MODEL BASED CONTROLLER DENGAN MENGGUNAKAN...
Transcript of MODEL BASED CONTROLLER DENGAN MENGGUNAKAN...
vii
MODEL BASED CONTROLLER DENGAN
MENGGUNAKAN INTERNAL MODEL CONTROL (IMC)
YANG DITUNING BERDASARKAN PERUBAHAN SET
POINT DAN DISTURBANCE PADA POWER PLANT
BERBASIS HYSYS
Nama Mahasiswa : Hendrik Elvian Gayuh Prasetya
NRP : 2410 100 051
Program Studi : S1 Teknik Fisika
Jurusan/Fakultas : Teknik Fisika FTI-ITS
Dosen Pembimbing : Totok Ruki Biyanto, Ph.D
Abstrak Waste heat steam generator (WHSG) merupakan sebuah sistem
pembangkit listrik yang memanfaatkan gas buang suatu proses di
industri. Dalam rangka merancang plant WHSG dibutuhkan parameter
kendali yang tepat untuk mempertahankan nilai kesetimbangan massa
dan kesetimbangan energi. Teknik pengendalian IMC-PID merupakan
salah satu metode yang sering diterapkan pada power plant yakni
dengan melakukan tunning terhadap perubahan set point. Pada
kenyataannya, tidak hanya tunning berdasarkan perubahan set point
saja yang dapat menghasilkan respon yang tepat, tetapi tunning
berdasarkan nilai disturbance juga tepat untuk digunakan. hal ini
dikarenakan tunning berdasarkan nilai disturbance dapat mengurangi
nilai gangguan yang langsung masuk pada keluaran sebuah proses.
Nilai tunning berdasarkan nilai set point yang diberikan yakni ±5%,
±10%, dan ±15% dari data desain yang digunakan, sedangkan untuk
tunning berdasarkan nilai disturbance yang digunakan yakni ±5% dari
nilai input yang digunakan sebagai parameter disturbance.
Berdasarkan respon pengendalian yang dihasilkan menunjukkan bahwa
metode tunning yang digunakan untuk mengendalikan disturbance
dalam penelitian ini, tidak tepat untuk diterapkan menggunakan metode
IMC-PID. Hal ini dikarenakan karakteristik respon yang dihasilkan
menunjukkan nilai yang kurang baik.
Kata kunci:
Waste Heat Stem Generator (WHSG), Tunning, Set Point, Disturbance,
IMC-PID
viii
Halaman ini sengaja dikosongkan
ix
MODEL BASED CONTROLLER WITH INTERNAL
MODEL CONTROL (IMC) TUNED BY SET POINT
CHANGES AND DISTURBANCE CHANGES ON POWER
PLANT BASED HYSYS
Name of Student : Hendrik Elvian Gayuh Prasetya
Number Of Registration : 2410 100 051
Major : Bachelor Degree of Engineering
Physics
Department/Faculty : Engineering Physics FTI-ITS
Supervisor : Totok Ruki Biyanto, Ph.D
Abstract
Waste heat steam generator (WHSG) is a power
generation system that utilizes exhaust gases in an industrial
process. In order to design WHSG plant proper control parameters
needed to maintain the value of the mass balance and energy
balance. The technique of IMC-PID control is one method that is
often applied to the power plant by tunning to change the set point.
In fact, not only by changes in set point tunning that only produce
a proper response, but tunning based on disturbance value also
appropriate for used. This is because tunning based on disturbance
value can reduce the disturbance values directly into the process
output. The tunning values based on set point is given by value ±
5%, ± 10% and ± 15% of design data used, while for tunning based
on disturbance that used ± 5% the inputs value which used as a
parameter disturbance. Based on the result of control response
shows that tunning method used to control the disturbance in this
study, are not appropriate to be applied using the IMC-PID
method. This explanation because characteristics of resulting
response shows that poor value.
Keywords: Waste Heat Stem Generator (WHSG), Tunning, Set Point, Disturbance,
IMC-PID
x
This page intentionally left blank
7
BAB II
DASAR TEORI
Pada bab ini berisi teori dasar tentang hal-hal yang berkaitan dengan judul, sehingga nantinya dapat membantu pola berpikir dalam menyelesaikan permasalahan yang terdapat di dalam penulisan. Dasar teori tersebut didapatkan melalui referensi text book, manual book, jurnal ilmiah yang telah dipublikasikan. Adapun dasar teori akan dijelaskan secara berurutan dengan urutan sebagai berikut. :
Waste Heat Steam Generator (WHSG) Heat Exchanger Turbin Steam Drum IMC (Internal Model Control) Pendekatan Matematis FOPDT Analisa Performansi Pengendalian
2.1 Waste Heat Steam Generator (WHSG)
Waste heat steam generation merupakan sebuah sistem pembangkit listrik yang memanfaatkan gas buang yang masih memiliki nilai kalor yang tinggi (Umamaheswari, 2013). Didalam sistem pembangkit listrik jenis ini, terdapat dua macam nilai input yang digunakan, yakni aliran gas buang yang masih memiliki nilai kalor yang tinggi dan air yang digunakan sebagai suplai uap yang dihasilkan untuk memutarkan turbin. Akan tetapi dalam perancangan sistem pembangkit waste heat steam generator ini diperlukan biaya yang cukup mahal, oleh karena biaya perancangan sistem ini terlalu mahal, maka dalam perancangan Waste Heat Steam Generator (WHSG) harus dilakukan sistem simulasi pemodelan terlebih dahulu untuk mengetahui performansi sistem (Biyanto,2013). Didalam simulasi model plant ini diperlukan sistem pengendalian yang tepat untuk menghasilkan nilai performansi yang sesuai. Untuk melakukan pengendalian yang tepat pada desain plant WHSG ini, langkah yang harus diketahui adalah menentukan parameter atau unit
8
operasi yang akan digunakan. Jenis unit operasi yang digunakan pada WHSG ini terdapat tiga macam unit operasi, yakni heat exchanger, steam drum, dan turbin yang dapat dilihat pada gambar 2.1.
Gambar 2.1 Process Flow Diagram Waste Heat Steam Generator (Hatchman, 1991)
Berdarkan Gambar 2.1 dapat diketahui bahwa unit operasi yang digunakan untuk mendesain waste heat steam generator ini yakni heat exchanger, steam drum, dan turbin. Pada unit operasi heat exchanger yang digunakan pada desain sistem pembangkit ini berjumlah tiga unit operasi, yakni economizer, evaporator, dan superheater. Sedangkan pada unit operasi steam drum dan turbin hanya memiliki satu unit operasi.
Didalam desain HRSG (heat recovery steam generator), bagian yang paling penting untuk diamati adalah nilai kesetimbangan energi yang terjadi pada masing – masing unit operasi. Penentuan proses perpindahan panas yang terjadi pada sisi shell dan sisi tube pada heat exchanger merupakan bagian
9
unit operasi yang paling menentukan nilai kesetimbangan masa pada plant HRSG. Oleh karena itu ada tiga element heat exchanger yang diguanakan, yakni evaporator, superheater, dan economizer yang mempunyai fungsi yang berbeda – beda (Robles, 2005). Evaporator
Evaporator merupakan unit operasi yang berfungsi untuk mengubah fasa cairan (liquid) menjadi fasa uap (vapor), sehingga dengan kata lain evaporator juga dapat disebut dengan alat yang mampu mengubah suatu aliran bertekanan dan bertemperatur rendah menjadi tinggi. Prinsip kerja dari evaporator ini menggunakan prinsip kerja alat penukar panas (heat exchanger) yang memiliki dua fungsi dasar, yakni yang pertama adalah untuk menukarkan panas dan yang kedua yakni untuk memisahkan fluida dalam bentuk cairan menjadi uap..
Gambar 2.2 Perpindahan panas pada evaporator (Campos,
2001)
10
Perhitungan kesetimbangan massa pada unit operasi evaporator digunakan untuk mengetahui keseluruhan kesetimbangan massa dan kesetimbangan energi pada setiap aliran yang ada dalam evaporator. Persamaan dibawah ini merupakan model matematis dari evaporator :
= - - (2.1)
= - (2.2)
(2.3) Model matematis diatas digunakan untuk memperhitungkan nilai kesetimbangan massa ketika input yang digunakan dalam evaporator berupa cairan. Qb, Qd, dan Qp yang masing – masing merupakan laju perpindahan panas dari bubbles ke fase cairan, dari inlet gas ke cairan inlet evaporator, dan dari fase cairan ke lingkungan disekitar dinding evaporator. Dengan menggunakan persamaan (2.4) dan persamaan (2.5) maka dapat ditulis dalam persamaan dibawah ini :
= + (2.4)
Dengan menggunakan asumsi bahwa kalor spesifik rata – rata dari fase cairan kontan, maka Co = C, dan menggunakan persamaan (a) dan persamaan (c), maka didapatkan persamaan berikut ini :
= - (2.5)
Persamaan (2.5) diatas menunjukkan nilai perhitungan
kesetimbangan massa dan kesetimbangan energi yang ada didalam unit operasi evaporator antara fasa cairan dan fasa gas yang digunakan sebagai input unit operasi tersebut.
11
Superheater
Superheater merupakan sebuah alat yang berfungsi sebagai sistem pemanas lanjut. Alat ini digunakan untuk mengubah kondisi saturated steam menjadi kondisi super heated steam yang selanjutnya akan digunakan untuk tenaga pendorong pada turbin (Wahlberg,2011). Dalam pembangkit listrik, untuk memutar turbin dibutuhkan uap yang sifatnya kering yang dikenal sebagai “superheating steam”. Hal ini disebabkan apabila uap mengandung butir-butir air akan merusak sudu-sudu turbin. Untuk membuat uap kering, maka uap jenuh dimasukkan kedalam unit operasi superheater. Dengan pemakaian pemanas lanjut, uap basah ketel uap turbin akan dikeringkan, sehingga akan meningkatkan kualitas dan memberikan kerja pada turbin uap yang lebih baik.
Superheater terdiri dari tiga macam tahapan, yang pertama adalah stage tinggi, yang kedua adalah stage sedang, dan yang ketiga adalah stage rendah, yang ditempatkan pada flue gas yang condong ke belakang cyclone separator (Teir, 2002). Aliran proses yang ada didalam unit operasi superheater ini adalah steam saturated dari steam drum dimasukkan ke inlet header superheater dengan sambungan, kemudian ke superheater temperatur yang lebih rendah, selanjutnya ke desuperheater setelah dipanaskan, dan akhirnya masuk ke outlet header superheater temperatur tinggi dengan pipa, setelah temperaturnya disesuaikan. Steam superheated ini kemudian disalurkan ke main steam header yang digunakan untuk menggerakkan turbine.
Pada umumnya unit operasi superheater mempunyai tiga tahapan fungsi digunakan pada jenis boiler besar yang banyak digunakan diberbagai macam industri (Teir, 2002). Oleh karena pada unit operasi ini memiliki tahapan fungsi, maka nilai perhitungan yang digunakan untuk menentukan nilai kesetimbangan massa dan kesetimbangan energi merupakan hal terpenting yang perlu diamati untuk mengetahui nilai performansi yang akan dihasilkan. Persamaan dibawah ini merupakan perhitungan nilai kesetimbangan massa dan kesetimbangan energi di dalam berbagai tahapan yang ada pada unit operasi superheater.
12
(2.6)
dimana = laju aliran massa uap sebelum tahap pertama pada
superheater [kg/s]. = entalphi spesific uap setelah tahap pertama pada
superheater [kJ/kg]. = entalphi spesific uap sebelum tahap pertama pada
superheater [kJ/kg].
Persamaan model matematika yang terdapat pada unit operasi superheater tahap kedua ini, nilai panas akan ditambahkan untuk proses pertukaran energi sehingga perhitungan dapat ditampilkan pada persamaan dibawah ini : (2.7) dimana : = laju aliran massa uap sebelum tahap kedua pada
superheater [kg/s]. = entalphi spesific uap setelah tahap kedua pada
superheater [kJ/kg]. = entalphi spesific uap sebelum tahap kedua pada
superheater [kJ/kg]. Persamaan model matematika yang terdapat pada unit operasi superheater tahap ketiga ini, nilai panas akan ditambahkan untuk proses pertukaran energi sehingga perhitungan dapat ditampilkan pada persamaan dibawah ini : (2.8)
13
dimana : = laju aliran massa uap sebelum tahap ketiga pada
superheater [kg/s]. = entalphi spesific uap setelah tahap ketiga pada
superheater [kJ/kg]. = entalphi spesific uap sebelum tahap ketiga pada
superheater [kJ/kg]. Economizer
Economizer merupakan salah satu unit operasi berupa pemanas yang digunakan sebagai media pemanasan awal air yang digunakan sebagai umpan baru sebelum masuk ke dalam ketel. Economizer terdiri dari pipa-pipa air yang ditempatkan pada lintasan gas asap sebelum meninggalkan ketel (Wahlberg,2011). Gas asap yang akan melewati cerobong temperaturnya masih cukup tinggi sehingga akan menyebabkan nilai kerugian panas yang besar bila gas asap tersebut langsung dibuang melewati cerobong. Oleh karena itu, gas asap yang masih panas ini yang akan dimanfaatkan untuk memanaskan air untuk mengisi ketel. Adapun keuntungan menggunakan economizer antara lain adalah untuk menghemat bahan bakar sehingga biaya operasional lebih murah, karena air yang digunakan masuk ke dalam ketel sudah dalam keadaan panas serta dapat memperbesar efisiensi ketel karena memperkecil kerugian panas yang dialami ketel uap. Unit operasi economizer memiliki dua macam nilai pendekatan model yang penting diterapkan, pendekatan pertama adalah pertimbangan pemilihan area terhadap nilai koefisien perpindahan panas yang telah diberikan, dan pendekatan yang kedua adalah dimensi yang digunakan pada economizer tersebut (Teir, 2002). Pada pendekatan yang pertama diberikan dengan pertimbangan luas dan koefisien perpindahan panas sebagai salah satu parameter input yang tidak memperhitungkan nilai fouling rate yang menyebabkan kinerja dari economizer ini berkurang. Sedangkan pada pendekatan kedua, model economizer yang digunakan akan menggunakan perhitungan produk dari nilai koefisien perpindahan panas terhadap luas economizer yang telah
14
diberikan. UA yang memenuhi syarat untuk parameter economizer dapat ditentukan dengan persamaan dibawah ini :
) (2.9)
Pada dasarnya unit operasi economizer dirancang untuk
memanaskan air, akan tetapi perancangan unit operasi ini juga dirancang sebagai tempat pendidihan air. Jika proses pendidihan terjadi pada economizer, maka laju aliran output yang dihasilkan akan berisi fraksi uap. Jika volume economizer mengandung uap, tingkat level yang akan didalam economizer akan berkurang dan ini akan mempengaruhi nilai perpindahan panas. Steam memiliki nilai U lebih rendah dari air dan oleh karena itu panas yang ditransfer dari gas buang uap akan lebih kecil dari dari gas buang ke air. Perhatikan bahwa proses pendidihan pada unit operasi economizer akan memberikan UA yang kurang akurat karena ketergantungan antara nilai U yang terdapat pada fasa liquid (Wahlberg,2011).
Gambar 2.3 Desain economizer (Atabani, 2013)
15
Selain faktor nilai UA, suatu respon yang optimum dapat diperoleh dengan menggunakan perancangan berdasarkan geometri economizer (Incropera, 2005). Adapun faktor yang mempengaruhi kinerja economizer sebagai berikut: a. Diameter luar tubing, yaitu besarnya diameter tube yang
digunakan dalam menyusun economizer. Semakin besar diameter tube akan mengakibatkan efektifitas perpindahan panas semakin berkurang.
b. Transversal spacing, yaitu menyatakan jarak antar tube sejajar ke arah lebar economizer. Semakin lebar jarak antar tube mengakibatkan proses induksi panas dalam economizer semakin berkurang, sehingga efektifitas perpindahan panas menurun.
c. Kerapatan fin, yaitu banyaknya fin tiap inci yang dapat disusun untuk menggabungkan beberapa tube dalam economizer. Semakin banyak fin yang tersusun akan mengakibatkan perpindahan panas tidak efektif karena jarak antar tube yang semakin jauh.
2.2 Heat Exchanger
Heat Exchanger merupakan alat perpindahan panas yang digunakan sebagai media perpindahan panas yang terjadi karena adanya perbedaan temperatur dari dua jenis fluida yang saling mengalir namun tidak tercampur (Smedsrud, 2007). Sebagian besar dari industri – industri yang berkaitan dengan pemrosesan selalu menggunakan unit operasi ini, sehingga dalam aplikasinya unit operasi ini mempunyai peran penting dalam suatu proses di industri. Salah satu tipe dari unit operasi heat exchanger yang sering digunakan di berbagai industri proses adalah heat exchanger tipe shell and tube. Hal ini dikarenakan, pada unit operasi ini terdiri dari sebuah shell silindris di bagian luar dan sejumlah tube (tube bundle) di bagian dalam, dimana temperatur aliran fluida didalam tube bundle berbeda dengan aliran fluida di luar tube, sehingga didapatkan terjadinya perpindahan panas antara aliran fluida didalam tube dan diluar tube (García, 2010).
16
Pemilihan unit operasi heat exchanger yang tepat akan menghemat biaya operasional yang dikeluarkan oleh industri proses. Dengan unit operasi yang baru pada unit operasi heat exchanger ini, maka permukaan logam dari pipa – pipa pemanas masih dalam keadaan bersih. Namun demikian, apabila unit operasi ini telah lama digunakan untuk beroperasi maka didapatkan lapisan kotoran atau kerak pada permukaan pipa. Tebal tipisnya lapisan kotoran tergantung dari jenis fluida yang digunakan. Dengan adanya lapisan pengokor tersebut akan mengurangi koefisien perpindahan panas. Harga koefisien perpindahan panas untuk suatu alat penukar panas selalu mengalami perubahan selama beroperasi.
Gambar 2.4 Penampang heat exchanger jenis shell and tube (García, 2010)
Dalam proses perancangan unit operasi heat exchanger jenis shell and tube bertujuan untuk menentukan dimensi dan geometri alat tersebut sesuai dengan spesifikasi bahan dan proses yang telah ditentukan (Smedsrud, 2007). Prosesnya terdiri dari beberapa tahap, di mana yang pertama biasanya adalah pendefinisian aliran fluida kerja yang akan dilewatkan pada bagian shell and tube. Pada tahap yang kedua dilakukan pemilihan dimensi dan geometri shell and tubenya, seperti diameter shell minimum dan maksimum ukuran dan bahan pipa serta susunan dan tata letaknya, sesuai standar yang ada. Tahap
17
selanjutnya adalah menetapkan harga maksimum yang diijinkan bagi bagi kerugian tekanan di sisi shell maupun di sisi pipa, serta menetapkan type dan ukuran buffle. Setelah itu proses tersebut dilalui maka kita sampai kepada perhitungan perancangan yang akan memprediksi parameter performance seperti luas permukaan perpindahan panas dan kerugian tekanan baik di sisi shell maupun di sisi tube. Pada akhir perhitungan, apabila diperoleh harga yang tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan sebelumnya maka prosesnya harus diulangi dengan cara memodifikasi variabel tertentu. Bagi sebuah alat penukar panas, kemampuan dalam mempertukarkan energi dalam bentuk panasnya dapat dinyatakan dengan persamaan : ΔTLM (2.10) Dimana : Q = Laju pertukaran energi kalor atau beban termal yang
diterapkan didalam penukar kalor. A = Luas permukaan perpindahan panas total. ΔTLM = Beda temperatur rata-rata logaritmik bagi kedua fluida
kerja yang mengalir di dalam alat tersebut. Energi panas yang dilepaskan oleh aliran fluida panas yang masuk kadalam bagian shell dapat ditulis dengan menggunakan persamaan di bawah ini: (2.11) Sehingga (2.12) dimana : Qhot = Laju energi panas yang dilepaskan oleh aliran fluida
panas (W).
18
= Laju aliran massa fluida panas (kg/s). = Konstanta panas fluida panas pada tekanan konstan
(J/kg.K). = Temperatur aliran fluida panas masuk pada alat penukar
kalor (K). = Temperatur aliran fluida panas keluar pada alat penukar
kalor (K). Setelah mendapatkan nilai Qhot maka nilai Qcold atau energi panas yang diterima oleh aliran fluida dingin yang masuk kadalam bagian tube dapat dihitung. Dalam pembahasan sistem kontrol pada Heat Exchanger, terdapat dua hal yang perlu diperhatikan yaitu variabel yang akan dikontrol dan variabel yang akan diubah-ubah dalam rangka menjaga agar variabel yang dikontrol sesuai dengan masukan. Berdasarkan prinsip kerja Heat Exchanger yang paling efektif adalah mengambil fluksi panas (jumlah panas yang berpindah antara dua fluida) sebagai variabel yang dikontrol, akan tetapi ini tidak mungkin dilakukan mengingat dalam praktiknya fluksi panas tersebut sulit diukur. Oleh karena itu yang paling mungkin adalah dengan mengontrol temperatur salah satu fluida yang keluar dari heat hxchanger. Sedangkan untuk variabel manipulasi terdapat beberapa pilihan diantaranya yaitu aliran fluida panas yang masuk, aliran fluida dingin yang masuk, aliran fluida panas yang keluar ataupun aliran fluida dingin yang keluar (Ekasari, 2014). Untuk energy balance pada heat exchanger dapat dituliskan:
= – + ( ) (2.13)
dimana adalah laju perubahan terhadap waktu dari energi didalam sistem, adalah energi flow yang masuk, adalah energi flow yang keluar pada sistem dan Q(t) adalah heat transfer dari sistem. Sedangkan persamaan energy dapat dituliskan pada persamaan 2.14 dan 2.15
19
= ( − ) (2.14)
= ( ( )− ) (2.15)
Dimana, adalah flow yang masuk ke dalam Heat Exchanger, adalah temperatur input fluida, ( ) adalah temperatur fluida output, dan adalah temperatur referensi. Dari penurunan rumus diatas, didapatkan rumus perpindahan panas pada tube and shell sebagai berikut: Shell
= , − , + (2.16)
Tube
= t t t, − t t t, – (2.17)
2.3 Turbin
Turbin merupakan sebuah alat yang menghasilkan energi listrik dengan cara memutarkan sudu – sudunya. Sudu pada turbin dapat berputar akibat adanya uap super heated yang dihasilkan oleh boiler. Turbin memiliki dua bagian operasional penting yang digunakan untuk menghasilkan energi listrik, yakni rotor dan stator (Chaibakhsh, 2008). Pada bagian pertama adalah bagian turbin yang berputar dinamai rotor atau roda turbin, sedangkan pada bagian kedua adalah bagian yang tidak berputar dinamai stator atau rumah turbin.
Pada dasarnya, jenis turbin yang digunakan dalam sistem pembangkit merupakan jenis turbin dengan rangkaian yang kompleks. Oleh karena itu, nilai perilaku turbin berdasarkan fungsinya dapat dimodelkan kedalam beberapa jenis subsistem dengan menggunakan nilai perhitungan kesetimbangan massa dan kesetimbangan energi yang merupakan bagian dari termodinamika (Chaibakhsh, 2008). Pada sistem dinamis diwakili oleh sejumlah model yang sama untuk setiap sub bagian turbin. Ada banyak model dinamis untuk masing-masing komponen, yaitu hubungan empiris sederhana yang memiliki nilai efisiensi yang tinggi akan menghasilkan energi listrik yang lebih optimal
20
dibanding dengan penggunaan turbin dengan efisiensi yang rendah. Sedangkan pemilihan akan jumlah sudu juga mempengaruhi banyaknya energi listrik yang dihasilkan. Gambar 2.5 Konfigurasi steam turbin pada sistem
pembangkit (Doosan Heavy Industries and Constrantion)
Proses validasi antara variabel sistem yang dihasilkan terhadap sejumlah parameter dapat menggunakan pendekatan real respone yang dihasilkan. Selain itu, nilai pendekatan optimasi diperlukan untuk mengetahui model turbin yang dapat menghasilkan respon yang optimal. Salah satu cara untuk melakukan pendekatan optimasi ini didasarkan pada metode yang dilakukan untuk mengestimasi parameter yang tidak diketahui dari model dengan struktur yang lebih kompleks berdasarkan data eksperimen. Jenis turbin yang biasanya digunakan dalam sistem pembangkit yakni jenis turbin high pressure. Hal ini dikarenakan pada sistem pembangkit tekanan yang digunakan untuk memutar sudu – sudu turbin yakni tekanan tinggi. Proses yang ada didalam turbin high pressure ini adalah tekanan tinggi pada uap akan masuk turbin melalui bagian nozzle yang dirancang untuk
21
meningkatkan kecepatannya. Penurunan tekanan yang dihasilkan oleh nozzle inlet turbin akan membatasi aliran massa melalui turbin. Hubungan antara aliran massa dan penurunan tekanan pada turbin HP dikembangkan oleh Stodola pada tahun 1927 (Chaibakhsh, 2008). Hubungan ini kemudian dimodifikasi untuk menyertakan pengaruh suhu inlet sebagai berikut:
(2.18)
dimana K adalah konstanta yang diperoleh berdasarkan data yang diambil dari respon turbin. Oleh karena itu, k didefinisikan sebagai berikut:
λ =
(2.19)
Untuk mengembangkan model dinamis turbin HP maka setiap parameter dari setiap bagian misalkan, tekanan, laju aliran massa dan suhu uap pada input dan output harus dipertimbangkan. Hubungan input dan output untuk tekanan uap dan laju aliran uap didefinisikan dalam pembahasan diatas. Suhu uap yang terdapat pada output turbin dapat diasumsikan dalam hal tekanan uap masuk dan suhu. Dengan asumsi bahwa ekspansi uap di HP-turbin adalah proses adiabatis dan isentropik. Untuk memperkirakan suhu uap pada debit turbin HP dengan menggunakan yang ideal hubungan suhu tekanan gas sebagai berikut :
(2.20)
Dimana nilai k = adalah polytropic expansion factor. (2.21)
22
2.4 Steam Drum
Steam drum merupakan unit operasi yang berfungsi sebagai media penampung air dalam kapasitas yang besar. Selain itu, steam drum juga mampu memisahkan fluida antara fase gas dan fase cair setelah pemanasan yang terjadi di dalam boiler (Verma, 2013). Kualitas uap yang akan digunakan untuk memutarkan turbin sangat dipengaruhi oleh produk yang dihasilkan oleh unit operasi ini. Sehingga dalam praktiknya unit operasi steam drum ini harus dikendalikan untuk menjaga nilai set point yang akan diinginkan. Pada pengendalian ketinggian air pada steam drum boiler ini, ketinggian air dipertahankan pada ketinggian NWL (Normal Water Level) atau setpoint. Dan temperatur uap juga dipertahankan pada nilai setting yang diinginkan. Apabila terjadi suatu gangguan pada salah satu variabel tersebut maka proses akan terganggu. Model matematika dari steam drum boiler dibentuk oleh dua variabel yaitu ketinggian air dan temperatur uap.
Model matematis yang digunakan dalam desain unit operasi steam drum ini menggunakan persamaan kesetimbangan massa (hukum kontinuitas), yang semua parameter ini menggunakan pertimbangan massa input dan massa output dari bagian steam drum (Stephanopoulos, 1984). Adapun model matematis yang digunakan dapat dilihat pada persamaan dibawah ini
(2.22)
dimana :
= Laju perubahan massa liquid didalam steam drum
= Laju perubahan massa vapor didalam steam drum
23
= Laju perubahan massa blowdown didalam steam
drum = Laju massa water input = Laju massa vapor output = Laju massa blowdown output Persamaan matematis 2.2 digunakan untuk mengetahui nilai kesetimbangan massa yang ada didalam unit operasi steam drum. Pada dasarnya nilai kesetimbangan massa didalam unit operasi ini akan tercipta apabila variabel input yang digunakan harus sama dengan variabel output yang dihasilkan. Didalam unit operasi steam drum, variabel output yang dihasilkan yakni nilai steam yang digunakan sebagai pemutar turbin dan nilai blowdown yang akan digunakan sebagai masukan dari evaporator. Kedua variabel output tersebut saling mempengaruhi satu sama lainnya, kenaikan level akan berpengaruh terhadap tekanan steam yang dihasilkan. Oleh karena itu, kedua variabel output tersebut harus dikendalikan agar tercipta nilai kesetimbangan massa didalam steam drum. Jenis sistem pengendalian utama yang digunakan pada steam drum, yakni teknik pengendalian level. Hal ini dikarenakan level didalam steam drum harus dijaga dalam kondisi tertentu. Apabila level didalam steam drum tidak dikendalikan pada level tertentu, maka akan terjadi trip, yakni menurunnya kualitas uap yang digunakan sebagai pemutar turbin. Oleh karena itu, sistem pengendalian yang tepat digunakan untuk mengendalikan steam drum yakni harus mempertimbangkan nilai kesetimbangan massa dan kesetimbangan yang ditunjukkan dalam persamaan dibawah ini : (2.23) (2.24) dimana : = Kalor yang memasuki steam drum
24
= Kalor uap yang dihasilkan dari steam drum = Kalor blowdown yang dihasilkan dari steam drum = Massa yang memasuki steam drum = Massa uap yang dihasilkan dari steam drum = Massa blowdown yang dihasilkan dari steam drum = Kalor jenis = Perubahan suhu Persamaan 2.23 dan persamaan 2.24 dapat dijelaskan pada gambar 2.6 dibawah ini :
Gambar 2.6 Kesetimbangan massa dan kesetimbangan energi didalam steam drum
Berdasarkan persamaan 2.23 dan persamaan 2.24 diketahui bahwa laju kesetimbangan massa dan kesetimbangan energi didalam unit operasi steam drum harus dijaga. Kalor yang memasuki steam drum harus sama dengan jumlah kalor yang meninggalkan steam drum. Begitu pula dengan massa yang memasuki steam drum harus sama dengan jumlah massa yang meninggalkan unit operasi ini pula. Nilai kesetimbangan massa dan kesetimbangan energi ini jika tidak tercapai, maka kualitas
25
steam yang dihasilkan akan menurun. Oleh karena itu, level didalam unit operasi steam drum harus dijaga pada nilai 50%. Jika level didalam unit operasi ini melebihi angka 50% maka kualitas uap yang akan dihasilkan masih mengandung sejumlah air, dan hal ini akan menyebabkan kerusakan pada turbin. Namun sebaliknya, jika level didalam steam drum kurang dari 50% maka level didalam steam drum semakin lama semakin berkurang. Kondisi ini sesuai dengan persamaan 2.24 yang mengatakan bahwa jika yang diberikan selalu tetap, maka seharusnya jumlah dari dan haruslah sama dengan jumlah yang telah diberikan. Pada kondisi tertentu jumlah yang dihasilkan lebih besar dari yang dihasilkan, hal ini dikarenakan kondisi fraksi stream yang digunakan banyak mengandung uap air, sehingga pemisahan yang terjadi didalam unit operasi steam drum banyak yang menghasilkan uap daripada air (blowdown). Oleh karena itu akan mengakibatkan jumlah level didalam steam drum semakin lama semakin menurun. Terdapat tiga tipe level control system pada steam drum, yaitu single-element, two-element dan three-element level controls (Rajkumar, 2013). Single element control digunakan untuk mengendalikan level air pada steam drum. Sedangkan two element control digunakan untuk mengendalikan level dan tekanan pada steam drum. Pada dasarkan sigle element maupun two element control sulit mempertahankan nilai heat and mass balanced pada steam drum, sehingga pada penelitian ini yang akan dibahas adalah three-element level control, yang sesuai untuk aplikasi power system dimana perubahan bebannya tinggi, terus-menerus dan tidak dapat diprediksi. Three controll element merupakan jenis strategy control yang tepat untuk diterapkan pada unit operasi steam drum, hal ini dikarenakan dengan pemasangan starategy control ini mampu mempertahankan nilai kesetimbangan massa dan kesetimbangan energi pada unit operasi steam drum. Pada Gambar 2.7 dibawah ini menunjukkan arsitektur pemasangan strategy control three control element pada sistem pengendalian di steam drum.
26
Gambar 2.7 Three control element Pada Steam Drum
Proses yang ada didalam unit operasi steam drum adalah pada saat pendidihan air dalam steam drum, steam menghasilkan produk berupa steam bubbles yang terbentuk diantara penghubung steam/water level. Steam bubbles tersebut memiliki volume dan karenanya dapat memunculkan kekeliruan mengenai water level yang sebenarnya di dalam drum. Pengaruh lainnya yang terjadi adalah perubahan pressure dalam drum. Karena steam bubbles ditekan oleh pressure (jika perubahan pressure akibat dari steam demands), pada kondisi masing-masing steam bubbles akan mengembang atau menyusut terhadap perubahan pressure tersebut. Steam demand yang tinggi akan mengakibatkan pressure di dalam steam drum menurun, akibatnya steam bubbles akan mengembang untuk menampilkan water level tinggi padahal sebenarnya tidak (low). Fiksi dari tingginya water level ini meyebabkan feedwater input untuk shut down, padahal pada saat tersebut suplai air justru sangat dibutuhkan. Peningkatan water level hasil dari penurunan pressure disebut ‘swell’, dan sebaliknya penurunan water level yang disebabkan oleh peningkatan pressure disebut ‘shrink’ (Lawrence, 2013).Oleh karena itu, penggunaan three-element control pada steam drum sangat
27
berguna untuk aplikasi umum pada industri dan perangkat suatu proses di industri untuk menghindari timbulnya swell dan shrink. 2.5 IMC (Internal Model Control)
Algoritma kontrol berbasis model merupakan salah satu perkembangan yang signifikan terus terjadi pada beberapa tahun terakhir. Contoh perkembangan algoritma berbasis kontrol yang sedang berkembang saat ini adalah Internal Model Control (IMC). IMC mengembangkan alternatif algoritma kontrol yang memanfaatkan inverse dari model proses dengan mempunyai satu parameter tunning yaitu filter factor (λ) (Morari, 1986). Tidak hanya digunakan untuk algoritma kontrol saja, akan tetapi IMC juga seringkali digunakan sebagai alternatif metode tunning untuk pengendalian konvensional Proportional-Integral-Derivative (PID) yang saat ini banyak digunakan di berbagai macam industri. Dengan melakukan tunning terhadap filter factor (λ) maka akan didapatkan harga Kc, Ti, dan Td pada pengendali PID. Internal Model control (IMC) dapat diaplikasikan sebagai salah satu metode pengendalian pada power system yang mampu mengendalikan nilai gangguan (disturbance).
Internal model control (IMC) merupakan metode kontrol yang bergantung pada prinsip internal model, yang menyatakan bahwa pengendalian dapat dicapai hanya jika sistem kontrol mempertimbangkan segala jenis faktor, baik secara implisit maupun eksplisit yang merupakan beberapa kumpulan dari proses yang akan dikendalikan. Untuk mencapai nilai yang diharapkan diperlukan metode tunning yang tepat untuk diberikan kepada controller. Pada umumnya terdapat dua macam metode tunning yang tepat untuk diberikan, yakni tunning berdasarkan nilai perubahan set point dan berdasarkan nilai perubahan disturbance. Pada teknik pengendalian internal model control ini dapat digunakan untuk mengendalikan nilai disturbance yang langsung masuk kedalam proses, bahkan metode tunning ini mampu digunakan untuk mengendalikan nilai set point pada plant yang akan dikendalikan. Gambar 2.8 dibawah ini merupakan sistem blok diagram pengendalian berdasarkan nilai perubahan set point
28
Gambar 2.8 Blok diagram sistem pengendalian berdasarkan perubahan nilai set point (Ogata, 1997).
Gambar 2.8 merupakan gambar blok diagram sistem pengendalian berdasarkan perubahan nilai set point. Dimana nilai perubahan set point telah ditentukan terlebih dahulu dan digunakan sebagai variabel input. Sedangkan controller berfungsi sebagai sistem kendali terhadap respon yang dihasilkan. Gambar 2.9 dibawah ini merupakan sistem blok diagram pengendalian berdasarkan nilai perubahan disturbance.
Gambar 2.9 Blok diagram sistem pengendalian berdasarkan
perubahan nilai disturbance (Ogata, 1997).
29
Gambar 2.9 merupakan gambar blok diagram sistem pengendalian berdasarkan perubahan nilai disturbance. Dapat diketahui bahwa nilai disturbance langsung masuk kedalam plant, hal ini akan mengakibatkan respon yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diinginkan. Oleh karena itu, ketika terjadi perubahan nilai disturbance yang langsung masuk kedalam plant, maka controllerlah yang mengatur agar respon yang dihasilkan sesuai dengan yang diinginkan.
Secara khusus, skema kontrol yang telah dikembangkan berdasarkan model yang tepat ini akan membuat sebuah sistem kontrol yang sempurna. Dasar dari desain IMC adalah model dari suatu proses yang dapat digambarkan seperti diagram blok pada gambar berikut :
Gambar 2.10 Diagram blok internal model control (Morari, 1986).
30
Gambar 2.12 Struktur Internal Model Control ekuivalen dengan kontrol konvensional (Morari, 1986).
Pada Gambar 2.12 diatas menunjukkan bahwa Gc dan Gi memiliki sebuah hubungan untuk melakukan proses kontrol. Adapun hubungan Hubungan antara Gc dan Gi ditunjukkan pada persamaan : (2.25) Struktur yang ditunjukkan pada gambar diagram blok IMC, menunjukkan bahwa :
+
[ R - (2.26)
Jika model yang digunakan tepat sama dengan proses ( =
G), maka hanya sinyal yang masuk kedalam summing junction 1 pada gambar diagram blok IMC. Ketika tidak menghasilkan proses ataupun oleh fungsi transfer pada loop forward, maka bukan merupakan sinyal feedback tetapi merupakan sinyal bebas yang ekuivalen dengan R dan menghasilkan keluaran C. Pada kenyataannya, tidak ada feedback ketika G = dan akan menghasilkan sistem open-loop. Gambar dibawah ini merupakan gambar struktur internal model control ketika model input sama dengan proses, sehingga dapat ditunjukkan pada gambar berikut :
31
Gambar 2.13 Struktur Internal Model Control ketika model sama dengan proses (Morari, 1986).
Pada gambar stabilitas dari sistem pengendalian
bergantung hanya pada dan . Jika dan stabil, maka sistem pengendalian juga akan stabil. Idealnya, jika hanya terjadi perubahan set point ( dapat dilihat dari gambar diatas bahwa ), maka :
= 1 (2.27)
= 1/ (2.28)
Untuk kasus perubahan gangguan load U1, dimana R = 0
dan harga keluaran C stabil, maka akan juga menghasilkan persamaan yang sama dengan persamaan 2.3 dan 2.4. Dari uraian diatas, dapat diketahui keuntungan yang didapatkan apabila menggunakan IMC adalah dengan IMC akan didapatkan pengendalian yang cukup robust untuk gangguan load dan set point karena harga fungsi transfer pada model sama dengan harga fungsi transfer pada model sama dengan harga fungsi transfer untuk proses, selain itu dengan IMC, hanya dibutuhkan 1 (satu) parameter pengendali yaitu filter factor (λ).
2.6 Direct Sintesis
Direct sintesis merupakan salah satu metode yang tepat digunakan untuk mengendalikan disturbance, dimana pengendali
32
PI/PID dari sistem multiloop dirancang berdasarkan pada fungsi transfer dari closed-loop yang diinginkan. Analisa hasil dari ketentuan desain ini meliputi relative gain array (RGA) yang bergantung pada jenis nilai frekuensi tertentu yang akan menghasilkan informasi interaksi dinamik. Hal tersebut sangat berguna pada penentuan parameter pengendali berupa nilai Kc, Ti, dan Td (Vu dan Lee, 2008). Langkah awal pada proses tuning ini yakni menentukan proses yang akan dikendalikan yang meliputi penentuan nilai proses variabel yang akan dikendalikan. Model yang biasanya digunakan pada metode ini adalah first order plus dead time (FOPDT). Setelah penentuan tersebut, pengendali fungsi transfer dari pengendali multiloop umpan balik dapat diperoleh sebagai berikut:
Gambar 2.14 Blok diagram sistem pengendalian disturbance
Untuk loop pengendalian umpan balik nilai fungsi transfer antara output Y ' terhadap nilai set point ditunjukkan pada persamaan 2.29 dibawah ini :
(2.29)
Sedangkan untuk loop pengendalian umpan balik nilai fungsi transfer antara output Y ' terhadap nilai disturbance ditunjukkan pada persamaan 2.30 dibawah ini :
33
(2.30)
Dari kedua jenis fungsi transfer diatas maka dapat digunakan untuk menentukan nilai fungsi transfer dari controller yang dapat ditunjukkan pada persamaan 2.31 dibawah ini :
(2.31)
Untuk respon berupa persamaan first order maka nilai , sehingga fungsi transfer dari controller dapat diganti dengan persamaan 2.32 dan persamaan 2.33 dibawah ini :
(2.32)
(2.33)
Berdasarkan persamaan diatas maka nilai Kc, Ti, dan Td dapat diperoleh dari persamaan 2.34 dibawah ini :
; ;
(2.34)
2.7 Pendekatan Matematis FOPDT (First Order Plus Dead
Time)
Model matematis FOPDT merupakan model pendekatan yang banyak digunakan oleh industri sebagai metode pendekatan tunning pengendalian. Aplikasi dari pendekatan model matematis FOPDT dibidang industri, yakni digunakan dalam penentukan nilai Kc, Ti, dan Td sebagai parameter yang terdapat didalam PID
34
controller. Hal ini dikarenakan, jenis teknik pengendalian yang digunakan oleh sebagian besar industri adalah jenis PID kontroller. Akan tetapi, jenis PID controller yang dapat menggunakan jenis pendekatan ini yakni sebuah proses jika nilai dead timenya kurang dari tiga kali waktu yang dibutuhkan untuk mencapai proses yang konstan (Juneja, 2010). Performansi dari loop controller yang dihasilkan menggunakan metode ini yaitu mampu mengatasi nilai gangguan yang masuk kedalam sistem, akan tetapi jika nilai dead time yang dihasilkan melebihi waktu yang konstan dari model proses maka akan terjadi ketidakstabilan performansi yang dihasilkan.
Persamaan First Order Plus Dead Time (FOPDT) dengan fungsi transfer dapat didefinisikan ke dalam persamaan 2.35 sebagai berikut :
= K
(2.35)
Dimana θ merupakan nilai dead time yang memiliki makna sebagai waktu yang diperlukan output untuk mulai berubah. Sedangkan τ merupakan nilai time contant yang memiliki makna sebagai waktu yang diperlukan output untuk mencapai 63.2% dari nilai maksimal yang mungkin (Ogata, 2002). Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh ibnu aryanto pada tahun 2006, dimana model proses didekati dapat dengan persamaan First Order Plus Dead Time (FOPDT) dengan fungsi transfer sebagai berikut :
a. Penggunaan pendekatan first order untuk time delay. Dimana, dengan metode taylor :
= 1 – +
-
(2.36)
= –
(2.37)
35
b. Dengan memfaktorkan, didapatkan :
= K –
= (2.38)
= –
(2.39)
c. Filter :
=
f(s) =
f(s) (2.40)
Dengan :
f(s) =
(2.41)
Didalam sistem pengendalian yang menggunakan metode IMC (Internal Model Control), parameter yang terpenting adalah menentukan nilai yang tepat untuk digunakan. merupakan nilai filter factor yang terdapat pada kontrol proses. Pada jenis struktur filter yang telah diberikan, jika nilai menurun maka hal ini akan membuat nilai yang ideal dan kontroler PID akan meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa nilai yang optimal akan menyeimbangkan dua efek untuk memberikan performa terbaik. Berikut ini merupakan beberapa aturan mengenai penentuan nilai yang didapatkan dari sumber - sumber yang telah dipublikasikan.
a. Menurut Rivera dalam Seborg (2004 : 307) besar nilai seperti pada persamaan 2.42 dan persamaan 2.43 : (2.42) (2.43)
36
b. Menurut Sigurd Skogestad dalam jurnal Simple analytic rules for model reduction and PID controller tuning, besar nilai seperti pada persamaan 2.44 dibawah :
(2.44)
Korelasi untuk menentukan parameter parameter pengendalian yang diperoleh setelah pendekatan sistem dengan model empirik FOPDT (first order plus dead time) yang ada, ternyata masih memiliki nilai eror yang cukup besar sehingga diperlukan suatu korelasi baru yang lebih baik dalam menentukan nilai prameter pengendali yang akan digunakan (Wahid, 2010). Selama ini jenis metode yang digunakan adalah trial eror yang merupakan metode pendekatan yang dapat digunakan untuk menghasilkan parameter PID yang dapat memberikan kestabilan sistem. Hasil korelasi ini dapat lebih dioptimalkan dengan mencari korelasi baru yang berdasarkan pada model empirik FOPDT. Oleh karena itu, korelasi yang tepat digunakan untuk mencapai pengendalian proses yang tepat sesuai dengan yang diinginkan digunakan metode IMC PID. Motode IMC PID merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menghasilkan sistem yang robust terhadap nilai gangguan (disturbance) yang langsung masuk ke sistem. Menurut, penelitian yang telah dilakukan oleh Sigurd Skogestad pada tahun 2001, penggunaan IMC PID ini dapat digunakan dengan langkah – langkah sebagai berikut :
1. Melakukan pemodelan sistem, yang akan menghasilkan berbagai karakteristik hasil dari persamaan konsekutif
2. Membuat respon sistem lup terbuka yakni dengan cara mengganti mode controller auto menjadi manual, serta merubah nilai set point sebesar ±10% dari nilai yang ditetapkan.
3. Menggunakan sinyal uji berupa sinyal step, hal ini dikarenakan pada sinyal steap akan menghasilkan respon sistem yang mudah untuk diamati.
37
4. Menggunakan metode FOPDT (first order plus dead time) dari hasil respon lup terbuka untuk mendapatkan parameter berupa nilai θ, τ, K, t63%, dan t28%.
5. Setelah mendapatkan parameter berupa nilai θ, τ, K, t63%, dan t28%, Langkah selanjutnya menentukan parameter kendali berupa nilai Kc, Ti, dan Td yang terdapat pada tabel IMC PID.
6. Melihat respon sistem yang dihasilkan berdasarkan berdasarkan pemasangan controller.
Gambar 2.15 Uji open loop saat diberikan sinyal step pada metode first order plus dead time (Skogestad, 2001)
Dengan menggunakan metode FOPDT, maka cara menentukan parameter berupa nilai θ, τ, K, t63%, dan t28% dapat ditentukan dengan persamaan berikut ini :
(2.45)
38
t28%) (2.46) (2.47) dimana : = gain steady state = perubahan steady state pada keluaran proses = perubahan step pada masukan = waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkay
kestabilan (settling time) = waktu tunggu respon dari sebuah systems (dead
time) 2.7 Analisa Performasi Pengendalian
Analisa performansi pengendalian digunakan untuk mengetahui hasil berupa nilai kuantitatif. Jenis karakteristik kinerja sistem kontrol yang ditentukan tergantung nilai masukan unit yang telah digunakan. Gambar 2.16 dibawah ini menunjukkan jenis analisa respon dinamik.
Gambar 2.16 Analisa Karakteristik Performansi Sistem (Ogata, 2004)
39
Berdasarkan gambar diatas, maka jenis parameter yang dibutuhkan untuk mengetahui nilai performansi sistem yakni adalah : a. Settling time
Settling time adalah waktu yang dibutuhkan oleh kurva respon untuk tepat mencapai nilai persentase mutlak sebesar 2% atau 5% dari nilai acuan (set point).
b. Maximum overshoot Maksimum overshoot (MO) adalah nilai puncak maksimum dari kurva respon diukur dari awal terjadinya perubahan. Untuk menentukan persamaan maximum overshoot ini dapat dinyatakan dalam bentuk prosentase, sehingga didapatkan persamaan seperti dibawah ini :
(2.48)
c. IAE (Integral absolute error) Integral absolut error merupakan penjumlahan nilai error
dari respon output yang dihasilkan. Kriteria IAE lebih disukai di kalangan praktisi industri karena kemudahan dalam proses pengukuran. Nilai IAE dapat direpresentasikan sebagai luas arsir pada gambar 2.13 Untuk menghitung nilai IAE dapat menggunakan persamaan dibawah ini :
(2.49)
Gambar 2.xx dibawah ini merupakan gambar perhitungan
nilai IAE dari respon sistem yang dihasilkan. Nilai IAE dapat ditentukan berdasarkan luas arsir kurva dari respon sistem yang dihasilkan. Sehingga dapat dikatakan bahwa penjumlahan nilai IAE diawali terhadap respon sistem ketika diberikan sebuah controller.
40
Gambar 2.17 Penentuan nilai Integral Absolut Error (IAE) (Heriyanto, 2010)
41
BAB III
METODOLOGI PERANCANGAN SISTEM
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai tahapan-tahapan
penelitian yang dilakukan secara keseluruhan mulai dari
pengambilan data, pemodelan design waste heat recovery
generation system menggunakan software komersil hysys,
melakukan tunning berdasarkan perubahan set point, melakukan
tunning berdasarkan perubahan disturbance dengan menggunakan
metode IMC-PID, hingga dilakukan pengujian sebagai bentuk uji
terhadap performansi sistem untuk dianalisa. Tahapan-tahapan
dari penelitian tugas akhir ini dapat dilihat sesuai dengan diagram
alir berikut ini.
Gambar 3.1 Diagram alir metodologi penelitian
42
Dalam melakukan penelitian ini terdapat beberapa tahapan
adapun tahapannya sebagai berikut:
1. Pengambilan data dan olah data
a. Identifikasi variabel yang akan digunakan dalam
pengolahan data yakni berupa nilai komposisi,
temperatur, tekanan, dan laju aliran masa.
b. Pengolahan data yang digunakan untuk pemodelan
design power plant.
2. Pemodelan design waste heat recovery generation system
menggunakan software komersil hysys
a. Pembuatan model waste heat recovery generation
system dalam mode static.
b. Pembuatan model waste heat recovery generation
system dalam mode dinamic.
c. Pembuatan rangkaian controller yang akan digunakan
merancang model.
d. Pengujian model WHRGS dengan cara melihat
parameter – parameter setiap stream yang digunakan
dalam mode dinamic terhadap data design yang
diberikan.
3. Melakukan tunning berdasarkan perubahan set point
a. Penentuan nilai tunning berdasarkan perubahan set
point, dilakukan dengan cari parameter nilai λ, θ, t63%,
t28%, dan K yang akan digunakan untuk menentukan
nilai Kc, Ti, dan Td dengan cara melihat tabel IMC PID
(internal Model Control).
4. Melakukan tunning berdasarkan perubahan disturbance
dengan menggunakan metode IMC-PID
a. Penentuan nilai tunning berdasarkan pada perubahan
disturbance dicari dengan menggunakan metode
FOPDT (First Order Plus Dead Time) untuk mencari
model respon sistem.
b. Menentukan parameter nilai λ, θ, t63%, t28%, dan K
yang akan digunakan untuk menentukan nilai Kc, Ti,
dan Td dengan cara melihat tabel IMC PID (Internal
Model Control).
43
5. Hasil dan Analisa
a. Hasil dan analisa yang didapatkan dalam penelitian ini
adalah pengujian tunning open loop dan close loop.
Sedangkan tunning yang dilakukan dalam penelitian ini
yakni ada dua macam, yang pertama adalah tunning
berdasarkan nilai set point dan tunning berdasarkan nilai
disturbance
b. Jenis parameter yang digunakan dalam uji tunning yakni
nilai maxsimum overshoot, settling time, dan IAE.
Ketiga parameter tersebut digunakan untuk mengetahui
kuantitas respon yang didapatkan.
6. Pembuatan Laporan Tugas Akhir.
3.1 Pengambilan Data dan Pengolahan Data
Untuk mendesain model waste heat recovery generation
system dengan menggunakan software hysys, maka diperlukan
data – data yang akan digunakan, yakni berupa komposisi,
temperatur, tekanan, dan laju aliran massa pada setiap stream
yang akan digunakan. Pada desain WHRGS terdapat dua macam
nilai input, yakni flue gas yang akan digunakan sebagai pemanas
dan feed water in yang akan dijadikan uap. Komposis kedua feed
adalah sebagai berikut :
Flue gas in : CO2, O2, H2O, CO, dan Nitrogen
Feed water in : H2O
Data parameter stream yang terdapat pada simulasi desain
WHRGS dapat dilihat dalam lampiran.
Dalam desain ini diperlukan empat unit operasi, yakni heat
exchanger, steam drum, pompa, dan turbin. Oleh karena itu, data
lainnya yang digunakan sebagai parameter yakni spesifikasi dari
keempat unit operasi. Pada heat exchanger, data yang harus
diambil yakni delta pressure tube side, delta pressure shell side,
serta nilai UA (nilai perpindahan panas terhadap luasan). Pada
steam drum, data yang harus diambil dimensi dan geometri dari
steam drum. Pada turbin, data yang harus diambil yakni nilai dari
efisiensi turbin. Sedangkan pada unit operasi berupa pompa, data
yang harus diambil yakni besar energi yang digunakan untuk
44
mengaktifkan pompa tersebut. Nilai dari parameter tersebut dapat
dilihat pada lampiran
3.2 Pemodelan design waste heat recovery generation system
menggunakan software komersil hysys Untuk pemodelan sistem pembangkit (power plant),
digunakan software hysys. Dimana software hysys ini merupakan
sebuah software yang dirancang untuk mensimulasikan proses
yang ada di dalam suatu industri. Dalam penggunaan software ini
ada 5 macam field stream yang harus diisikan, yaitu field name,
temperatur, pressure, molar flow rate, dan component. Apabila
salah satu dari kelima field stream tersebut tidak kita isikan, maka
proses yang ada didalam sebuah simulasi tidak dapat
disimulasikan.
Setelah data yang diperlukan didapatkan, maka langkah
selanjut adalah melakukan design WHRGS dengan software
hysys. Design sistem yang digunakan yakni ada dua macam, yang
pertama adalah desain secara steady state dan yang kedua adalah
desain secara dinamic. Desain steady state berfungsi untuk
mensimulasikan proses yang ada pada desain, akan tetapi pada
desian ini tidak akan berubah terhadap perubahan waktu.
Sedangkan desain dinamic merupakan sebuah desain yang
menggambarkan real model, hal ini dikarenakan pada desian ini
selalu berubah – ubah terhadap fungsi waktu. Pada desian
dinamic ini dibutuhkan controlller yang berfungsi sebagai
penjaga untuk mempertahankan perhitungan nilai heat and mass
balance. Unit Operasi yanag akan digunakan yakni ada 4 macam,
yakni heat exchanger, steam drum, pompa, dan turbin. Keempat
unit operasi tersebut akan disimulasikan kedalam software hysys
7.3 yang didaptkan dalam file hysys (*.hsc). Gambar 3.2 dibawah
ini merupakan sebuah gambar process flow diagram (PFD) dari
desain WHSG (waste heat steam generator) menggunakan
software hysys secara steady state. Yang mana dalam merancang
desain ini digunakan untuk mengetahui aliran proses yang ada,
dan masih belum menggunakan sebuah controller, hal ini
dikarenakan pada desain ini tidak berubah terhadap waktu.
45
46
Oleh karena berubah terhadap perubahan waktu, maka
dalam desain dinamic ini diperlukan sebuah controller yang dapat
mempertahankan nilai kesetimbangan massa dan kesetimbangan
energi. Nilai stream yang perlu ditambahkan controller yakni
sebuah stream yang menghasilkan respon yang selalu berubah –
ubah terhadap waktu yang telah diberikan. Desain WHSG (waste
heat steam generator)dalam mode steady state tersebut berbentuk
process flowsheet diagram (PFD) yang tidak berubah – ubah
dalam domain waktu. Untuk merubah kedalam mode dinamic,
langkah yang harus diperlukan yakni memasukkan nilai dimensi
steam drum dan efisiensi turbin. Karena dalam mode dinamic
terjadi perubahan terhadap domain waktu, maka untuk
menciptakan heat and mass balance diperlukan pemasangan loop
pengendalian. Loop pengendalian yang akan digunakan yakni ada
tiga macam FIC-100 (pengendali laju aliran massa), PIC-100
(pengendali tekanan steam drum), dan LIC-100 (pengendali level
didalam steam drum) yang dipasangkan pada unit operasi steam
drum. Pemasangan ketiga macam loop pengendalian tersebut
pada steam drum dikarenakan parameter nilai pada besaran
tersebut selalu berubah – rubah terhadap fungsi waktu. Gambar
perubahan terhadap fungsi waktu dapat dilihat pada lampiran.
Model yang dikerjakan dikatakan baik apabila model
tersebut hampir mendekati bahkan sama seperti data desian yang
telah diberikan. Untuk melakukan pengujian atau validasi dari
model yang telah dikerjakan, yakni dapat dilihat dengan cara
mengecek semua parameter – parameter di setiap stream, dan
dibandingkan terhadap data desian yang telah diberikan. Apabila
semua parameter yang dihasilkan mendekati dengan data desian,
maka dapat dikatakan model yang dikerjakan valid. Gambar 3.3
dibawah ini merupakan sebuah gambar process flow diagram
(PFD) dari desain WHSG (waste heat steam generator)
menggunakan software hysys secara dinamic. Yang mana dalam
merancang desain ini sudah menggunakan sebuah controller, hal
ini dikarenakan pada desain secara dinamic ini akan berubah
terhadap perubahan waktu.
47
48
3.3 Melakukan tunning berdasarkan perubahan set point
Untuk mencapai nilai heat and mass balance, maka
diperlukannya pemasangan controller pada desian tersebut.
Terdapat dua macam pemasangan controller pada desain WHSG,
yakni yang pertama adalah kontrol berdasarkan perubahan set
point dan yang kedua yakni kontrol berdasarkan perubahan nilai
disturbance. Dalam pemasangan controller tentu ada berbagai
macam hal yang perlu diperhatikan, salah satunya yakni
kecepatan dia mencapai nilai set point dan seberapa besar eror
yang dihasilkan. Untuk mencapai dua hal tersebut, maka
diperlukannya tunning yang tepat yang berfungsi untuk
meningkatkan kecepatan pencapaian nilai set point dan
memperkecil nilai eror.
Dalam design waste heat recovery generation system
parameter kendali yang perlu diperhatikan yakni pada unit operasi
steam drum. Hal ini dikarenakan nilai input serta output pada unit
operasi ini selalu berubah ubah terhadap fungsi waktu. Pada unit
operasi steam drum ini terdapat tiga macam parameter kendali
yang digunakan, yakni FIC-100, PIC-100, dan LIC-100.
Pemasangan ketiga jenis parameter kontrol tersebut dikarenakan
nilai input dan output pada unit operasi steam drum selalu
berubah – ubah terhadap fungsi waktu (untuk mengetahui nilai
perubahan laju aliran massa, tekanan, dan level pada unit operasi
steam drum, maka dapat dilihat pada lampiran). Oleh karena itu
untuk mendapatkan nilai Kc, Ti, dan Td yang cocok untuk model
WHSG tersebut dapat dicari menggunakan metode FOPDT yang
menggunakan software hysys 7.3. Untuk sistem pengendali flow
(FIC-100) dan level (LIC-100), maka teknik kendali yang cocok
digunakan yakni PI controller. Sedangkan untuk sistem kendali
pressure (PIC-100), maka teknik kendali yang cocok digunakan
yakni PID controller.
Didalam melakukan metode tunning berdasarkan nilai set point,
maka hal terpenting yang harus diperhatikan yakni dengan
menganggap bahwa dalam proses tersebut tidak terjadi nilai
disturbance. Prosedur yang dilakukan untuk melakukan tunning
49
berdasarkan nilai perubahan set point pada desain WHRGS
adalah berikut ini
1. Pengambilan data open loop
Pengambilan data open loop procces, yakni dengan cara
memutuskan interaksi antara unit operasi steam drum
dengan unit operasi lainnya. Langkah selanjutnya, yakni
melakukan pengubahan mode controller ketiga loop
pengendali pada Hysys dari mode auto menjadi mode
manual. Merubah manipulated variable (op) yang berupa
nilai bukaan valve pada ketiga controller dengan
memberikan masukan step sebesar ±10% dari besarnya
range process variabel (pv). Pengambilan data akan
dihentikan ketika unit operasi telah mencapai kestabilan
pada keadaan baru.
2. Menentukan parameter yang akan dicari
Setelah mengetahui respon sistem dalam open loop,
perhitungan data dilakukan untuk medapatkan process
gain (K), process time constant (τ), dead time (θ), t63%,
dan t28%. Untuk menentukan kelima parameter tersebut,
maka digunakan persamaan sebagai berikut :
K = 𝛥
δ (3.1)
t28% = θ + 𝜏
3 (3.2)
t63% = θ + τ (3.3)
τ = 1,5 (t63% - t28%) (3.4)
θ = t63% - τ (3.5)
dimana :
K : gain steady state
Δ : perubahan steady state pada keluaran proses
50
δ : perubahan step pada masukan
t28% : nilai pv ketika mencapai 28% perubahan awal
t63% : nilai pv ketika mencapai 63% perubahan awal
3. Menentukan nilai Kc, Ti, dan Td berdasarkan tabel IMC-
PID
Setelah parameter λ, θ, t63%, t28%, dan K didapatkan,
maka langkah selanjutnya yakni menentukan nilai Kc, Ti,
dan Td berdasarkan tabel IMC-PID. Oleh karena respon
sistem yang dihasilkan dalam bentuk orde satu, maka
untuk menentukan nilai Kc, Ti, dan Td pada tabel IMC-
PID akan digunakan model persamaan dalam bentuk
FOPDT (First order Plus Dead Time),
3.4 Melakukan tunning berdasarkan perubahan disturbance
dengan menggunakan metode IMC-PID Selain tunning berdasarkan nilai perubahan set point untuk
mencapai nilai heat and mass balance. Ada tunning lainnya yang
juga dapat mencapai nilai heat and mass balance, yakni tunning
berdasarkan nilai perubahan disturbance. Tunning berdasarkan
perubahan disturbance adalah sebuah tunning yang mampu
mempertahankan nilai heat and mass balance ketika diberikannya
gangguan dari luar. Disturbance yang ada di dalam model
WHRGS ini yakni perubahan nilai terperatur flue gas in. Nilai
perubahan temperaturnya yakni sekitar ± 5%, ± 10%, dan ±
15% dari nilai desain yang ditetapkan.
Untuk mengatasi nilai perubahan disturbance yang langsung
masuk ke dalam sistem. Maka dilakukukanlah tunning
berdasarkan nilai perubahan disturbance. Untuk melakukan
tunning berdasarkan nilai distuirbance, maka kita menggunakan
metode kontrol IMC – PID. Internal model control merupakan
salah satu metode kontrol yang mampu ngatasi perubahan
gangguan yang langsung masuk ke dalam sistem. Oleh karena itu,
dengan menggunakan metode IMC ini mampu membuat model
yang tangguh (robust) terhadap perubahan gangguan yang telah
diberikan. Dalam melakukan metode tunning berdasarkan nilai
disturbance, maka nilai set point yang digunakan dalam metode
51
tunning bernilai tetep atau sama sekali tidak terjadi perubahan set
point. Oleh karena itu, prosedur yang dilakukan untuk melakukan
tunning berdasarkan nilai perubahan disturnbace pada desain
WHRGS adalah berikut ini :
1. Pengambilan data open loop
Pengambilan data open loop procces, yakni dengan cara
memutuskan interaksi antara unit operasi vessel dengan
unit operasi lainnya. Langkah selanjutnya, yakni
melakukan pengubahan mode kontroler ketiga loop
pengendali pada Hysys dari mode auto menjadi mode
manual. Merubah manipulated variable (op) yang berupa
nilai bukaan valve pada ketiga kontroler dengan
memberikan masukan step sebesar ±10% dari besarnya
range procces variabel (pv). Pengambilan data akan
dihentikan ketika unit operasi telah mencapai kestabilan
pada keadaan baru.
2. Menentukan parameter yang akan dicari
Setelah mengetahui respon sistem dalam open loop,
perhitungan data dilakukan untuk medapatkan process
gain (K), process time constant (τ), dead time (θ), t63%,
dan t28%. Untuk menentukan kelima parameter tersebut,
maka digunakan persamaan sebagai berikut :
K = 𝛥
δ (3.1)
t28% = θ + 𝜏
3 (3.2)
t63% = θ + τ (3.3)
τ = 1,5 (t63% - t28%) (3.4)
θ = t63% - τ (3.5) dimana :
52
K : gain steady state
Δ : perubahan steady state pada keluaran proses
δ : perubahan step pada masukan
t28% : nilai pv ketika mencapai 28% perubahan awal
t63% : nilai pv ketika mencapai 63% perubahan awal
3. Menentukan nilai Kc, Ti, dan Td berdasarkan tabel IMC-
PID
Setelah parameter λ, θ, t63%, t28%, dan K didapatkan,
maka langkah selanjutnya yakni menentukan nilai Kc, Ti,
dan Td berdasarkan tabel IMC-PID. Oleh karena respon
sistem yang dihasilkan dalam bentuk orde satu, maka
untuk menentukan nilai Kc, Ti, dan Td pada tabel IMC-
PID akan digunakan model persamaan dalam bentuk
FOPDT (First order Plus Dead Time), dengan persamaan
dibawah ini :
FOPDT : G(s) = K 𝜏𝑠+1
(3.6)
Pemodelan dengan menggunakan FOPDT untuk prosedur
yang telah dijelaskan, dilakukan secara bergantian untuk
ketiga loop pengendalian, yakni pengendali laju aliran
masa yang digunakan sebagai nilai input pada steam
drum, pengendalian tekanan yang keluar dalam fasa uap
dari steam drum, dan pengendalian level steam drum
pada unit operasi tersebut. Oleh karena itu, untuk
menentukan nilai Kc, Ti, dan Td menggunakan tabel
IMC-PID maka akan menggunakan persamaan dibawah
ini :
Β = τ [1-((1- 𝜆
𝜏)3.e-θ/τ)1/2] (3.7)
Kc = 𝜏𝑖
𝐾(3𝜆−2𝛽+𝜃) (3.8)
53
τi = (τ+2β) – (3𝜆2−
𝜃2
2+2𝛽𝜃−𝛽2)
(3𝜆−2𝛽+𝜃) (3.9)
τd = (2τβ+𝛽2) –
(𝜆3+ 𝜃3
6 – β𝜃2+ 𝛽2𝜃)
(3𝜆−2𝛽+𝜃)
𝜏𝑖 (3.10)
− (3𝜆2−
𝜃2
2+2𝛽𝜃−𝛽2)
(3𝜆−2𝛽+𝜃)
Penentuan nilai Kc, Ti, dan Td diatas digunakan untuk
respon sistem berupa persamaan first orde. Untuk mengetahui
jenis mode proses lainnya dapat dilihat dari perhitungan nilai Kc,
Ti, dan Td berbagai macam model proses pada tabel IMC-PID di
lampiran.
3.5 Melakukan pengujian tunning berdasarkan perubahan
set point dan disturbance yang telah didapatkan Uji tunning berdasarkan nilai set point dan disturbance
penting untuk dilakukan, hal ini dikarenakan dengan pengujian
kedua tunning tersebut kita dapat mengetahui bahwa berdasarkan
nilai Kc, Ti, dan Td yang telah diberikan apakah dapat mengubah
respon proses variable (PV) yang telah dihasilkan. Suatu tunning
dapat dikatakan bernilai baik apabila dengan nilai tunning yang
telah diberikan dapat menghasilkan respon proses variabel yang
mengukuti nilai yang telah ditetapkan. Namun sebaliknya, suatu
tunning dapat dikatakan bernilai tidak baik apabila dengan nilai
tunning yang telah diberikan tidak dapat menghasilkan respon
proses variabel yang mengukuti nilai yang telah ditetapkan.
Dalam proses uji tunning berdasarkan nilai set point dan nilai
disturbance dilakukan dua macam pengujian, yakni yang pertama
adalah nilai uji open loop dan yang kedua adalah nilai uji closed
loop. Uji open loop diberikan ketika desian plant masih belum
diberikan sebuah controller. Sedangkan pada uji closed loop
diberikan ketika desian plant sudah diberikan sebuah controller.
54
Uji open loop digunakan untuk mengetahui karakteristik respon
yang dihasilkan, serta dapat digunakan untuk mengetahui
parameter FOPDT yang berupa nilai λ, θ, t63%, t28%, dan K
untuk menentukan nilai Kc, Ti, dan Td yang tepat untuk diberikan
kepada controller. Sedangkan pada uji closed loop digunakan
untuk mengetahui respon sistem berupa nilai procces variable
(PV) terhadap nilai desian akibat diberikan sebuah controller.
Untuk mengetahu tunning yang telah diberikan
menghasilkan respon yang diingin atau tidak, maka dalam
uji close loop hal yang perlu diamati adalah hasil respon kontrol
baik berupa hasil kualitatif dan hasil kuantitatif yang dihasilkan
untuk menentukan nilai maximum overshoot, IAE, dan settling
time. Nilai maximum overshoot digunakan untuk mengetahui
seberapa besar nilai respon kendali yang diberikan oleh controller
terhadap proses variabel. Semakin tinggi nilai maximum
overshoot maka respon proses variabel yang didapatkan semakin
lama untuk mencapai nilai yang diinginkan. Parameter IAE
(Integral Absolut Error) digunakan untuk menjumlahkan error
yang dihasilkan oleh respon proses variabel (PV) terhadap nilai
yang diinginkan. Semakin besar nilai IAE, maka dapat diartikan
bahwa tunning untuk melakukan nilai Kp, Ti, dan Td yang
digunakan kurang optimal. Sedangkan parameter settling time
digunakan untuk mengetahui seberapa cepat repon proses variabel
yang dihasilkan mencapai keadaan 63% dari nilai yang
diinginkan. Hal ini dapat diartikan, jika nilai settling time yang
dihasilkan terlalu lama, maka tunning yang digunakan untuk
menentukan nilai Kc, Ti, dan Td kurang tepat.
55
BAB IV
PENGUJIAN DAN ANALISA DATA
Pada bab ini akan dilakukan pengujian dan analisa data pada
sistem pemodelan waste heat steam generator. Pengujian yang
pertama akan dilakukan yaitu penentuan jenis pemasangan
controller yang akan digunakan untuk model plant. Selain itu,
terdapat dua macam uji model plant dengan menggunakan
software hysys, yakni perubahan set point dan disturbance.
4.1 Penentuan jenis pemasangan controller yang digunakan
pada desain waste heat steam generator.
Kebutuhan akan controller ini dapat dilihat dari respon
masing masing stream yang dihasilkan.Apabila nilai respon
stream yang dihasilkan selalu berubah – rubah terhadap fungsi
waktu terhadap data desain yang diberikan, maka didalam stream
tersebut haruslah dipasangkan sebuah controller yang berfungsi
untuk menjaga nilai heat and mass balance. Gambar 4.1
merupakan respon laju aliran massa yang memasuki steam drum
Gambar 4.1 Respon sistem liquid percent level pada steam
drum terhadap perubahan waktu.
56
Stream laju aliran masa yang digunakan sebagai nilai input
pada steam drum merupakan salah satu respon sistem yang
memerlukan sebuah controller. Hal ini dikarenakan, respon
sistem tersebut selalu berubah – ubah terhadap nilai set point
desian yang telah diberikan. Untuk mencapai nilai set point yang
diinginkan, maka diperlukan sebuah controller. Gambar 4.2
dibawah ini merupakan respon tekanan didalam steam drum
Gambar 4.2 Respon sistem tekanan pada steam drum terhadap
perubahan waktu.
Berdasarkan gambar respon sistem yang ditunjukkan pada
gambar diatas, menunjukkan bahwa bagian stream yang harus
diberikan controller. Hal ini dikarenakan, nilai tekanan pada
steam drum selalu berubah – ubah tiap perubahan waktu. Oleh
karena itu pemasangan pengendali tekanan penting untuk
ditambahkan, hal ini dikarenakan pada pemasangan pressure
control berfungsi sebagai penjaga nilai kesetimbangan massa dan
nilai kesetimbangan energi yang ada didalam model plant
57
WHSG. Gambar 4.3 dibawah ini merupakan respon level didalam
steam drum
Gambar 4.3 Respon sistem liquid percent level pada steam
drum terhadap perubahan waktu
Respon sistem yang ditunjukkan pada gambar tersebut,
perlu dilakukan pemasangan controller karena respon stream
tersebut selalu berubah terhadap perubahan set point. Pemasangan
level control bertujuan untuk menjaga level sebesar 50% yang ada
didalam steam drum. Jika level didalam steam drum tidak
mencapai nilai 50%, bahkan melebihi nilai 50%, maka hal ini
akan mempengaruhi dari kualitas uap yang dihasilkan.
Pada jenis kontrol laju aliran masa, parameter kendali yang
cocok digunakan yakni Proporsional controller atau PI
controller, hal ini dikarenakan Proporsional controller atau PI
controller digunakan untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat
dengan aksi integrasi yang besar. Sedangkan, derivative
58
controller tidak digunakan pada jenis stream ini karena adanya
fluktuasi yang sering pada flow yang dinamis dengan banyak
gangguanPada jenis kontrol tekanan uap, parameter kendali yang
cocok digunakan yakni proporsional controller atau PI
controller, hal ini dikarenakan Pengontrolan untuk tekanan
memiliki kemungkinan nilai parameter yang cukup luas untuk Kc
dan Ti. Pengontrolan level hampir sama dengan flow, jika hanya
menggunakan pengontrol P, control valve discharge tangki akan
membuka penuh 100% pada saat level tangki mencapai 75% dan
menutup penuh 0% saat level tangki 25%, dan control valve akan
membuka 50% pada saat level tangki 50%.
4.2 Uji open loop plant waste heat steam generator
berdasarkan nilai perubahan set point dan nilai
perubahan disturbance.
Berdasarkan pembahasan pemasangan jenis controller pada
ulasan sebelumnya, parameter yang akan dikendalikan yakni laju
aliran massa sebagai nilai input steam drum, tekanan didalam
steam drum, dan level pada steam drum. Ketiga jenis controller
tersebut didalam software hysys ditunjukkan dengan FIC-100,
PIC-100, dan LIC-100. Untuk mengetahui kestabilan controller
diperlukan seuatu tunning untuk mempercepat respon steady yang
diinginkan, serta mengurangi timbulnya eror. Oleh karena itu,
diperlukan nilai tunning Kp, Ti, dan Td yang tepat untuk
mencapai tingkat kestabilan yang diinginkan serta untuk
mempertahankan nilai heat and mass balace.
Pada teknik pengendalian berdasarkan nilai set point dan
nilai disturbance ini didapatkan uji open loop yang digunakan
untuk mengetahui karakteristik sistem dari plant yang sedang
diuji. Sedangkan pada uji closed loop digunakan untuk
mengetahui aksi pengendalian ketika diberikan controller. Pada
uji open loop berdasarkan nilai set point dan nilai disturbance
akan didapatkan persamaan dalam bentuk orde satu, sehingga
berdasarkan respon open loop didapatkan jenis parameter –
parameter berupa nilai λ, θ, t63%, t28%, dan K yang akan
digunakan untuk menentukan parameter kendali berupa nilai Kc,
59
Ti, dan Td yang tepat berdasarkan tabel IMC-PID yang dapat
dilihat pada lampiran.
4.2.1 Uji Open Loop Tunning Set Point
Cara menentukan uji open loop dengan mengubah mode
controller menjadi mode manual dan mengubah operating point
(OP) sebesar ±10% dari nilai yang ada, selanjutnya mengamati
respon sistem berupa procces variable (PV) yang dihasilkan.
Simulasi akan dihentikan ketika PV mencapai kestabilan.
Pada setiap hasil uji open loop berdasarkan perubahan set
point akan digunakan untuk menentukan parameter FOPDT
berupa nilai λ, θ, t63%, t28%, dan K. Dari hasil parameter
FOPDT berdasarkan respon open loop, dapat digunakan untuk
menentukan nilai parameter kendali berupa nilai Kc, Ti, dan Td
yang tepat digunakan berdasarkan tabel IMC-PID.
Uji open loop pertama yang dilakukan adalah pengendalian
level. Hal ini dikarenakan pada pengendalian level merupakan
jenis pengendalian utama yang ada pada unit operasi steam drum.
Pada Gambar 4.4 dihasilkan respon open loop untuk controller
LIC-100 berdasarkan tunning set point
Gambar 4.4 Uji open loop LIC-100 pada tunning set point
60
Pada Gambar 4.4 diatas didapatkan data berupa hasil analisa
open loop yang dapat digunakan sebagai parameter penentuan
nilai ZOPDT (Zero Order Plus Dead Time) berupa λ, θ, t63%,
t28%, dan K. Hasil parameter ZOPDT disajikan pada tabel 4.1
Tabel 4.1 Parameter ZOPDT LIC-100 yang dihasilkan pada uji
open loop
Parameter ZOPDT yang diperlukan
λ 1
θ 0
t63% (detik) 1404,96
t63% (menit) 23,416
t28% (detik) 680,83
t28% (menit) 11,347
K 5
Berdasarkan nilai parameter ZOPDT LIC-100 yakni berupa
nilai λ, θ, t63%, t28%, dan K dapat digunakan untuk menentukan
nilai parameter kendali berupa Kc, Ti, dan Td yang tepat
berdasarkan tabel IMC-PID. Hasil parameter kendali berdasarkan
tabel IMC-PID disajikan pada Tabel 4.2
Tabel 4.2 Parameter kendali LIC-100 dengan menggunakan
metode IMC-PID
Parameter kendali IMC-PID
Kc 51,4
Ti (menit) 0,894
Td (menit) -
Uji open loop kedua yang dilakukan adalah pengendalian
tekanan pada steam drum. Hal ini dikarenakan pada pengendalian
tekanan merupakan jenis pengendalian kedua yang ada pada unit
operasi steam drum. Pada gambar 4.5 dihasilkan respon open loop
untuk controller PIC-100
61
Gambar 4.5 Uji Open Loop PIC Pada Tunning set Point
Pada Gambar 4.5 diatas didapatkan data berupa hasil analisa
open loop yang dapat digunakan sebagai parameter penentuan
nilai FOPDT berupa λ, θ, t63%, t28%, dan K. Hasil parameter
FOPDT disajikan pada Tabel 4.3
Tabel 4.3 Parameter FOPDT PIC-100 yang dihasilkan pada uji
open loop
Parameter FOPDT yang diperlukan
λ 1
θ 0
t63% (detik) 14,96
t63% (menit) 0,25
t28% (detik) 6,65
t28% (menit) 0,11
K 78,6
62
Berdasarkan nilai parameter FOPDT PIC-100 yakni berupa
nilai λ, θ, t63%, t28%, dan K dapat digunakan untuk menentukan
nilai parameter kendali berupa Kc, Ti, dan Td yang tepat
berdasarkan tabel IMC-PID. Hasil parameter kendali berdasarkan
tabel IMC-PID disajikan pada Tabel 4.4
Tabel 4.4 Parameter kendali PIC-100 dengan menggunakan
metode IMC-PID
Parameter kendali IMC-PID
Kc 8,66
Ti (menit) 1,77.10-2
Td (menit) -
Uji open loop ketiga yang dilakukan adalah pengendalian
laju aliran masa pada steam drum. Hal ini dikarenakan pada
pengendalian laju aliran masa merupakan jenis pengendalian
ketiga yang ada pada unit operasi steam drum. Pada gambar 4.6
dihasilkan respon open loop untuk controller FIC-100
Gambar 4.6 Uji open loop FIC pada tunning set point
63
Pada Gambar 4.6 diatas didapatkan data berupa hasil analisa
open loop yang dapat digunakan sebagai parameter penentuan
nilai FOPDT berupa λ, θ, t63%, t28%, dan K. Hasil parameter
FOPDT disajikan pada tabel 4.5
Tabel 4.5 Parameter FOPDT FIC-100 yang dihasilkan pada uji
open loop
Parameter FOPDT yang diperlukan
λ 1
θ 0
t63% (detik) 16,25
t63% (menit) 0,27
t28% (detik) 7,22
t28% (menit) 0,12
K 17155
Berdasarkan nilai parameter FOPDT FIC-100 yakni berupa
nilai λ, θ, t63%, t28%, dan K dapat digunakan untuk menentukan
nilai parameter kendali berupa Kc, Ti, dan Td yang tepat
berdasarkan tabel IMC-PID. Hasil parameter kendali berdasarkan
tabel IMC-PID disajikan pada Tabel 4.6
Tabel 4.6 Parameter kendali FIC-100 dengan menggunakan
metode IMC-PID
Parameter kendali IMC-PID
Kc 0,14
Ti (menit) 4,27.10-2
Td (menit) 9,49.10-3
4.2.2 Uji Open Loop Tunning Disturbance
Cara menentukan uji open loop pada perubahan
berdasarkan nilai disturbance yakni dengan mengubah mode
controller menjadi mode manual dan mengubah operating point
(OP) sebesar ±10% dari nilai yang ada, selanjutnya mengamati
64
respon sistem berupa procces variable (PV) yang dihasilkan.
Simulasi akan dihentikan ketika PV mencapai kestabilan.
Perancangan kontrol IMC-PID yakni dengan mencari nilai τ,
θ, t63%, t28%, dan K yang berfungsi untuk menentukan nilai Kc,
Ti, dan Td berdasarkan tabel IMC-PID yang dapat dilihat pada
lampiran. Dengan bukaan nilai valve sebesar ±10% dan sesuai
dengan persamaan 3.1, persamaan 3.2, persamaan 3.3, persamaan
3.4, dan persamaan 3.5, maka didapatkan nilai τ, θ, t63%, t28%,
dan K ketika diberikan nilai disturbance sebesar +5% dan -5%
dari nilai stream yang digunakan sebagai disturbance (flue gas).
Uji open loop pertama yang dilakukan adalah pengendalian
level. Hal ini dikarenakan pada pengendalian level merupakan
jenis pengendalian utama yang ada pada unit operasi steam drum.
Pada Gambar 4.7 dihasilkan respon open loop untuk controller
LIC-100
Gambar 4.7 Uji open loop LIC-100 tunning disturbance +5%
65
Pada Gambar 4.7 diatas didapatkan data berupa hasil analisa
open loop yang dapat digunakan sebagai parameter penentuan
nilai ZOPDT (Zero Order Plus Dead Time) berupa λ, θ, t63%,
t28%, dan K. Hasil parameter ZOPDT disajikan pada Tabel 4.7
Tabel 4.7 Parameter ZOPDT LIC-100 yang dihasilkan pada
uji open loop
Parameter FOPDT yang diperlukan
λ 1
θ 0
t63% (detik) 1320
t63% (menit) 22
t28% (detik) 680
t28% (menit) 11,33
K 0,75
Berdasarkan nilai parameter ZOPDT LIC-100 yakni berupa
nilai λ, θ, t63%, t28%, dan K dapat digunakan untuk menentukan
nilai parameter kendali berupa Kc, Ti, dan Td yang tepat
berdasarkan tabel IMC-PID. Hasil parameter kendali berdasarkan
tabel IMC-PID disajikan pada Tabel 4.8
Tabel 4.8 Parameter kendali LIC-100 dengan menggunakan
metode IMC-PID
Parameter kendali IMC-PID
Kc 52,6
Ti (menit) 1,11
Td (menit) -
Uji open loop kedua yang dilakukan adalah pengendalian
tekanan pada steam drum. Hal ini dikarenakan pada pengendalian
tekanan merupakan jenis pengendalian kedua yang ada pada unit
operasi steam drum. Pada Gambar 4.8 dihasilkan respon open
loop untuk controller FIC-100
66
Gambar 4.8 Uji open loop PIC-100 tunning disturbance +5%
Pada Gambar 4.8 diatas didapatkan data berupa hasil analisa open
loop yang dapat digunakan sebagai parameter penentuan nilai
FOPDT berupa λ, θ, t63%, t28%, dan K. Hasil parameter
FOPDT disajikan pada Tabel 4.9
Tabel 4.9 Parameter FOPDT PIC-100 yang dihasilkan pada
uji open loop
Parameter FOPDT yang diperlukan
λ 1
θ 0
t63% (detik) 158,53
t63% (menit) 2,64
t28% (detik) 53,98
t28% (menit) 0,89
K 195,4
67
Berdasarkan nilai parameter FOPDT PIC-100 yakni berupa
nilai λ, θ, t63%, t28%, dan K dapat digunakan untuk menentukan
nilai parameter kendali berupa Kc, Ti, dan Td yang tepat
berdasarkan tabel IMC-PID. Hasil parameter kendali berdasarkan
tabel IMC-PID disajikan pada Tabel 4.10
Tabel 4.10 Parameter kendali PIC-100 dengan menggunakan
metode IMC-PID
Parameter kendali IMC-PID
Kc 15,7
Ti (menit) 2,12.10-2
Td (menit) -
Uji open loop ketiga yang dilakukan adalah pengendalian
laju aliran masa pada steam drum. Hal ini dikarenakan pada
pengendalian laju aliran masa merupakan jenis pengendalian
ketiga yang ada pada unit operasi steam drum. Pada Gambar 4.9
dihasilkan respon open loop untuk controller FIC-100
F
Gambar 4.9 Uji open loop FIC-100 tunning disturbance +5%
68
Pada Gambar 4.9 diatas didapatkan data berupa hasil analisa open
loop yang dapat digunakan sebagai parameter penentuan nilai
FOPDT berupa λ, θ, t63%, t28%, dan K. Hasil parameter
FOPDT disajikan pada tabel 4.11
Tabel 4.11 Parameter FOPDT FIC-100 yang dihasilkan pada
uji open loop
Parameter FOPDT yang diperlukan
λ 1
θ 0
t63% (detik) 127
t63% (menit) 2,12
t28% (detik) 45
t28% (menit) 0,75
K 20000
Berdasarkan nilai parameter FOPDT FIC-100 yakni berupa
nilai λ, θ, t63%, t28%, dan K dapat digunakan untuk menentukan
nilai parameter kendali berupa Kc, Ti, dan Td yang tepat
berdasarkan tabel IMC-PID. Hasil parameter kendali berdasarkan
tabel IMC-PID disajikan pada Tabel 4.12
Tabel 4.12 Parameter kendali FIC-100 dengan menggunakan
metode IMC-PID
Parameter kendali IMC-PID
Kc 0,238
Ti (menit) 4,18.10-2
Td (menit) 9,28.10-3
4.3 Uji close loop plant waste heat steam generator
berdasarkan nilai perubahan set point dan nilai
perubahan disturbance.
Uji close loop merupakan parameter nilai uji yang dilakukan
berdasarkan pemasangan nilai controller yang diberikan pada
69
plant WHSG. Kegunaan dari uji close loop ini adalah untuk
mengetahui respon sistem yang dihasilkan berdasarkan parameter
kontrol yang diberikan. Pada simulasi plant WHSG ini terdapat
dua macam nilai uji close loop, yang pertama adalah uji
berdasarkan nilai perubahan set point dan yang kedua adalah uji
terhadap nilai perubahan disturbance.
Pada teknik pengendalian berdasarkan nilai set point dan
nilai disturbance ini didapatkan uji close loop yang digunakan
untuk mengetahui aksi pengendalian ketika berupa process
variable (PV) ketika diberikan controller. Pada uji close loop hal
yang perlu diamati adalah hasil respon kontrol baik berupa hasil
kualitatif dan hasil kuantitatif yang dihasilkan untuk menentukan
nilai maximum overshoot, IAE, dan settling time.
4.3.1 Uji Closed Loop Tunning Set Point
Pada uji closed loop berdasarkan nilai set point dilakukan
pengujian ketika nilai disturbance tetap dan nilai set point yang
berubah – ubah. Besar perubahan nilai set point yang digunakan
pada uji ini sebesar ±5%, ±10%, dan ±15% dari nilai set point
yang ada pada data design. Perubahan nilai set point ini akan
digunakan untuk mengetahui apakah process variable (PV) akan
mengukuti nilai set point yang akan diberikan.
Langkah selanjutnya yakni mengamati respon kontrol yang
dihasilkan untuk menentukan nilai maximum overshoot, IAE
(Integral Absolut Error), dan settling time untuk ketiga jenis
controller yakni LIC-100, PIC-100, dan FIC-100. Untuk
melakukan tunning berdasarkan nilai set point, maka akan
digunakan metode kontrol IMC – PID (Internal Model Control –
PID), dimana pada metode IMC-PID ini digunakan untuk
menentukan nilai Kc, Ti, dan Td yang tepat untuk plant tersebut.
Pada dasarnya, metode internal model control merupakan salah
satu metode kontrol yang mampu mengatasi perubahan gangguan
yang langsung masuk ke dalam sistem. Oleh karena itu, dengan
menggunakan metode IMC ini mampu membuat model yang
tangguh (robust) terhadap perubahan gangguan yang telah
diberikan.
70
Pada Gambar 4.10 dibawah ini dihasilkan respon closed loop
untuk controller LIC-100 berdasarkan tunning set point dengan
kenaikan +5%
Gambar 4.10 Uji clossed loop LIC pada tunning set point
dengan perubahan set point sebesar +5%
Pada Tabel 4.13 dibawah menunjukkan hasil analisa parameter
closed loop dari uji set point dengan kenaikan 5% pada LIC-100
Tabel 4.13 Analisa parameter closed loop LIC-100 untuk
kenaikan set point sebesar 5%.
No Karakteristik Closed Loop Nilai
1. Integral Absolut Eror (IAE) 126,9228
2. Maksimum overshoot (%) 1,007494
3. Settling time (detik) 1400
71
Pada Gambar 4.11 dibawah ini dihasilkan respon closed loop
untuk controller LIC-100 berdasarkan tunning set point dengan
kenaikan +10%
Gambar 4.11 Uji clossed loop LIC pada tunning set point
dengan perubahan set point sebesar +10%
Pada Tabel 4.14 dibawah menunjukkan hasil analisa parameter
closed loop dari uji set point dengan kenaikan 10% pada LIC-100
Tabel 4.14 Analisa parameter closed loop LIC-100 untuk
kenaikan set point sebesar 10%.
No Karakteristik Closed Loop Nilai
1. Integral Absolut Eror (IAE) 486,99
2. Maksimum overshoot (%) 1,006864
3. Settling time (detik) 2360
72
Pada Gambar 4.12 dibawah ini dihasilkan respon closed loop
untuk controller LIC-100 berdasarkan tunning set point dengan
kenaikan +15%
Gambar 4.12 Uji clossed loop LIC pada tunning set point
dengan perubahan set point sebesar +15%
Pada Tabel 4.15 dibawah menujukkan hasil analisa parameter
closed loop dari uji set point dengan kenaikan 15% pada LIC-100
Tabel 4.15 Analisa parameter closed loop LIC-100 untuk
kenaikan set point sebesar 15%.
No Karakteristik Closed Loop Nilai
1. Integral Absolut Eror (IAE) 1097,494
2. Maksimum overshoot (%) 1,006339
3. Settling time (detik) 3340
73
Pada Gambar 4.13 dibawah ini dihasilkan respon closed loop
untuk controller LIC-100 berdasarkan tunning set point dengan
penurunan -5%
Gambar 4.13 Uji clossed loop LIC pada tunning set point
dengan perubahan set point sebesar -5%
Pada Tabel 4.16 dibawah menujukkan hasil analisa parameter
closed loop dari uji set point dengan penurunan 5% pada LIC-100
Tabel 4.16 Analisa parameter closed loop LIC-100 untuk
penurunan set point sebesar 5%.
No Karakteristik Closed Loop Nilai
1. Integral Absolut Eror (IAE) 110,0965
2. Maksimum overshoot (%) 1,010728
3. Settling time (detik) 1260
74
Pada Gambar 4.14 dibawah ini dihasilkan respon closed loop
untuk controller LIC-100 berdasarkan tunning set point dengan
penurunan -10%
Gambar 4.14 Uji clossed loop LIC pada tunning set point
dengan perubahan set point sebesar -10%
Pada Tabel 4.17 dibawah menujukkan hasil analisa parameter
close loop dari uji set point dengan penurunan 10% pada LIC-100
Tabel 4.17 Analisa parameter closed loop LIC-100 untuk
penurunan set point sebesar 10%.
No Karakteristik Closed Loop Nilai
1. Integral Absolut Eror (IAE) 419,0785
2. Maksimum overshoot (%) 1,012106
3. Settling time (detik) 2100
75
Pada Gambar 4.15 dibawah ini dihasilkan respon closed loop
untuk controller LIC-100 berdasarkan tunning set point dengan
penurunan -15%
Gambar 4.15 Uji clossed loop LIC pada tunning set point
dengan perubahan set point sebesar -15%
Pada Tabel 4.18 dibawah menujukkan hasil analisa parameter
close loop dari uji set point dengan penurunan 15% pada LIC-100
Tabel 4.18 Analisa parameter closed loop LIC-100 untuk
penurunan set point sebesar 15%.
No Karakteristik Closed Loop Nilai
1. Integral Absolut Eror (IAE) 942,2227
2. Maksimum overshoot (%) 1,013829
3. Settling time (detik) 2920
76
Pada Gambar 4.16 dibawah ini dihasilkan respon closed loop
untuk controller PIC-100 berdasarkan tunning set point dengan
kenaikan +5%
Gambar 4.16 Uji clossed loop PIC pada tunning set point
dengan perubahan set point sebesar +5%
Pada Tabel 4.19 dibawah menunjukkan hasil analisa parameter
closed loop dari uji set point dengan kenaikan 5% pada PIC-100
Tabel 4.19 Analisa parameter closed loop PIC-100 untuk
kenaikan set point sebesar 5%.
No Karakteristik Closed Loop Nilai
1. Integral Absolut Eror (IAE) 47,63917
2. Maksimum overshoot (%) -
3. Settling time (detik) -
77
Pada Gambar 4.17 dibawah ini dihasilkan respon closed loop
untuk controller PIC-100 berdasarkan tunning set point dengan
kenaikan +10%
Gambar 4.17 Uji clossed loop PIC pada tunning set point
dengan perubahan set point sebesar +10%
Pada Tabel 4.20 dibawah menunjukkan hasil analisa parameter
closed loop dari uji set point dengan kenaikan 10% pada PIC-100
Tabel 4.20 Analisa parameter closed loop PIC-100 untuk
kenaikan set point sebesar 10%.
No Karakteristik Closed Loop Nilai
1. Integral Absolut Eror (IAE) 102,1378
2. Maksimum overshoot (%) -
3. Settling time (detik) -
78
Pada Gambar 4.18 dibawah ini dihasilkan respon closed loop
untuk controller PIC-100 berdasarkan tunning set point dengan
kenaikan +15%
Gambar 4.18 Uji clossed loop PIC pada tunning set point
dengan perubahan set point sebesar +15%
Pada Tabel 4.21 dibawah menunjukkan hasil analisa parameter
closed loop dari uji set point dengan kenaikan 15% pada PIC-100
Tabel 4.21 Analisa parameter closed loop PIC-100 untuk
kenaikan set point sebesar 15%.
No Karakteristik Closed Loop Nilai
1. Integral Absolut Eror (IAE) 84,07429
2. Maksimum overshoot (%) -
3. Settling time (detik) -
79
Pada Gambar 4.19 dibawah ini dihasilkan respon closed loop
untuk controller PIC-100 berdasarkan tunning set point dengan
penurunan -5%
Gambar 4.19 Uji clossed loop PIC pada tunning set point
dengan perubahan set point sebesar -5%
Pada Tabel 4.22 dibawah menujukkan hasil analisa parameter
closed loop dari uji set point dengan penurunan 5% pada PIC-100
Tabel 4.22 Analisa parameter closed loop PIC-100 untuk
penurunan set point sebesar 5%.
No Karakteristik Closed Loop Nilai
1. Integral Absolut Eror (IAE) 2,044
2. Maksimum overshoot (%) 0,9901
3. Settling time (detik) 1220
80
Pada Gambar 4.20 dibawah ini dihasilkan respon closed loop
untuk controller PIC-100 berdasarkan tunning set point dengan
penurunan -10%
Gambar 4.20 Uji clossed loop PIC pada tunning set point
dengan perubahan set point sebesar -10%
Pada Tabel 4.23 dibawah menujukkan hasil analisa parameter
close loop dari uji set point dengan penurunan 10% pada PIC-100
Tabel 4.23 Analisa parameter closed loop PIC-100 untuk
penurunan set point sebesar 10%.
No Karakteristik Closed Loop Nilai
1. Integral Absolut Eror (IAE) 4945,73
2. Maksimum overshoot (%) 0,9854
3. Settling time (detik) 1300
81
Pada Gambar 4.21 dibawah ini dihasilkan respon closed loop
untuk controller PIC-100 berdasarkan tunning set point dengan
penurunan -15%
Gambar 4.21 Uji clossed loop PIC pada tunning set point
dengan perubahan set point sebesar -15%
Pada Tabel 4.24 dibawah menujukkan hasil analisa parameter
close loop dari uji set point dengan penurunan 15% pada PIC-100
Tabel 4.24 Analisa parameter closed loop PIC-100 untuk
penurunan set point sebesar 15%.
No Karakteristik Closed Loop Nilai
1. Integral Absolut Eror (IAE) 5965,69
2. Maksimum overshoot (%) 0,9838
3. Settling time (detik) 1320
82
Pada Gambar 4.22 dibawah ini dihasilkan respon closed loop
untuk controller FIC-100 berdasarkan tunning set point dengan
kenaikan +5%
Gambar 4.22 Uji clossed loop FIC pada tunning set point
dengan perubahan set point sebesar +5%
Pada Tabel 4.25 dibawah menunjukkan hasil analisa parameter
closed loop dari uji set point dengan kenaikan 5% pada FIC-100
Tabel 4.25 Analisa parameter closed loop FIC-100 untuk
kenaikan set point sebesar 5%.
No Karakteristik Closed Loop Nilai
1. Integral Absolut Eror (IAE) 6210,4
2. Maksimum overshoot (%) 1,006259854
3. Settling time (detik) 160
83
Pada Gambar 4.23 dibawah ini dihasilkan respon closed loop
untuk controller FIC-100 berdasarkan tunning set point dengan
kenaikan +10%
Gambar 4.23 Uji clossed loop FIC pada tunning set point
dengan perubahan set point sebesar +10%
Pada Tabel 4.26 dibawah menunjukkan hasil analisa parameter
closed loop dari uji set point dengan kenaikan 10% pada FIC-100
Tabel 4.26 Analisa parameter closed loop FIC-100 untuk
kenaikan set point sebesar 10%.
No Karakteristik Closed Loop Nilai
1. Integral Absolut Eror (IAE) 4431,4
2. Maksimum overshoot (%) 1,006102
3. Settling time (detik) 220
84
Pada Gambar 4.24 dibawah ini dihasilkan respon closed loop
untuk controller FIC-100 berdasarkan tunning set point dengan
kenaikan +15%
Gambar 4.24 Uji clossed loop FIC pada tunning set point
dengan perubahan set point sebesar +15%
Pada Tabel 4.27 dibawah menunjukkan hasil analisa parameter
closed loop dari uji set point dengan kenaikan 15% pada FIC-100
Tabel 4.27 Analisa parameter closed loop FIC-100 untuk
kenaikan set point sebesar 15%.
No Karakteristik Closed Loop Nilai
1. Integral Absolut Eror (IAE) 13918,5
2. Maksimum overshoot (%) 1,018352
3. Settling time (detik) 180
85
Pada Gambar 4.25 dibawah ini dihasilkan respon closed loop
untuk controller FIC-100 berdasarkan tunning set point dengan
penurunan -5%
Gambar 4.25 Uji clossed loop FIC pada tunning set point
dengan perubahan set point sebesar -5%
Pada Tabel 4.28 dibawah menujukkan hasil analisa parameter
closed loop dari uji set point dengan penurunan 5% pada FIC-100
Tabel 4.28 Analisa parameter closed loop FIC-100 untuk
penurunan set point sebesar 5%.
No Karakteristik Closed Loop Nilai
1. Integral Absolut Eror (IAE) 13416,7
2. Maksimum overshoot (%) 1,04056
3. Settling time (detik) 80
86
Pada Gambar 4.26 dibawah ini dihasilkan respon closed loop
untuk controller FIC-100 berdasarkan tunning set point dengan
penurunan -10%
Gambar 4.26 Uji clossed loop FIC pada tunning set point
dengan perubahan set point sebesar -10%
Pada Tabel 4.29 dibawah menujukkan hasil analisa parameter
close loop dari uji set point dengan penurunan 10% pada FIC-100
Tabel 4.29 Analisa parameter closed loop FIC-100 untuk
penurunan set point sebesar 10%.
No Karakteristik Closed Loop Nilai
1. Integral Absolut Eror (IAE) 9558,4
2. Maksimum overshoot (%) 1,031326
3. Settling time (detik) 500
87
Pada Gambar 4.27 dibawah ini dihasilkan respon closed loop
untuk controller FIC-100 berdasarkan tunning set point dengan
penurunan -15%
Gambar 4.27 Uji clossed loop FIC pada tunning set point
dengan perubahan set point sebesar -15%.
Pada Tabel 4.30 dibawah menujukkan hasil analisa parameter
close loop dari uji set point dengan penurunan 15% pada FIC-100
Tabel 4.30 Analisa parameter closed loop FIC-100 untuk
penurunan set point sebesar 15%.
No Karakteristik Closed Loop Nilai
1. Integral Absolut Eror (IAE) 15293,7
2. Maksimum overshoot (%) 1,026591
3. Settling time (detik) 200
88
4.3.2 Uji Closed Loop Tunning Disturbance
Selain tunning berdasarkan nilai perubahan set point untuk
mencapai nilai heat and mass balance. Ada tunning lainnya yang
juga dapat mencapai nilai heat and mass balance, yakni tunning
berdasarkan nilai perubahan disturbance. Tunning berdasarkan
perubahan disturbance adalah sebuah tunning yang mampu
mempertahankan nilai heat and mass balance ketika diberikannya
gangguan dari luar.
Pada uji closed loop disturbance digunakan untuk
mengetahui aksi pengendalian ketika diberikan diberikan nilai
disturbance. Cara menentukan uji closed loop berdasarkan
tunning disturbance yakni dengan cara merubah nilai disturbance
sebesar ±5% dari nilai stream yang digunakan sebagai
disturbance (flue gas). Sementara untuk nilai set point tidak
berubah terhadap nilai disturbance yang telah diberikan. Langkah
selanjutnya yakni mengamati respon kontrol yang dihasilkan
untuk menentukan nilai maximum overshoot, IAE, dan settling
time untuk ketiga jenis controller yakni LIC-100, PIC-100, dan
FIC-100. Untuk melakukan tunning berdasarkan nilai
distuirbance, maka kita menggunakan metode kontrol IMC –
PID. Internal model control merupakan salah satu metode kontrol
yang mampu mengatasi perubahan gangguan yang langsung
masuk ke dalam sistem. Oleh karena itu, dengan menggunakan
metode IMC ini mampu membuat model yang tangguh (robust)
terhadap perubahan gangguan yang telah diberikan.
Untuk membandingkan tunning berdasarkan nilai set point
dan tunning berdasarkan nilai disturbance dibutuhkan nilai
perbandingan yang ada. Nilai perbandingan respon pengendalian
yang dihasilkan dapat ditentukan berdasarkan data kuantitatif dan
data kualitatif dari respon yang dihasilkan. Data kuantitatif dan
kualitatif yang didapatkan berupa nilai maximum overshoot, IAE,
dan settling time yang dapat digunakan sebagai pembanding
antara tunning berdasarkan nilai set point dan tunning
berdasarkan nilai disturbance.
89
Pada Gambar 4.28 dibawah ini dihasilkan respon closed loop
untuk controller LIC-100 berdasarkan tunning disturbance
dengan kenaikan +5%
Gambar 4.28 Uji clossed loop LIC pada tunning disturbance
dengan perubahan disturbance sebesar +5%
Pada Tabel 4.31 dibawah menunjukkan hasil analisa parameter
closed loop dari uji disturbance dengan kenaikan 5% pada LIC-
100
Tabel 4.31 Analisa parameter closed loop LIC-100 untuk
kenaikan disturbance sebesar 5%.
No Karakteristik Closed Loop Nilai
1. Integral Absolut Eror (IAE) 96,2041
2. Maksimum overshoot (%) 1,0229323
3. Settling time (detik) 7040
90
Pada Gambar 4.29 dibawah ini dihasilkan respon closed loop
untuk controller PIC-100 berdasarkan tunning disturbance
dengan kenaikan +5%
Gambar 4.29 Uji clossed loop PIC pada tunning disturbance
dengan perubahan disturbance sebesar +5%
Pada Tabel 4.32 dibawah menunjukkan hasil analisa parameter
closed loop dari uji disturbance dengan kenaikan 5% pada PIC-
100
Tabel 4.32 Analisa parameter closed loop PIC-100 untuk
kenaikan disturbance sebesar 5%.
No Karakteristik Closed Loop Nilai
1. Integral Absolut Eror (IAE) 0,9391
2. Maksimum overshoot (%) 1
3. Settling time (detik) 1360
91
Pada Gambar 4.30 dibawah ini dihasilkan respon closed loop
untuk controller FIC-100 berdasarkan tunning disturbance
dengan kenaikan +5%
Gambar 4.30 Uji clossed loop FIC pada tunning disturbance
dengan perubahan disturbance sebesar +5%
Pada Tabel 4.33 dibawah menunjukkan hasil analisa parameter
closed loop dari uji disturbance dengan kenaikan 5% pada FIC-
100
Tabel 4.33 Analisa parameter closed loop FIC-100 untuk
kenaikan disturbance sebesar 5%.
No Karakteristik Closed Loop Nilai
1. Maksimum overshoot (%) 1,290674
2. Integral Absolut Eror (IAE) 8293,6
3. Settling time (detik) 140
92
Pada Gambar 4.31 dibawah ini dihasilkan respon closed loop
untuk controller LIC-100 berdasarkan tunning disturbance
dengan penurunan -5%
Gambar 4.31 Uji clossed loop LIC pada tunning disturbance
dengan perubahan disturbance sebesar -5%
Pada Tabel 4.34 dibawah menunjukkan hasil analisa parameter
closed loop dari uji disturbance dengan penurunan -5% pada LIC-
100
Tabel 4.34 Analisa parameter closed loop LIC-100 untuk
penurunan disturbance sebesar -5%.
No Karakteristik Closed Loop Nilai
1. Maksimum overshoot (%) 1,0078
2. Integral Absolut Eror (IAE) 11,7907
3. Settling time (detik) 2300
93
Pada Gambar 4.32 dibawah ini dihasilkan respon closed loop
untuk controller PIC-100 berdasarkan tunning disturbance
dengan penurunan -5%
Gambar 4.32 Uji clossed loop PIC pada tunning disturbance
dengan perubahan disturbance sebesar -5%
Pada Tabel 4.35 dibawah menunjukkan hasil analisa parameter
close loop dari uji disturbance dengan penurunan -5% pada PIC-
100
Tabel 4.35 Analisa parameter closed loop PIC-100 untuk
penurunan disturbance sebesar -5%.
No Karakteristik Closed Loop Nilai
1. Maksimum overshoot (%) 1,004131
2. Integral Absolut Eror (IAE) 1,00169
3. Settling time (detik) 900
94
Pada Gambar 4.33 dibawah ini dihasilkan respon closed loop
untuk controller FIC-100 berdasarkan tunning disturbance
dengan penurunan -5%
Gambar 4.33 Uji clossed loop FIC pada tunning disturbance
dengan perubahan disturbance sebesar -5%
Pada Tabel 4.36 dibawah menunjukkan hasil analisa parameter
close loop dari uji disturbance dengan penurunan -5% pada FIC-
100
Tabel 4.36 Analisa parameter closed loop PIC-100 untuk
penurunan disturbance sebesar -5%.
No Karakteristik Closed Loop Nilai
1. Maksimum overshoot (%) 0,8954
2. Integral Absolut Eror (IAE) 84479,1
3. Settling time (detik) 280
95
4.4 Uji close loop dengan menggunakan direct sintesis
Berdasarkan tunning hasil respon kendali dengan perubahan
nilai disturbance yang dihasilkan, dapat diketahui bahwa untuk
sistem pengendalian level menghasilkan nilai maximum overshoot
yang tinggi, nilai settling time yang lama, serta nilai IAE yang
besar. Hal ini menunjukkan bahwa sistem kendali berupa IMC-
PID ketika diberikan nilai disturbance tidak dapat mengendalikan
respon sistem secara optimal. Hal yang serupa juga ditunjukkan
pada respon pengendalian tekanan pada steam drum yang
menghasilkan nilai settling time yang terlalu lama untuk
mencapai nilai set point. Hal ini dikarenakan sistem kendali
dengan menggunakan metode IMC-PID tidak dapat
mempertahankan nilai kesetimbangan massa dan kesetimbangan
energi pada unit operasi tersebut. Ketika diberikan nilai
disturbance yang langsung masuk kedalam plant, maka controller
yang digunakan tidak dapat mengendalikan proses variabel yang
diinginkan (set point), akibatnya massa yang memasuki unit
operasi steam drum turut mengalami gangguan. Oleh karena
massa yang memasuki unit operasi steam drum terganggu, maka
hal ini akan mempengaruhi nilai level didalam steam drum.
Akibatnya keadaan level didalam steam drum turut mengalami
gangguan. Ketika level didalam unit operasi steam drum
terganggu, maka hal ini akan mempengaruhi tekanan pada steam
drum yang tidak bisa dikendalikan.
Oleh karena hasil respon sistem dengan menggunakan
metode IMC-PID tidak dapat mengendalikan nilai disturbance
yang langsung masuk kedalam plant, maka diperlukan
pengendalian lainnya yang mampu mengendalikan nilai
disturbance. Salah satu metode yang mampu mengurangi
pengaruh nilai disturbance yang langsung masuk kedalam plant
yakni dengan menggunakan metode direct sintesis. Untuk
membandingkan tunning berdasarkan metode IMC-PID dengan
tunning berdasarkan metode direct sintesis. Maka dibutuhkan
nilai perbandingan respon yang meliputi nilai maximum
overshoot, IAE, dan settling time. Adapun hasil kuantitatif dari
respon kendali dengan metode direct sintesis sebagai berikut :
96
Pada Gambar 4.34 dibawah ini dihasilkan respon closed loop
untuk controller LIC-100 berdasarkan tunning disturbance
dengan kenaikan +5% menggunakan direct sintesis.
Gambar 4.34 Uji clossed loop menggunakan direct sintesis
LIC dengan perubahan disturbance +5%
Pada Tabel 4.37 dibawah menunjukkan hasil analisa parameter
closed loop dari uji disturbance dengan kenaikan 5% pada LIC-
100
Tabel 4.37 Analisa parameter closed loop LIC-100 untuk
kenaikan disturbance sebesar 5% direct sintesis.
No Karakteristik Closed Loop Nilai
1. Integral Absolut Eror (IAE) 2,0956
2. Maksimum overshoot (%) 1,0080
3. Settling time (detik) 1736
97
Pada Gambar 4.35 dibawah ini dihasilkan respon closed loop
untuk controller PIC-100 berdasarkan tunning disturbance
dengan kenaikan +5% menggunakan direct sintesis.
Gambar 4.35 Uji clossed loop menggunakan direct sintesis
PIC dengan perubahan disturbance +5%
Pada Tabel 4.38 dibawah menunjukkan hasil analisa parameter
closed loop dari uji disturbance dengan kenaikan 5% pada PIC-
100
Tabel 4.38 Analisa parameter closed loop PIC-100 untuk
kenaikan disturbance sebesar 5% direct sintesis.
No Karakteristik Closed Loop Nilai
1. Integral Absolut Eror (IAE) 0,8756
2. Maksimum overshoot (%) 0,9870
3. Settling time (detik) 1125
98
Pada Gambar 4.36 dibawah ini dihasilkan respon closed loop
untuk controller FIC-100 berdasarkan tunning disturbance
dengan kenaikan +5% menggunakan direct sintesis.
Gambar 4.36 Uji clossed loop menggunakan direct sintesis
FIC dengan perubahan disturbance +5%
Pada Tabel 4.39 dibawah menunjukkan hasil analisa parameter
closed loop dari uji disturbance dengan kenaikan 5% pada FIC-
100
Tabel 4.39 Analisa parameter closed loop FIC-100 untuk
kenaikan disturbance sebesar 5% direct sintesis.
No Karakteristik Closed Loop Nilai
1. Integral Absolut Eror (IAE) 2576
2. Maksimum overshoot (%) 0,92041
3. Settling time (detik) 249
99
Pada Gambar 4.37 dibawah ini dihasilkan respon closed loop
untuk controller LIC-100 berdasarkan tunning disturbance
dengan penurunan -5% menggunakan direct sintesis.
Gambar 4.37 Uji clossed loop menggunakan direct sintesis
LIC dengan perubahan disturbance -5%
Pada Tabel 4.40 dibawah menunjukkan hasil analisa parameter
closed loop dari uji disturbance dengan penurunan 5% pada LIC-
100
Tabel 4.40 Analisa parameter closed loop LIC-100 untuk
penurunan disturbance sebesar 5% direct sintesis.
No Karakteristik Closed Loop Nilai
1. Integral Absolut Eror (IAE) 2,2041
2. Maksimum overshoot (%) 1,0229323
3. Settling time (detik) 948
100
Pada Gambar 4.38 dibawah ini dihasilkan respon closed loop
untuk controller PIC-100 berdasarkan tunning disturbance
dengan penurunan -5% menggunakan direct sintesis.
Gambar 4.38 Uji clossed loop menggunakan direct sintesis
PIC dengan perubahan disturbance -5%
Pada Tabel 4.41 dibawah menunjukkan hasil analisa parameter
closed loop dari uji disturbance dengan penurunan 5% pada PIC-
100
Tabel 4.41 Analisa parameter closed loop PIC-100 untuk
penurunan disturbance sebesar 5% direct sintesis.
No Karakteristik Closed Loop Nilai
1. Integral Absolut Eror (IAE) 0,2041
2. Maksimum overshoot (%) 0,98756
3. Settling time (detik) 836
101
Pada Gambar 4.39 dibawah ini dihasilkan respon closed loop
untuk controller FIC-100 berdasarkan tunning disturbance
dengan penurunan -5% menggunakan direct sintesis.
Gambar 4.39 Uji clossed loop menggunakan direct sintesis
FIC dengan perubahan disturbance -5%
Pada Tabel 4.42 dibawah menunjukkan hasil analisa parameter
closed loop dari uji disturbance dengan penurunan 5% pada FIC-
100
Tabel 4.42 Analisa parameter closed loop FIC-100 untuk
penurunan disturbance sebesar 5% direct sintesis.
No Karakteristik Closed Loop Nilai
1. Integral Absolut Eror (IAE) 12456
2. Maksimum overshoot (%) 1,2896
3. Settling time (detik) 312
102
103
Tabel 4.33 diatas menunjukkan tingkat perbandingan antara
parameter kendali dan respon dinamik yang dihasilkan dari kedua
jenis metode yang digunakan, yakni metode IMC-PID dan
metode direct sintesis. Diketahui bahwa untuk semua jenis
pengendalian yang ada, baik meliputi sistem pengendalian level,
tekanan, maupun laju aliran massa menunjukkan bahwa dengan
menggunakan metode direct sintesis respon sistem yang
dihasilkan jauh lebih baik daripada menggunakan metode IMC-
PID. Hal ini dapat ditunjuukan dengan nilai IAE dan settling time
pada respon dinamik menggunakan dorect sintesis memiliki nilai
yang lebih kecil daripada IMC-PID. Sedangkan untuk nilai
maximum overshoot menggunakan meotde direct sintesis
memiliki nilai yang lebih kecil daripada menggunakan metode
IMC-PID.
Oleh karena hasil respon dinamik untuk mengendalikan
disturbance yang dihasilkan menggunakan metode direct sintesis
lebih baik dari pada menggunakan metode IMC-PID, maka jenis
sistem kendali yang tepat untuk mengendalikan nilai gangguan
dari luar (disturbance) yakni dengan menggunakan metode direct
sintesis.
104
Halaman ini sengaja dikosongkan
105
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan eksperimen yang telah telah dilakukan,
maka didapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Parameter kendali pada model waste heat steam
generator yang diperlukan tunning berdasarkan nilai set
point dan disturbance adalah laju aliran masa yang
memasuki steam drum, tekanan pada steam drum, dan
level yang ada pada steam drum.
2. Tidak hanya tunning berdasarkan nilai set point yang
dibutuhkan untuk mengendalian plant WHSG ini, akan
tetapi tunning berdasarkan nilai disturbance juga tepat
untuk digunakan. Hal ini dikarena tunning berdasarkan
nilai disturbance dapat mengendalikan nilai disturbance
yang langsung masuk ke sistem yang dapat
mempengaruhi nilai performansi plant.
3. Tunning berdasarkan nilai disturbance perlu dilakukan
yakni dengan menggunakan metode FOPDT (First Order
Plus Dead Time) untuk mencari nilai λ, θ, t63%, t28%, dan
K yang selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan
nilai Kc, Ti, dan Td dengan menggunakan tabel IMC-PID
pada masing – masing controller.
4. Parameter kendali yang tepat digunakan saat nilai
disturbance +5% dari data desain adalah untuk FIC-100
Kc = 0,062.10-2 ; Ti = 4,517144, untuk PIC-100 Kc =
2,53477 ; Ti = 2,97580442, sedangkan untuk LIC-100 Kc
= 0,05956078. Sedangkan parameter kendali yang tepat
digunakan saat nilai disturbance -5% dari data desain
adalah untuk FIC-100 Kc = 0,032.10-2 ; Ti = 5,12, untuk
PIC-100 Kc = 0,349215 ; Ti = 4,830831, sedangkan
untuk LIC-100 Kc = 0,05875349.
5. Metode tunning yang digunakan untuk mengendalikan
disturbance dalam penelitian ini tidak tepat untuk
106
digunakan dalam pengendalian level didalam steam drum
dengan menggunakan metode IMC-PID. Hal ini
dikarenakan karakteristik respon yang dihasilkan
menunjukkan nilai yang kurang baik. Jenis sistem kendali
yang tepat untuk diterapkan sebagai pengendali nilai
disturbance yakni dengan menggunakan metode direct
sintesis yang dapat dilihat pada lampiran.
5.2 Saran
Dari hasil tugas akhir ini dapat diberikan beberapa saran
untuk pengembangan penelitian selanjutnya antara lain :
1. Perlu dilakukan pemodelan waste heat steam generator
dengan dua nilai tekanan yang telah diberikan, yakni
untuk high pressure dan low pressure menggunakan
software hysys. Hal ini dikarenakan sistem perancangan
WHSG yang ada di lapangan menggunakan dua buah
nilai tekanan ini.
2. Diperlukan teknik pengendalian lainnya yang tepat untuk
digunakan sebagai sistem pengendalian disturbance pada
plant waste heat steam drum.
Lampiran
No Stream
Name
Komposisi Tempe
ratur
(0C)
Tekan
an
(kPa)
Laju Aliran
Massa
(kg/h)
1. Flue gas in NO2 0,0000
325 95,44 3,726.105
CO2 0,4072
Oxygen 0,0306
H2O 0,0301
CO 0,0020
NO 0,0000
Nitrogen 0,5301
2. Steam in SH
NO2 0,0000
219,3 2265 1,006.104
CO2 0,0000
Oxygen 0,0000
H2O 1,0000
CO 0,0000
NO 0,0000
Nitrogen 0,0000
3. Steam out HRSG
NO2 0,0000
289 2240 1,006.104
CO2 0,0000
Oxygen 0,0306
H2O 1,0000
CO 0,0000
NO 0,0000
Nitrogen 0,0000
Lampiran
No Stream
Name
Komposisi Tempe
ratur
(0C)
Tekan
an
(kPa)
Laju Aliran
Massa
(kg/h)
4. Gas out SH
NO2 0,0000
320,1 85,42 3,726.105
CO2 0,4072
Oxygen 0,0306
H2O 0,0301
CO 0,0020
NO 0,0000
Nitrogen 0,5301
5. Steam in SD
NO2 0,0000
219,3 2265 2,043.104
CO2 0,0000
Oxygen 0,0000
H2O 1,0000
CO 0,0000
NO 0,0000
Nitrogen 0,0000
6. Water out SDa
NO2 0,0000
219,3 2265 1,045.104
CO2 0,0000
Oxygen 0,0000
H2O 1,0000
CO 0,0000
NO 0,0000
Nitrogen 0,0000
Lampiran
No Stream
Name
Komposisi Tempe
ratur
(0C)
Tekan
an
(kPa)
Laju Aliran
Massa
(kg/h)
7. Steam mix NO2 0,0000
219,4 2270 2,043.104
CO2 0,0000
Oxygen 0,0000
H2O 1,0000
CO 0,0000
NO 0,0000
Nitrogen 0,0000
8. Water out EC
NO2 0,0000
203,2 2270 1,005.104
CO2 0,0000
Oxygen 0,0000
H2O 1,0000
CO 0,0000
NO 0,0000
Nitrogen 0,0000
9. R steam out EV
NO2 0,0000
220 2270 1,038.104
CO2 0,0000
Oxygen 0,0000
H2O 1,0000
CO 0,0000
NO 0,0000
Nitrogen 0,0000
Lampiran
No Stream
Name
Komposisi Tempe
ratur
(0C)
Tekan
an
(kPa)
Laju Aliran
Massa
(kg/h)
10. Water in EV
NO2 0,0000
219,3 2271 1,038.104
CO2 0,0000
Oxygen 0,0000
H2O 1,0000
CO 0,0000
NO 0,0000
Nitrogen 0,0000
12. Steam out EV
NO2 0,0000
219,2 2270 1,038.104
CO2 0,0000
Oxygen 0,0000
H2O 1,0000
CO 0,0000
NO 0,0000
Nitrogen 0,0000
13. Gas out EV
NO2 0,0000
271,7 60,46 3,726.105
CO2 0,4072
Oxygen 0,0306
H2O 0,0301
CO 0,0020
NO 0,0000
Nitrogen 0,5301
Lampiran
No Stream
Name
Komposisi Tempe
ratur
(0C)
Tekan
an
(kPa)
Laju Aliran
Massa
(kg/h)
14. Feed water in
NO2 0,0000
92 2300 1,005.104
CO2 0,0000
Oxygen 0,0000
H2O 1,0000
CO 0,0000
NO 0,0000
Nitrogen 0,0000
15. Feed water in EC
NO2 0,0000
92 2295 1,005.104 CO2 0,0
000 Oxygen 0,0
000 H2O 1,0
000 CO 0,0
000 NO 0,0
000 Nitrogen 0,0
000 16. Gas out
HRSG NO2 0,0
000 258,6 50,44 3,726.105
CO2 0,4072
Oxygen 0,0306
H2O 0,0301
CO 0,0020
NO 0,0000
Nitrogen 0,5301
Lampiran
No Stream
Name
Komposisi Tempe
ratur
(0C)
Tekan
an
(kPa)
Laju Aliran
Massa
(kg/h)
17. Water out Sda1
NO2 0,0000
219,2 2262 1,045.104
CO2 0,0000
Oxygen 0,0000
H2O 1,0000
CO 0,0000
NO 0,0000
Nitrogen 0,0000
18. Water out SDb
NO2 0,0000
219,3 2400 1,045.104 CO2 0,0
000 Oxygen 0,0
000 H2O 1,0
000 CO 0,0
000 NO 0,0
000 Nitrogen 0,0
000 19. 1 NO2 0,0
000 219,3 2271 1,045.104
CO2 0,0000
Oxygen 0,0000
H2O 1,0000
CO 0,0000
NO 0,0000
Nitrogen 0,0000
Lampiran
No Stream
Name
Komposisi Tempe
ratur
(0C)
Tekan
an
(kPa)
Laju Aliran
Massa
(kg/h)
20. Blow down
NO2 0,0000
219,3 2271 74,01
CO2 0,0000
Oxygen 0,0000
H2O 1,0000
CO 0,0000
NO 0,0000
Nitrogen 0,0000
Lampiran
Gambar respon laju aliran massa yang dihasilkan oleh stream water out Gambar respon tekanan yang dihasilkan oleh stream water out EC
Lampiran
Gambar respon suhu yang dihasilkan oleh stream water out EC Gambar respon laju aliran massa yang dihasilkan oleh stream steam in SH
Lampiran
Gambar respon tekanan yang dihasilkan oleh stream steam in SH Gambar respon suhu yang dihasilkan oleh stream steam in SH
Lampiran
Gambar respon laju aliran massa yang dihasilkan oleh stream flue gas in Gambar respon tekanan yang dihasilkan oleh stream flue gas in
Lampiran
Gambar respon tekanan yang dihasilkan oleh stream steam out HRSG Gambar respon suhu yang dihasilkan oleh stream steam out HRSG
Lampiran
Ada dua macam data yang akan diambil, yang pertama berasal dari equipment SP Boiler dan yang kedua berasal dari equipment AQC Boiler. SP Boiler terdiri dari unit operasi evaporator dan superheater, sedangkan AQC Boiler terdiri dari unit operasi economizer, evaporator, dan superheater. Hasil data yang didapatkan adalah :
a. SP Boiler Data flue gas : Flow = 576000 N /h Suhu = 400 C Tekanan = -600 mmw Tekanan steam = 2,3 Mpa (suhu saturasi = 220 C) Pinch point = 330 C – 220 C = 110 C Densitas flue gas pada tekanan -600 mmw (=10000-600 mmw = 9400 mmw = 940 cmw) dan suhu 400 C = 0,5857 kg/ Volume rate 576000 N /h = 1507008 Mass flow rate 1507008 * 0,5857 = 882654 kg/h
b. AQC Boiler Data flue gas : Flow = 245000 N /h Suhu = 325 C Tekanan = -600 mmw Tekanan steam = 2,3 Mpa (suhu saturasi = 220 C) Suhu gas keluar economizer = 130 C Densitas flue gas pada tekanan -600 mmw (=10000-600 mmw = 9400 mmw = 940 cmw) dan suhu 325 C = 0,6591 kg/ Volume rate 245000 N /h = 569583
Mass flow rate 569583 * 0,6591 = 375412 kg/h
Lampiran
Luas Permukaan Superheater (SP Boiler)
Dari data hysys maka akan didapatkan nilai dalam bentuk persamaan yang dapat diperlihatkan dalam persamaan dibawah ini : Q (di superheater, gas) = (400-389) = 882654,32 kg/h * ((1,114*400) – (1,11*388,5)) = 12679329 KJ/h Atau Q = - 882654,32 * (-4495,61 – (-4508,42)) = 11309510,93 KJ/h Q (di superheater, SH steam untuk cross cek) = Ws - = 29800,21 (-379426160 – (-390735672)) = 11309510,93 KJ/h Mencari Δ Δ = 400 – 370 = 30, Δ = 388,5 – 220 = 168,5 = (30-168,5) / log (30/168,5) = 185 Diambil U = 5W/ K = 5 J/s K = 5 * 3,6 KJ/h K = 18 KJ/h Konversi : 1 J/s = 1W Maka A superheater = Q/(U Δ ) = 11309510,93 [KJ/h] / (18 [KJ/h ] * 185 C) = 3400 Luas Permukaan Evaporator (SP Boiler)
Q (di evaporator, gas) = - 882654,31 * (-4508,42 – (-4573,65)) = 57567296,15 Mencari Δ Δ = 388,5– 220 = 168,5, Δ = 329 – 220 = 109 Δ = (168,5-109) / log (168,5/109) = 315 Diambil U = 20W/ K = 20 J/s K = 20 * 3,6 KJ/h K = 72 KJ/h Konversi : 1 J/s = 1W Maka A evaporator = Q/(U Δ ) = 882654,31 [KJ/h] / (72 [KJ/h ] * 315 C) = 2542
Lampiran
Luas Permukaan Superheater (AQC Boiler)
Q (di superheater, gas) Q = - 375412,3845 * (-4578,17 – (-4583,46)) = 1987198,78 KJ/h Mencari Δ Δ = 325 – 284 = 41, Δ = 320 – 220 = 100 Δ = (41-100) / log (41/100) = 152 Diambil U = 5W/ K = 5 J/s K = 5 * 3,6 KJ/h K = 18 KJ/h Konversi : 1 J/s = 1W Maka A superheater = Q/(U Δ ) = 1987198,78 [KJ/h] / (18 [KJ/h ] * 152 C) = 724 Luas Permukaan Evaporator (AQC Boiler)
Q (di evaporator, gas) = - 375412,3845 * (-4583,46 – (-4638,21)) = 22541653,83 KJ/h Mencari Δ Δ = 320– 220 = 100, Δ = 269– 220 = 49 Δ = (100-49) / log (100-49) = 164 Diambil U = 20W/ K = 5 J/s K = 20 * 3,6 KJ/h K = 72 KJ/h Konversi : 1 J/s = 1W Maka A evaporator = Q/(U Δ ) = 375412,3845 [KJ/h] / (72 [KJ/h ] * 164 C) = 1901 Luas Permukaan Economizer (AQC Boiler)
Q = - 375412,3845 * (-4638,21 – (-4745,43)) = 40249095,87 KJ/h Mencari Δ Δ = 269– 205 = 64, Δ = 168– 92 = 70 Δ = (64-76) / log (64-76) = 161 Diambil U = 10W/ K = 5 J/s K = 10 * 3,6 KJ/h K = 36 KJ/h Konversi : 1 J/s = 1W
Lampiran
Maka A evaporator = Q/(U Δ ) = 375412,3845 [KJ/h] / (36 [KJ/h ] * 161 C) = 6953 Jadi suhu keluar gas 130oC Maka Δ = 1114 Dan A = 9735 m2
Setelah keseluruhan luas permukaan unit operasi diketahui, maka langkah selanjutnya adalah menentukan dimensi unit operasi yang akan digunakan, yakni meliputi dimensi superheater pada SP Boiler dan dimensi evaporator pada SP Boiler. Dimensi Superheater (SP Boiler)
Jika OD tube 1 in= 0,0254 m dan disusun persegi (baris ke-3 dari bawah) dan panjang tube 5,9 m dan tinggi boiler 8,39 m
Keliling tube * d = 3,14 * 0,0254 = 0,0798 m Luas per tube = keliling * panjang tube = 0,0798 * 5,9 =
0,47 m2 Jumlah tube yang diperlukan = luas perpindahan panas /
luas per tube = 3400/0,47 = 7225 buah. Jika tube disusun seperti pada baris ke-3 dari bawah (tabel di atas) maka panjang tube diperoleh 0,89 m Jadi dimensi superheater 5,9 x 8,39 x 0,89 m3
Dimensi evaporator (SP Boiler):
Dengan ukuran tube sama diperoleh panjang 0,65 m Jadi dimensi evaporator SP boiler adalah 5,9 x 8,39 x 0,65 m3
Dengan cara yang sama dimensi AQC boiler adalah sebagai berikut:
Superheater 5,9 x 8,39 x 0,19 m3 Evaporator 5,9 x 8,39 x 0,49 m3
Economizer 5,9 x 8,39 x 1,78 m3
Lampiran