emak ndak mau pusing lagi, cepat pondokkan Yasmin, Mak! Sarni dipondokkan juga, biar ndak merepotkan Emak di rumah.” Yasmin masih memaksa.
Mak Tik berdiri. Ia berpaling ke arah Yasmin yang masih belum melepas mukena bagian atasnya.
“Apa lagi bersama ale’mu. Bagaimana Emak harus membiayai kalian berdua di pondok?” suara Emak masih tinggi.” (Diyana MI:2014:199)
5. Pengarang memberikan pemecahan masalah soal dari semua peristiwa.
Ibunya Yasmin berusaha untuk memberikan Yasmin pengertian kenapa dia tidak bisa
memberikan izin kepada Yasmin untuk mondok di pesantren. Berikut kutipannya:
“Dengar Min, dengarkan Emak.” Mak Tik duduk di samping Yasmin. Kali ini suaranya agak rendah.
“Emak masih sangat membutuhkan tenaga kamu, Min. Kalau kamu mondok, siapa yang akan Emak suruh untuk mengobras nanti? Kalau untuk membeli kancing, benang, dan lain-lainnya, Emak masih bisa titip sama Lek Tipah yang sering ke pasar. Kalau punya uang lebih, Emak juga bisa titip agak banyak untuk persediaan. Tapi kalau untuk mengobras, bagaimana? Kalau Emak minta tolong sama tetangga, berarti Emak harus member upah. Upah Emak menjahit saja selalu pas-pasan untuk kita. Kamu tahu itu, kan, Min? Lagi pula, Bapak masih belum sehat benar. Siapa yang akan merawat Bapak sampai benar-benar sembuh kalau kamu mondok?” Dengan pelan Mak Tik menjelaskan panjang lebar. (Diyanah MI: 20
Berdasarkan uraian diatas, susunan alur/plot novel Yasmin karya Diyana Millah
Islami dapat dikatakan sebagai plot konvensional, karena pengarang menyusun cerita
berdasarkan urutan peristiwa dari pertama sampai akhir. Dari kutipan-kutipan tersebut
diatas, pengarang menggambarkan alur cerita mulai melukiskan keadaan ketika pengarang
menceritakan keadaan Yasmin dan keadaan keluarganya yang serba kekurangan dan sejak
kecil harus membantu orang tuanya menjaga adik dan keponakannya. Peristiwa mulai
bersangkut paut ketika pengarang menceritakan keinginan Yasmin untuk bisa mondok
seperti teman-temannya yang lain yang menjadi santri di pesantren Nurul Huda. Keadaan
mulai memuncak ketika Yasmin bersikukuh meminta izin kepada ibunya agar diperbolehkan
mondok di pesantren. Berkali-kali dia meminta restu kepada ibunya, namun keinginan itu
tidak pernah di kabulkan oleh ibunya dengan alasan bahwa tidak akan mampu membayar
biaya untuk Yasmin di pondokan. Pemecahan masalah soal dari semua peristiwa ketika
akhirnya Ibu Yasmin berusaha memberikan pemahaman kepada Yasmin kenapa dia tidak
bisa memberikan izin kepada Yasmin untuk mondok di pesantren. Yasmin pun pada
akhirnya menyadari keadaan dan alasan ibunya.
e. Latar
Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu,
ruang, suasanan dan situasi terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar dapat di bedakan ke
dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu dan suasana. Latar adalah elemen fiksi yang
menunjukkan di mana dan kapan terjadi peristiwa. Berikut latar cerita dalam novel Yasmin:
1. Latar Tempat
a. Di daerah pelosok di Kabupaten Jember, Jawa Timur yang masyarakatnya
terdiri atas suku Jawa dan suku Madura. Hal itu dapat diliat dari bukti berikut
ini :
Pada awal cerita pengarang melukiskan keadaan daerah pelosok di kabupaten
Jember.
“Yasmin pindah mengaji ke pesantren Nurul Huda, pesantrennya Kiai Durahem di Dusun Tegalamat Atas, pecahan dari Dusun Tegalamat Bawah tempat Yasmin tinggal. Dinamakan Tegalamat Atas karena berada di daerah yang datarannya tinggi, sedangkan Tegalamat Bawah berada di dataran rendah yang dikelilingi pegunungan berisi kebun coklat milik pemerintah. Baik Dusun Tegalamat Atas maupun Tegalamat Bawah merupakan bagian dari Desa Suci, Kecamatan Panti. Sebuah daerah pelosok di Kabupaten Jember, Jawa Timur, yang masyarakatnya terdiri atas suku Jawa dan suku Madura. “ (Diyana : 2014: 6).
b. Di Pondok Pesantren Nurul Huda
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti berikut :
Pada saat Yasmin selalu berkunjung ke pondok pesantren sekedar bertemu
dengan teman-temannya dan ikut makan bersama mereka.
“Yasmin kemudian menggandeng Sarni menuju pesantren Kiai Durahem di Tegalamat Atas. Sesampainya di pesantren, Yasmin masuk ke pintu pondokan putri dan menuju ke dapur pesantren.” (Diyanah : 2014: 20) Pada saat pesantren mengadakan acara Haflatul Imtihanan yang biasanya
dilaksanakan sebelum HUT RI.
“Sama halnya dengan pesantren-pesantren lain, tiap tahun di pesantren Kiai Durahem selalu diadakan acara Haflatul Imtihan yang dibarengkan dengan acara Isra Mikraj Nabi Muhammad saw. (Diyanah MI : 2014: 206)
c. Di Sekolah Madrasah Ibtidaiyah Bustanul Ulum.
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti dibawah ini:
“Pagi-pagi sekali Yasmin sudah sampai di sekolahnya, di Madrasah Ibtidaiyah Bustanul Ulum, yang kemudian biasa di sebut MIBU. Anak-anak yang lain masih baru beberapa yang datang. Pak Narso, tukang kebun MIBU sedang membuka pintu-pintu kelas, sedangkan Lek Sanah, salah seorang warga di dekat MIBU, sedangkan menata jualannya.” (Diyanah: 2014: 65)
“Hari itu kelas tiga mendapat pelajaran Agama. Tetapi, Yasmin sama sekali tidak fokus dengan cerita Pak Guru Kodir di depan kelas tentang sahabat-sahabat Nabi. Ia memandang ke luar jendela, ke arah Pak Guru Hasan yang mengajar pelajaran Olahraga kepada anak kelas lima. Anak-anak kelas lima itu berbaris rapi dan mengikuti instruksi dari Pak Guru Hasan. Yasmin ingin lekas-lekas sampai pada jam istirahat. Ia tak sabar untuk mengatakan kepada Hasan, kalau bapaknya sanggup membantu penelitian guru Olahraganya itu.” (Diyanah MI: 2014: 111) Berdasarkan latar tempat, cerita dalam novel Yasmin menggambarkan
keadaan daerah pelosok di Kabupaten Jember, Jawa Timur yang
masyarakatnya terdiri atas suku Jawa dan Madura. Sebagian besar dialog
cerita novel berlatar pondok pesantren di daerah tersebut, menggambarkan
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh santri dan santriwati di Pondok
Pesantren Nurul Huda. Di sisi lain, dialog jalinan cerita juga berlatar sekolah
Madrasah Ibtidaiyah tempat Yasmin menempuh pendidikan.
2. Latar Waktu
a. Pagi hari
Ketika Yasmin sampai di sekolah Madrasah Ibtidaiyah Bustanul Ulum. Berikut
kutipannya:
“Pagi-pagi sekali Yasmin sudah sampai di sekolahnya, di Madrasah Ibtidaiyah Bustanul Ulum, yang kemudian biasa disebut MIBU. Anak-anak yang lain masih baru beberapa yang datang. Pak Narso, tukang kebun MIBU sedang membuka pintu-pintu kelas, sedangkan Lek Sanah, salah seorang warga di dekat MIBU, sedang menata jualannya” (Diyanah MI: 2014: 65)
b. Siang hari
Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut di bawah ini:
Pengarang melukiskan suasana pada saat matahari semakin naik, pertanda
bahwa cuaca semakin panas, berikut kutipannya :
“Matahari semakin naik. Orang-orang yang di sawah pun sudah mulai pulang dengan cangkul di pundaknya. Halimah mengajak Hasan dan Yasmin untuk segera kembali ke pondok.” (Diyana MI: 2014: 131)
c. Sore hari
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti dibawah ini:
Pengarang melukiskan suasana sore hari di rumah Kiai Durahem, pimpinan
pondok pesantren. Berikut kutipannya:
“Sore itu Kiai Durahem kedatangan tamu, yaitu orang-orang Supriyadi. Kiai Durahem dan Mak Nyai Munah menyambut mereka dengan tangan terbuka. Mereka berlima duduk lesehan di serambi Kiai Durahem yang beralaskan karpet tebal dan empuk.” (Diyana MI: 2014:165)
d. Malam hari
Hal tersebut dapat di buktikan dibawah ini:
Pengarang melukiskan tradisi di desa setiap malam Jumat tiba. Berikut
kutipannya:
“….begitulah tradisi di desa pada waktu itu. Tiap malam Jumat, warga di sekitar pesantren selalu membawa makanan berupa nasi ke masjid dan ke langgar. Namun, tidak hanya di pesantren, kebiasaan itu juga terjadi di langgar-langgar lain pada tiap dusun atau desa.” (Diyana MI: 2014: 8) “Min, sekarang kan malam Jumat dan kegiatan di pondok libur. Kamu nginep, ya? Nanti tidur di kamar Yu Nur saja. Bagaimana, Min?” Nuar’aini, santri putrid paling tua di pesantren, mengajak Yasmin untuk menginap di pondok.” (Diyana : 2014: 9)
Dalam novel Yasmin, sebagian dialog juga berlatar waktu sebagai elemen
dalam cerita, yang dapat diketahui dari cerita yang menggambarkan ketika
Yasmin pagi-pagi sekali sudah sampai disekolahnya di Madrasah Ibtidaiyah
Bustanul Ulum. Penggambaran ketika matahari semakin naik dan orang-orang di
sawah pun pulang dengan cangkul di pundaknya. Kemudian waktu sore dan
malam hari yang menceritakan kegiatan-kegiatan dan tradisi yang dilakukan di
pesantren.
3. Latar Lingkungan Sosial
a. Ekonomi
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti dibawah ini.
Pada saat Mak Tik mengeluh ketika Yasmin saat pulang sekolah ingin makan
siang, tapi ketika membuka tudung nasi yang terbuat dari anyaman bambu, hanya
ada sebakul nasi jagung dan semangkuk sayur asam. Berikut kutipannya:
“ Meski ndak ada apa-apanya, dienak-enakkan, Min. Emak ndak punya uang buat beli ikan. Bapakmu terus saja sakit-sakitan. Kapan Bapak sembuhnya, “ lanjut Mak Tik lagi sambil mengorak-ngorek beras di tampah.” (Diyana MI : 2014: 19)
Pada saat Yasmin meminta emaknya untuk membawa bapaknya berobat ke Pak
Mantri. Dia ingin, bapaknya cepat sembuh, agar bisa bekerja kembali dan Yasmin
bisa mondok di pesatren. Berikut kutipannya:
“ Ayo Mak, bawa Bapak ke Pak Mantri, “ pinta Yasmin pada emaknya sepulang dari mengaji malam itu. “Emak mau dapat uang dari mana, Min. Hasil jahitan Emak hanya cukup untuk makan.” Emak tak mengalihkan pandangannya dari kain yang dipotongnya.” (Diyana MI: 2014: 63)
b. Religius
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti dibawah ini:
Setiap menjelang magrib, Yasmin selalu pergi ke langgar di pesatren Kiai
Durahem untuk mengikuti shalat magrib berjamaah dan mengaji. Berikut
kutipannya:
“Emak mengganti baju Sarni dan Leli, lalu mengusap bedak ke wajah mereka, sedangkan Yasmin sudah siap dengan mukenanya untuk segera mengaji ke langgar di pesantren Kiai Durahem.” (Diyana MI : 2014: 3)
Suatu hari, Yasmin sangat senang karena di perbolehkan emak untuk menginap
semalam di pondok mengikuti pengajian. Entah bagaimana bapak bisa
mempengaruhi emak, sehingga Yasmin mendapatkan izin. Berikut kutipannya:
“ Bapak memang dapat di percaya. Entah bagaimana caranya Bapak bilang kepada Emak, akhirnya Yasmin diperbolehkan menginap di pondok. Bersama santri putri lainnya, Yasmin pun mengikuti kegiatan pondok pada malam hari. Malam itu kegiatan di pondok adalah pengajian kitab yang diajarkan langsung oleh Kiai Durahem. Semua santri, baik putra maupun putrid, wajib mengikutinya.” (Diyana MI : 2014: 84)
c. Intelektual
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti dibawah ini:
Yasmin kecil, di tunjuk untuk mewakili sekolahnya mengukuti lomba menggambar
tingkat kabupaten, dalam rangka HUT RI yang ke – 51. Berikut kutipannya:
“Nah, ini Pak Guru Hasan diminta oleh Pak Kodir untuk menyampaikan ini kepada Yasmin. Dalam rangka HUT RI yang ke-51, Kabupaten mengadakan macam-macam lomba, salah satunya lomba menggambar. Semua sekolah, baik yang SD maupun MI, yang swasta maupun negeri, semua boleh ikutan. Yasmin, kan suka menggambar, jadi Yasmin harus ikut lomba ini.” Hasan menjelaskan.” (Diyana MI : 184)
“Kalau Yasmin menang lomba menggambar, beri Yasmin hadiah ya, Mak.” Yasmin pun tak peduli dengan kecuekan emaknya.
“Yasmin minta hadiah apa?” Tanya Bapak yang sudah dapat duduk dan berjalan lagi.
“Kalau Yasmin menang, ingin mondok, Pak. Itu hadiah yang Yasmin minta sama Emak.” Yasmin menjawab dengan penuh harap. (Diyana MI : 2014: 224).
d. Rasa Kemanusiaan
Hal tersebut nampak dari bukti dibawah ini:
Suatu ketika, Yasmin memberikan ongkos buat berobat bapaknya ke Pak Mantri.
Dia ingin bapaknya segera sembuh dari penyakitnya. Berikut kutipannya:
“Ini Mak, Yasmin punya uang sepuluh ribu,” Yasmin menunjukkan uangnya. “Dapat dari mana kamu uang sebanyak ini?” Mak Tik menghentikan pekerjaannya, demi melihat uang di tangan Yasmin.” (Diyana MI ; 2014: 63) Misrun kakak laki-laki Yasmin, juga sering memberikan emaknya uang, hasil dari
jerih payahnya bekerja menjadi penggembala ternak Haji Ridwan. Berikut
kutipannya:
“ Mak Tik memandang anak laki-lakinya itu sampai hilang di kegelapan. Sungguh ia sangat kasihan kepadanya. Anak yang selalu dibilangnya dungu itu sangat mengerti akan kesusahannya. Anak laki-laki satu-satunya itu sangat rajin membantunya mencari nafkah. Sekarang ia menjadi penggembala ternak milik Haji Ridwan sepenuhnya. Tiap pagi dan sore hari, Misrun menyabit rumput ke kebun. Tak jarang pula ia mencarikan kayu bakar untuk emaknya.” (Diyana MI : 2014 : 201)
e.Budaya
Masyarakat Madura sangat menghormati dan segan terhadap guru dan
keluarganya, tak terkecuali mereka juga sangat menghormati keluarga Kiai
Durahem pimpinan pondok pesantren Nurul Huda di desa tersebut. Berikut
kutipannya:
“ Halimah mengajak Yasmin dan Sarni ke pondokan putri. Setelah itu ia kembali ke dapur. Halimah sangat paham, jika ada dirinya di tengah-tengah mereka, pasti keadaan akan kaku dan canggung. Seperti apa pun ia berusaha untuk akrab dengan santri-santri bapaknya, mereka akan tetap
menjaga kesopanan mereka di hadapan putrid gurunya. Begitulah, masyarakat Madura sangat menghormati dan segan terhadap guru dan keluarganya serta sanak familinya, baik di hadapannya maupun di belakangnya. (Diyana MI : 2014 : 25) “Murid-murid di kelas Syifir Awwal berumur antara 6 sampai 9 tahun, di kelas Syifir Tsani berumur antara 9 sampai 11 tahun, sedangkan di kelas Qismu Awwal berumur antara 12 sampai 15 tahun. Jarang sekali ada santri putrid yang berumur lebih dari 15 tahun karena pada usia itu santriwati tersebut sudah dinikahkan oleh orangtua mereka. Bahkan, untuk gadis berumur enam belas yang belum menikah akan di beri predikat perawan tua dan tidak laku. Hal itu akan menjadi aib bagi keluarga. Hal yang lumrah jika seorang gadis yang baru lulus SD dinikahkan dengan anak laki-laki yang umurnya juga masih sangat muda. Hal tersebut sudah menjadi tradisi.” (Diyana MI : 2014: 53).
Latar sosial, yaitu menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Latar lingkungan sosial dalam novel Yasmin antara lain berdasar unsur ekonomi,
religius, intelektual, rasa kemanusiaan, dan budaya. Unsur ekonomi menjadi
bagian dari cerita. Hal itu dapat dilihat ketika Mak Tik mengeluh karena tidak
punya uang untuk membeli kebutuhan makanan dan ketika tidak mampu
membawa suaminya berobat ke Bapak Mantri. Nilai intelektual juga terlihat saat
Yasmin mewakili sekolahnya mengikuti lomba menggambar dalam rangka
memperingati HUT RI yang ke- 51. Nilai rasa kemanusiaan juga tergambar ketika
Yasmin memberikan ongkos kepada ibunya untuk biaya berobat bapaknya. Dan
adiknya Misrun yang juga sering memberikan ibunya uang dari hasil jerih
payahnya bekerja menjadi penggembala ternak. Dalam cerita, juga tergambar
unsur budaya Madura dan tradisi yang sering dilakukan di pesantren Nurul Huda.
4. Latar Suasana
a. Bahagia
Hal tersebut dapat dilihat di bawah ini:
“Yasmin menerima balon yang besar itu dari si penjual. Hasan pun membayarnya. “Terima kasih, Pak Guru.”
“Sama-sama. Oh ya, nanti pulangnya, Pak Guru mau membelikan bakso buat Emak, Bapak, Sarni dan Cak Misrun. Tolong nanti Pak Guru diingatkan, ya,” kata hasan kemudian. Yasmin mengangguk pasti. Ia terlihat sangat senang.” (Diyana MI; 2014: 228)
b. Sedih
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti berikut ini:
“ Tak terasa air mata Mak Tik jatuh mengingat keinginan-keinginannya dulu ketika belum memiliki anak. Ia teringat bagaimana bapak dan emaknya hanya mengajarinya cara menyabit yang benar dan mendapatkan banyak rumput dengan cepat. Anak-anak di desanya, baik perempuan maupun laki-laki, semua lihai dalam menyabit rumput. Mereka tidak bersekolah. Sebagian dipondokkan, tiga atau empat tahun kemudian lalu dinikahkan.” (Diyana MI : 2014 :175).
c. Gelisah
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti di bawah ini:
“Tepuk tangan kembali bergema. Semua mata tertuju kepada para pemenang harapan yang naik ke pentas. Para peserta yang belum dipanggil namanya semakin berdebar. Yasmin pun tampak gelisah. Hasan di sampingnya menggosok-gosok pundaknya.” (Diyana MI ; 2014: 230).
Kutipan-kutipan tersebut, memberikan gambaran latar suasana bahagia,
sedih, dan gelisah dari tokoh yang ada dalam cerita, itu ditunjukkan saat Pak Guru
membelikan sesuatu pada Yasmin saat mengantarnya mengikuti lomba
menggambar. Suasana sedih juga terjadi ketika Mak Tik tidak mampu menahan air
matanya mengingat keinginannya yang dulu ketika belum memiliki anak. Dia
teringat orang tuanya hanya mengajarinya menyabit rumput. Dia tidak ingin
anaknya-anaknya seperti dirinya, namun karena keadaan ekonomi, keinginan untuk
memondokkan anaknya tidak mampu dia penuhi. Suasana gelisah juga di rasakan
tokoh Yasmin ketika dia menanti pengumuman dari lomba menggambar yang dia
ikuti di tingkat kabupaten. Yasmin sangat berharap bisa menang dalam lomba itu.
Kalau dia menang, peluang untuk mondok di pesantren Nurul Huda akan terpenuhi.
f. Sudut Pandang
Sudut pandang adalah cara memandang penulis dalam menempatkan dirinya
pada posisi tertentu dalam cerita novel tersebut dalam sebuah novel. Secara
mudah, sudut pandang adalah teknik yang dipilih penulis untuk menyampaikan
ceritanya.
Su d u t pandang Yasmin, di gunakan sudut pandang orang kedua di mana
penulis memposisikan dirinya sebagai Yasmin dalam cerita.
3. Unsur Ekstrinsik Novel Yasmin Karya Diyana Millah Islami
Unsur-unsur ekstrinsik novel adalah unsur dari luar novel, tetapi secara
tidak langsung mempengaruhi organisme karya sastra. Secara lebih spesifik,
unsur ekstrinsik sebuah novel bisa dibilang sebagai unsur yang membangun
sebuah novel. Oleh karena itu, unsur ekstrinsik novel tetap harus diperhatikan
sebagai sesuatu yang penting.
a. Nilai Moral
“Tanpa bertanya-tanya lagi, Yasmin masuk ke kamar Bapak. Ia naik ke ranjang dan duduk di samping Bapak. “Bapak sudah makan?” Yasmin memijit lengan bapaknya. Bapak menggeleng. “Yasmin ambilkan nasi ya Pak?”
Bapak mengangguk. Yasmin ke dapur dan kembali lagi dengan sepiring nasi yang disiram dengan sayur asam. “Dihabiskan ya, Pak. Meskipun rasanya ndak enak, dipaksakan Pak. Biar Bapak mendingan.” Yasmin menyuapi bapak.” (Diyana MI : 2014 : 31).
Moral secara umum mengarah pada pengertian ajaran tentang baik buruk yang
diterima mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti, dan sebagainya. Kutipan
tersebut menunjukkan nilai moral yang ada dalam cerita, ketika Yasmin dengan
telaten merawat bapaknya. Yasmin dengan tulus memijit dan menyuapi bapaknya
ketika sakit. Sebagai anak tertua di rumahnya, dia merasa bertanggung jawab untuk
membantu dan meringankan beban orang tuanya.
b. Nilai Sosial
Ditinjau dari nilai sosialnya, novel ini begitu kaya akan nilai sosial. Ketika Pak
Hasan selalu peduli kepada Yasmin. Dia kasihan melihat keadaan Yasmin.
Berikut kutipannya :
“Belum sembuh boroknya, Min?” Hasan menghampiri Yasmin. Yasmin menggeleng.“Obat yang dari Pak Guru sudah habis?” Yasmin mengangguk. (Diyana MI: 2014: 151) “Yasmin haus?” Tanya Pak Guru Olahraga-nya itu lagi. Yasmin diam tak menjawab. “Minum airnya Pak Guru, ya?” Hasan menyodorkan botol minumannya. Yasmin menerimanya dan langsung meneguk isinya.” (Diyana MI : 2014: 151-152).
Nilai sosial yaitu nilai-nilai yang berkenaan dengan tata pergaulan
antara individu dalam masyarakat. Kutipan tersebut menggambarkan salah
satu contoh nilai sosial yang ada dalam cerita ketika Pak Hasan kasihan
melihat keadaan Yasmin. Pak Hasan memberikan obat kepada Yasmin untuk
mengobati sakitnya.
c. Adat Istiadat
Pak Hasan tertarik untuk mengetahui kesenian mamacah dalam masyarakat
Madura untuk tugas akhir kuliahnya. Dan meminta Halimah untuk menjelaskan
tentang kesenian Madura itu. Berikut kutipannya:
“Pada zaman dahulu, tradisi mamacah mendapat perhatian yang besar dari masyarakat, khususnya orang Madura. Biasanya, kesenian mamacah ini etangghe. Kalau Pak Guru Hasan ndak ngerti, etangghe’ itu bahasa Indonesia-nya ‘diundang’. Kesenian ini diundang pada acara pernikahan, pelet petteng, yaitu selamatan tujuh bulanan usia kandungan, juga pada acara khitanan. Khitanan kata orang Madura adalah sonnatan.” Halimah berhenti sejenak.” (Diyana MI : 2014: 96-97)
Nilai adat istiadat atau budaya adalah nilai-nilai yang berkenaan dengan adat
istiadat /kebiasaan/tradisi yang berlaku dalam suatu daerah. Dari kutipan tersebut
diatas, menggambarkan salah satu nilai budaya yang terdapat dalam penggalan
cerita yang menceritakan kesenian Madura yaitu mamacah. Bagi masyarakat
Madura, kesenian mamacah kerap kali diadakan ketika di daerah tersebut ada acara
pernikahan, acara selamatan tujuh bulanan dan juga pada saat acara sunnatan.
d. Agama
“ Yasmin tergesa menuju langgar di dusun sebelah di dataran yang lebih tinggi, yang berjarak kira-kira lima ratus meter dari rumahnya.” (Diyana MI : 2014: 4)
“Selesai shalat berjamaah dan wiridan, anak-anak duduk melingkar seperti biasanya. Jumlah murid perempuan yang mengaji itu seluruhnya ada 37, terdiri atas santriwati yang mondok dan berdomisili di pesantren sebanyak 23, sedangkan sisanya sebanyak 14 adalah anak-anak desa di sekitar pesantren yang tidak mondok. Anak-anak desa yang tidak mondok, tetapi mengaji dan bersekolah diniyah di pesantren, dalam masyarakat Madura biasa disebut sebagai “santri colokan”. (Diyana MI: 2014: 5)
Nilai agama yaitu nilai-nilai dalam cerita yang berkaitan dengan aturan/ajaran
yang bersumber dari agama tertentu. Dari kutipan tersebut, menunjukkan nilai
agama ketika Yasmin rajin mengaji di langgar. Juga ketika dalam cerita di
gambarkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan di pesantren Nurul Huda. Setiap
malam, setelah menunaikan shalat berjamaah dan wiridan, anak-anak santri dan
santriwati duduk melingkar dan mengikuti kegiatan diniyah. Mereka belajar bacaan
shalat, menghafal surah-surah pendek dan mendengarkan kajian Al Quran.
4. Pandangan Sosial Kelompok
Pandangan dunia dunia merupakan istilah yang menyeluruh yang menghubungkan
secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial. Pandangan dunia yang
tercermin dalam karya sastra terikat oleh ruang dan waktu yang menyebabkan karya sastra
bersifat historis. Seorang pengarang adalah anggota kelas sosial. Kelas sosial pengarang
akan mempengaruhi bentuk karya sastra yang diciptakannya. Dalam sebuah karya sastra,
kehidupan yang ditampilkan merupakan peramuan antara pengamatan dunia keseharian
dan hasil imajinasi. Kehidupan dalam sastra merupakan kehidupan yang telah diwarnai oleh
pandangan-pandangan pengarang.
a. Latar Belakang Sosial Pengarang
Latar belakang sosial budaya pengarang dapat memengaruhi penciptaan karya-
karyanya, karena pada dasarnya sastra mencerminkan keadaan sosial baik secara individu
(pengarang) maupun secara kolektif. Hal tersebut menyebabkan dalam menciptakan karya
sastra baik sedikit ataupun banyak dipengaruhi oleh pemikiran perasaan dan pengalaman
hidupnya, salah satunya yaitu bahwa latar belakang sosial budaya pengarang akan
memengaruhi penciptaan karya sastra yang ditulisnya. Kehidupan sosial budaya pengarang
akan memunculkan pandangan dunia pengarang, karena pandangan dunia pengarang
terbentuk dari pandangan pengarang setelah berinteraksi dengan pandangan kelompok
sosial masyarakat pengarang.
Novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata adalah novel yang muncul sekitar tahun
2006. Itu berarti novel ini masuk ke dalam karya sastra kontemporer atau karya sastra
modern. Aqil Barraq Badruddin Seman Said Harun lahir di pulau Belitung pada tanggal 24
Oktober 1976. Ia dikenal sebagai seorang penulis novel yang karyanya diangkat ke layar
lebar teater musikal. Andrea Hirata adalah lulusan S1 Ekonomi Universitas Indonesia.
Setelah menyelesaikan studi S1 di UI, pria yang kini masih bekerja di kantor pusat PT
Telkom ini mendapat beasiswa Uni Eropa untuk studi Master of Science di Université de
Paris, Sorbonne, Perancis dan Sheffield Hallam University, United Kingdom.
Tesis Andrea di bidang ekonomi telekomunikasi mendapat penghargaan dari kedua
universitas tersebut dan ia lulus cumlaude. Tesis itu telah diadaptasi ke dalam Bahasa
Indonesia dan merupakan buku teori ekonomi telekomunikasi pertama yang ditulis oleh
orang Indonesia. Buku itu telah beredar sebagai referensi Ilmiah.
Pada tahun 1997, Andrea Hirata resmi menjadi pegawai PT Telkom. Niatnya untuk
menuliskan pengabdian sang inspiratornya kembali membuncah manakala dia menjadi
relawan untuk korban Tsunami di Aceh. Ketika dia melihat rumah, sekolah, dan berbagai
bangunan yang ambruk, memorinya akan masa kecilnya dan tentu saja, Bu Mus
memantapkan hatinya untuk menuliskan perjuangan guru tercintanya itu ke dalam sebuah
karya sastra. Kemudian, Andrea Hirata berhasil membuat novel Laskar Pelangi hanya
dalam waktu tiga minggu.
Namanya makin melejit seiring kesuksesan novel pertamanya, Laskar Pelangi.
Novel tersebut kemudian jadi best seller. Selain Laskar Pelangi, ia juga menulis Sang
Pemimpi dan Edensor, serta Maryamah Karpov. Keempat novel tersebut tergabung dalam
tetralogi.
Walaupun sebenarnya Andrea Hirata tidak berniat untuk mempublikasikan novel
atau mengirimkannya pada penerbit, Laskar pelangi tetap sampai pada penerbit. Begitu
banyak penghargaan yang Andrea Hirata terima. Beberapa di antaranya adalah
penghargaan dari Khatulistiwa Literaly Award (KLA) pada tahun 2007, Aisyiyah Award,
Paramadina Award, Netpac Critics Award, dan lain sebagainya.
Sukses dengan novel tetralogi, Andrea merambah dunia film. Novelnya yang
pertama, telah diangkat ke layar lebar, dengan judul sama, Laskar Pelangi pada 2008.
Dengan menggandeng Riri Riza sebagai sutradara dan Mira Lesmana sebagai produser,
film ini menjadi film yang paling fenomenal di 2008. Dan jelang akhir tahun 2009, Andrea
bersama Miles Films dan Mizan Production kembali merilis sekuelnya, Sang Pemimpi.
Sedangkan novel Yasmin adalah novel yang di tulis oleh Diyana Millah Islami,
tahun 2014 yang berarti juga termasuk dalam karya sastra modern. Dia lahir di Situbondo,
provinsi Jawa Timur pada Juli 1986. Diyana merupakan penulis muda berbakat yang
menyelesaikan studi S1 di jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Jember
pada tahun 2011. Salah satu cerpennya masuk dalam 10 karya terbaik Pekan Seni
Mahasiswa Indonesia Regional (Peksiminal) yang di selenggarakan oleh Badan Pembina
Seni Mahasiswa Indonesia (BPSMI) wilayah Jawa Timur tahun 2008. Diyana juga menyabet
juara 3 se-Indonesia dalam lomba Karya Komik Tokoh Sejarah (LKKTS) Pekan Nasional
Cinta Sejarah (PENTAS) yang dihelat oleh oleh Ditjen Sejarah dan Purbakala, Kementrian
Kebudayaan dan Pariwisata RI tahun 2011.
b. Sosial Budaya
Manifestasi dunia rekaan pengarang diangkat dari realitas sosial, menggambarkan
kondisi, perilaku dan sikap hidup masyarakat di wilayah tertentu, dari kelompok etnis
tertentu dan memiliki kebudayaan tertentu pula. Nilai sosial budaya adalah tingkat yang
paling tinggi dan yang paling abstrak dari adat istiadat. Hali itu disebabkan karena nilai-nilai
budaya itu merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran
sebagian besar dari warga sesuatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap
bernilai, berharga dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu
pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakatnya.
Walaupun nilai-nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam
masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu nilai budaya itu bersifat sangat umum mempunyai
ruang ligkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata.
Namun, justru karena sifatnya yang umum, luas, dan tidak konkret itu, maka nilai-nilai
budaya dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa para
individu yang menjadi warga dari kebudayaan bersangkutan. Kebiasaan dalam daerah
tertentu juga memengaruhi tata cara dalam kehidupan sehari-hari, terlihat seperti kutipan di
bawah ini.
“Dan seperti kebanyakan anak-anak Melayu miskin di kampung kami yang rata-rata beranjak remaja mulai bekerja mencari uang,…”(Hirata : 2006: 32)
Masyarakat melayu ketika mulai beranjak dewasa kebanyakan mereka sudah
berusaha bekerja mencari uang untuk membantu keluarganya dalam mencukupi kebutuhan
hidup. Maka tidak heran, banyak remaja yang memilih tidak melanjutkan sekolah, melainkan
memilih untuk bekerja. Begitu pula sosial budaya bagi suku Madura. Mayoritas masyarakat
suku Madura adalah penganut Islam. Suku madura terkenal sangat taat dalam beragama
islam. Apalagi dengan adanya Pondok Pesantren yang tersebar di seluruh pulau Madura.
Suku Madura memiliki aturan dan tatakrama yang sangat kuat. Orang Madura sangat
menghormati orang tua, guru, dan sebagainya.
“Masyarakat Madura yang terkenal patuh dan takzim kepada kiai dan gurunya akan menurut dan takut untuk membantah. Mereka takut tidak akan mendapat berkah dan ilmunya tidak bermanfaat.” (Diyana MI : 2014: 53)
“Semua orang selalu berlomba-lomba untuk dapat memberikan sesuatu kepada keluarga pesantren. Berlomba-lomba untuk menghormati dan dekat dengan keluarga pondok. Bahkan, mereka merasa bangga jika Kiai meminta bantuan mereka. Mereka mengharap mendapatkan doa dan berkah dari Pak Kiai dan Mak Nyai, Min….” (Diyana MI : 2014 : 32)
Hal itu mendasari, cerita dalam novel Yasmin banyak membicarakan tentang
bagaimana kehidupan religi seorang Yasmin dengan orang-orang di lingkungannya.
Menceritakan kehidupan dunia pesantren di sebuah desa yang bersahaja yang sangat
dinginkan oleh seorang gadis kecil yang menjadi bagian dari masyarakat Madura.
C. Pembahasan
Dari penelitian analisis data yang dilakukan mengenai faktor genetik novel Sang
Pemimpi karya Andrea Hirata dan novel Yasmin karya Diyana Millah Islami, asapk genetik
akan dikaji dalam tiga kerangka bagian, yaitu unsur instrinsik, unsur ektrinsik dan
pandangan sosial kelompok. Ketiga bagian ini akan dibahas secara sistematis.
Pembahasan penelitian ini sudah selaras dengan pandangan Faruk (1999a: 64-65). Yang
mengemukakan bahwa metode strukturalisme genetik meletakkan fokus kajian pada tiga
hal, pertama penelitian harus dimulakan pada kajian unsur intrinsik, baik secara persial
maupun dalam jalinan keseluruhannya, kedua mengkaji unsur ekstrinsik karya sastra,
ketiga mengkaji latar belakang sosial kelompok atau sosial sejarah yang turut
mengkondisikan karya sastra saat diciptakan oleh pengarang. Ketiga langkah tersebut akan
menghasilkan abstraksi pandangan dunia pengarang dan yang diperjuangkan oleh tokoh
problematik.
Hal itu sejalan dengan Goldmann (Junus, 1986: 26) yang memberikan perumusan penelitian
strukturalisme genetik dalam tiga hal yaitu :
1. Penelitian terhadap karya sastrabseharusnya dilihat sebagai satu kesatuan.
2. Karya sastra yang diteliti semestinya karya yang bernilai sastra yaitu karya
yang mengandung tegangan (tension) antara keragaman dan kesatuan dalam
suatu keseluruhan (a coherent whole).
3. Jika kesatuan telah ditemukan, kemudian dianalisis dalam hubungannya
dengan latar belakang sosial.
Strukturalisme genetik memulai pengkajian pada aspek struktur instrinsik suatu
karya sastra untuk mengungkap jalinan keseluruhan karya sastra, seperti tokoh, tema,
amanat, alut/plot, latar/setting, dan sudut pandang. Kajian novel Sang Pemimpi karya
Andrea Hirata berangkat dari perjuangan tiga orang sahabat Ikal, Arai dan Jimbron yang
mempunyai mimpi untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri meski kondisi ekonomi
tidak memungkinkan. Namun dengan tekad dan semangat yang tinggi, akhirnya mimpi
itu menjadi kenyataan, sedangkan dan novel Yasmin karya Diyana Millah Islami,
berangkat dari perjuangan seorang gadis kecil yang masih duduk di bangku sekolah
Ibtidaiyah, yang sangat menginginkan untuk belajar di pondok pesantren, namun kondisi
ekonomi dan keadaan keluarganya tidak memungkinkan untuk mewujudkan
harapannya.
Dalam novel Sang Pemimpi ditemukan sejumlah tokoh yang membentuk
perwatakan yang menarik untuk dianalisis. Melalui tokoh novel tersebut menampilkan
nilai karya sastra yang berbobot secara instrinsik. Mulai dari tokoh Ikal yang miskin,
cerdas, dan selalu memiliki semangat yang tinggi, Arai sosok yang tidak pernah patah
semangat dan juga memiliki otak yang cerdas, Jimbron yang polos, gagap dan
penyeimbang antara Arai dan Ikal. Beberapa tokoh dalam cerita juga menjadi
pendukung pengisahan cerita Sang Pemimpi, sedangkan novel Yasmin, dengan tokoh
utamanya seorang gadis kecil yang lincah yang bernama Yasmin. Dia selalu berupaya
untuk mendapatkan restu dari ibunya untuk bisa mondok di pesantren seperti teman-
temannya yang lain. Yasmin sangat menginginkan merasakan kehidupan pesantren
yang penuh dengan kegiatan ibadah. Namun Mak Tik, emaknya tidak mau memberikan
restu kepadanya dengan alasan kondisi ekonomi dan keadaan keluarga yang tidak
memungkinkan. Emak membutuhkan Yasmin untuk bisa membantunya di rumah.
Karena hanya Emaklah yang menjadi tulang punggung keluarganya sejak bapak Yasmin
sakit-sakitan.
Penciptaan novel Sang Pemimpi dan novel Yasmin, mengemukakan tema yang
menonjol, hampir semua tema mencakup hubungan manusia dengan orang lain, dengan
dirinya dengan masyarakat dan seluruh aspek sosialnya, sampai hubungan manusia
dengan alam. Tema yang paling menonjol dalam Sang Pemimpi adalah tema
pendidikan, persahabatan dan perjuangan meraih mimpi meskipun keadaan ekonomi
tidak memungkinkan, sedangkan dalam novel Yasmin, juga memiliki tema pendidikan
dan tekad yang kuat.
Amanat merupakan pesan yang dapat dipetik dari sebuah karya sastra. Dalam
novel Sang Pemimpi dan Yasmin, amanat yang disampaikan bahwa jangan berhenti
bermimpi. Mimpi akan terwujud ketika manusia mau berusaha dan memiliki tekad yang
kuat.
Novel Sang Pemimpi dan novel Yasmin memperlihatkan hubungan keutuhan
narasi yang naratif, dalam dari tokoh, ruang, dan waktu. Mempunyai kaitan-kaitan yang
kuat. Alur disatukan dengan tema yang kuat. Dalam novel Sang Pemimpi alur yang di
gunakan adalah alur maju mundur, yang menceritakan kehidupan persahabatan Ikal,
Arai dan Jimbron. Sedangkan dalam novel Yasmin, alur yang digunakan adalah alur
maju. Mengisahkan cerita Yasmin kecil yang masih duduk di sekolah Madrasah
Ibtidaiyah sampai akhirnya melanjutkan pendidikan di pesantren setelah lulus dari
sekolah Ibtidaiyah.
Dalam novel Sang Pemimpi dan Yasmin, menggunakan fokus pengisahan
dengan menggunakan tokoh utama sebagai pengisah dalam cerita. Pengarang
menggunakan persona orang kedua. Tokoh utamalah yang sedang mengisahkan
dirinya dan lingkungan sekelilingnya. Namun pada aspek yang lain pengarang berubah
menjadi omniscient author (serba tahu) dalam semua sudut dan perspektif penceritaan
dengan sorotan tokoh utama. Secara tegas dapat dinyatakan bahwa pengarang
merupakan narator, pengisah yang serba tahu penceritaan sekaligus terlihat dalam
cerita meminjam tokoh utama memotret realitas kehidupan yang diijalaninya.
Secara genetis, karya sastra dianalisis berdasarkan kondisi eksternal yang
menyertai karya tersebut. Kondisi eksternal meliputi nilai moral, sosial, adat istiadat, dan
agama. Berdasarkan hasil analisis data pada bagian sebelumnya, maka upaya
selanjutnya adalah menginterpretasikan pandangan dunia dalam novel Sang Pemimpi
dan novel Yasmin.
Dari penelusuran analisis data yang dilakukan, ditemukan suatu kajian
mengenai strukturalisme genetik dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata
dan novel Yasmin karya Diyana Millah Islami. Aspek strukturalisme yang dikaji
diklasifikasikan dalam tiga kerangka bagian. Mengingat novel ini dilatar belakangi
oleh berbagai struktur sastra, diantaranya unsur intrinsik (tokoh/penokohan,
tema, amanat, alur (plot), latar (setting), dan sudut pandang), unsur ekstrinsik
(ekonomi, kebudayaan, politik, keagamaan, tata nilai masyarakat), pandangan
sosial kelompok pengarang. Maka kajian yang digunakan untuk menganalisis
data dan memperoleh gambaran tentang strukturalisme karya sastra yang
terkandung dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata dan novel Yasmin
karya Diyana Millah Islami adalah kajian Strukturalisme Genetik. Kajian
strukturalisme genetik adalah kajian yang memandang karya sastra yang tidak
terdiri secara otonom, melainkan berhubungan dengan relasi sosial kehidupan
seorang pengarang yang terlibat dalam aktivitas kehidupan nyata. Kajian ini
berusaha memahami karya sastra berdasarkan asal-usul karya sastra dilahirkan.
Untuk mengetahui novel tersebut mempunyai relevansi dengan keadaan
masyarakat dewasa ini, peneliti mengaitkan antara makna novel dengan
indikator yang telah di tentukan. Indikator tersebut adalah yang berhubungan
dengan problem yang terjadi dalam masyarakat.
Novel Sang Pemimpi dan novel Yasmin, merupakan cerminan rekaan
Andrea Hirata dan Diyana Millah Islami. Andrea Hirata adalah orang Sumatra
yang dilahirkan di Belitung dan dibesarkan dalam masyarakat melayu. Sebagai
orang melayu tentu saja ia memahami siapa orang melayu, apa yang dilakukan,
apa yang dianut, bagaimana sikap dan pandangan hidupnya, terutama
masyarakat tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Di dukung oleh sikap kritis dan
sensitif serta pengalaman hidup yang cukup, Andrea berhasil menyusun konsep
kepengarangan yang dapat di katakana “khas” karena Andrea memiliki sikap
kritis serta pengalaman hidup yang cukup. Dengan demikian, karena Andrea
memiliki sikap holistik yang bertumpu pada pandangan bahwa persahabatan dan
perjuangan meraih mimpi meskipun keadaan ekonomi tidak memungkinkan
untuk menggapai cita-cita, tetapi jika semuanya di hadapi dengan rasa percaya
diri dan semangat yang tinggi untuk belajar dan bekerja keras maka semua
mimpi dan cita-cita akan terwujud.
Agaknya, bagi Andrea untuk bisa mengenyam pendidikan sampai ke
perguruan tinggi tidak hanya di peruntukkan bagi orang-orang yang memiliki
ekonomi yang tinggi, tapi juga bagi mereka yang mau berusaha, bekerja keras
dengan rasa percaya diri dan semangat yang tinggi untuk mewujudkan mimpi
dan cita-cita. Demikianlah, latar belakang sosial budaya, pandangan, sikap hidup
dan konsep kepengarangan Andrea jelas terwujud dalam karyanya, Sang
Pemimpi. Jika dikaji lebih jauh, akan diperoleh beberapa kesamaan antara
Andrea dengan tokoh Ikal.
Kesamaan-kesamaan terebut dapat di bandingkan sebagai berikut:
Andrea Hirata :
1). Andrea Hirata lahir di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
2). Andrea Hirata orang desa yang sangat akrab dengan lingkungan alamnya.
3). Andrea Hirata orang desa yang berpandangan modern meski dari latar
belakang ekonomi yang sangat sederhana.
4). Dalam novel Sang Pemimpi, Andrea Hirata bercerita tentang kehidupannya
di Belitong pada masa SMA. Tiga tokoh utama dalam karya ini adalah Ikal,
Arai dan Jimbron. Ikal tidak lain adalah Andrea Hirata sendiri, sedangkan
Arai adalah saudara jauhnya yang menjadi yatim piatu ketika masih kecil.
Arai disebut simpai keramat karena dalam keluarganya ia adalah orang
terakhir yang masih hidup dan ia pun diangkat menjadi anak oleh ayah Ikal.
Jimbron merupakan teman Arai dan Ikal yang sangat terobsesi dengan kuda
dan gagap bila sedang antusias terhadap sesuatu atau ketika gugup.
Ketiganya melewati kisah persahabatan yang terjalin dari kecil hingga
mereka bersekolah di SMA Negeri Manggar, SMA pertama yang berdiri di
Belitung bagian timur.
5). Demi memenuhi kebutuhan hidup, Ikal dan Arai harus bekerja sebagai kuli di
pelabuhan ikan pada dini hari dan pergi ke sekolah setelahnya. Namun
begitu, mereka tetap gigih belajar sehingga selalu berada dalam peringkat
lima teratas dari 160 murid di sekolahnya. Sekolah mereka merupakan SMA
negeri pertama yang bergengsi di Belitong, sebelumnya satu-satunya SMA
yang terdekat berada di Tanjung Pandan. Sekolah tersebut berada 30
kilometer dari rumah Ikal dan Arai sehingga mereka harus menyewa kamar
dan hidup jauh dari orang tua.
6). Selama masa SMA, banyak kenakalan-kenakalan yang dilakukan oleh Arai
dan Ikal. Mereka pernah mengejek Pak Mustar saat upacara bendera di pagi
hari sehingga Pak Mustar marah dan mengejar mereka. Mereka juga pernah
menyusup ke bioskop yang tidak mengizinkan anak sekolah masuk untuk
menonton film dewasa. Pak Mustar mengetahui hal tersebut sehingga Arai
dan Ikal diberi hukuman keesokan harinya.
7). Pada akhirnya, Jimbron harus berpisah dengan Ikal dan Arai yang akan
meneruskan kuliah di Jakarta. Selama di Jakarta, mereka luntang-lantung
mencari pekerjaan namun akhirnya Ikal menjadi pegawai pos dan Arai pergi
ke Kalimantan untuk bekerja sambil kuliah. Ikal berhasil membiayai
kuliahnya di Universitas Indonesia hingga menjadi Sarjana Ekonomi,
sedangkan Arai belajar biologi di Kalimantan. Hidup mandiri terpisah dari
orang tua dengan latar belakang kondisi ekonomi yang sangat terbatas
namun punya cita-cita besar, sebuah cita-cita yang bila dilihat dari latar
belakang kehidupan mereka, hanyalah sebuah mimpi.
Begitu pula dengan novel Yasmin. Diyana Millah Islami, yang di lahirkan di
Situbondo dan di besarkan dalam masyarakat Madura. Sebagai orang Madura,
tentu saja ia memahami dan banyak tahu bagaimana tradisi dan sikap serta
pandangan hidupnya, terutama masyarakat tempat ia lahir dan dibesarkan.
Yasmin adalah sebuah novel yang menceritakan tentang perjalanan hidup
seorang Diyana sewaktu duduk di sekolah Madrasah Ibtidaiyah. Seperti
kebanyakan anak-anak Madura di desanya, yang sejak umur 6 sampai 9 tahun
sudah mondok di pesantren untuk belajar agama Islam.
Dengan segala usahanya, Diyana kecil berusaha mewujudkan mimpinya.
Berusaha untuk mendapatkan restu dari ibunya, agar bisa segera meninggalkan
rumah untuk kemudian mondok di pesantren. Ia tahu, ibunya tidak bisa
melakukan semuanya sendirian, menjadi penopang keluarga yang tengah
berantakan. Namun ia ingin belajar di pesantren, tapi juga tidak ingin menyakiti
hati ibunya. Dia ingin memiliki ilmu seperti Ali dan para sahabat Nabi lainnya,
tetapi juga ingin berbakti seperti Fatimah kepada ayahanda Nabi Muhammad
Saw. Demikianlah, latar belakang sosial budaya, pandangan, sikap hidup dan
konsep kepengarangan Diyana jelas terwujud dalam karyanya, Yasmin. Jika
dikaji lebih jauh, akan diperoleh beberapa kesamaan antara Diyana Millah Islami
sewaktu masih duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah dengan tokoh Yasmin.
Kesamaan-kesamaan terebut dapat di bandingkan sebagai berikut:
1). Diyana Millah Islami lahir di Situbondo, sebuah kabupaten di Jawa Timur
dengan mayoritas penduduk suku Jawa dan Madura.
2). Diyana Millah Islami orang desa yang sangat akrab dengan lingkungan
alamnya.
3). Diyana Millah Islami orang desa, yang sejak kecil ingin sekali menimba ilmu
agama di pesantren.
4). Dalam novel Yasmin, Diyana Millah Islami bercerita tentang kehidupannya di
sebuah pelosok di Jawa Timur pada masa masih duduk di sekolah Madrasah
Ibtidaiyah. Tokoh utama dalam karya ini adalah Yasmin yang tidak lain
adalah Diyana Millah Islami sendiri yang sangat ingin mondok di pesatren
Nurul Huda yang terdapat di desanya, di desa Suci kecamatan Panti di
Kabupaten Jember, Jawa Timur tempat ia di besarkan.
5). Demi memenuhi mimpinya, Yasmin berusaha untuk membantu ibunya.
Mengurus rumah, membantu pekerjaan ibunya sebagai tukang jahit,
menjaga bapak yang sakit-sakitan agar segera sembuh, berusaha agar
ibunya mau menyerahkan keponakannya kepada ayah kandungnya untuk di
pelihara, agar tidak lagi menjadi beban ibu Yasmin, dan agar Yasmin tidak
lagi menjaga keponakannya itu, sehingga ia dapat memperoleh izin dari ibu
untuk segera mondok di pesantren Nurul Huda di dusun Tegalamat Atas di
desa Suci, Kecamatan Panti, Kabupaten Jember, Jawa Timur yang
masyarakatnya terdiri atas suku Jawa dan suku Madura.
6). Diyana Millah Islami, pernah juara dalam menggambar Komik tingkat
Nasional. Itu berarti Diyana piawai menggambar. Dalam novel Yasmin,
diceritakan bahwa Yasmin di tunjuk untuk mewakili sekolahnya mengikuti
lomba menggambar tingkat SD/MI se-kabupaten Jember dalam rangka
memperingati HUT RI ke – 51.
Dari analisis novel Yasmin, memberikan gambaran dari keadaan sosial masyarakat
suku Madura yang menetap di wilayah Jawa Timur yang mendukung pemahaman makna
analisis struktural. Keadaan sosial yang ditemukan pada masyarakat di wilayah tersebut
pada saat itu adalah masyarakat relegius yang sangat menghormati dan menjaga
silaturahmi dengan guru dan keluarganya, proses kehidupan sederhana dengan tingkat
pendidikan yang masih rendah namun sangat memahami dan menjaga tradisi dan adat
istiadat yang berlaku dan tetap di jalankan oleh masyarakat suku Madura.
Pendidikan relegius di usia dini menjadi kesadaran dari orang tua, namun ketika
mereka terbelenggu oleh kondisi ekonomi yang rendah, akhirnya sebagian masyarakat di
wilayah tersebut memilih untuk tidak memberikan kesempatan kepada anak-anaknya
mengenyam ilmu agama yang cukup di pesantren, dikarenakan mereka dianjurkan untuk
membantu pekerjaan keluarganya dalam memenuhi kebutuhan hidup. Keadaan sosial
tersebut merupakan pokok-pokok permasalahan yang memengaruhi pandangan dunia
pengarang.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis strukturalisme genetik terhadap novel Sang Pemimpi
karya Andrea Hirata dan novel Yasmin karya Diyana Millah Islami, dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Dari sisi unsur intrinsik.
Struktur memulai pengkajian pada unsur intrinsik suatu karya sastra. Untuk memahami
jalinan keseluruhan karya sastra dari intrinsiknya, seperti pengkajian tokoh dan
penokohan, tema, amanat, alur (plot), latar, dan sudut pandang.
2. Dari unsur ekstrinsik, secara strukturalisme karya sastra dikaji berdasarkan
unsur ekstrinsik yang menyertai karya tersebut. Unsur ekstrinsik tersebut
meliputi nilai ekonomi, kebudayaan, politik, keagamaan, tata nilai masyarakat.
3. Keterjalinan struktur dari novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata dan novel
Yasmin karya Diyana Millah Islami, dari aspeknya dapat dikukuhkan adanya
hubungan antara genetik struktur sastra dan struktur masyarakat yang
melingkunginya di mana karya sastra tersebut dimuat dimulai dari aspek nilai
ekonomi, kebudayaan, politik, keagamaan, tata nilai masyarakat.
Gagasan, perasaan, dan aspirasi pengarang yang tertuang di dalam novel Sang
Pemimpi yang disampaikan oleh Andrea Hirata dan novel Yasmin yang
disampaikan oleh Diyana Millah Islami begitu banyak dan sangat berimplikasi
terhadap perubahan sosial. Persoalan sosial budaya yang terjadi di Belitong dan
di Madura, merupakan sebuah potret sosial dari kondisi yang masih terjadi pula
di Indonesia selama ini.
B. Saran
Berdasarkan hasil kajian dan penelitian ini, terdapat beberapa saran diantaranya:
1. Kepada semua pihak seperti guru, dosen, pemerhati sastra, dan peneliti sastra
agar memanfaatkan penelitian ini sebagai referensi dalam kegiatan
pembelajaran dan bahan pembanding dalam diskusi kesastraan. Mengkaji
pandangan dunia pengarang dalam sebuah novel cukup penting, karena
pandangan dunia ini bukan hanya sebuah fakta empiris yang bersifat langsung,
tetapi merupakan suatu gagasan, aspirasi, dan perasaan yang dapat
menyatukan kelompok sosial masyarakat.
2. Diharapkan adanya analisis lebih mendalam untuk mengungkapkan orisinalitas
karya sastra .
3. Penelitian dalam analisis strukturalisme genetik sangat perlu dikembangkan
secara berkesinambungan agar terwujud keseimbangan antara dunia pengarang
dan dunia penikmat karya sastra.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Nur Aina. 2010. Struktur Aktan dan Nilai Pendidikan dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata. Tesis. Makassar: Universitas Muhammadiyah.
Aminudiin, 1975. Perwatakan dan Penokohan. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Atmaja, Jiwa. 1993. Novel Eksperimental. Bandung: Angkasa.
Damono, Sapardi Djoko. 2000. Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas (Cetakan Keempat). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Departemen Pendidikan Nasional, 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metode Penelitian Sastra Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi.Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Faruk, 1999a. Pengantar Sosiologi Satra: Dari Strukturalisme Genetik Sampai Post-Modernisme (Cetakan Kedua). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
________1999b. Hilangnya Pesona Dunia. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.
Goldmann, Lucian, 1975. Towards, a Sociologt of the Novel (Translated from the French by Alan Sherindan) London : The Cambridge University press.
_________1981. Method in Sociology of Literature. New York: Praeger Publiser.
Hamsidar, 2003. Memerdekakan Rakyat Memerdekakan Diri Sendiri. Bandung: Rosdakarya.
Hartoko, Dick. 1990. “Epistemologi dan Sastra”. Yogyakarta: Makalah Seminar Kritik Sastra Indonesia Modern, 21-23 Juli 1990, di RRI Nusantara II.
Hasbullah. 2005. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Indrawana, 2009. Interpretasi Nilai Sosial dalam Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata Suatu Tinjauan Strukturalisme Genetik. Tesis. Tidak diterbitkan. Makassar: Universitas Muhammadiyah.
Iswanto, 2001. Penelitian Sastra dalam Perspektif Strukturalisme Genetik. Yogyakarta: Hanindita.
Jabrohim. 2001. Sosiologi Sastra: Beberapa Konsep Pengantar dalam Metodelogi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Prihatin, Sri Setya. 2009. Analisis Struktur, Resepsi Pembaca dan Nilai Pendidikan dalam Novel Laskar Pelangi. Tesis. Makassar: Universitas Muhammadiyah.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori dan Penelitian Sastra dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme Persfektif Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rosyadi. 1995. Nilai-nilai Budaya dalam Naskah Kaba. Jakarta: CV Dewi Sri.
Saraswati, Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra: Sebuah Pemahaman Awal. Malang: UMM Press.
Selden, Raman. 1996. Pemaduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Semi, M. Atar. 1989. Sosiologi Sastra: Sebuah Pemahaman Awal. Malang: UMM Press.
_______1993. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.
________2012. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa
Setiadi, Elly. M. 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana.
Soekanto, Soerjono. 1983. Pribadi dan Masyarakat (Suatu Tujuan dan Sosilogis). Bandung: Alumni.
Sudjiman, Panutti. 1984. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: PT Gramedia.
Sugiarti, 2002. Pengantar dan Pengkajian Prosa Fiksi. Malang: UMM Press.
Suyitno. 1986. Sastra, Tata Nilai, dan Eksegesis. Yogyakarta: Anindita.
Syafri, 2008. Analisis Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata (Suatu Pendekatan Genetik). Skripsi. Tidak diterbitkan. FKIP Unismuh Makassar.
Syukroni, 2010. Pemanduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Tang, Muhammad Rapi, 2008. Mosaik Dasar Teori Sastra, dalam Penampang Objektif. Makasar: Universitas Negeri Makasar.
Taum, Yoseph. 1997. Pengantar Teori Sastra. Flores: Penerbit Nusa Indah.
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Uzey. 2009. Macam-macam Nilai. Dalam http://uzey.blogspot.com/2009/09/ diakses tanggal 23 Mei 2014.
Wahid, Sugirah. 2004. Kapita Selekta Kritik Sastra, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Universitas Negeri Makassar: CV Berkah Utami.
Yapi Taum, Yoseph.1995. Pengantar Teori Sastra. Bogor: Nusa Indah.
Yuliani, 2000. Teori Kesusastraan (Diindonesiakan oleh Melani Budianta dari Judul asi Theory of Literature). Jakarta: PT Gramedia.
Zakaria, Bernadi. 2010. Dekontruksi Postkolonial dalam Tertralogi Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata. Tesis. Tidak diterbitkan. Makassar: Universitas Muhammadiyah.
RIWAYAT HIDUP
Nashrah Amin, lahir pada tanggal 07 Oktober 1979 di Pinrang
provinsi Sulawesi Selatan. Anak ke empat dari enam
bersaudara, dari pasangan Drs. H. Muh. Amin Tjedda dan
Hj. Bakki.
Riwayat pendidikan umum, lulus Sekolah Dasar Negri 18 Pinrang tahun 1992, lulus
Sekolah Menengah Pertama Negri 2 Lembang, Kabupaten Pinrang tahun 1995, dan lulus
Madrasah Aliyah Negri Pinrang tahun 1998, dan kemudian melanjutkan ke Perguruan Tinggi
Universitas Muslim Indonesia pada tahun 1998 pada Fakultas Teknologi Industri Jurusan
Teknik dan Managemen Industri dan selesai tahun 2003. Tahun 2001, penulis kemudian
kuliah juga di Pendidikan Guru Sekolah Dasar Islam (PGSDI) di Universitas Muslim
Indonesia, dan lulus tahun 2003.
Tahun 2006, kemudian kuliah di STKIP Cokroaminoto Pinrang, memilih jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, dan lulus tahun 2008. Untuk menambah
wawasan dan meningkatkan potensi sebagai pendidik, penulis kemudian melanjutkan
pendidikan tahun 2012 di Universitas Muhammadiyah Makassar Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia.
Sejak tahun 2003, penulis telah mengabdikan diri mengajar di Sekolah Dasar Negri 18
Pinrang sampai sekarang, dan juga mengajar sejak tahun 2004 di SMK Baramuli Pinrang
sampai sekarang.
Lampiran : 1
SINOPSIS
Sinopsis Novel Sang Pemimpi
Judul : Sang Pemimpi
Penulis : Andrea Hirata
Penyunting : Imam Risdiyanto
Penerbit : Bentang Pustaka
Tebal : 295 halaman
Cetakan : I Juli 2006
Sang Pemimpi
Novel ini merupakan kelanjutan dari novel laskar pelangi. Laskar pelangi yang
mengajarkan tentang bagaimana memperjuangkan pendidikan ditengah keterbatasan. Novel
sang pemimpi ini kita lebih di ajak untuk berkreasi dalam alam pikiran kita. Memperjuangkan
apa yang yang selama ini kita yakini. Mimpi-mimpi yang kadang bisa mengubah seseorang
dalam ketidakmungkinan. Pengarang mencoba menunjukkan sisi lain tentang bagaimana
nasib, kebahagiaan, cara hidup, dan melihat kehidupan dari sudut pandang yang berbeda.
Kita akan ditunjukkan sebuah pandangan yang begitu luas hingga kita tercengang dan tak
percaya. Kebahagiaan yang meluap-luap, kesedihan yang mengharu biru, perjuangan yang
tanpa lelah, proses kehidupan yang begitu panjang dan penuh perjuangan. Setiap kata yang
ada dalam novel ini akan menghentakkan pikiran hingga kita menahan nafas, menyentuh
jiwa kita hingga titik yang tak bisa dikatakan, dan membentuk pikiran dalam alam bawah
sadar tentang bagaimana kita hidup.
Ikal, Arai, dan Jimbron, setelah SMP mereka melanjutkan sekolah SMA. Dari masa
SMA inilah perjuangan keyakinan tentang mimpi itu terbentuk. Ikal merupakan anggota
laskar pelangi yang masih tetap ada, Arai merupakan sepupu Ikal keturunanan simpai
keramat atau garis keturunan terakhir dari keluarganya yang tinggal bersama Ikal sejak SD,
sementara Jimbron merupakan anak angkat dari seorang pendeta nasrani yang setia
menghantarkannya setiap sore ke masjid karena ingin Jimbron menjadi mukmin yang taat.
Mereka adalah tiga sekawan yang selalu bersama-sama dan memiliki mimpi yang tak
terbantahkan.
Dari seorang guru sastra bernama Pak Balia mimpi itu dimulai. Bermimpilah, karena
tuhan akan memeluk orang-orang yang bermimpi. Seorang guru yang penuh inspiratif, yang
setiap saat tanpa lelah mengajari mereka memekikkan kata-kata motivasi perjuangan
dengan penuh semangat. Guru yang mengajari mereka bermimpi sangat tinggi, dan
bagaimana meyakinkan seberapa besar kita dapat mewujudkan mimpi itu. Guru yang
mengajari mereka bercita-cita yang tinggi, belajar dari alam untuk meresapi kehidupan,
mereguk ilmu sebanyak-banyaknya,. Mimpi mengelilingi eksotisnya Afrika, megahnya
Eropa, dan berhenti di almamater ilmu Universitas Sorebonne Perancis.
Betapa setiap kata-kata dapat mempengaruhi seseorang. Demikianlah setiap hal
yang diucapkan pak Balia terus ada dan hidup di hati mereka. Arai sangat mempercayai
setiap kata penuh inspiratif yang selalu terdengar itu. Dia menjadi seorang pemimpi,
seorang pembual besar yang selalu meyakinkan kedua sahabatnya. Seorang yang selalu
meyakini bahwa mimpinya tiada terbantahkan dan dapat terjadi. Dan dua sahabatnya selalu
mempercayainya.
Mereka rela menjadi kuli ngambat, bekerja dari jam dua dini hari dan paginya
sekolah. Mereka menabung dari waktu kewaktu untuk mewujudkan mimpinya kuliah di
Paris. Jika dinalar tabungan itu tak akan pernah mencukupi kebutuhan mereka untuk biaya
perjalanan ke Paris, namun hal itu tak pernah menyurutkan langkah mereka. Bagi mereka
selama mereka masih bisa berusaha, mereka akan mewujudkan mimpi itu. Bagi mereka
tanpa bermimpi bagaimana mereka akan hidup.
Disisi lain mimpi kuliah di Sorebone, Jimbron memiliki sebuah kekaguman pada
sebuah binatang yaitu kuda, dan secara diam-diam mencintai seorang gadis pendiam
bernama Laksmi. Sementara Arai memiliki mimpi yaitu bersanding dengan Zakiah Nurmala,
gadis satu sekolah yang selalu menampiknya namun tak pernah menyurutkan pendirian Arai
untuk mencintai gadis tersebut. Sementara Ikal adalah keinginannya untuk bertemu A ling,
seorang gadis Tionghoa yang telah membawa hatinya jauh pergi.
Setelah lulus SMA Arai dan Ikal merantau ke Jawa, tepatnya daerah Bogor.
Sementara Jimbron lebih memilih untuk berternak kuda di Belitong dan bersama Laksmi
gadis yang selama ini dicintainya. Jimbron menghadiahkan dua sahabatnya dua buah
celengan kuda, dengan itu Jimbron percaya walaupun dia tidak pernah ke Paris namun
hatinya akan sampai disana bersama Arai dan Ikal jika mereka sampai di Paris.
Perjuangan di Bogor ternyata tak mudah dan seperti apa yang mereka harapkan.
Mereka bersusah payah untuk mendapatkan pekerjaan. Pada akhirnya nasib menempatkan
Ikal sebagai tukang sortir (tukang pos), sementara Arai pergi merantau karena tak kunjung
mendapat kerja. Arai menghilang tanpa kabar dan hal itu membuat Ikal benar-benar
kehilangan. Pada tahun berikutnya Ikal kuliah di UI jurusan ekonomi. Ikal akhirnya dapat
lulus dari kuliah tersebut. Setelah lulus UI, kesempatan untuk kuliah di Sorebonne datang,
ada beasiswa untuk melanjutkan S2 Jurusan ekonomi di Sorebonne. Dengan menyingkirkan
ribuan pesaing, akhirnya Ikal sampai pada perebutan 15 besar.
Pada saat wawancara, profesor yang menguji Ikal terpukau riset yang dibuwat oleh
Ikal. Walapun berlatar belakang dari seorang sarjana ekonomi yang bekerja sebagai tukang
sortir namun riset yang Ikal kembangkan mengagumkan. Namun hal itu membuat Ikal sedih,
karena Arai teman yang membuatnya bermimpi tak ada disamping dia. Setelah wawancara
Ikal keluar dari ruangan tempat dimana ia mengadakan wawancara dengan lesu. Kejutan
datang ketika dia berjalan, ia tak percaya ada suara yang selama ini dia kenal. Dia
menemukan sahabatnya berada dalam sebuah ruangan wawancara. Arai disana ditempat
yang sama dan ia tidak melupakan mimpinya kuliah di Sorebonne Perancis. Itulah Arai yang
selalu penuh kejutan. Mereka berpelukan sangat erat dan hampir tak percaya pada
pertemuan itu. Bahwa mereka masih memegang mimpi-mimpi mereka yang selama ini
mereka bawa.
Dulu ketika Arai pergi ke Kalimantan ternyata dia melanjutkan kuliah sambil bekerja
di Kalimantan. Dia kuliah di Fakultas Mulawarman jurusan biologi, dan ketika tahu ada
pengumuman beasiswa ke Paris dia tak mau melewatkan kesempatan itu. Arai
mempersiapkan dengan penuh persiapan sebuah riset dalam bidang biologi. Arai pun sama,
sampai pada perebutan tempat 15 besar. Ketika wawancara, Profesor yang mengujinya pun
kagum pada riset yang Arai buat karena bisa menghasilkan teori baru. Sambil menunggu
pengumuman mereka pulang ke Belitong karena rindu dengan keluarga dan ingin
menghabiskan liburan disana. Setelah lama disana akhirnya apa yang mereka tunggu
datang, dua buah surat pengumuman penerimaan beasiswa kuliah. Dengan berdebar-debar
surat itu mereka buka, disana tertulis dalam bahasa inggris dan tertera bahwa Arai dan Ikal
diterima untuk menjadi mahasiswa Sorebonne Perancis. Mereka pun menangis bahagia
beserta orang tua Ikal. Apa yang mereka yakini selama ini menjadi kenyataan. Akhirnya
mereka akan menginjakkan kaki ditanah Perancis.
SINOPSIS
Sinopsis Novel YASMIN
Judul : YASMIN
Penulis : DIYANA MILLAH ISLAMI
Penyunting : Annarumi
Penerbit : PT. Bentang Pustaka
Tebal : 268 halaman
Cetakan : I Maret 2014
YASMIN
Yasmin seorang gadis kecil berumur 9 tahun. Ia masih duduk di bangku sekolah
Madrasah Ibtidaiyah Bustanul Ulum di dusun Tegalamat Atas, di desa Suci, Kecamatan
Panti, Jawa Timur. Yasmin kerap kali iri melihat anak-anak sebayanya yang bebas bermain.
Sedangkan ia, harus menanggung beban untuk menjaga keponakannya yang berumur dua
tahun dan adik bungsunya yang masih berumur lima tahun. Tak hanya itu, dirumah dia
harus mengurus rumah, memasak, mencuci piring dan juga membantu pekerjaan emaknya
sebagai tukang jahit. Ayahnya yang bekerja sebagai mandor kebun coklat, sedang sakit.
Dan sejak ayahnya sakit, dia tidak mampu bekerja. Hanya pasrah menerima nasib.
Setiap sore menjelang magrib, Yasmin rajin ke mushalla di dusun sebelah, di
daratan yang lebih tinggi . tepatnya di Mushalla pesantren Kiai Durahem yang berada di
pondokan santri putri untuk shalat magrib dan isya berjamaah dan sekaligus belajar
mengaji. Pesantren Nurul Huda pimpinan Kiai Abdur Rohim yang lebih sering di sebut Kiai
Durahem memiliki banyak santri dan santriwati. Namun sebagian santri dan santriwati itu
ada yang mondok dan ada juga yang tidak. Anak-anak desa yang tidak mondok, tetap
mengaji dan bersekolah diniyah di pesantren, dalam masyarakat Madura di sebut “santri
colokan”.
Sudah sejak lama Yasmin sangat ingin mondok di pesatren Nurul Huda. Dia ingin
memiliki waktu lebih banyak untuk belajar agama bersama santriwati yang lain. Namun
emak tidak pernah mengizinkan dia untuk mondok dipesantren, kecuali mengaji dan belajar
diniyah. Alasan emaknya karena adiknya masih kecil, dan harus menjaga keponakannya
yang masih kecil dan karena bapaknya sedang sakit. Leli adalah anak kakak perempuan
Yasmin yang ketika melahirkan Leli dia meninggal dunia. Suaminya Cak Pri, sejak istrinya
hamil, dia berkeras menjadi TKI di Saudi Arabia atas ajakan temannya. Dan ternyata dia
ditipu oleh temannya. Sampai di Arab Saudi, dia tidak mendapatkan pekerjaan. Segala
upaya dilakukan untuk bisa kembali ke tanah air, namun Cak Pri malu dengan keluarga dan
mertuanya sehingga ia memilih untuk bersembunyi sementara di pesantren milik Kiai
Durahem, sambil bekerja sebagai supir Pak Kiai.
Yasmin sangat ingin mondok di pesantren seperti teman-temannya. Untuk itu
dengan berbagai cara Yasmin berusaha agar Leli bisa di asuh oleh ayah kandungnya.
Berusaha bagaimana caranya mendapatkan uang untuk di gunakan ayahnya berobat di Pak
Mantri. Namun ketika itu berhasil, emak tetap tidak mau memberi izin, dengan alasan bahwa
emak tidak punya biaya untuk memondokkan Yasmin. Yasmin kecewa dan terus memaksa.
Suatu ketika, dalam rangka memperingati HUT RI ke- 51, Yasmin mewakili sekolahnya
untuk mengikuti lomba menggambar tingkat kabupaten. Dia berharap bisa menang di
perlombaan itu agar segera mendapat restu dari emaknya. Namun, betapa ia sangat
kecewa ketika mendengar pengumuman hasil juara. Dia menangis dan berlari meninggalkan
Pak Hasan gurunya. Dia kabur menjauh dari pandangan gurunya. Sampai akhirnya di jalan
Yasmin bertemu kakak iparnya Cak Pri yang sedang membawa angkot. Sejak berhasil
membawa Leli, Cak Pri akhirnya pulang kerumahnya dan bekerja sebagai supir angkot.
Yasmin memaksa ikut ke rumahnya Cak Pri, dengan alasan kangen sama keponakannya
Leli. Semua khawatir atas hilangnya Yasmin. Emak menangis. Dia menyesali diri,
menganggap bahwa kekecewaan dan kepergian Yasmin karena salahnya.
Akhirnya Supriyadi alias Cak Pri membawa Yasmin ke pondok pesantren Kiai
Durahem. Bersama Halimah anak Pak Kiai, Yasmin menginap sementara. Malam itu
Halimah menasehati Yasmin. Ia mengerti keinginan Yasmin. Namun ia juga memahami
alasan emak sampai hati tidak mengizinkan Yasmin untuk menuntut ilmu agama di
pesantren.
Halimah menasehati Yasmin. Menceritakan tentang sahabat Rasulullah Muhammad bin Ali
at-Tirmidzi yang mendapatkan keberuntungan dalam hidup. Tirmidzi justru kemudian
menjadi orang yang sangat pandai ilmu agama melebihi temannya yang berangkat
mengembara mencari ilmu. Ini di karenakan karena Tirmidzi telah berbakti kepada ibunya.
Bukankah surga ada di telapak kaki ibu? Mendengar itu, Yasmin menangis. Dia menyesali
dirinya yang lupa akan hadis nabi yang mulia itu.
Kemudian, emak datang ke kediaman Pak Kiai diantar Pak Guru Hasan. Emak menangis.
Dia datang sambil membawa barang-barang milik Yasmin dan sedikit uang tabungannya,
tanda bahwa emak telah mengizinkan Yasmin untuk mondok di pesantren Nurul Huda.
Namun Yasmin menolak. Yasmin bertekad untuk tetap tinggal di rumah membantu emak
sambil sekolah di MI. “Surga ada di telapak kaki ibu”. Dia ingin berbakti kepada ibunya,
kepada orangtuanya. Biarlah dia mondok setelah lulus dari Madrasah Ibtidaiyah.
Hari berganti hari, akhirnya kesehatan Pak Sulaiman ayah Yasmin semakin membaik. Dia
sudah kembali bekerja sebagai mandor di kebun coklat. Mak Tik juga semakin rajin
menabung untuk persediaan Yasmin mondok, dan Yasmin semakin rajin membantu
emaknya, dan sering membaca buku-buku yang dipinjamkan Halimah kepadanya. Akhirnya
setelah lulus di Madrasah Ibtidaiyah dengan diantar kedua orang tuanya serta orang-orang
terdekatnya, Yasmin segera berangkat mondok di pesantren. Keinginan yang sejak lama
dia idam-idamkan. Dia berharap bisa belajar lebih banyak pelajaran umum, sekaligus
memperdalam pengetahuan agama Islam.
Lampiran : 2
Biodata Penulis
Nama Pena : Andrea Hirata
Nama Lengkap : Aqil Barraq Badruddin Seman Said Harun
Agama : Islam
Tempat Lahir : Belitung,Provinsi Bangka Belitung
Tanggal Lahir : Minggu, 24 Oktober 1976
Andrea Hirata Seman Said Harun lahir di pulau Belitung pada tanggal 24 Oktober
1976. Ia dikenal sebagai seorang penulis novel yang karyanya diangkat ke layar lebar teater
musikal. Andrea Hirata adalah lulusan S1 Ekonomi Universitas Indonesia. Setelah
menyelesaikan studi S1 di UI, pria yang kini masih bekerja di kantor pusat PT Telkom ini
mendapat beasiswa Uni Eropa untuk studi Master of Science di Université de Paris,
Sorbonne, Perancis dan Sheffield Hallam University, United Kingdom.
Tesis Andrea di bidang ekonomi telekomunikasi mendapat penghargaan dari kedua
universitas tersebut dan ia lulus cumlaude. Tesis itu telah diadaptasi ke dalam Bahasa
Indonesia dan merupakan buku teori ekonomi telekomunikasi pertama yang ditulis oleh
orang Indonesia. Buku itu telah beredar sebagai referensi Ilmiah.
Pada tahun 1997, Andrea Hirata resmi menjadi pegawai PT Telkom. Niatnya untuk
menuliskan pengabdian sang inspiratornya kembali membuncah manakala dia menjadi
relawan untuk korban tsunami di Aceh. Ketika dia melihat rumah, sekolah, dan berbagai
bangunan yang ambruk, memorinya akan masa kecilnya dan tentu saja, Bu Mus
memantapkan hatinya untuk menuliskan perjuangan guru tercintanya itu ke dalam sebuah
karya sastra. Kemudian, Andrea Hirata berhasil membuat novel Laskar Pelangi hanya
dalam waktu tiga minggu.
Namanya makin melejit seiring kesuksesan novel pertamanya, LASKAR PELANGI.
Novel tersebut kemudian jadi best seller. Selain LASKAR PELANGI, ia juga menulis SANG
PEMIMPI dan EDENSOR, serta MARYAMAH KARPOV. Keempat novel tersebut tergabung
dalam tetralogi. Walaupun sebenarnya Andrea Hirata tidak berniat untuk mempublikasikan
novel atau mengirimkannya pada penerbit, Laskar pelangi tetap sampai pada penerbit.
Begitu banyak penghargaan yang Andrea Hirata terima.
Beberapa di antaranya adalah penghargaan dari Khatulistiwa Literaly Award (KLA)
pada tahun 2007, Aisyiyah Award, Paramadina Award, Netpac Critics Award, dan lain
sebagainya. Sukses dengan novel tetralogi, Andrea merambah dunia film. Novelnya yang
pertama, telah diangkat ke layar lebar, dengan judul sama, LASKAR PELANGI pada 2008.
Dengan menggandeng Riri Riza sebagai sutradara dan Mira Lesmana sebagai produser,
film ini menjadi film yang paling fenomenal di 2008. Dan jelang akhir tahun 2009, Andrea
bersama Miles Films dan Mizan Production kembali merilis sekuelnya, SANG PEMIMPI.
PENDIDIKAN
S1 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
S2 Universite de Paris Sorbonne (Perancis)
Sheffield Hallam University (Inggris).
KARIR
Novelis
Staf PT. Telkom
PENGHARGAAN
Khatulistiwa Literaly Award (KLA), 2007
Aisyiyah Award,
Paramadina Award
Netpac Critics Awa
Biodata Penulis
Nama Lengkap : Diyana Millah Islami
Agama : Islam
Tempat Lahir : Situbondo, Provinsi Jawa Timur
Tanggal Lahir : Juli 1986
Diyana Millah Islami adalah penulis muda berbakat. Ia menyelesaikan studi S-1di jurusan
Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Jember pada tahun 2011. Salah satu
cerpennya masuk dalam 10 karya terbaik Pekan Seni Mahasiswa Indonesia Regional
(Peksiminal) yang diselenggarakan oleh Badan Pembina Seni Mahasiswa Indonesia
(BPSMI) wilayah Jawa Timur tahun 2008.
Diyana juga menyabet juara 3 se-Indonesia dalam Lomba Karya Komik Tokoh Sejarah
(LKKTS) Pekan Nasional Cinta Sejarah (PENTAS) yang dihelat oleh Ditjen Sejarah dan
Purbakala, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata RI tahun 2011.