Case Icu Peritonitis Milla Ines

download Case Icu Peritonitis Milla Ines

of 25

description

case

Transcript of Case Icu Peritonitis Milla Ines

BAB 1

PAGE Case Report Session[PERITONITIS DIFUS e.c perforasi gaster]

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan case report session ini tepat pada waktunya. Case report session ini disusun guna memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagian Anestesi dan Reanimasi di Rumas Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang.Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Emilzon Taslim, Sp.An, M.Kes yang telah membimbing penyusun dalam mengerjakan case report session ini, serta kepada semua pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan kepada penyusun.

Dengan penuh kesadaran dari penulis, meskipun telah berupaya semaksimal mungkin untuk menyelesaikan case report session ini, namun masih terdapat kelemahan dan kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penyusun harapkan. Akhir kata, penulis mengharapkan semoga case report session ini dapat berguna dan memberikan manfaat bagi kita semua.

Padang, Desember 2013

Penulis

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinis akibat kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanganan segera yang sering berupa tindak bedah, misalnya pada perforasi, obstruksi, atau perdarahan masif di rongga perut maupun di saluran cerna. Infeksi, obstruksi, atau strangulasi saluran cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.1,2 Peradangan peritoneum (peritonitis) merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen. Peritonitis menggambarkan sebuah penyebab penting morbiditas dan mortalitas bedah.1,3,4 Peritonitis dapat terjadi secara lokalisata maupun generalisata, dan diperkirakan melalui tiga fase: pertama, fase pembuangan cepat kontaminan-kontaminan dari kavum peritoneum ke sirkulasi sistemik; kedua, fase interaksi sinergistik antara aerob dan anaerob; dan ketiga; fase usaha pertahanan tubuh untuk melokalisasi infeksi. Peritonitis generalisata umumnya sering berhubungan dengan disfungsi/kegagalan organ, dan mortalitas dapat mencapai 20-40%.4

1.2.TujuanTujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang dan meningkatkan pemahaman penulis maupun pembaca mengenai aspek anestesi pada peritonitis.1.3.ManfaatManfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman mengenai aspek anestesi pada peritonitis yang berlandaskan teori sehingga peritonitis dapat dikenali dan ditatalaksana sedini mungkin sesuai kompetensinya pada tingkat pelayanan primer.

BAB 2ISI2.1.Anatomi dan Fisiologi PeritoneumPeritoneum merupakan membran serosa terbesar tubuh, yang terdiri dari selapis epitel gepeng (mesotelium) dengan lapisan penyokong berupa jaringan penghubung areolar yang mendasarinya. Peritoneum dibagi menjadi peritoneum parietal yang melapisi dinding kavum abdominopelvik, dan peritoneum viseral yang melapisi beberapa organ di dalam kavum. Suatu ruang sempit yang mengandung cairan serosa pelumas yang berada di antara peritoneum parietal dan viseral disebut kavum peritoneum. Pada beberapa penyakit, kavum peritoneum dapat membesar akibat akumulasi beberapa liter cairan, dan kondisi ini disebut asites.5Beberapa organ berada pada bagian posterior dari dinding abdomen dan dilapisi peritoneum hanya pada permukaan anteriornya saja. Organ-organ tersebut tidak berada di dalam kavum peritoneum. Organ-organ seperti ginjal, kolon asenden dan desenden, duodenum dari usus halus, dan pankreas disebut sebagai organ retroperitoneal.5Tidak seperti perikardium dan pleura yang melindungi jantung dan paru, peritoneum mengandung lipatan-lipatan besar yang melingkupi visera. Lipatan-lipatan tersebut mengikat organ-organ satu sama lain dan juga mengikat dinding kavum abdomen. Lipatan-lipatan tersebut juga mengandung pembuluh darah, saluran limfe, dan saraf-saraf yang menyuplai organ-organ pada abdomen. Ada lima lipatan peritoneum utama, yakni omentum besar, ligamentum falsiformis, omentum kecil, mesenterium, dan mesokolon.5 Peritoneum parietal mendapat inervasi dari nervus interkostalis 8-11 dan nervus subkostalis. Peritoneum parietal yang melapisi sisi kaudal diafragma diinervasi oleh nervus frenikus (v.c 3-5). Peritoneum viseral mendapat inervasi sesuai organ yang ditutupinya.5 Peritoneum berfungsi untuk mengurangi gesekan antar organ intra abdomen agar dapat bergerak bebas. Peritoneum menghasilkan cairan peritoneum sekitar 100 cc berwarna kuning jernih. Jika terjadi cedera peritoneum, daerah defek mesotelium akan segera ditutupi oleh mesotelium sekitarnya dan sembuh dalam waktu 3-5 hari. Jika cedera cukup luas dan membran basalis terpapar cairan peritoneum maka akan memacu timbulnya jaringan fibrosis sehingga timbul adhesi yang akan mencapai maksimal 2-3 minggu setelah cedera.6 2.2.Peritonitis2.2.1.Definisi

Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, sel-sel, dan pus; biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada abdomen, konstipasi, muntah, dan demam peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada peritoneum.1,3,7Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi kecil-kecilan), namun apabila terjadi kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, hal tersebut merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.72.2.2.Etiologi

Peritonitis umumnya disebabkan oleh bakteri, namun dapat juga disebabkan oleh zat kimia (aseptik), empedu, tuberkulosis, klamidia, diinduksi obat atau diinduksi oleh penyebab lainnya yang jarang. Peritonitis bakterial dapat diklasifikasikan primer atau sekunder, bergantung pada apakah integritas saluran gastrointestinal telah terganggu atau tidak.4Peritonitis bakterial primer (Spontaneous Bacterial Peritonitis/SBP) merupakan infeksi bakteri yang luas pada peritoneum tanpa hilangnya integritas saluran gastrointestinal. Hal ini jarang terjadi, tetapi umumnya muncul wanita usia remaja. 90% kasus SBP terjadi akibat infeksi monomikroba. Streptococcus pneumoniae biasanya merupakan organisme penyebabnya. Faktor risiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intra abdomen, imunosupresi, dan splenektomi. Kelompok risiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.3,4,6,7Peritonitis bakterial sekunder merupakan infeksi peritoneum akut yang terjadi akibat hilangnya integritas saluran gastrointestinal. Kuman aerob dan anaerob sering terlibat, dan kuman tersering adalah Escherichia coli dan Bacteroides fragilis.4Bakteri dapat menginvasi kavum peritoneum melalui empat cara: (1) invasi langsung dari lingkungan eksternal (misalnya pada luka tusuk abdomen, infeksi saat laparatomi); (2) translokasi dari organ dalam intra abdomen yang rusak (misalnya pada perforasi ulkus duodenum, gangren usus yakni pada apendisitis, trauma, atau iatrogenik pada bocornya anastomosis); (3) melalui aliran darah dan/atau translokasi usus, misalnya pada peritonitis primer dimana terjadi tanpa sumber infeksi yang jelas (sebagai contoh peritonitis Streptococcus -hemolyticus primer dan pasien post splenektomi, SBP pada pasien dengan gagal hati dan asites); dan (4) melalui saluran reproduksi wanita (misalnya penyebaran langsung dari lingkungan eksternal, peritonitis pneumkokus primer, salpingitis akut, perforasi uterus akibat alat intra uterus).4Peritonitis akibat zat kimia (aseptik) terjadi sekitar 20% dari seluruh kasus peritonitis, dan biasanya sekunder dari perforasi ulkus duodenum atau gaster. Peritonitis steril akan berlanjut menjadi peritonitis bakterial dalam waktu beberapa jam akibat transmigrasi mikroorganisme (misalnya dari usus).4Peritonitis biliaris merupakan bentuk yang jarang dari peritonitis steril dan dapat terjadi berbagai sumber penyebab: iatrogenik (misalnya kelicinan saat penyatuan duktus sistikus saat kolesistektomi), kolesistitis akut, trauma, dan idiopatik.4

Bentuk peritonitis lainnya yang dapat terjadi adalah peritonitis tuberkulosis, peritonitis klamidia, dan peritonitis akibat obat dan benda asing.42.2.3.PatofisiologiPeritonitis diperkirakan melalui tiga fase: pertama, fase pembuangan cepat kontaminan-kontaminan dari kavum peritoneum ke sirkulasi sistemik; kedua, fase interaksi sinergistik antara aerob dan anaerob; dan ketiga; fase usaha pertahanan tubuh untuk melokalisasi infeksi.4Pada fase pertama terjadi pembuangan cepat kontaminan-kontaminan dari kavum peritoneum ke sirkulasi sistemik. Hal ini terjadi karena cairan peritoneum yang terkontaminasi bergerak ke arah sefal sebagai respons terhadap perbedaan gradien tekanan yang dibuat oleh diafragma. Cairan tersebut melewati stomata pada peritoneum diafragmatika dan diabsorpsi ke lakuna limfatik. Cairan limfe akan mengalir ke duktus limfatikus utama melalui nodus substernal. Septikemia yang terbentuk umumnya melibatkan bakteri Gram negatif fakultatif anaerob dan berhubungan dengan morbiditas yang tinggi.4Pada fase kedua terjadi interaksi sinergistik antara kuman aerob dan anaerob dimana mereka akan menghadapi sel-sel fagosit dan komplemen pejamu. Aktivasi komplemen merupakan kejadian awal pada peritonitis dan melibatkan imunitas bawaan dan didapat. Aktivasi tersebut muncul terutama melalui jalur klasik, dengan jalur alternatif dan lektin yang membantu. Surfaktan fosfolipid yang diproduksi oleh sel mesotel peritoneum bekerja secara sinergis dengan komplemen untuk meningkatkan opsonisasi dan fagositosis. Sel mesotel peritoneum juga merupakan sekretor poten mediator pro-inflamasi, termasuk interleukin-6, interleukin-8, monocyte chemoattractant protein-1, macrophage inflammatory protein-1, dan tumor necrosis factor-. Oleh karena itu, sel mesotel peritoneum memegang peranan penting pada jalur pensinyalan sel untuk memanggil sel-sel fagosit ke kavum peritoneum dan upregulation sel mast dan fibroblas pada submesotelium.4

Pada fase ketiga terjadi usaha sistem pertahanan tubuh untuk melokalisasi infeksi, terutama melalui produksi eksudat fibrin yang mengurung mikroba di dalam matriksnya dan mempromosikan mekanisme efektor fagositik lokal. Eksudat fibrin tersebut juga mempromosikan perkembangan abses. Pengaturan pembentukan dan degradasi fibrin merupakan hal vital pada proses ini. Aktivitas pengaktifan plasminogen yang dibuat oleh sel mesotel peritoneum menentukan apakah fibrin yang terbentuk setelah cedera peritoneum dilisiskan atau dibentuk menjadi adhesi fibrin. Secara khusus, tumor necrosis factor- menstimulasi produksi plasminogen activator-inhibitor-1 oleh sel mesotel peritoneum, yang menghambat degradasi fibrin.4 2.2.4.Manifestasi KlinisPada peritonitis terjadi pergeseran cairan dan gangguan metabolik. Frekuensi jantung dan frekuensi napas pada awalnya akan meningkat sebagai hasil dari refleks volumetrik, intestinal, diafragmatik, dan nyeri. Asidosis metabolik dan peningkatan sekresi aldosteron, antidiuretic hormone (ADH), dan katekolamin yang juga menyusul akan mengubah cardiac output dan respirasi. Protein akan dirusak dan glikogen hati dimobilisasikan akibat tubuh sedang memasuki suatu keadaan katabolisme yang hebat. Ileus paralitik dapat terjadi, yang kemudian akan menyebabkan sekuestrasi hebat cairan, dan hilangnya elektrolit dan eksudat kaya protein. Distensi abdomen yang hebat akan menyebabkan elevasi diafragma, dan akan menyebabkan atelektasis dan pneumonia. Gagal organ multipel, koma, dan kematian akan mengancam jika peritonitis tetap berlangsung dan gagal untuk terlokalisasi.4

2.2.5.Diagnosis

Diagnosis peritonitis biasanya secara klinis. Anamnesis sebaiknya termasuk operasi abdomen yang baru saja, peristiwa sebelum peritonitis, perjalanan anamnesis, penggunaan agen immunosuppresif, dan adanya penyakit (contoh: inflammatory bowel disease, diverticulitis, peptic ulcer disease) yang mungkin menjadi predisposisi untuk infeksi intra abdomen.3Pada pemeriksaan fisik, banyak dari pasien yang mempunyai suhu tubuh lebih dari 38oC, meskipun pasien dengan sepsis berat bisa menjadi hipotermi. Takikardia bisa ada, sebagai hasil dari pelepasan mediator inflamasi, dan hipovolemia intravaskular akibat muntah dan demam. Dengan dehidrasi progresif, pasien bisa menjadi hipotensif (5-14% pasien), juga oliguria atau anuria. Dengan peritonitis berat, akan tampak jelas syok sepsis. Syok hipovolemik dan gagal organ multipel pun dapat terjadi.3,4Ketika melakukan pemeriksaan abdomen pasien yang dicurigai peritonitis, posisi pasien harus supinasi. Bantal dibawah lutut pasien bisa membuat dinding abdominal relaksasi.3Pada pemeriksaan abdomen, hampir semua pasien menunjukkan tenderness pada palpasi, juga menunjukkan kekakuan dinding abdomen. Peningkatan tonus muskular dinding abdomen mungkin volunter, respons involunter sebab iritasi peritoneum. Abdomen sering mengembung dengan suara usus hipoaktif atau tidak ada. Tanda gagal hepatik (contoh: jaundice, angiomata) bisa terjadi. Pemeriksaan rektal sering meningkatkan nyeri abdomen, terutama dengan inflamasi organ pelvik, tetapi jarang mengindikasikan diagnosis spesifik. Massa inflamasi kenyal di kanan bawah mengindikasikan appendisitis, dan fluktuasi dan penuh bagian anterior bisa mengindikasikan cul de sac abscess.3,7Pada pasien wanita, penemuan pemeriksaan bimanual dan vaginal bisa dengan penyakit inflamasi pelvik (contoh: endometriosis, salpingo-ooforitis, abses tubo-ovarian), tetapi pada pemeriksaan sulit untuk menginterpretasikan peritonitis berat.3Pemeriksaan fisik lengkap penting untuk menghindari adanya gejala yang mirip dengan peritonitis. Masalah toraks dengan iritasi diafragma (contoh: empiema), ekstraperitoneal (pielonefritis, sistitis, retensi urin akut), dan dinding abdomen (contoh: infeksi, hematoma rektus) bisa meniru tanda dan gejala pasti dari peritonitis.3Jadi keluhan pokok pada peritonitis adalah nyeri abdomen dan lemah. Sedangkan tanda penting yang dapat dijumpai pada pasien peritonitis antara lain pasien tampak ketakutan, diam atau tidak mau bergerak, perut kembung, nyeri tekan abdomen, defans muskular, bunyi usus berkurang atau menghilang, dan pekak hati menghilang.3Hasil pemeriksaan laboratorium yang dapat ditemukan pada pasien peritonitis antara lain leukositosis, peningkatan hematokrit, dan asidosis metabolik.6 Prediktor tunggal paling baik dari SBP adalah jumlah neutrofil cairan asites 500 sel/L, dengan sensitivitas 86% dan spesifisitas 98%. Cairan peritoneum seharusnya dievaluasi untuk glukosa, protein, Laktat Dehidrogenase (LDH), jumlah sel, pewarnaan gram, dan kultur aerobik dan anaerobik. Cairan peritoneum pada peritonitis bakterial umumnya menunjukkan pH rendah dan level glukosa munurun dengan level LDH dan protein meningkat. Biasanya, pH cairan asites < 7,34 adalah diagnosis SBP. SBP ditegakkan ketika jumlah PMN 250 sel/L dengan hasil kultur bakterial positif. Keraguan menegakkan SBP jika hasil kultur cairan asites negatif tetapi jumlah PMN 250 sel/L.3Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral). Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum, pecahnya usus buntu (apendiks) atau karena sebab lain, tanda utama radiologi: (1) posisi supinasi, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line menghilang, dan kekaburan pada kavum abdomen; (2) posisi duduk atau berdiri, didapatkan free air subdiafragma berbentuk bulan sabit (semilunar shadow); dan (3) posisi Left Lateral Decubitus (LLD), didapatkan free air intra peritoneal pada daerah perut yang paling tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara pelvis dengan dinding abdomen. Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu adanya kekaburan pada kavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal.6,82.2.6.Diagnosis Banding

Pneumonia basal, infark miokardium, gastroenteritis, hepatitis, dan infeksi saluran kemih mungkin sering salah didiagnosis dengan peritonitis. Penyebab lain nyeri abdomen yang hebat adalah obstruksi saluran cerna, kolik ureter, dan kolik bilier.4 2.2.7.Penatalaksanaan2.2.7.1.Terapi KonservatifTerapi medikamentosa diindikasikan jika: (1) infeksi telah terlokalisasi (misalnya appendix mass); (2) penyebab peritonitis tidak membutuhkan tindakan pembedahan (misalnya pankreatitis akut); (3) pasien tidak cocok untuk anestesi umum/general anaesthesia (misalnya pada pasien lanjut usia, pasien sekarat dengan komorbiditas yang hebat); dan (4) fasilitas medis tidak dapat mendukung manajemen bedah yang aman. Elemen utama pada terapi medikamentosa adalah hidrasi cairan melalui i.v. line dan antibiotik spektrum luas. Terapi suportif sebaiknya mencakup early enteral feeding (daripada total parenteral nutrition) untuk pasien dengan sepsis abdomen yang kompleks di ICU.4

2.2.7.2.Terapi Segera (Immediate)

Penanganan pasien peritonitis saat pertama kali datang tetap mengikuti kaidah primary survey (Airway, Breathing, Circulation, Disability, dan Exposure).9,10,11

Dalam hal airway, kelancaran jalan napas harus dijaga. Penilaian adanya obstruksi jalan napas harus dilakukan segera. Selain melakukan pembebasan jalan napas, harus juga dijaga agar leher tetap dalam posisi netral.9,10,11

Dalam hal breathing, penolong harus membebaskan leher dan dada sambil menjaga imobilisasi leher dan kepala. Lalu dinilai laju dan dalamnya pernapasan. Inspeksi dan palpasi leher dan dada dilakukan untuk menentukan adanya deviasi trakea, pemakaian otot pernapasan tambahan, dan tanda cedera lainnya. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi merupakan hal vital untuk semua pasien syok. Hipoksia dapat dipantau melalui pulse oximetry atau pemeriksaan Analisis Gas Darah (AGDA).4,9,10,11 Dalam hal circulation, harus dilakukan kontrol perdarahan. Penilaian kecepatan, kualitas, dan keteraturan nadi harus dilakukan. Warna kulit dan tekanan darah juga harus dinilai. 2 i.v line berukuran besar harus segera dipasang, terutama pada pasien dengan ancaman syok. Pasien peritonitis umumnya datang dengan keadaan dehidrasi bahkan syok. Resusitasi cairan merupakan hal penting dalam menangani keadaan tersebut. Resusitasi cairan diawali dengan pemberian kristaloid i.v. hangat. Volume cairan yang diberikan disesuaikan dengan derajat dehidrasi dan syok. Substitusi elektrolit (terutama kalium) kadang diperlukan. Pasien perlu dipasang kateter urin untuk memantau urine output tiap jam. Sampel darah diambil untuk pemeriksaan darah rutin, analisis kimia, tes kehamilan, golongan darah dan cross match, dan AGDA.4,9,10,11 Dalam hal disability, dilakukan pemeriksaan neurologis singkat. Tingkat kesadaran ditentukan dengan menggunakan skor Glasgow Comma Scale (GCS). Pupil dinilai besarnya dan refleks cahayanya.4,9,10,11Dalam hal exposure, pakaian penderita dibuka dan dilakukan pencegahan hipotermia.9Bila seluruh penilaian dan penangan awal pada primary survey sudah dilakukan dan pasien telah stabil, maka dapat dilakukan secondary survey. Pada secondary survey, dilakukan penilaian terhadap seluruh sistem organ secara lengkap dan komprehensif, yakni sistem pernapasan (breathing/B1), sistem peredaran darah (blood/B2), sistem saraf (brain/B3), sistem saluran kemih (bladder/B4), sistem pencernaan (bowel/B5), dan sistem muskuloskeletal (bone/B6).9 Pasien peritonitis umumnya datang dengan keadaan dehidrasi bahkan mungkin syok. Dehidrasi dideskripsikan sebagai suatu keadaan keseimbangan cairan yang negatif atau terganggu yang bisa disebabkan oleh berbagai jenis penyakit. Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak daripada pemasukan air (input). Cairan yang keluar biasanya disertai dengan elektrolit.12Pada dehidrasi gejala yang timbul berupa rasa haus, berat badan turun, kulit bibir dan lidah kering, saliva menjadi kental. Turgor kulit dan tonus berkurang, apatis, gelisah, dan kadang-kadang disertai kejang. Akhirnya timbul gejala asidosis dan renjatan dengan nadi dan jantung yang berdenyut cepat dan lemah, tekanan darah menurun, kesadaran menurun, dan pernapasan Kussmaul.12,13Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik, dehidrasi dapat dibagi menjadi dehidrasi ringan, sedang, dan berat.2,12,13,14Tabel 2.1. Klasifikasi Dehidrasi Berdasarkan Gejala Klinis dan Pemeriksaan FisikTanda-Tanda KlinisRinganSedangBerat

HemodinamikTakikardiTakikardi, hipotensi ortostatik, nadi lemah, vena kolapsTakikardi, sianosis, nadi sulit diraba, akral dingin

JaringanMukosa lidah keringLidah lunak, keriputAtonia, mata cekung/corong

Turgor Kulit